"Tenanglah, Sayang. Aku tidak keluar untuk berperang, kamu tidak perlu sekhawatir ini." Anna memaksakan senyum. Sepertinya Malik terlalu berlebihan. Ia hanya keluar sebentar, tetapi suaminya sudah menyediakan dua bodyguard untuknya. Dua pria bertampang sangar, yang tentu akan mengundang banyak perhatian.
"Aku tidak khawatir, aku hanya mengoptimalkan perlindunganku terhadapmu, Sayang."
Beberapa kali pelayan rumah terkejut mendengar panggilan Malik pada Anna. Mereka tak mereka menyangka ternyata tuannya bisa memanggil Anna seperti itu.
Anna menarik napas dalam-dalam, ia melihat dua bodyguard itu dan sepertinya dia tidak bisa berangkat tanpa membawa pria-pria itu.
"Baiklah kalau begitu," Akhirnya Anna mengalah.
Malik keras kepala, dan Anna pun sama keras kepalanya. Tetapi, saat ini ia harus belajar mengalah.
"Dan satu lagi, Sayang," Malik menghentikan langkahnya. "Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa menghubungi nomor ini, dan katakan padanya, kalau kamu istriku." Tatapan Malik sangat serius. Dan saking seriusnya, Anna ingin sekali mencapit alis tebal itu.
Lagi pula siapa yang akan mengganggunya? Dia sudah membawa dua bodyguard bertubuh besar, plus sedikit menyeramkan. Anna tak yakin ada yang berani mengusiknya.
"Oke, baiklah-baiklah, Sayang." Anna memasukan card name itu ke dalam tas slempangnya.
Cup!
"Aku pergi dulu, ya." Anna mengecup pipi Malik, ia kemudian berjalan menuju mobil yang sudah menunggunya.
Sementara Malik sendiri, tertegun dengan kecupan tadi. Ia tidak pernah dicium, sejauh yang dia ingat, hanya ibunyalah yang memberinya kecupan. Anna adalah wanita kedua yang melakukannya.
Bekas kecupan yang basah, rasa hangat yang memenuhi wajah, Malik memegang pipinya dengan tampang konyol.
Inikah rasanya berumah tangga? Sepertinya ia mulai menyukai hubungannya dengan Anna.
"Tuan," Erick menepuk bahu Malik. Tuannya sudah berdiri selama dua puluh menit, dan mobil nonanya juga sudah tidak terlihat lagi.
"Apa Tuan baik-baik saja?" tanya Erick.
"Khem!" Malik berdeham. "Ayo kita lanjut bekerja."
Anna menatap ruas jalan yang tampak lengang, sesekali senyum tercetak di wajahnya. Ia tak bisa melupakan bagaimana reaksi Malik, saat ia mencium pria itu.
"My baby so cute," gumamnya seraya terkekeh pelan.
Ini pertama kalinya Anna menjalin hubungan dengan seseorang yang pure virgin, yang tidak pernah pacaran dan mungkin suaminya belum pernah melakukan hal ekstra. Dan entah kenapa membayangkannya membuat Anna tak bisa menahan tawanya. Karena saat ini, ia punya banyak hal yang ingin dia lakukan bersama dengan suaminya itu.
"Kita sudah sampai, Non." Lily turun dari mobil, ia kemudian membukakan pintu mobil untuk Anna.
Dua bodyguard yang datang bersama mereka memakai mobil lain. Keduanya sigap dan langsung berdiri di belakang Anna. Menjaga nonanya dengan serius.
Anna menoleh, memerhatikan dua bodyguard nya. Ia bersedekah dada. Ada beberapa hal yang harus dia lakukan mengenai penampilan bodyguard itu, Anna tidak mau ia menjadi pusat perhatian atau membuat takut orang-orang.
"Jangan pakai ini. Ini. Dan ini." Anna melepas kacamata hitam, jas hitam dan alat komunikasi yang siap sedia di telinga bodyguard nya itu.
"Tapi, Non—"
"Ssttt! Sstt!" Anna menaikkan satu jarinya, "begini, lebih bagus."
Lagian kenapa bodyguard identik dengan warna hitam?
Bukankah mereka punya pakaian lain selain hitam?
Kenapa harus memakai pakaian berkabung seperti itu?
"Dan satu lagi, tersenyumlah." Anna menambahkan.
Permintaan yang terakhir adalah permintaan yang sangat sulit. Mereka tidak terbiasa tersenyum, tetapi keduanya mencoba sebisanya.
Anna pun masuk ke toko furniture yang memiliki review paling bagus.
"Selamat datang, Nona," sapa karyawan toko. Pria dengan stelan rapi itu melangkah mundur saat melihat dua pria di belakang gadis yang masuk ke toko.
'Mereka bukan penjahat, kan?' tanyanya dalam hati.
Glek!
Pria itu menelan salivanya. Gugup, plus takut.
"Ada yang bisa saya bantu, Non?" tanyanya dengan ramah. Setakut apa pun perasaannya, ia tetap harus mengutamakan keramahan.
Anna mengeluarkan kertas dari dalam tasnya, ia sudah mencatat beberapa hal.
"Ada banyak barang yang aku butuhkan, tapi aku tidak tahu, mana yang cocok dan tidak," ucap Anna. Ia memang bisa mencocokkan penampilan, tetapi sepertinya lebih sulit untuk mencocokkan barang dengan rumahnya.
Pria itu mengangguk, banyak orang yang datang ke tempatnya dan selalu gelisah dengan alasan yang sama. Masalah yang tak jauh berbeda.
"Apa Nona ingin menggunakan jasa desain interior?" tawar pria itu.
"Kebetulan saya mengenal seseorang yang bisa membantu nona," tambahnya.
"Bagaimana menurutmu, Lily?" Anna menatap Lily, dan wanita muda itu tampak ragu.
"Tapi, itu artinya kita harus meminta ijin pada Tuan lebih duli," ucap Lily dengan canggung.
Malik tidak suka kehadiran orang asing, dan sudah puluhan tahun, rumahnya tidak pernah menerima tamu selain orang yang dikenal.
Lily sedikit khawatir dengan reaksi tuannya nanti.
"Tenang saja, Nona." Pria itu menatap Lily, "kenalan saya ini sangat profesional. Dia bisa bekerja tanpa membuat keributan, dan hasilnya pasti sangat luar biasa."
Sebagai sallesman, ia sudah belajar bagaimana cara menarik perhatian customer. Ia tak hanya pandai bicara tetapi apa yang dia katakan mengandung sihir.
"Nona bisa menghubunginya lewat nomor ini," Ia menyodorkan card pengenal pada Anna.
"Baiklah, tapi aku harus bertanya dulu pada suamiku."
Tak jadi membeli furniture, sekarang mereka menghabiskan waktu di restoran cepat saji.
Baru melangkahkan kaki di restoran, Anna sudah menjadi pusat perhatian para pria. Namun segera melihat bodyguardnya, pria-pria itu langsung membuang muka.
"Duduklah," titah Anna pada Lily dan bodyguardnya itu.
Lily tampak ragu, sedang bodyguard itu hanya saling pandang.
"Aish!" Anna memijit tengah alisnya. "Come on, kalian tidak sedang di rumah. Jadi kalian tidak perlu khawatir tentang Malik, dia tidak ada di sini. Dia bahkan tidak bisa melihat apa yang kalian lakukan."
"Tapi, Non, itu tidak sopan. Kami—"
"Duduklah, Lily." Anna memerintah, kali ini dengan nada memaksa. Ia tak mau dianggap aneh oleh orang-orang.
"Ba-baiklah."
Akhirnya ketiganya duduk, Anna tersenyum lebar. Kenapa mereka sangat penurut sekali? Dan itu membuat mereka terlihat menggemaskan.
"Pesan apa pun yang kalian sukai. Oke. Aku yang traktir," Anna menyodorkan table menu.
Saat kecil, Anna selalu berpikir bahwa yang masuk restoran cepat saji hanya orang-orang kaya. Hanya orang yang punya duit lah yang bisa memesan makanan dan membeli minuman. Dan saat ia mengetahui itu tidak benar, Anna tidak memiliki kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman di restoran cepat saji. Karena saat ia memiliki uang, ia lebih memilih untuk menyimpannya. Ia tidak ingin menghambur-hamburkan uang.
"Anna?" Seorang pria tiba-tiba saja memanggil Anna.
Dan membuat dua bodyguard itu sontak menatap tajam ke arah pemuda itu.
"Kau, kau semakin cantik saja, Anna," puji pria tersebut. Tampaknya ia tak takut dengan bodyguard yang dibawa Anna.
"Apa kau punya ponsel? Boleh aku meminta nomormu?" tanyanya tanpa rasa malu sama sekali.