Percobaan pertama gagal.
"Tidak apa-apa, Tuan. Anda bisa mencobanya nanti. Mungkin waktunya saja yang belum tepat." Erick berusaha menghibur pemuda itu.
Namun kalimat itu tidak mampu menghibur Malik sama sekali. Ini adalah kegagalan pertama dalam hidupnya. Ia tidak pernah gagal dalam suatu hal, ia selalu menang, tetapi kali ini ia gagal. Ia kalah.
"Nanti malam, cobalah lagi," saran Erick.
"Lalu, bagaimana kalau tidak berhasil?"
Inikah yang namanya frustasi? Malik tidak pernah takut, tidak pernah ragu-ragu dalam melangkah, namun kegagalan itu membuat langkahnya penuh dengan kecemasan yang begitu kuat.
"Bukan masalah berhasil atau tidak, Tuan. Hubungan Tuan dengan Nona Anna tidak bisa disamakan dengan sebuah misi, ini tentang perasaan, tentang bagaimana cara Tuan mengungkapkan perasaan." Erick memberitahu apa yang ia tahu. Karena cinta tidak memiliki buku panduan, tidak memiliki strategi seperti dalam sebuah pertempuran.
Dan tuannya sangat awam dengan perasaan semacam itu. Inilah kesalahan yang telah dilakukan oleh Erick, ia tidak pernah mengajarkan tuannya tentang cinta.
"Lalu? Bagaimana? Aku harus mencobanya lagi?" Malik bertanya seperti seorang remaja yang tidak mengerti sama sekali dengan cinta.
"Tentu saja, Tuan."
"Kalau Anna tidak merespon?" Manik hazel itu menyiratkan keraguan.
"Nona pasti sangat senang, percayalah, Tuan." Erick percaya diri, ia sangat yakin bahwa Anna pasti merespon. Setidaknya, mungkin nonanya bingung sesaat.
Andai Malik memiliki kepercayaan diri seperti Erick, mungkin dia tidak akan memikirkan hal ini. Dan sejak kapan Malik merasa tidak percaya diri? Sejak kapan Malik memikirkan Anna? Sebelumnya, ia tidak pernah merasa seperti ini. Ia selalu yakin dengan strategi yang ia buat, ia selalu memenangkan banyak hal, dan sampai semua itu berakhir hari ini. Malik kemudian menyadari bahwa kehadiran Anna telah mengubah beberapa hal dalam dirinya.
"Hachoo!"
Anna mengusap ujung hidungnya yang tiba-tiba gatal.
"Kenapa Non? Apa Nona flu?" Lily meletakkan gaun tidur Anna. Menatap nonanya dari jarak yang tidak terlalu jauh.
"Tidak, hidungku sedikit gatal saja," ucap Anna. Ia masih mengenakan handuk kimononya.
"Aku ingin makan malam di kamar. Katakan itu pada Malik," ucap Anna.
Ia malas keluar kamar setelah seharian membereskan rumah.
"Baik, Non. Akan segera saya sampaikan." Lily membungkuk kemudian melangkah keluar.
Tak butuh lama, red wine dengan hidangan pasta tertata di meja bulat. Anna sudah menyiapkan segalanya dengan sempurna, ia bahkan memikirkan aroma terapi yang mendukung dinnernya dengan Malik.
Anna menuangkan red wine ke gelas. Malik menatap dingin, lagi dan lagi, istrinya memakai pakaian yang tipis. Gaun yang ingin ia robek saat ini juga.
'Jangan memikirkan itu Malik!' batin pemuda itu memperingati.
'Ingat misi! Ingat misi!'
"Khemm-khemm," Malik melupakan kekesalannya sejenak. Ia membasahi bibirnya dan mencoba membuka pembahasan.
"Kamu pasti sangat lelah," ucap Malik.
Anna mengangguk, "Tapi semua berjalan lancar. Besok, aku dan Lily akan melihat-lihat furniture."
"Apa kamu mau ikut?" Anna menatap suaminya, meski ia tahu, Malik tidak suka keluar rumah.
Malik diam sejenak, permintaan ini sulit ia kabulkan.
"Tapi nggak apa-apa kalau kamu nggak mau. Hehehehe." Anna tersenyum garing.
"Maafkan aku," Suara Malik memelan. Mungkin ia tidak bisa menjadi suami yang diinginkan oleh Anna. Tetapi, setidaknya Malik berusaha. Meski tidak maksimal.
"Ah, kamu nggak perlu memikirkannya. Lagi pula, aku cuma sebentar, kok. Nggak bakal lama. Jadi, nggak usah ikut deh."
'Shit!'
Melihat mimik polos Malik membuat jantung Anna tertembus panah. Suaminya sangat imut, sampai-sampai ia ingin melompat ke arah Malik saat ini juga.
"Oh ya, Pak Erick tadi bilang kalau kamu, ingin mengatakan sesuatu padaku. Emang kamu mau ngomong apa?" Anna melahap pastanya.
Glek!
Malik membasahi tenggorokannya yang mendadak tandus. Apa yang dilakukan pamannya itu?
Keringat gugup merimbun di dahi Malik. Meneguk wine sama sekali tidak membantunya mengatasi kegugupan.
"A-aku ingin memanggilmu Sa-sayang. Apa boleh?" Malik memberanikan diri, keberanian saat berada di garda tempur tak sebanding dengan keberanian yang saat ini ia kumpulkan.
"Uhhkk!" Anna langsung tersedak. Pasta yang sedikit pedas itu terasa perih di hidungnya. Ia cukup terkejut dengan perkataan suaminya itu.
Malik benar-benar masih perjaka!
*
Wanita seksi dengan balutan mini dress hitam menatap pria di depannya dengan tatapan kagum.
Berapa lama pun, ia menatap pria itu, ia tidak pernah bosan.
"Kau sudah menangkap orang yang menembak Vincent?" Storm meneguk whiskey-nya.
Kora hanya bisa tersenyum tipis. Makan malam yang dianggapnya sebagai kencan pertama setelah Storm pergi lama, malah menjadi pembahasan yang tidak ia inginkan.
Apa Storm tidak ingin menanyakan hal lain selain adik kesayangannya itu?
"Kau sangat memanjakan adikmu itu. Dia sudah menikah, Storm. Apa kau tidak ada keinginan untuk menyusul?" Kora meraih tangkai gelas dengan jari-jemarinya yang lentik.
Sudah bukan hal baru lagi, sejak lama Kora menaruh perasaan pada pria itu. Dan semua saudaranya juga tahu itu. Sayang, hati Storm begitu sulit ditembus. Ia seperti batu.
"Jadi, bagaimana penyelidikanmu?" Storm tahu wanita itu ingin mengalihkan pembicaraan.
Kora sangat ahli dalam mencari seseorang, dan keahliannya ini pun sering digunakan oleh agen internasional. Tentu menemukan satu orang tidak sulit, terlebih orang itu masih satu negara.
"Bisakah kita membicarakan hal lain Storm? Misalnya kabarku? Sejak kamu sampai, kamu tidak pernah sedikitpun meluangkan waktu untukku." Kora hanya ingin Storm fokus dengan dirinya.
Storm meletakkan gelasnya ke meja, memberikan tatapan tajam pada Kora, bahwa ia serius dan tidak ingin bercanda.
"Oke, baiklah. Aku sudah menemukan identitasnya dan sekarang orang-orangku sedang mencarinya. Bagaimana kau sudah puas?" Kora akhirnya menyerah. Ia memang tak pernah menang melawan Storm.
Apa ini karena ia mencintai pria menyebalkan itu?
"Bagus. Kau kirimkan detail tentang orang itu padaku. Aku akan mengirimkan orang-orangku untuk mencarinya juga."
Storm tidak akan membiarkan satu pun orang menyentuh orang terdekatnya.
"Ya, baiklah!" Kora menjawab ketus. Sesekali ia melirik Storm, lantas mengalihkan pandang. Ia tak ingin membiarkan hatinya luluh karena perasaannya.
"Menurutmu, bagaimana dengan istri Malik? Apa dia wanita yang cocok—"
"Jangan menceritakan tentang orang lain, Storm. Katakan tentangmu, apa di sana kau bertemu dengan wanita dan jatuh hati padanya? Atau kau bermain-main dengan wanita tanpa sepengetahuanku."
Dan dimulai perdebatan yang tiada akhir itu. Storm tahu ini yang akan terjadi. Tetapi ia tetap mengajak Kora keluar, demi menyenangkan hati wanita itu. Karena ia tahu, Kora pasti menunggunya lebih dari yang lainnya.
"Aku tidak mungkin melakukannya, kau pasti sudah tahu itu tanpa harus dijelaskan."
"Cih!" Kora mendesis. Kenapa ia lemah dengan pria ini?
Ia ingin berdebat tetapi tak menemukan apa yang akan dia perdebatkan. Storm, sosok pria sempurna yang tidak neko-neko. Kora sangat tahu itu, dan karena itu ia ingin mencari masalah, mencari satu kesalahan sepele yang bisa dia besar-besaran.
"Satu-satunya wanita yang aku hubungi hanya kau. Dan kau sudah tahu semua yang terjadi disana," tambah Storm.
Kora mengangkat tangannya, meminta Storm berhenti.
"Stop! Tidak bisakah kita bertengkar satu kali saja, Storm?"