BAB 11
Zurich, Swiss.
Sesampainya di Zurich, Apo langsung menyelesaikan urusannya dengan cepat. Hari pertama, dia pulang ke hotel pada pukul 5 sore. Lalu makan malam sambil menonton berita.
Jujur, Apo sempat heran karena tidak cemas hingga dia sampai di tujuan. Mungkin karena Mile sudah mengikatnya secara resmi, apalagi Prenuptial Agreement mereka tercantum dalam akta bermaterai. Apo jadi sangat-sangat tenang, bahkan meski meninggalkan sang Alpha di tanah air.
Apo juga tidak muntah-muntah lagi. Dia sangat sehat dan cekatan mengerjakan sesuatu, bahkan sempat keliling Zurich pada malamnya. Niat awal sih hanya melihat-lihat kota. Namun, setelah menemukan toko buku berplang 'Mit der Sonne', Apo pun tertarik masuk ke dalam. (*)
(*) Bahasa Jerman: artinya "Bersama Mentari".
Di sana Apo mengecek beberapa buku bisnis kekinian. Tapi setelah jalan-jalan ke lantai dua, dia tertarik ke sebuah buku bertema parenting. Well, agak menggelikan rasanya menyentuh bagian cover. Anehnya Apo memandang gambarnya berlama-lama, lalu menyentuh perutnya yang mulai buncit.
"Hmm, tidak buruk juga kalau kubeli yang ini," kata Apo. Lalu pulang dan membaca-bacanya sebelum tidur. Lelaki itu menikmati segelas susu sambil meneliti tiap halaman. Kemudian turun ranjang hanya untuk melihat perubahan bentuk badannya.
Apo pun berdiri di depan cermin. Dia melepas sweater hangatnya ke lantai, lalu meneliti gundukan kecil yang mulai menghilangkan otot delapan pak-nya.
"Rasanya lebih besar daripada yang di gambar? Jangan bilang kalau isinya monster sungguhan ...." gumam Apo. Dia tidak mau menyentuhnya lama-lama, kemudian berpakaian lagi sebelum membaca ulang bagian siklus bulan pertama.
Ini sudah masuk awal minggu keempat, yang artinya hampir 2 bulan pada perempuan beta. Harusnya si janin baru sebesar biji stroberi atau jeruk, tapi Apo mengernyit karena ingat perutnya sendiri.
Hmmm ... apa dia harus memikirkan style berpakaian yang baru? Apo beruntung karena selama di kantor sering menggunakan long coat panjang. Jadi, dari samping perubahan itu takkan terlihat kecuali orang-orang memang jeli dengan kehamilannya.
"Baiklah, pakai yang semi formal saja mulai sekarang. Lebih mudah menyamarkan," gumam Apo sebelum menghubungi stylish pribadinya.
Pada keesokan pagi, Apo sudah berganti penampilan daripada biasanya. Dia belanja cukup banyak barang sebelum dikirim ke Thailand, lalu melanjutkan pekerjaan yang masih tersisa.
[Mile: Apo, semua masih baik-baik saja? Tidak apa-apa kalau hanya dibalas sekali. Setidaknya jawab pesanku dalam satu hari]
Apo baru mengecek chat Mile pada hari ketiga. Seperti dugaan, isinya tidak jauh-jauh dari teks bernuansa khawatir. Bukannya menjawab macam-macam, Apo hanya mengirimkan beberapa foto pemandangan Zurich pada calon suaminya.
Mile sebenarnya menelpon tiap 5 jam sekali. Namun, Apo hanya menatap notifikasi panggilan tak terjawab di ponselnya sebelum memasukkannya ke saku sampai mati sendiri.
Ini bukan kebiasaan baru, sih. Apo selalu begitu sejak memegang ponsel pertama kali, walau tetap mengecek inbox dan panggilan kalau ada yang dianggap urgen (seperti situasi Gulf butuh bantuan misalnya? Namun, jika tak sampai mengancam nyawa, Apo tetap mengerjakan apa yang ingin dia kerjakan).
Lelaki itu belum terbiasa diberisiki hingga sekarang. Pesan dari kolega kerja saja dibaca setelah urusan di luar selesai. Dan Apo benar-benar konsentrasi penuh selama terjun ke lapangan. Tidak heran jika dia ada di posisi sekarang.
"Sir, möchten sie die kinderkleidung unseres Shops sehen?" tanya seorang shopkeeper ketika Apo berdiri lama di depan rak tokonya. (*)
(*) Bahasa Jerman: "Permisi, Tuan. Apa Anda suka baju-baju anak di toko kami?"
DEG
"Oh, iya. Maaf, aku tadi sedang melamun," kata Apo dengan senyum yang terkembang. "Bagaimana? Aku tadi ke sini mau membeli syal."
Shopkeeper manis itu pun balas tersenyum, lalu membawa Omega tampan di depannya untuk memilih-milih.
Apo juga heran pada diri sendiri. Kenapa malah melipir ke rak baju anak? Dia bahkan belum bisa melihat jenis kelamin si kecil ini. Otaknya pasti sudah mulai gila.
"Jadi harus menunggu hingga usianya dua bulan," gumam Apo sambil menyantap makan siang. Dia membuka-buka buku tadi malam lagi, karena sempat ketiduran dan belum menyelesaikannya. (*)
(*) Kalau untuk perempuan beta/normal, jenis kelamin janin bisa dilihat pada umur 4 bulan ke atas.
"Shiaaa! Apa organku akan naik seperti ini?" maki Apo sampai kehilangan nafsu makan. Dia menatap gambar ilustrasi dalam buku, lalu memelototi si janin besar yang mendesak organ 'papanya' hingga ke atas. Mulai dari usus, lambung, hingga paru-paru ... semuanya terjepit di antara rusuk dan bisa menyebabkan asam lambung plus magh naik ke kerongkongan.
Oh, shit. Apo pasti susah makan kalau waktu itu tiba, bahkan menelan saja (katanya) pasti sakit dan terasa panas.
"Aku harus membunuh Mile kalau sudah pulang nanti," kata Apo yang langsung menutup buku tanpa lanjut baca lagi. "Atau kukebiri saja penisnya. Ya Tuhan, bocah ini akan menyiksaku tidak lama lagi."
Sampai pada hari ketujuh tiba, Apo yang dijemput Mile di Bandara Suvarnabhumi malah memberikan buku parenting daripada datang ke pelukan Alpha-nya.
Mile pun sia-sia mendatangi dengan lengan terentang, lalu bingung karena judul bukunya berbahasa Jerman. Fuck! Mile memang tidak fasih dengan bahasa yang satu itu karena wilayah kerja sama perusahaannya bukan di sana.
"Ini apa, Apo?"
"Bekal."
"Hah?"
"Aku mau langsung tidur saja," kata Apo. Dia bahkan meninggalkan sang manajer sejak berangkat hingga pulang ke Bangkok. Lalu terpejam setelah masuk ke mobil Mile.
"Tuan Natta, Tuan Natta," panggil Yuze si manajer. Gadis beta itu berlari sambil menyeret mini koper, lalu memberikan berkas Apo kepada Mile karena tertinggal di pesawat. "Ini, Tuan. Maaf kalau jadi merepotkan."
Mile pun mengangguk dengan senyuman. "Tak apa. Sekarang pulang dan beristirahatlah. Terima kasih sudah menemaninya."
Manajer blasteran China-Thailand itu malah meringis. "Ahh, Tuan Natta suka keluar sendiri selama di sana. Beliau meminta saya datang kalau sedang di lapangan saja."
DEG
"Sungguh?"
Yuze hanya mengangguk masam, lalu permisi ke mobil jemputan perusahaan.
Mile pun menghela napas panjang, tapi dia tidak menasihati Apo macam-macam. Yang penting Apo baik-baik saja, dan dia mengecup bibir sang Omega begitu masuk mobil.
"Apo ...."
Menyadari masih di parkiran bandara , Apo pun membuka mata. "Kita kapan pulangnya?"
"Nanti. Sebentar aku sedang senang Omega-ku pulang."
"Aku capek, asal kau tahu saja," kata Apo. Mile pun batal mengecup untuk kedua kali. Lelaki igu menatap Apo sesaat sebelum menyentuh perutnya. "Hei—"
"Dia juga baik-baik saja," kata Mile dengan senyum yang merekah. "Kupikir kenapa tidak membalasku berhari-hari."
"Jangan berlebihan, bisa? Aku ini sudah sabuk hitam taekwondo semasa kuliah," kata Apo tersinggung.
"Hm, hm. Sabuk hitam pun harus tetap memikirkan bayinya kalau sedang mengandung," kata Mile selembut mungkin. Dia lantas membawa Apo pulang ke mansionnya, karena tempat pertunangan lusa lebih dekat jika berangkat dari sana. Apo sebenarnya enggan karena ingin tidur sampai berputar-putar setelah kerja, tapi Mile tetap bersikeras agar Apo tidak lelah dua kali lipat perjalanan.
Well, selama itu masuk akal, Apo memang ikut kepada Mile mulai sekarang. Namun, jika sebaliknya, dia pasti akan mempertahankan pendapat meski harus menghancurkan dunia. Begitulah Apo Nattawin Wattanagitipat. Mile mulai paham Omega-nya lebih dalam, meski gemas luar biasa karena Apo berteriak kaget saat dipeluknya di kamar tidur.
DEG
"AAAAAA!! SHIAAA!!"
Mile sampai tersentak dengan mimik syok di wajahnya, tapi kemudian mengulangi pelukan itu perlahan-lahan. "Hei, aku hanya ingin menghangatkanmu dari udara luar. Kau kan pulang malam dan baru mandi selarut ini."
Apo pun mengusap wajahnya yang langsung memanas, kemudian berbalik agar wajahnya tenggelam di dada Mile.
Jangan sampai lelaki Alpha ini melihat! Jangan sampai dia memperhatikan! Apo memang belum terbiasa disentuh karena bercinta sungguhan pun baru sekali hingga sekarang.
"Oke, ya sudahlah!" kata Apo yang berkata apapun tanpa berpikir. "Jangan pegang-pegang lain saja. Aku ini butuh banyak istirahat, ingat? Minimal 8 jam kalau kata dokter."
Mile hanya menahan senyum sebelum menarik selimut mereka hingga sebatas bahu. "Haaa ... kalau seperti ini saja baru beralasan macam-macam," batinnya. "Aku ternyata beruntung sekali menjadi yang pertama waktu itu. Ha ha ha ...."
"Mile, tidur."
"Oh, ya."
"Matikan lampunya atau aku yang matikan nyawamu setelah ini."
Mile pun cepat-cepat me-remote lampu utama agar meredup. "Hm, good night," katanya. Lalu membenamkan hidung di helaian surai Apo yang memiliki aroma khas.
"Hrrm. Night," jawab Apo dengan suara seraknya.
Sial. Mile sangat-sangat merindukan aroma ini, tapi harus menahannya sampai waktu yang tepat tiba.
Selamat tidur juga buatmu, Bocah.
Bersambung .....