webnovel

4. Ceri Merah

Riuh satu kelas bahkan Ishika ikut melempar pertanyaan yang memekakkan telinga. Candra pasrah ditarik sana-sini. Sudah dia jelaskan berkali-kali jika kejadian itu hanya tidak sengaja dan bukan salahnya jika hampir jatuh, dia justru korban yang ditabrak Wisnu. Lalu, Candra muak.

"Argh, lepasin gue! Eh, otak kalian pada nggak beres apa, ya? Gue mau jatuh tau! Jatuh, loh, kalau beneran bisa berdarah-darah badan gue dan kalian malah seneng? Tolong, rasa simpatinya sedikit, teman-temanku tercinta!" Candra meremas udara gemas seakan ingin meremas wajah mereka.

"Ih, Candra ngeri! Habisnya kita juga mau tau gimana rasanya dipegang tangan sama pak Wisnu. Aaa, pasti jantung lo mau meledak, 'kan? Iya, 'kan?" pekik salah satu perempuan di depan Candra.

Sudut bibir Candra terangkat sebelah, "Ck, apa enaknya? Pahit! Kalau kalian penasaran goda aja sana. Gue berasa ingin cuci tangan pakai kembang tujuh rupa gara-gara ada bekas tangannya dia!" menggaruk tangannya kasar.

"Candra cueknya! Emang nggak pernah suka sama laki-laki, ya? Padahal beruntung banget, loh, kayak main drama di film-film sama pak Wisnu," kata Ishika polos. Dia memegang kacamatanya lugu.

Candra tidak bisa menahan untuk tidak menggigit bibir bawahnya. Akhirnya dia mendengkus pasrah seraya menepuk dahinya keras. Merasa daya pikir Ishika itu unik. "Ishika, itu nggak seperti yang lo pikirkan," gumamnya sedih.

Semua temannya mengejek Candra payah karena tidak menikmati kesempatan. Candra menjadi berpikir jika teman-temannya mirip seperti perempuan perayu yang hanya memikirkan lelaki tampan penuh pesona. Di tengah frustasinya, perhatian Candra teralihkan oleh salah satu teman laki-laki yang duduk di kursi pojok paling depan.

"Woy, Candra! Nggak usah sok mengelak, deh! Aslinya lo seneng banget, 'kan punya kesempatan deket pak Wisnu? Sama aja lo kayak cewek-cewek lain. Maunya yang seger doang nggak peduli dosen juga diembat, giliran yang lain kagak dilihat," nadanya sarkas.

Candra marah, telinganya memerah. Dia menyingsingkan lengan tangannya. Perlahan-lahan mendekati layaknya serigala yang menghampiri mangsa. Semua perempuan tadi menepi ketakutan bahkan Ishika lari ke Fero yang hanya duduk melamun menikmati sedari tadi.

"Ngomong apa lo barusan? Kenapa otak kalian pada negatif semua sekarang, hah?! Keracunan apaan sampai pak Wisnu selalu jadi sorotan?! Asal lo tau aja, nggak semua cewek sama kayak yang lo pikirkan!" Candra menarik kerah baju orang itu.

"Huaaaa, mengerikan! Ampun-ampun, Can! Gue bercanda doang! Nggak perlu marah sampai segitunya, lah!" laki-laki itu ketakutan. Dia angkat tangan, menoleh ke segala arah meminta bantuan, tetapi teman-temannya semua menghindar karena tidak mau berurusan dengan Candra.

Wajah marah Candra semakin menakutkan. Orang itu tidak berani membalas. Candra melengos acuh dan pergi mengambil ranselnya. Semua yang di kelas masih ketakutan kecuali Fero. Dia duduk santai meskipun pakaiannya diremas Ishika cemas.

"Wow, preman kecil yang membela keadilan dirinya sendiri," kata Fero sebelum Candra melangkah keluar.

"Ck, nggak sampai segitunya juga. Ngomong-ngomong gue mau ke ruangan pak Wisnu lagi. Kalian jangan mikir yang aneh-aneh kalau enggak mau gue lempar kayak dia!" Candra menunjuk orang yang malang bersama kerumunan laki-laki di ujung sana. Lalu, dia pergi dari kelas.

"Kenapa dia selalu marah-marah?" laki-laki tadi membenahi kerah bajunya.

"Bukannya itu yang jadi nilai plus Candra? Manisnya kalau galak!" jawab laki-laki lain.

Fero melirik Candra sampai Candra menghilang dari balik pintu. Dia mendesah malas membuat Ishika bingung.

"Lo kenapa, Fer?" tanya Ishika.

Fero menatap Ishika sekilas, "Apa lo ngerasa Candra sedikit belain pak Wisnu?"

"Hmm? Bagian yang mana? Gue nggak ngerasa begitu, tuh!"

Fero menepuk dahinya, "Ah, bicara sama orang yang salah."

"Ha? Salah gue di mana?" Ishika menunjuk dirinya bodoh.

Setibanya di ruangan Wisnu, Candra hanya diam setelah menaruh kertas-kertas itu di meja. Sekarang Wisnu berkutat dengan laptop dan jauh lebih sibuk daripada sebelumnya. Namun, Candra tak kunjung keluar sehingga menarik perhatian wisnu.

"Kenapa masih di sini? Silahkan keluar." Wisnu menunjuk pintu dengan dagu dan kembali menyibukkan diri.

Candra lumayan terpukul. Dia tersenyum kaku dan meninggalkan ruangan itu. Di sepanjang koridor selalu menggerutu.

"Nggak perlu ngusir juga kali! Lagian gue ngapain coba jadi patung di sana? Ih, malunya!"

Waktu bergerak begitu cepat. Semua mahasiswa sedang meninggalkan kampus. Wajah Candra yang terus cemberut terlihat begitu jelas. Dia memikirkan kesibukan Wisnu hari ini.

'Apa jadi dosen sesulit itu?' pikir Candra selagi memakai helm.

Sudah menaiki motor dan akan menyalakan mesinnya, mendadak handphone di ranselnya bergetar. Candra terpaksa memeriksanya terlebih dahulu. Matanya terbelalak ketika melihat notifikasi pesan dari Wisnu. Segera mungkin dia membacanya dan ternyata berisi perintah agar Candra pergi ke fakultas pertanian hanya untuk melihat tanaman ceri yang sedang diteliti. Wisnu ingin Candra menunggunya di sana. Jika Candra pergi maka ada hukuman yang menanti.

"Dosen gila! Perintah macam apaan ini? Nggak jelas! Nggak mau gue!" Candra mematikan handphone-nya dan berniat meninggalkan kampus. Namun, setelah keluar gerbang, dia kembali masuk ke gerbang lain yang jauh lebih dekat dengan gedung fakultas pertanian.

'Sial! Ngapain gue ke sini, sih?' pikir Candra aneh.

Motor terparkir sembarangan. Candra jarang sekali ke fakultas pertanian. Tidak menyangka fakultas itu begitu hijau dan rindang. Bahkan udara sejuk lebih banyak di sana. Tanpa sadar senyumnya terangkat terlebih lagi ketika melihat rumah kaca yang sangat besar dan terawat. Lalu, ada beberapa tanaman ceri di dalamnya yang belum tumbuh bunga. Mungkin tanaman itu yang dimaksud oleh Wisnu sehingga Candra masuk kedalamnya. Candra tahu Wisnu menyuruhnya untuk melihat tanaman ceri hanyalah alibi. Alasan sebenarnya karena Wisnu ingin Candra tetap di kampus menunggunya. Candra pikir Wisnu akan membahas soal pekerjaan mereka. Itulah mengapa Candra kembali memasuki kampus.

"Wah, cantiknya! Hebat banget mahasiswa di sini bisa buat rumah tanaman segede ini. Nyaman banget! Sampai ada kursi tamannya lagi! Keren!" Candra melihat-lihat seisi rumah kaca takjub.

Candra menunggu sampai senja. Dia mengantuk lantaran terhanyut oleh belaian angin dan kesejukan rumah kaca. Duduk di kursi taman dan memejamkan mata. Akhirnya dia benar-benar terlelap. Cahaya jingga dari matahari di ujung barat tak mengganggu Candra yang kesepian. Bahkan sampai malam Candra masih setia menunggu. Dirinya terbangun begitu merasakan hawa dingin menembus kulitnya. Terkejut karena hari sudah gelap. Celingukan sadar bahwa dirinya berada di dalam rumah kaca. Candra mendesis pelan mencoba sabar.

"Huft, gue ketiduran. Permainan apa ini?" Candra mengepalkan tangan kuat sampai gemetar.

Candra ingin keluar dari lingkungan hijau itu sekarang juga. Mendadak langkahnya terhenti karena seseorang memanggil namanya.

"Candra? Lo ngapain di sini?"

Candra sempat terkesiap dan sedikit takut, mengira salah mendengar suara. Dia menoleh ke samping rumah kaca dan ternyata Fero sedang berdiri di sana memberi senyuman hangat. Candra senang segera menghampiri Fero.

"Fero? Ternyata lo, gue kira siapa." Candra menggaruk kepala belakangnya sambil tertawa menahan kekecewaan terhadap Wisnu.

'Sialan, Pak Wisnu! Awas aja gue balas ntar. Ini udah kelewatan,' geramnya dalam dada.

"Kenapa lo masih di sini? Di dalam rumah kaca lagi. Tumben banget apalagi sampai malam. Bahaya," tutur Fero lembut. Tatapannya sayu. Candra terbelalak seakan pernah melihat sorotan mata itu.

'Sama seperti pak Wisnu,' batin Candra.

"Yuk, balik!" ajak Fero manis.

Candra tersentak dalam hati. Dia berpaling dari Fero dan memandang motornya, "Eee, kenapa lo bisa tau gue ada di sini? Lo nyariin gue?"

Fero semakin tersenyum membuat Candra bertanya-tanya. Fero pun mengalihkan pandangannya pada tanaman hias di dekat koridor sambil memasukkan tangannya ke saku celana, "Iya, lah! Gue, 'kan juga teman yang baik. Masa temannya hilang sambil cemberut seharian dibiarin gitu aja. Gue mana tega?"

Candra ternganga. "Ahaha, godain aja terus nggak ada bosan-bosannya. Ya, kalau gitu maaf udah buat lo kerepotan. Lo sampai nggak kerja, 'kan? Makasih udah khawatir sama gue, tapi tenang aja gue bukan cewek manja yang merengek nggak mau pulang," tawanya renyah.

"Terus kenapa malah ketiduran sampai malam begini?" sahut Fero seketika.

Candra tidak bisa asal bicara. Dia berpikir terlebih dahulu agar tidak menyangkut-pautkan setiap kejadian dengan Wisnu, "Soalnya gue ketiduran, haha. Mau lihat ceri merah yang diteliti udah berbuah apa belum. Eh, ternyata muncul bunga aja belum. Hebat, ya, mereka bisa tanam ceri di sini."

Fero merasa tidak ada yang luar biasa dari itu. Eksperimen dan bercocok tanam di pertanian sudah biasa, sehingga alasan Candra tidak masuk akal. Meskipun begitu, Fero tetap tersenyum dan mengajak Candra pulang. Tidak disengaja ketika mereka hampir melintasi gerbang, Fero melihat Wisnu yang membelakangi mereka. Artinya Wisnu mengetahui keberadaan Candra. Itu menimbulkan pertanyaan besar bagi Fero.

'Kenapa pak Wisnu ada di lingkungan fakultas pertanian malam-malam begini?' pikir Fero.

Candra terus melamun sampai di rumah. Senyumnya palsu saat Fero pamit pulang. Candra sangat tidak enak hati terhadap Fero. Malam ini dia membuat rencana untuk marah pada Wisnu apapun yang terjadi.

Keesokan harinya, Candra langsung mendobrak pintu ruangan Wisnu yang tidak terkunci. Namun, pemilik ruangan itu justru asik dengan setumpuk kertas yang dicoret-coret. Candra yakin itu adalah lembar ujian lagi.

Brak!

Wisnu menatap Candra nanar kala Candra memukul meja keras.

"Apa maksudnya kemarin, Pak Wisnu?" Candra menekan setiap perkataannya.

"Diam kamu!" desis Wisnu tajam dan marah.

Tidak peduli masih ada beberapa dosen yang sedang bersiap-siap untuk mengajar, Candra tetap meluapkan amarahnya.

"Saya nungguin Bapak sampai malam dan saya ...," cercaan Candra terpotong oleh Wisnu.

"Bawakan ini ke semester lima di lantai tiga. Jangan membantah!" Wisnu dengan tega menyerahkan tumpukan kertas yang telah dia coret-coret sambil menunjukkan buku kecil berwarna hitam. Secara tidak langsung Wisnu mengancamnya karena Candra kembali berperilaku tidak sopan dan meja yang menjadi sasaran.

Candra mengambil tumpukan kertas itu kasar. Dia perlihatkan amarahnya yang tidak main-main, "Baik! Saya laksanakan!"

Melenggang pergi dengan langkah yang begitu besar. Tanpa ekspresi Wisnu pun bergegas ke lantai dua untuk mengajar kelasnya Candra.

"Gawat! Dia pasti nyari alasan kalau gue telat. Ini nggak bisa dibiarin. Gue bahkan belum sempat marah. Sekarang kepala gue benar-benar panas nggak bisa ditahan!" gerutu Candra seiring menuruni tangga berusaha mencapai kelasnya sebelum terlambat lebih parah.

Menyusuri gedung di pagi hari tidak membuat kaki Candra lelah. Dia membuka pintu kelasnya kasar membuat semua temannya menoleh kaget.

"Selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat!" lagi-lagi Candra menekan setiap katanya. Wisnu masih tanpa ekspresi duduk di kursi paling depan.

"Candranika, nyalakan proyektornya!"

Candra belum duduk, tetapi Wisnu kembali memberi perintah. Lebih tepatnya tekanan batin. Mereka dalam diam telah menyatakan perang. Cukup terpaksa Candra tersenyum karena tidak ingin teman-temannya merasa tidak nyaman dengan ulah mereka.

"Baik, Pak!" jawab Candra tegas.

Proyektor telah diaktifkan. Sebelum dia kembali duduk, Wisnu memanggilnya dan memberikan sebuah buku yang sesuai dengan tampilan di layar proyektor.

"Silahkan presentasi!" kata Wisnu datar.

Bukan hanya Candra, melainkan semua orang di kelas itu terbelalak. Candra ingin berteriak marah, tetapi masih sanggup meredam amarahnya. Sekilas mereka saling pandang dan berkahir ketika Candra menjauh dari meja Wisnu sambil meremas sampul buku yang diberikan Wisnu.

"Terima kasih atas kepercayaannya. Maka dengarkan saya baik-baik," Candra justru menyetujui permainan Wisnu.

Candra pikir Wisnu akan berdecak atau memutar bola matanya kesal, tetapi Wisnu justru tidak bereaksi. Dalam presentasi itu, Candra tidak menjelaskan apapun, hanya membaca bagian terpenting dan membuat ringkasan dari pemahamannya sendiri. Setelah waktu Wisnu di kelas tersebut habis, Candra baru diperbolehkan duduk dan mengakhiri presentasi.

"Candra, lo nggak apa-apa? Kayaknya pak Wisnu marah sama lo," bisik Ishika yang menghampiri Candra meskipun masih ada Wisnu di kelas.

"Marah? Haha, emangnya dia bisa marah apa sama gue? Gue yang bakal marah sama dia. Dasar sok main kekuasaan! Otoriter!" desis Candra tajam membuat Ishika bergidik.

"Candranika, ikut saya!" Wisnu pergi begitu saja setelah mengatakan titahnya.

"Iya, Pak!" dengan senang hati Candra berdiri dan mengejar Wisnu.

Semua orang masih bingung dengan tingkah dua orang itu. Fero ingin mengikuti Candra, tetapi Ishika menahannya.

"Mendingan lo jangan ikut. Pasti itu soal nilai," kata Ishika dan Fero pun menurutinya meskipun dalam hati tidak terima.

Candra disuruh membawa buku-buku agribisnis yang sebelumnya dia bawa dan menyerahkannya ke fakultas pertanian. Candra baru tahu jika Wisnu juga mengajar di sana. Saat Candra ingin pergi, Wisnu menyuruh Candra mencatat semua materi yang dia jelaskan. Tentu saja Candra tidak mengerti sama sekali, dia hanya terus menulis apapun yang Wisnu katakan sampai jam-nya berakhir. Puas menahan malu di depan mahasiswa fakultas lain, Candra protes pada Wisnu. Namun, Wisnu masih tak menanggapinya.

"Bawakan satu tanaman ceri yang paling kecil. Taruh di ruangan saya." kata Wisnu ketika meninggalkan fakultas pertanian.

"Aarghh, nyebelin! Kalau aja gue bisa sobek itu buku hitam, pasti nggak bakal gue lakuin semua ini!" teriaknya menggila di koridor lantai satu.

Dia tidak terpesona pada rumah kaca lagi karena kepalanya penuh amarah. Mudah untuk membawa tanaman ceri kecil ke ruangan Wisnu, tetapi jaraknya membutuhkan kesabaran ekstra. Setibanya di tempat, Candra menutup pintu ruangan Wisnu dan menguncinya paksa. Lalu, memasukkan kunci itu ke saku belakang celananya. Perilaku Candra mendapat sorotan penuh oleh Wisnu.

"Oh, baru mau melihat saya?"

Seketika Wisnu berpaling dan berdeham kecil. Dia menyibukkan diri dengan laptop yang bahkan tidak menampilkan file yang terbuka. Candra duduk di depan Wisnu. Tatapannya penuh selidik. Sebelumnya tanaman ceri sudah diletakkan di dekat pintu.

"Maksud Bapak apa?" tanya Candra tanpa basa-basi.

Wisnu langsung membalas tatapan Candra membuat Candra terkesiap untuk kesekian kalinya. Sangat datar dan tidak bersahabat.

"Candra, kamu mau mendominasi saya?" nadanya selirih angin sepoi-sepoi yang menusuk kulit.

Candra memekik, "Bapak yang nahan saya duluan! Bahasanya tolong jangan ketinggian, dong, Pak! Saya bisa salah mengartikannya!"

"Saya milik semua orang. Jadi, tolong buka pintunya agar tidak terjadi salah paham." Wisnu menunjuk pintu dan beralih ke perut Candra.

Sontak Candra memegang perut kecilnya, "Bapak lihat apaan?! Aaa, matanya jelalatan!" marah Candra meskipun tahu maksud Wisnu bukan menunjuk perut, melainkan sebuah kunci yang dia sembunyikan. "Ehm, jangan mengalihkan pembicaraan. Tolong jawab pertanyaan saya," sambungnya.

"Apakah tindakan kamu ini tidak berlebihan, Candranika? Saya dosen kamu kalau kamu lupa," Wisnu masih mempertahankan sikapnya.

Candra sedikit membeku, tetapi dia tidak mau kalah, "Saya mahasiswi Anda kalau Bapak sudah lupa."

Mengingat segala perilaku tak wajar dari keduanya. Mereka saling berdeham dan suasana menjadi canggung. Wisnu kembali bermain keyboard laptop seolah bisa fokus bekerja meskipun Candra menuntut penjelasan.

"Saya ingin tau seberapa besar kemampuan kamu. Sejauh ini stamina cukup baik, tapi saya masih ragu apakah kamu akan menyulitkan saya atau membantu saya nanti," ucap Wisnu.

Candra mengerutkan dahinya. Sebuah kejutan lagi baginya jika semua perlakuan Wisnu padanya hanya untuk mengejek Candra.

'Oh, nantangin! Dia pikir dia siapa?' respon Candra dalam hati.

"Bapak mempertanyakan keahlian saya? Pakai cara mempermainkan saya sebagai mahasiswa? Haha, penyalahgunaan wewenang. Gimana kalau saya bertanya hal yang sama? Emangnya Bapak siapa? Saya yakin Bapak nggak jauh lebih hebat dari saya. Memulai pemecahan misi ini saja cukup lama. Kalau saya sendirian pasti sudah saya mulai dari awal. Intinya, Pak Wisnu cuma menghambat pekerjaan saya," desis Candra tajam.

Wisnu menghela napas panjang dan berkedip satu kali, "Kemarin saya memintamu menunggu karena saya sedang berusaha menyelesaikan tugas secepat mungkin. Baik kesibukan sebagai dosen maupun sebagai diri pribadi agar bisa cepat memulainya bersama kamu. Terlebih lagi saya sudah mengumpulkan informasi berbagai tempat yang pernah dikunjungi oleh korban dan tersangka yaitu pak dekan. Alhasil, saya merekapnya dan ternyata mereka memiliki banyak transaksi di tempat yang sama. Itu sebabnya saya meminta kamu untuk merekap nilai ujian para mahasiswa agar meringankan tugas saya. Membantu saya sedikit bukan masalah besar, 'kan? Apa kamu tidak ikhlas? Jahat sekali!"

Penjelasan Wisnu yang terus terang membuat Candra menahan napas.

'Te-ternyata ada alasan dibalik semua itu?' pikir Candra.

Wisnu memandang mejanya yang bersih, "Bodoh! Menahannya lebih lama sebentar saja tidak bisa. Langsung pergi dengan temanmu yang perhatian. Dia sangat baik, bukan?"

Napas Candra tercekat di tenggorokan, 'Ternyata Pak Wisnu melihatnya! Dia datang waktu gue pulang bareng Fero?' pekiknya dalam hati.

"Apapun itu, setelah ini kita akan sering ke rumah kaca. Alasannya nanti saya jelaskan. Candra, saya satu langkah lebih dulu daripada kamu. Masih berpikir siapa saya? Kamu terlalu bodoh untuk itu. Coba buka pandangan lebih luas. Di dunia ini banyak rahasia yang tersimpan di setiap diri manusia. Kamu berhak marah, tapi saya juga berhak kecewa. Dengan ini saya menyatakan tugas rahasia kita dimulai!" tekan Wisnu serius menatap Candra.

'Bo-bodoh?' batin Candra.

Hati Candra seolah terpukul palu besar. Hinaan yang tidak bisa terlupakan. Namun, Candra sadar ketika mendengar kata-kata terakhir Wisnu, "Tunggu dulu! Kenapa jadi Bapak yang membuka seenaknya?! Tidak adil!"

Teriak Candra yang jauh dari kata marah. Segala sumpah serapahnya hilang sebelum terealisasikan. Wisnu memberikan tanaman ceri itu pada Candra sebagai hadiah untuk kerja kerasnya hari ini. Candra tidak memiliki pertanyaan lagi. Dia terlihat bingung sehingga Wisnu kembali menuntunnya dengan menyuruh Candra melakukan ini dan itu sampai kelelahan dan marah.