Pukul 10.30 p.m. Davine berlari tergesa menuju halte bus. Itu adalah bus terakhir malam ini. Ia tak sadar telah menghabiskan waktu cukup lama di sebuah kafe untuk sekedar menyelesaikan tugas kuliahnya, ia butuh suasana yang sedikit berbeda saja hari itu.
Jam malam akan dimulai tepat pukul 11.00 p.m. dan aktivitas penduduk harus dibatasi, jika tidak ia harus membayar sejumlah denda yang telah ditentukan Pemerintah kota karena melanggar aturan tersebut.
Suasana bus tidak ramai hanya ada beberapa penumpang yang duduk secara terpisah, menyisakan beberapa bangku kosong dalam bus tersebut.
Davine menggunakan earphone untuk sekedar mendengarkan musik lewat smartphonenya. Perjalanan menuju apartemennya seharusnya hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja, jalan itu cukup sepi dan bus bisa melaju tanpa hambatan, Davine yakin jika ia akan tiba ke apartemennya sebelum pukul 11.00 p.m.
Sesekali Davine mengamati para penumpang bus tersebut. Tak banyak yang ia bisa lakukan hanya untuk sekedar mengisi waktunya saja. Seorang ibu terlihat duduk di depannya menyisakan satu baris bangku kosong di antara mereka, sedang di bangku seberangnya tepat sejajar dengan Davine terlihat seorang pria, ia menggunakan setelan kantoran, Davine menerka jika pria itu baru selesai dari pekerjaan karena lembur, terlihat dari pria tersebut yang tampak kelelahan dan terlihat sedikit mengantuk. Di bangku paling belakang ada seorang pria lagi, pria itu sedang membaca sebuah majalah yang di angkat hingga menutupi wajahnya, dan masih ada beberapa penumpang lain yang bisa di hitung hanya dengan jari.
Beberapa kali bus tersebut berhenti untuk menurunkan penumpangnya satu persatu pada tujuannya. Kini hanya terdapat enam orang penumpang dalam bus tersebut, sang ibu yang duduk di depannya, si pria kantoran, seorang pria yang duduk di bangku paling belakang, dan dua orang lainya yang duduk bersama dan saling mengobrol tepat dua bangku di depan si pria kantoran sebelumnya.
Davine kembali mengenakan tas yang sebelumnya diletakkannya pada bangku kosong di sampingnya, apartemennya hanya berjarak beberapa meter lagi. Davine memberikan isyarat jika ia akan turun beberapa meter di depan, sang sopir bus dan kernet mengangguk paham.
Bus berhenti tepat di tempat tujuan Davine, apartemennya. Davine berdiri dari tempat duduknya, setelah memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal ia beranjak untuk keluar dari bus tersebut. Dari arah belakang ternyata si pria yang sedari tadi duduk di sana dengan majalahnya juga berdiri dan menyusul di belakang Davine. Davine tidak terlalu memperhatikan pria tersebut, sampai akhirnya sang pria kini telah berdiri tepat di belakang Davine, pria itu sangat dekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya pada tubuh Davine. Davine yang merasa risih lantas menengok pada pria itu, namun tiba-tiba saja, "Sruukkk ... ." Davine merasakan sesuatu yang tajam menembus perutnya, benda itu menembus jaket dan baju kaos yang dikenakan Davine saat itu. Davine yang sangat terkejut karena hal itu hanya bisa mematung tak bergerak dari tempatnya, sebelum akhirnya ia melihat darah yang mulai keluar dari arah tusukan pria tersebut, sedang pria yang melakukannya dengan segera mencabut sesuatu yang ditusukkannya pada perut Davine.
Suasana hening sesaat dalam bus tersebut. Kejadian itu terjadi begitu saja tanpa diduga-duga. Penumpang lain yang melihat hal tersebut juga hanya bisa terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, sebelum akhirnya seorang ibu yang duduk pada bangku di depan Davine sebelumnya berteriak histeris.
Sang pelaku lantas panik dan menjatuhkan sebuah pisau lipat yang digunakannya untuk menusuk Davine. Davine yang masih bisa mempertahankan kesadarannya, dengan segera menarik sebuah slayer dari kain yang digunakan pria tersebut untuk menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya Davine mendapati siapa pria tersebut, pria paruh baya itu.
Kehilangan cukup banyak darah membuat Davine tidak mampu lagi mempertahankan kesadarannya kala itu, pandangan perlahan memudar, tenaganya seakan menghilang dari tubuhnya seketika itu juga. Davine hanya bisa mendengar keributan dari penumpang-penumpang yang lain, sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri di lantai bus tersebut.
Sang pria pelaku penusukan itu sangat panik karena wajahnya saat itu tidak lagi tertutup dan membuat penumpang lainya dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Pria itu memungut pisau lipat yang dijatuhkannya dan segera mengacungkannya pada penumpang lain yang berada di bus tersebut, "Jangan ada yang bergerak sedikit pun!" ancam pria tersebut.
Para penumpang yang sudah sangat syok dengan kejadian sebelumnya hanya bisa menuruti perkataan dari pria tersebut, mereka tidak punya keberanian sedikit pun untuk melawan.
Sang pelaku dengan perlahan berjalan menuju pintu keluar bus tersebut, masih dengan pisau lipat yang terus diacungkannya pada para penumpang yang berada di bus tersebut, sebelum akhirnya keluar dan secepat kilat berlari meninggalkan bus yang sedang berhenti di tempat itu. Pria itu berlari menuju kegelapan sebelum akhirnya menghilang tak terlihat oleh mata.
Setelah terlepas dari ancaman, para penumpang dengan sigap langsung menolong Davine yang jatuh tersungkur tidak sadarkan diri di lantai bus tersebut. Si pria kantoran segera mengeluarkan sapu tangannya dan segera menekankan nya pada luka tusuk yang Davine terima, sedang yang lainya segera menelepon Ambulance dan kantor Kepolisian setempat.
Luka tusuk yang diterima Davine terus mengeluarkan darah, luka itu terbuka dan masuk cukup dalam. Saputangan yang awalnya berwarna putih itu dalam sekejap berubah menjadi merah, pendarahan Davine tidak bisa di hentikan. Sang sopir yang melihat hal itu tidak berpikir panjang lagi, ia segera melajukan busnya menuju ke rumah sakit terdekat, daripada menunggu ambulans yang tidak pasti akan datang secepat apa, sang sopir lebih memprioritaskan keselamatan nyawa Davine saat ini.
Pihak Kepolisian yang menerima laporan itu segera menyisir area tempat kejadian, di mana sang pria yang menikam Davine itu melarikan diri. Sial mereka tak menemukan jejak apa pun saat itu, sang pelaku berhasil lolos dalam gelapnya malam.
Davine segera di bawa ke UGD, sang dokter dengan sigap memberikan pertolongan pertama sekuat yang mereka bisa pada Davine. Mereka berhasil menghentikan pendarahan itu dengan baik, sayangnya saat itu Davine telah kehilangan banyak darah yang mengharuskannya mendapatkan transfusi darah dengan segera. Sialnya lagi bank darah pada rumah sakit itu sedang kehabisan darah dengan golongan yang Davine miliki.
Petugas rumah sakit segera menghubungi rumah sakit lainnya yang berada di kota itu guna mendapatkan darah dengan golongan tersebut, seperti tak berpihak, semua rumah sakit yang telah di hubungi saat itu juga tidak memiliki persediaan darah dengan golongan tersebut.
Dokter yang menangani Davine sedikit merasa frustrasi, sampai seorang suster datang dan mengabarkan jika seorang pria yang memiliki golongan darah yang sama dengan Davine akan segera datang.
"Kami menghubungi keluarga korban melalui smartphone milik korban, terdapat panggilan kontak yang bernama Kak Malvine di sana, kami segera menghubunginya dan benar saja ia adalah kakak dari sang korban," jelas suster itu.
"Dan beruntungnya lagi sang kakak memiliki golongan darah yang sama dengan korban!" tambah suster itu lagi.
"Itu bagus, korban harus segera mendapat tambahan darah secepat mungkin!" Sang dokter mengelus dadanya lega.
******
Malvine memarkirkan mobilnya dengan tergesa-gesa, ia tidak peduli lagi apakah itu rapi atau tidak. Malvine melesat secepat kilat menuju ruang UGD tempat Davine dirawat, ia mencari adiknya itu di antara beberapa pasien yang juga sedang dirawat di tempat itu.
Tidak butuh waktu lama Malvine segera menemukan Davine yang sedang terbaring tidak sadarkan diri di sana.
"Saya Malvine, kakak dari korban!" ujar Malvine pada seorang suster yang menjaga Davine saat itu.
"Kami sudah menunggu kedatangan Anda, mari ikuti saya menuju ruangan untuk mendonorkan darah Anda!" jawab suster itu sembari menunjukkan jalan ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat itu.
"Saat ini korban telah kehilangan banyak darah, dan harus secepat mungkin mendapatkan transfusi yang sesuai dengan golongan darahnya," jelas suster itu.
"Golongan darah kami sama Sus,!" jawab Malvine. Ia sangat khawatir pada kondisi adiknya tersebut.
Setelah semua kepanikan itu akhirnya situasi genting itu dapat dilalui dengan baik, para dokter menjalankan tugasnya tanpa kendala yang berarti. Saat ini kondisi Davine telah melalui masa kritisnya.
Davine dipindahkan ke sebuah ruangan khusus atas permintaan Malvine. Sebuah ruangan VIP yang pastinya sangat mahal, namun hal itu bukan masalah bagi Malvine.
Tidak lupa Malvine mengucapkan terima kasih pada sopir bus yang telah mengantarkan Davine ke rumah sakit itu, jika saja sang sopir tidak bertindak cepat, mungkin saja Davine bisa kehilangan nyawanya.
Malvine terdiam menatap adiknya yang saat itu masih belum sadarkan diri, ia bertanya-tanya apa tujuan dari sang pelaku melakukan hal itu pada Davine.
"Apa kau terlibat sesuatu yang tidak seharusnya kau lakukan?" tanya Malvine pada adiknya yang masih tidak sadarkan diri itu, walau ia sendiri tahu jika saat itu Davine tak akan menjawab pertanyaannya tersebut.
******
(Part 1 Beginning selesai)