Anna mengenakan gaun malam berbahan satin, ia duduk di tepi ranjang seraya berpikir. Menelaah apa yang terjadi hari ini, membaca tiap ekspresi yang tercetak di wajah Malik, tetapi sekeras apa pun dia memikirkannya, Anna tidak mampu membaca ekspresi suaminya yang datar, seperti papan triplek.
Apa benar Malik berbeda?
Anna takut jika dia terlalu berharap, kemudian patah karena harapannya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Pasalnya, dia sudah lelah berharap pada sesuatu yang tidak pasti.
"Cih!" Anna berdecak, berdiri dari tempat duduknya. Mondar-mandir tak jelas di samping ranjangnya.
"Kenapa pria itu hebat dalam berakting?" Anna kesal.
Dalam perjalanan cintanya, Anna sudah sering dibohongi oleh pria. Mereka hanya baik di awal, berpura-pura tidak menginginkan, tetapi pada akhirnya, mereka hanya pria otak selangkangan.
Anna tidak akan terjebak dengan Malik! Gadis itu yakin bahwa Malik hanya menutupi sikap buruknya, jika Anna terhanyut dengan perasaannya, maka hilang sudah pertahanan yang selama ini dia bangun.
"Aku tidak akan tertipu!" gumamnya dengan tekat yang sangat kuat.
*
"Kenapa kau memberikan Anna pakaian yang seperti itu, hah?!" Malik murka. Di balik sorot matanya yang gelap, ada amarah yang begitu besar, tak terbendungkan.
"Aku sudah memintamu untuk memberinya dress yang biasa. Bukan dress kurang bahan dan ketat seperti itu!" Malik mengebrak meja dengan keras.
Lily tersentak, terkejut dengan bunyi keras tersebut.
"Maafkan saya, Tuan," sahut Lily. Ini memang salahnya, sekalipun yang memilih dress tersebut adalah Anna. Tetapi tetap saja, dia yang salah. Malik sudah memerintahkan untuk memberikan Anna dress yang sudah dia pilihkan, namun akhirnya, Anna tidak memakai dress tersebut.
Malik hening, dan keheningan semakin membuat Lily bergetar ketakutan. Apa yang dipikirkan oleh tuannya? Wanita itu khawatir, jika Malik sampai memecatnya atau bisa saja, Malik mencongkel matanya?
Ah! Pikiran Lily mendadak membayangkan hal yang seram-seram.
Malik mengembuskan napas besar, marah tidak akan menyelesaikan masalah, dan dia tahu akan hal tersebut. Apa yang terjadi tidak akan kembali, walaupun dia tetap emosi saat dia kembali mengingat bagaimana pria-pria itu menatap istrinya dengan tatapan yang membuat darahnya mendidih.
Malik memijit pelipisnya, "Baiklah. Dengarkan baik-baik, aku tidak mau kau mengulang kesalahan seperti ini. Paham!?"
Lily mengangguk, membungkuk, lalu keluar dari ruang tuannya.
Malik berusaha mengalihkan emosinya dengan bekerja. Dia langsung menyambar laptop, mengetik beberapa hal.
"Kenapa dia harus menunjukkan bentuk tubuhhya seperti itu?" Malik berhenti, kembali memikirkan apa yang terjadi.
Malik memang selalu menunjukkan sikap tak acuh, dan datar. Namun bukan berarti dia tak peduli. Bukan berarti dia tidak terganggu, dia sangat terusik dengan kejadian hari ini.
Malik melangkah menuju lemari kaca, meraih salah satu red wine favoritnya, lalu meneguk langsung dari botol.
"Sial!" umpatnya seraya menyeka tetes wine di sudut bibirnya.
Tidak hanya karena dress itu, Malik juga kesal, karena Anna tidak waspada dengan orang asing. Jika Malik tidak memerhatikannya, entah apa yang akan terjadi. Bagaimana kalau seseorang memasukkan sesuatu ke dalam minumn itu?
Waktu terus berlalu, dan tanpa terasa, satu botol itu habis.
Malik menutup laptopnya, saat ini otaknya tidak bisa diajak bekerja. Dengan langkah sedikit sempoyongan, Malik berjalan menuju keluar.
"Biar saya bantu, Tuan," tawar pengawalnya.
Melihat tuannya sedikit kesulitan, tentu dia langsung menawarkan bantuan. Dia memapah Malik, sementara itu, kesadaran Malik mulai menipis. Malam ini, sepertinya dia terlalu banyak minum.
Tok-tok-tok.
Mendengar ketukan di pintu membuat Anna yang belum tertidur beranjak turun dari ranjang.
Siapa yang datang malam-malam seperti ini?
"Maaf mengganggu tidur, Nona."
Anna mengangguk, tatapan matanya berpusat pada sosok yang dibawa oleh pelayan itu. Kenapa dia membawa Malik ke kamarnya? Bukankah suaminya itu punya kamar sendiri?
Pengawal itu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Saya hendak membawa Tuan masuk ke kamarnya, tetapi tadi saya bertemu dengan ibu Nona."
Dia berpikir membawa tuannya ke kamar seperti biasa, tetapi hal itu dicegah oleh ibu Anna sendiri.
Mata Anna terbelalak, dia sudah paham apa maksud pria tersebut. Anna pun membuka pintu dengan sempurna, mempersilakan pria itu membawa Malik.
Pria itu membaringkan tubuh Malik ke ranjang, melepas sepatu dan kaos kaki tuannya. Sedangkan Anna memerhatikan, meski pelayan dan pengawal rumah takut pada Malik, tetapi mereka juga sangat peduli pada suaminya. Hal itu bisa dia lihat dari bagaimana cara mereka menghadapi Malik.
"Maafkan saya, Nona," pengawal itu membungkuk lagi.
"Tidak, ini bukan salahmu," tandas Anna mengerti. Kalaupun dia berada di posisi si pengawal, tentu dia membawa Malik ke kamarnya.
"Kalau kau tidak melakukannya, ibuku pasti berpikir yang tidak-tidak," tambah Anna.
Pernikahan Anna sah secara negara dan agama, tetapi mereka tidak tidur dalam satu kamar. Anna memiliki kamar sendiri, dia seperti tamu di rumah itu. Jika ibunya tahu, tentu sang ibu berpikiran bahwa mereka hanya mempermainkan pernikahan. Anna tidak ingin ibunya berpendapat demikian.
"Kalau begitu, saya akan mengecek keadaan dulu. Kalau aman, saya akan membawa Tuan kembali ke kamarnya," ucap pengawal itu.
Anna menggeleng, tampak tidak setuju. "Tidak perlu. Biarkan Malik tidur di kamar sini."
"Ba-baik, Nona."
Setelahnya, pengawal itu keluar dari kamarnya. Kini tinggal Anna dan Malik di ruang itu. Anna berdiri beberapa meter dari ranjang, dia melirik Malik yang sudah tak berdaya. Dan perlahan, dia berjalan mendekat.
Anna duduk di samping Malik, menatap garis wajah yang sempurna tanpa ada kecacatan. Tangan Anna bergerak sendiri, menyentuh bibir padat nan sensual itu. Bagian yang selalu membuatnya terhipnotis. Anna lalu merendahkan wajahnya, logikanya tertutup oleh desakan untuk menikmati bibir yang merah itu.
"Tidak-tidak!" Anna menggeleng cepat, apa yang dia pikirkan?
Suaminya sedang tidak sadar, dan dia malah memanfaatkan keadaan. Bukankah Malik pun pernah ada di kondisi seperti ini, tetapi suaminya tidak melakukan apa pun.
Anna berusaha menahan diri.
'Bodoh kau Anna!'
Suara di kepalanya mengumpat.
'Memang kau tahu dia tidak melakukan apa pun padamu? Saat itu kau tidak sadar!'
Anna bersedekap dada, memejamkan mata. Pertarungan dengan iblis jahat di hatinya dimulai.
'Dia bisa saja melakukan sesuatu, atau jika dia tidak melakukan apa pun, tetapi kau tetap tidur dalam keadaan tidak memakai apa-apa saat itu. Bisa saja dia memandangi tubuhmu semalaman?!'
Anna mengangguk, mengiyakan. Itu benar.
Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi malam itu, hanya ada Malik di kamar, dan dia berada di ranjang Malik setidaknya selama 6 jam. Dalam rentan waktu selama itu, apakah Malik benar-benar hanya tidur?
Anna membuka satu matanya, melirik Malik yang tidur lelap seperti bayi. Malik tidak mungkin tiba-tiba bangun, dan kalau pun Malik terbangun, tentu tidak akan langsung tersadar. Itu yang menjadi patokannya.
Anna merendahkan wajahnya, manik hitamnya fokus menatap bibir itu. Untuk pertama kalinya, Anna dikalahkan oleh dirinya sendiri. Gadis itu mencium seorang pria.
Anna tidak pandai berciuman, tetapi bibir Malik yang beraroma wine membuatnya betah melumatnya lebih lama.
Dan, ciuman sepihak itu, mendapat balasan dari si empunya bibir.
"Hummphh!"