"Selamat pagi, Nona," seorang wanita muda berdiri di samping ranjang Anna.
Gadis yang baru saja terbangun itu pun mengerjap, dia sudah terbiasa dengan kehadiran pelayan itu.
"Pagi juga, Lily," balas Anna.
Lily, wanita yang dua tahun lebih tua darinya itu adalah pelayan yang bertanggung jawab secara penuh atas dirinya. Mulai dari Anna bangun tidur, pakaian apa yang akan dipakainya, juga mengurus makanan apa yang akan dihidangkan untuk Anna.
"Untuk apa pakai high heels?" Alis Anna terangkat sebelah.
Dua pelayan di sebelah Lily yang membawa dress juga high heels berwarna hitam saling bersitatap.
'Apakah dandanan hari ini sedikit berbeda?' pikir Anna dalam hati.
Lily menatap rekannya, lalu menatap Anna.
"Maaf sebelumnya Nona, sepertinya Tuan belum memberitahukan hal ini," Lily menjelaskan dengan setengah membungkuk.
"Hari ini, Tuan mengajak Nona untuk menghadiri acara peresmian perusahaan kenalan Tuan," jelas Lily.
Peresmian?
Hanya mendengarnya saja, Anna sudah bisa membayangkan acara apa yang akan dia hadiri. Tentu acara yang hanya berisi orang-orang elite, kelas atas.
"Ck! Kenapa Malik tidak membicarakan hal ini lebih dulu denganku?" Anna turun dari ranjang dengan raut wajah kesal.
Harusnya Malik bertanya padanya lebih dulu sebelum membuat keputusan. Lagi pula, kenapa Malik mengajaknya? Anna tidak tahu apa yang dibicarakan oleh orang-orang elite saat bertemu. Anna juga tidak tahu apa pun tentang bisnis atau pun topik apa yang biasanya menjadi perbincangan di antara orang kaya.
"Sebentar, aku harus bicara dulu sama Malik," Anna berjalan keluar kamar.
Lily memerintahkan pelayan itu meletakkan pakaian nonanya di ranjang, kemudian menyuruh mereka mengatur air hangat untuk sang majikan.
"Ibu tidak perlu khawatir," suara yang tak asing. Langkah Anna terhenti, mengintip sosok yang berdiri, yang sedang berbicara dengan ibunya.
"Perihal sekolah Aldo dan Kevin biar aku yang membiayai sekolah mereka, Ibu juga tidak perlu bekerja, aku yang akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Malik.
Napas Anna tertahan, disusul dengan debar dada yang berdetak tak karuan. Anna menyentuh dadanya, ada rasa khawatir, dia takut hatinya berubah. Dia takut jika akhirnya dia jatuh hati pada Malik. Ya, dia takut jika itu benar-benar terjadi, kemudian dia dikecewakan oleh perasaannya sendiri.
Anna tidak pernah beruntung dalam asmara. Selama ini, pria yang menjalin hubungan dengannya selalu melihat fisiknya saja, mereka tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, bukankah di malam pertama, Malik meninggalkannya? Malik pun tampak tak tergoda dengan tubuhnya sama sekali.
Entah kenapa hati Anna semakin berharap, tetapi untuk membuktikan Malik tidak tertarik pada tubuhnya, tentu Anna harus melakukan sesuatu untuk mengkonfirmasi kebenaran tersebut. Bisa saja Malik hanya pura-pura, pikir Anna.
Anna menyandarkan punggung pada dinding, ibunya dan Malik masih mengobrol. Pembicaraan yang membuat degup dada Anna semakin aneh. Semakin mengagumi sosok suaminya.
"Terima kasih, Nak. Tapi masalah tempat tinggal, ibu sudah memikirkannya," tutur Geeta. "Ibu akan tinggal di sini sampai rumah selesai dibangun."
Geeta harap Malik tidak keberatan dengan keinginannya itu, Geeta tak ingin merepotkan Malik lebih dari ini.
"Baiklah, kalau itu yang Ibu ingin," Malik tentu tidak bisa memaksa mertuanya. Namun, dia memiliki banyak cara agar mertuanya tidak keluar dari rumahnya.
Ya, Malik membutuhkan keluarga Anna agar istrinya itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak. Malik tidak percaya dengan ikatan pernikahan, kesetiaan hanya akan dia dapatkan dengan dua hal. Uang dan sandera.
Anna yang tadinya ingin bertemu Malik, kini kembali ke ruangannya. Gadis itu mengusap dadanya. Bahkan sampai detik ini, debaran itu tetap tak mereda.
"Apa Nona sudah bertemu dengan Tuan?" tanya Lily.
Anna menggeleng, "Sepertinya dia sibuk."
Gadis itu mulai mandi, aroma therapy yang dipakai pelayan sangat menenangkan kepalanya. Anna sangat menyukai aroma greentea dari lilin tersebut.
'Dia baik,' batin Anna mengomentari sikap Malik.
Mungkin awal kenal, suaminya menampakkan wajah keras dan pemarah. Namun, cap buruk itu terhapuskan dengan sikap Malik beberapa hari terakhir. Anna seakan menemukan sosok lain yang ada dalam suaminya.
"Hah ...," Hela napas Anna terdengar berat.
Lagi dan lagi, kekhawatirannya membuat Anna kesulitan dalam menentukan pilihan.
"Baiklah!" Anna memantapkan hati, gadis itu menatap pantulan wajahnya di permukaan air. "Aku harus menguji Malik!" tandasnya dengan tekad yang kuat.
Daripada ragu dan sedih tanpa alasan yang belum jelas, Anna memilih untuk menghadapinya dengan sikap optimis.
Setelah menyelesaikan mandinya, Anna dengan kimono handuknya keluar.
"Ganti dress itu, Lily," perintahnya, "ambilkan aku one shoulder dress yang kemarin aku beli."
"Baik, Nona."
Dibantu oleh pelayannya, Anna menginstruksikan apa-apa saja yang dia ingin. Dia memang tidak pandai berdandan, tetapi Anna pandai memilih apa yang baik untuknya. Dia mampu memantaskan make up dengan dress yang dia inginkan. Dan hal ini sudah menjadi kelebihannya, Anna mampu memikirkan dan membayangkan bagaimana dirinya, bahkan sebelum dia berdandan.
Beberapa menit berlalu.
Anna sudah siap. Bibirnya yang padat kini tampak sensual dengan polesan lipstick berwarna maron, goresan alis dan pulasan blush on menyempurnakan kecantikan yang dia miliki. Lalu, one shoulder dress yang ketat, memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan sempurna. Dan untuk pertama kalinya, Anna merasa bangga dengan bantalan atasnya yang besar. Ya, dia bangga karena dengan itu, dia terlihat seksi dan menggairahkan secara alami.
"Saya rasa Nona lah yang akan menjadi pusat perhatian ketimbang dengan acara itu sendiri," kata Lily. Kecantikan nonanya bertambah berkali-kali lipat, Lily yakin siapa pun yang melihat nonanya, pasti mengira kalau Anna adalah model.
Anna tersenyum tipis. "Kau terlalu berlebihan, Lily. Di sana pasti banyak wanita yang lebih cantik dariku."
Anna meremas tangannya, dia sedikit khawatir. Dalam hidupnya, dia tidak pernah menghadiri acara pun, dan sekarang, dia malah hadir di acara orang-orang elite. Bagaiman kalau dia malah mempermalukan suaminya?
"Tuan Malik," ucapan Lily membuat Anna sadar bahwa di depannya kini sudah berdiri suaminya.
Anna menatap Malik, begitu pun dengan Malik.
"Ayo berangkat," kata Malik singkat.
Anna tertegun, detik yang lalu, dia berharap Malik akan menatapnya dengan tatapan mesum. Dengan tatapan pria liar yang hanya memikirkan hal kotor. Namun apa yang terjadi, tidak sesuai dengan pemikirannya.
Malik hanya menatap datar, memujinya saja tidak. Padahal Lily tadi memujinya.
"Cepatlah, Anna! Aku tidak suka terlambat!" tandas Malik dengan suara mengeluh, seolah-olah Anna sudah menghabiskan bermenit-menit.
"Tunggu, Malik! Kau pikir berjalan memakai high heels itu mudah!" ketus Anna kesal.
Harusnya yang Anna dengar adalah pujian. Bukannya keluhan tidak mengenakan seperti itu.
"Ck!" Anna berdecak, suaminya bahkan tidak mau menunggunya sama sekali. Malik tetap berjalan cepat meski tahu Anna tidak bisa mengikuti iramanya.
"Dasar nggak peka!" ketusnya.