webnovel

Menolak Anna

Di lantai bawah, Erick berdiri dengan tatap emosi. Memandangi satu per satu wajah teledor yang membuat tuannya tertembak.

"Apa kalian sudah menangkap penembak itu?" selidiknya.

Tak ada jawaban, karena itu Erick menatap tajam Kai. Sang ketua kelompok tentu yang paling tahu jawaban dari pertanyaan itu.

"Maaf, Ayah. Tapi aku tidak berhasil menangkapnya," jawab Kai.

"Sepertinya penembak itu sudah sangat paham dengan keadaan gedung—"

"Jangan banyak alasan!" potong Erick. "Sebagai ketua kelompok, harusnya kau yang menjadi pelindung bosmu. Dan kalau perlu, kau yang ditembak!"

Kai bungkam. Jika dia menjawab, maka ayahnya tidak akan berhenti mengomel. Lalu, malam ini akan berakhir dengan ceramah yang tidak putus-putus.

Erick menarik napas panjang, wajah-wajah itu terlihat begitu lelah. "Baiklah, sekarang kalian bubar. Kecuali kau, Kai!" tunjuknya pada putranya.

Erick perlu menggodok putranya matang-matang agar tidak ada kesalahan kedua atau seterusnya.

"Lah, tapi Ayah, aku juga—"

"Diam! Ikut aku, sekarang!" perintahnya.

Dengan langkah malas, Kai mengekori sang ayah. Kadang-kadang dia berpikir, mungkin dia hanya anak pungut. Karena itu, Erick mendidiknya dengan keras— cenderung kejam. Lalu, mungkin tuannya lah, anak kandung yang sesungguhnya.

Bukankah sejak kecil pun, Kai dianaktirikan? Perhatian ayahnya tercurahkan hanya pada tuannya itu.

"Misi ini bisa jadi jebakan untuk Tuan, atau bisa saja hanya kebetulan," lontar Kai berpendapat.

Kerut di dahi Erick sangat dalam, dia pun berpikiran sama. Jebakan atau hanya kebetulan. Namun, apa pun itu, yang membuat Erick sangat kecewa adalah keteledoran putranya.

"Aku tahu aku salah, dan tidak ada pembelaan yang benar untuk kejadian ini," tambah Kai. "Tapi, coba pikirkan sisi positifnya Ayah." Kai mendekat, senyum palsu tersirat jelas di wajah pemuda itu.

"Bukankah karena Tuan terluka, Nona Anna jadi lebih dekat dengan Tuan?" ucap Kai.

"Kudengar, saat tahu Tuan terluka, Nona sendiri yang mengobati lengan Tuan dan bahkan sekarang mereka tidur satu ranjang. Bukankah itu hal yang baik, Ayah?" tambah Kai. Untuk memperdaya ayahnya sangat mudah, sudah bertahun-tahun Kai menggunakan trick semacam itu pada sang ayah.

Garis keras di wajah Erick memudar, pria itu menganggukan kepala, membenarkan ucapan putranya. Tetapi, hatinya juga menolak apa yang terjadi. Tuanny terluka dan seseorang yang patut disalahkan adalah putranya.

"Luka yang dialami Tuan, tentu membutuhkan beberapa hari untuk sembuh. Coba Ayah bayangkan, bukankah dalam kurun waktu itu, Tuan Muda dan Nona kemungkinan besar bisa saling jatuh cinta?" tambah Kai sebelum ayahnya kembali meragu dan mengomelinya lagi.

*

"Yang luka hanya tanganku, Anna. Bukan kakiku atau anggota tubuh yang lain, aku masih bisa melakukannya sendiri tanpa—"

"Sstttt-ssttt!" Anna menempelkan jari pada bibir Malik. Meminta suaminya itu berhenti mengoceh.

"Semua sudah siap, Nona," Lily sedikit membungkuk.

Air hangat, pakaian Malik, semua yang dibutuhkan Anna sudah disiapkan oleh Lily.

"Bagus, terima kasih banyak, Lily."

Setelahnya Lily keluar dari ruangan nonanya. Sesekali Lily melirik Anna dan Malik, senyum bahagia tercetak jelas di wajah pelayan tersebut.

"Iihhh! Nona so sweet banget, sih!" Lily tersenyum, memekik pelan.

"Kalau terus begini, Tuan dan Nona bisa ... ahhh!" Wanita itu bersemu merah, membayangkan hubungan Anna dn Malik melewati level yang disebut cinta, tentu adalah kabar yang sangat bagus.

"Aku harus memberitahu Pak Erick!" tandasnya. Kabar baik itu tidak boleh ditunda-tunda, Lily merasa harus segera melaporkan perkembangan hubungan Anna dan Malik.

"Ada apa Lily?" tanya Kai yang tak sengaja berpapasan.

Malik, Kai dan Lily, ketiganya bisa disebut sahabat masa kecil. Mereka tumbuh bersama dan saling peduli, meski mereka menunjukkannya dengan caranya masing-masing.

"Kau melihat ayahmu? Aku ingin memberitahu kabar yang sangat-sangat penting?!" Wajah Lily begitu cerah, secerah matahari pagi ini.

Kai memejamkan mata, "Sangat silau!" candanya. "Tatapanmu mengandung radiasi tingkat tinggi, Lily!"

Sementara itu, di kamar Anna, keduanya masih berdebat.

"Jadi kau tidak percaya padaku?" Anna melipat tangan di dada, memandang Malik tajam.

Malik mendesah pelan. "Tidak begitu, Anna. Bukankah sudah kubilang, aku bisa mandi sendiri. Tanganku mungkin terluka, tapi, kan, aku punya dua tangan. Dan satunya masih baik-baik saja."

Bagaimana bisa Malik membiarkan Anna memandikannya?

Sekalipun mungkin hal itu wajar, karena Anna adalah istrinya. Tetapi, Malik tidak bisa melakukan itu. Dia malu— hanya sedikit.

"Aku bisa sendiri, kalaupun aku butuh bantuan, aku pasti memanggilmu," kata Malik seraya berdiri.

Pria itu mencoba membuka kemejanya sendiri, dan sejauh ini dia bisa melakukannya dengan satu tangan. Sedangkan Anna memalingkan wajah, tak mampu melihat pesona Malik sepagi ini. Padahal tadi dia bersikeras menawarkan bantuan, lalu bagaimana bisa dia membantu kalau melihat tubuh Malik saja sudah membuat wajahnya merah seperti udang rebus.

"Ba-baiklah kalau kau memaksa," tandasnya.

Malik menatap Anna yang memunggunginya, dia berterima kasih untuk bantuan dan perhatian itu. Sayangnya, saat ini, Malik khawatir. Jika mereka berdua dalam kamar mandi, bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi? Ya, sesuatu yang buruk yang menimpa Anna.

"Ka-kalau kau membutuhkan bantuan, kau bisa panggil aku. O-oke?!" ucap Anna sedikit gugup.

Malik mengangguk, lalu masuk ke kamar mandi.

'A-ada apa ini? Ada apa?!' batin Anna.

Tangan gadis itu meremas dadanya, kenapa debaran itu semakin tak terkendali? Kenapa napasnya sulit sekali dia kendalikan?

Bahkan untuk pria-pria di masa lalunya, dia belum pernah merasakan hal seintens ini. Tidak pernah sekalipun, dia sangat menginginkan sampai membuat tubuhnya tersetrum seperti ini.

'Tenang Anna. Tenang!' intruksinya.

'Tarik napas, keluarkan! Tarik napas, keluarkan perlahan!'

Anna mengatur napasnya, otaknya saat ini butuh oksigen sebanyak mungkin. Anna perlu menjaga kewarasannya agar pikiran liar dan bodoh tidak menguasai dirinya.

Udara, ya betul, udara yang di butuhkan saat ini.

Malik merebahkan tubuhnya pada bath up, kedua tangannya berada di tepian bath up, sementara kepalanya menyandar dan merilekskan pikiran.

Malam kemarin, dia sempat kehilangan kendali. Dan Malik tidak pernah seperti itu, tidak pada wanita-wanita yang pernah mengejarnya atau pun pada wanita-wanita penjaja di luar sana, Malik tidak pernah seteledor itu.

"Aku harus lebih berhati-hati," gumamnya.

Malik tidak pernah menganggap wanita rendah, karena pandangan seperti itu, tentu sebuah penghinaan bagi wanita yang telah melahirkannya.

Sekalipun Anna adalah istrinya, tidak berarti gadis itu adalah miliknya dan dia bebas melakukan apa pun pada Anna. Tentu tidak, Malik tidak pernah menganggapnya demikian. Dia ingin Anna hidup seperti yang diinginkan oleh gadis itu sendiri.

Tapi apakah kendalinya mampu bertahan? Seberapa lama dia mampu menolak Anna dan menahan hasratnya itu?

Malik membasuh wajahnya, kemudian berdiri.

Jeng-jeng! Pria itu menghela napas berat, harusnya dia mandi dengan air dingin, bukan dengan air hangat seperti ini.