webnovel

Menuju Ibukota

Tahun-tahun berikutnya berlalu dengan cepat. Selama bertahun-tahun itu juga Anra melatih dirinya, Sword Aura miliknya sudah setingkat dengan kakeknya, yakni berada di Sword Purple Aura.

Sword Purple Aura bukan sesuatu yang dapat dicapai hanya dengan berlatih selama bertahun-tahun, tapi juga harus disertai oleh bakat. Di umurnya yang 12 tahun itu, dapat menggunakan Sword Purple Aura adalah sebuah bakat yang terlalu besar, bahkan kakeknya memerlukan waktu 20 tahun untuk dapat mencapainya.

Sword Aura sendiri dibagi menjadi enam tingkat.

Sword Blue Aura [Beginner]

Sword Green Aura [Advanced Beginner]

Sword Yellow Aura [Competent]

Sword Red Aura [Expert]

Sword Purple Aura [Master]

Sword White Aura [Grandmaster]

Bukan hanya ilmu pedang yang dia latih selama beberapa tahun terakhir, dia juga berlatih ilmu sihir. Berlatih sihir lebih sulit dibanding berlatih pedang, tidak ada buku dan orang yang mengajarinya, dia hanya menggunakan imajinasi untuk bisa menciptakan sihir.

Anra dapat menggunakan semua elemen dari sihir, api, air, angin, petir, tanah, es, cahaya, dan kegelapan. Ada banyak sihir yang dia ciptakan dari berbagai elemen, sangat banyak bahkan dia sulit untuk mengingat, terlebih ada beberapa elemen yang dia gabungkan, yang yang membuatnya semakin sudah untuk diingat.

~~~

Di meja makan, seperti biasa Anra dan Gorgori duduk untuk makan bersama. Gorgori sudah bertambah lebih tua, uban di rambut dan janggut sudah menyebar ke beberapa bagian, tapi otot-ototnya tetaplah tegas tanpa menunjukkan penuaan.

Anra sendiri memiliki tubuh yang tinggi, badannya juga lebih berisi berkat latihan. Wajahnya rupawan dengan mata biru yang tajam, rambut hitam yang acak-acakan, serta pipi tirus dan kulit putih mulus.

"Dua hari dari sekarang kamu akan pergi ke ibukota untuk ke akademi."ucap Gorgori mendadak.

Anra sempat tersedak."Akademi? Apa maksudnya dengan akademi?"ucapnya terkejut sambil meminum air.

"Kau kan sudah berumur dua belas tahun, jadi pergi ke akademi harus dilakukan untuk menimba ilmu. Apa kau mau jadi orang bodoh yang hanya tau tentang pedang?"ucap Gorgori santai.

"Bukannya rakyat jelata seperti kita tidak bisa masuk ke dalam akademi, kecuali punya banyak uang."

"Siapa yang bilang begitu? Memang benar jika kebanyakan dari murid yang ada di akademi itu dari kelas bangsawan, tapi tidak sedikit dari rakyat biasa. Akademi melakukan tes untuk bisa lulus, jadi kesempatan untuk masuk akademi bukan hanya tentang status ataupun uang, tapi juga bakat."Gorgori menjelaskan."Kau punya bakat besar, kau pasti diterima! Besok lusa akan ada pedagang yang biasanya mengambil sayur dan buah setiap sebulan sekali di desa, aku akan bicara dengan mereka untuk mengajakmu pergi bersama."tambahnya.

"Akademi pasti isinya pelajaran tertulis, aku tidak suka hal-hal yang mengharuskan menjawab pertanyaan, tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan kakek. Mengapa di setiap dunia selalu ada sesuatu seperti sekolah?"gumamnya dalam hati.

Dua hari setelahnya, seperti yang dikatakan Gorgori. Satu gerobak pedagang sudah datang di desa Ruca, mereka membeli hasil panen dari penduduk. Anra sudah bersiap dengan pakaian, perbekalan, dan beberapa koin perak yang dia letakan di "Space Dimension", sementara pedang dia letakan di pinggang.

Sihir ruang dimensi untuk menyimpan barang-barang, ruang dimensi dari sihirnya sangat luas yang membuatnya tidak membutuhkan ransel untuk berpergian.

Gorgori selesai berbicara dengan pedagang, tentu dia membayar untuk sebuah tumpangan, harganya satu koin perak dan lima koin perunggu.

"Koin dan pakaian mu sudah kamu persiapkan bukan?"ucap Gorgori setelah selesai berbicara dengan pedagang.

"Sudah! Semua persiapan sudah Anra simpan di Space Dimension, kakek tidak usah khawatir."ucap Anra.

Gorgori memeluk Anra dengan wajah sedih."Kamu jangan sedih saat tidak ada kakek di sana, kakek akan selalu kirim surat setiap satu bulan sekali."ucapnya.

"Bukannya seharusnya aku yang mengatakan itu! Kakek jangan sedih, lagi pula ini hanya perjalan biasa."balas Anra santai.

"Baiklah, sebentar lagi mereka selesai memasukan sayur dan buah-buahan. Kamu jangan terlalu berlebihan saat di akademi, kekuatan mu sudah ada di atas rata-rata, jadi jangan merundung teman mu yang masih awam!"ucap Gorgori melepas pelukannya.

Anra melangkah pergi."Siapa juga yang mau merundung orang lain."ucapnya dalam hati, sambil berjalan menuju kereta pedagang.

Pedagang mulai mengendarai gerobak dengan suara kaki kuda yang melangkah pergi meninggalkan desa Ruca. Lambaian tangan Gorgori tidak berhenti sampai Anra dan gerobak pedagang menghilang dari pandangannya.

Untuk pertama kalinya Anra keluar dari desa Ruca, dua dinding lembah menjadi gerbang keluar dari desa. Lembah tinggi dengan bebatuan yang kokoh terlihat seperti tembok alami yang dibuat oleh alam tanpa campuran tangan manusia. Terlihat begitu mempesona dengan rerumputan dan pohon-pohon yang tumbuh di jalan setapak jalur gerobak.

Dinding lembah mulai mengecil dan hilang dari pandangan Anra, kini dia sudah berada di padang rumput luas yang biasa menjadi jalur para pedagang untuk pergi menuju desa.

"Apa kau mau bekerja saat sampai di ibukota?"tanya pria pedagang yang mengendalikan kuda."Kau punya wajah yang tampan, mencari kerja di ibukota mungkin akan mudah bagimu."tambahnya.

"Ah tidak, aku tidak pergi untuk bekerja! Aku mau mendaftar ke akademi."balas Anra menatap pemandangan dibelakangnya.

"Apa kau bercanda? Rakyat jelata seperti kita mana bisa memasuki akademi! Apa kau punya banyak uang atau bakat?"ujar pedagang itu terkejut.

"Aku memiliki bakat dalam pedang, Kakekku bilang dengan ilmu pedang itu aku bisa masuk ke akademi."balas Anra mengalihkan pandangan ke depan.

"Ilmu pedang seperti apa? Jika ilmu yang kau bicarakan adalah ilmu pedang biasa, kau tidak akan mampu untuk lulus, kecuali kau menguasai Sword Aura. Tapi di usiamu yang baru 12 tahun, itu rasanya mustahil."ucap pedagang itu remeh.

"Aku bisa menggunakan Sword Aura!"ucap Anra singkat.

"Jangan bohong. Kau tidak akan bisa mengelabui ku!"ucap pedagang, tidak percaya.

Anra dibuat kesal karenanya.

"Bagaimana kalau kita bertaruh? Jika aku bisa menunjukan Sword Aura padamu, aku akan membelah gerobak milikmu dan mengambil kuda mu. Tapi jika tidak, kau bisa menurunkan ku disini dan aku akan memberimu sekantong koin yang ku miliki."ucap Anra dengan tatapan serius.

Tatapan Anra yang begitu tajam, penuh akan keyakinan membuat si pedagang ragu untuk bertaruh. Dia membuang muka, fokus mengendalikan kereta, sambil juga berkata."Terserah kau saja, semua orang punya mimpi untuk dijadikan khayalan."

Si pedagang masih tidak mempercayai, tapi dia juga tidak berani untuk bertaruh. Mata Anra terlalu kuat baginya, dia sudah kalah bertaruh sebelum menyetujuinya.

Tidak ada lagi percakapan penting selama satu jam perjalanan yang mereka lalui. Anra lebih banyak membersihkan pedang dan si pedagang tetap fokus mengendalikan gerobak. Mereka kini memasuki hutan yang di samping jalannya penuh dengan pohon tumbuh sejajar, bukan hutan rindang. Hutan yang mereka lalui merupakan hutan yang sering jadi jalur orang-orang yang ingin menuju ibukota.

Hutan cukup sunyi saat mereka memasukinya, namun beberapa saat setelahnya suasana tidak lagi sama. Suara semak-semak terdengar dari dalam hutan, suaranya semakin dekat, suara berubah menjadi langkah kaki. Bukan langkah kaki satu orang, tapi belasan orang.

Para bandit sudah mengepung gerobak yang Anra tumpangi, jumlah mereka ada empat belas orang dengan beberapa jenis senjata ditangan mereka.