webnovel

Menjelajah Masa Lalu

"Hai, Anna." Gerald menyapa, ia membawa dokumen di tangannya.

"Di mana suamimu? Ah, pasti dia di ruang kerjanya." Gerald bertanya dan menjawabnya sendiri.

Anna menyunggingkan senyum, awalnya dia tak begitu ramah dengan kehadiran Gerald. Tetapi, saat ini, ia sudah terbiasa dengan keberadaan Gerald.

"Apa kau mau menemaniku?" Gerald bertanya lagi.

Berjalan sendiri di rumah Malik yang besar dengan lorong yang panjang, seperti orang gila yang kesepian, setidaknya dengan ditemani Anna, ia bisa menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan gadis itu.

Anna berdiri dari tempat duduknya, ia tidak keberatan. "Baiklah."

Keduanya lantas berjalan beriringan. Untuk beberapa menit, tidak ada pembahasan, sampai akhirnya Anna memberanikan diri untuk memberi pertanyaan.

"Perihal Malik, apa kau tahu sesuatu tentang apa yang dia sukai atau seperti apa wanita yang pernah dekat dengannya?" tanyanya.

Gerald sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.

"Ah, sialan!" Gerald mengumpat, "anak itu pasti tidak mengatakan apa-apa ya?"

Mengingat bagaimana sikap Malik yang pendiam —pendiam yang sudah kelewatan— sudah sangat dipastikan kalau Malik melupakan hal-hal sesimple itu.

Anna tersenyum tipis, yang ia tahu tentang Malik tidak sebesar jari kelingkingnya. Malik juga sepertinya tipikal pria yang tidak suka berbagi cerita.

"Dengarkan aku, Anna," Gerald memerhatikan sekitar. Sepi. Ia pun mencondongkan wajahnya, dan berbisik, "Suamimu itu masih perjaka."

Ya, perjaka!

"Dia tidak pernah dekat dengan siapa pun, kamulah satu-satunya dan wanita pertama yang bisa berdiri dengan jarak yang sangat dekat. Asal kau tahu, Malik langsung menjauh saat ada wanita yang berusaha mendekatinya," ucap Gerald dengan nada pelan.

"Benarkah?" Alis Anna terangkat sebelah.

Apa suaminya memang seperti itu? Meski penampilan dan rupanya memikat, apa tidak ada satu pun wanita yang mampu menaklukannya?

Gerald menganggukan kepalanya, "Kupikir dulu itu semua karena orientasinya berbeda. Kau tahulah, pria dengan pria," tuturnya.

Dan siapa sangka, pria yang sikapnya dingin itu sekarang sudah menikah. Plusnya wanita yang dinikahi Malik di atas rata-rata. Luar biasa cantik.

'Tunggu dulu!' Gerald memerhatikan Anna dari atas sampai bawah.

'Jangan-jangan mereka pun belum melakukan hal penting itu!' pikirnya.

Jika benar itu yang terjadi, Gerald benar-benar speechless.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih karena sudah mengantarku ya, Anna." Gerald masuk ke ruangan Malik, sementara Anna langsung meninggalkan tempat itu.

"Heii, Malik!" Gerald melangkah dengan mantap, juga emosi.

Ia membanting meja, meletakkan dokumen yang ia bawa dengan kasar.

Malik mengernyit, tiba-tiba datang dengan emosi. Apa yang terjadi? Apa Gerald tidak waras?

"Jangan bilang kalau kau dan Anna belum melakukan itu!" tandas Gerald.

Hanya pria bodoh yang tidak bisa melakukannya, hanya pria berkelainan yang tidak suka pada Anna. Gadis itu sempurna secara fisik, apalagi bagian atasnya juga menarik perhatian mata.

Malik menatap datar. Tak peduli. Ia malah meraih dokumen dan membacanya, mengabaikan Gerald.

"Jadi benar?" Gerald bertanya lagi, lalu mendesah kasar.

"Itu bukan urusanmu," kata Malik.

Dalam keluarganya, satu-satunya orang yang dia hormati hanya Storm. Selain itu, Malik bersikap sewajarnya saja.

"Ck!" Tangan Gerald terasa gatal, apa tidak ada palu untuk memukul kepala Malik? Kalau bisa sampai gegar otak.

"Inti pernikahan itu, tidak hanya kau dan dia tinggal satu atap. Tetapi juga memiliki keturunan. Mungkin kau berpikir itu tidak penting, lalu apa kau pernah memikirkan Anna? Apa kau tidak ingin tahu pendapatnya?" Gerald berceloteh.

Sebagai pria yang lima tahun lebih tua, Gerald sudah mengalami pasang surut sebuah hubungan. Ia paham apa yang diinginkan wanita, tetapi ada yang tidak bisa ia beri, yaitu kepastian. Gerald tak ingin memusingkan diri dengan pernikahan, karena ia tahu, pernikahan tak hanya sekedar janji pada Tuhan, dan Gerald tipikal pria yang tidak bisa memegang janjinya sendiri.

"Asal kau tahu tadi, Anna bertanya padaku," kata Gerald.

Dan ucapan itu berhasil menarik perhatian Malik.

"Apa yang dia tanyakan?" Malik meletakkan dokumen, mulai penasaran.

'Sialan! Anak ini benar-benar bodoh!' batin Gerald.

Ia pikir kehidupan Malik sudah berubah, nyatanya tidak. Pria itu masih sama, tidak mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain.

"Tanyakan pada istrimu sendiri. Intinya, kau harus lebih memerhatikan Anna, jangan hany bekerja saja!" Gerald memutar tubuhnya, meninggalkan ruangan Malik.

"Oh ya, jangan lupa, Bapak ingin kau segera menumpas penyelundup itu sebelum kepolisian membereskannya. Jangan biarkan mereka mengambil panggung kita, Malik!"

Pintu itu pun tertutup sempurna. Meninggalkan Malik dengan sejuta penasaran. Apa yang dibicarakan oleh Anna dan Gerald?

*

"Nona, ini jusnya." Lily meletakkan jus semangka.

"Duduklah, Lily," titah Anna. Dia membutuhkan teman bicara, lebih tepatnya ada hal yang ingin dia tanyakan.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" tanya Anna memulai percakapan.

"Sejak Tuan Malik masih kecil, Non," sahut Lily.

Ia dan Kai adalah teman sepermainan Malik. Mereka anak pelayan, tetapi diperlakukan seperti bagian dari keluarga Adam sendiri. Ia juga sekolah di tempat yang sama dengan tuannya, pun mendapat fasilitas yang sama. Dan, pada akhirnya di saat kecelakaan terjadi, Lily tidak ingin meninggalkan rumah keluarga Adam, meski beberapa pelayan pergi. Ia ingin bersama dengan Malik, karena di matanya, Malik tidak hanya sekedar majikan, melainkan juga saudaranya.

"Berarti, kau sangat tahu tentang Malik, ya, Lily?" tanya Anna lagi.

Lily tersenyum tipis, kemudian muram.

"Saat kecil, mungkin saya sangat mengenal Tuan Malik, tetapi sekarang ...." Ada getir dalam nada suara Lily. "Tuan lebih sering menutup diri. Saya tidak tahu, apa Tuan Malik yang sekarang masih sama dengan yang dulu atau tidak."

Sejak kematian majikannya, Malik lebih sering mengurung diri. Tidak seperti dulu yang terbuka. Lily tahu bahwa perusahaan majikannya masih dijalankan oleh Malik, tetapi untuk beberapa tahun terakhir, pembangunan besar-besaran terjadi. Kediaman Adam diubah total. Ia juga mendengar bahwa perkembangan perusahaan pun tidak terlalu pesat.

Lalu dari mana tuannya mendapatkan semuanya?

Dan, orang-orang yang datang ke rumah, mereka menghadirkan hawa yang tidak dimengerti Lily.

"Aku yakin, Malik pasti masih sama seperti dulu, Lily." Anna optimis dan percaya.

Lily menatap Anna, gurat senyum di wajahnya mulai bersinar.

"Semoga, Non," kata Lily.

Percaya di antara ketidakpastian itu adalah hal yang langka. Lily tidak pernah berhadapan dengan wanita yang membawa aura positif yang luar biasa.

"La-lalu, apa kau tahu Malik pernah menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak?" Anna bertanya, sedikit malu. Hari ini, ia terus menanyakan hal yang sama. Seakan tak puas.

Masak pria seperti Malik tidak pernah menjalin hubungan?

Lily mengusap dagu, berpikir dan mengingat-ingat.

"Sepertinya ... tidak ada, Non." Lily yakin. "Tuan itu tipikal pria yang kalau udah fokus sama satu hal, ya dia hanya fokus pada hal itu. Dan, terkait hubungan, sepertinya dari dulu pun, Tuan tidak begitu tertarik dengan itu."