webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · sci-fi
Zu wenig Bewertungen
57 Chs

45-Hacker

Matahari mulai meninggi di luar gedung laboratorium benteng. Semua nampak terkendali dalam lab, setidaknya itu yang Arktik tahu saat ini. Sekali pria itu merasa ada sesuatu yang tidak beres pada orang-orangnya, bisa-bisa rencana Arisa dan seluruh temannya gagal seketika. Tapi sampai saat ini semua masih berjalan seperti rencana. Mungkin hanya satu kabar mencengangkan yang terdengar: kematian Susan yang tiba-tiba.

Tapi peduli setan Arktik dengan kabar itu. Dia mungkin terkejut pada awalnya. Setelah itu, ia akan melambaikan tangan, tidak penting, masih ada 40 penyumbang kekebalannya lainnya. Hanya kehilangan satu nyawa sia-sia takkan membuatnya merasa menyesal, apalagi berdosa. Pria itu hanya belum tahu saja sebagian besar orang yang ia percayai diam-diam berpindah pihak. Berbalik melawannya pada waktu yang tepat, membelot. Dia akan jatuh di tangan orang-orangnya sendiri.

Arisa mengangguk takzim, mendengar detail rencana yang sedang Biru jelaskan. Pemuda di sebelah Arisa—yang lebih cocok disebut bocah—juga hanya mangut-mangut paham. Arisa menatap V gemas. Ia suka sekali memanyunkan bibir dalam kondisi apapun, meng-imutkan wajah. Meskipun wajahnya sudah imut dari sananya tanpa diimut-imutkan.

"Ada rencana B?" Eva bertanya.

Biru menggeleng, "Itu rencana satu-satunya."

Arisa dan V kontan mangut-mangut bersamaan, setelahnya kepala Arisa tergerak untuk menoleh ke pemuda blasteran Indo-Korea itu. V menaikkan kedua alisnya, bertanya kenapa secara ekspresif. Arisa mengedikkan bahu, balas bertanya dengan mengangkat alis juga. V kembali membalasnya dengan cara yang sama, membuat mereka berdua akhirnya terkekeh tidak jelas di tempat. V berwajahkan artis Korea Kim Taehyung itu bisa jadi adik yang seru dan menyenangkan menurut Arisa. Berada di dekatnya sebentar saja bisa membangkitkan sisi aneh dan tidak jelasnya yang sudah cukup lama menghilang.

Kembali ke topik awal, hanya Arival, Biru, dan Sarah yang berperan utama di rencana ini. Sisanya yang lain seperti halnya V dan Eva hanya berjaga, mengawasi sekitar, berpura-pura menjalankan perintah padahal sebenarnya tidak. The Rock juga hanya bertugas di awal rencana, kecuali jika dia diperlukan lagi nantinya.

Arisa dan Merapi? Arisa akan bertanya hal itu sampai suara Arival tiba-tiba mendahuluinya.

"Merapi sama Arisa ikut aku. Kalian berdua harus tetep gerak," ujarnya tegas. "Biru yang bakal bantu Sarah buat cari antivirus di gedung lab blok B," lanjutnya.

Arisa menggeleng, menatap tidak suka, "Aku ikut Blue."

V terkekeh pelan. Merapi di sebelah Arisa menyeletuk, "Bilang aja cemburu."

"Sok tahu!" Arisa langsung berujar tidak terima, mendorong keras bahu Merapi sampai pemuda itu agak terhuyung ke samping.

Arival nyaris tertawa mendengar ucapan adiknya. Arisa cemburu, tentu saja. Tidak ada bedanya Arisa asli maupun Arisa palsu. Mereka sama-sama blak-blakan. Tidak peduli apa yang akan dipikirkan orang-orang karena ucapannya. Lagipula pada dasarnya dia tidak peduli perasaan apa yang ia rasakan. Arisa itu suka masa bodoh. Cemburu, benci, suka. Dia tidak tahu menahu tentang hal itu. Adiknya itu lucu sekali bukan?

"Pergi cari antivirus lebih bahaya, Arisa. Kamu ikut aku, lebih aman," jelas Arival. Dia berkata jujur, bukan untuk menjahili Arisa yang masih memasang ekspresi tidak suka. Arisa memang akan lebih aman bersamanya daripada bersama Biru dan Sarah yang resiko ketahuannya lebih tinggi.

Arisa kembali menggeleng, "Enggak. Sama Blue lebih aman daripada sama mantan psycho," ujar Arisa, langsung terkekeh ketika melihat Arival melotot tajam ke arahnya.

Biru ikut tertawa. "Arisa nggak papa ikut kita, Val. Dia aman sama kita. Iya kan, Rah?" Biru menoleh ke gadis di sebelahnya. Sarah tersenyum mengangguk.

"Oke, terserah deh," Arival berkata pasrah. Arisa sepertinya tidak berpikir sama sekali ketika mengambil keputusan. Bukannya ikut bergabung bersama Biru dan Sarah akan membuatnya tambah cemburu? Atau memang hal itu yang adiknya cari? Arival terkekeh dalam hati. Arisa itu pintar sekali.

"Kayaknya kalian harus pergi sekarang," Eva mengingatkan.

Biru mengangguk, mengeluarkan HT. "Aku bakal bilang—"

"Tunggu bentar," potong Sarah. "Ini buatmu, Lang. Langsung suntik asal ke tubuh kalau kamu ketangkap. Buat jaga-jaga aja." Sarah memberi sebuah benda kecil dengan likuid berwarna merah di dalamnya. "Tekan aja, kamu bisa langsung pakai," lanjutnya.

Merapi menerima benda itu. Ia menatapnya lebih dekat, memutar-mutarnya di jari. "Serum mati suri kan? Gimana kalau aku pake sekarang? Aku mau tidur, males ikut kalian. Mager," katanya. Arisa yang berada tidak jauh dari Merapi langsung mendorong bahunya keras untuk kedua kalinya, mengatai, "Dasar, orang gila!"

"Pakai di kondisi genting, Lang. Efek serum itu cuma dua jam," Sarah mengingatkan. "Kamu mau ditangkap setelah efek serum itu habis?" lanjutnya.

Merapi menghembuskan napas, "Iya-iya!"

Arisa hanya bisa terkekeh. Rasa-rasanya Merapi jadi pemalas setelah keluar dari dunia pikiran. Di rumah kayu dia juga beberapa kali uring-uringan setelah diberitahu mereka harus bergerak, tidak hanya menetap di satu tempat. Atau Arisa baru tahu sekarang saja jika Merapi memang pemalas? Mengingat ia tidak pernah peduli pada pemuda itu di basecamp waktu itu.

"Kalau ini buat Arisa," Sarah memberi serum lainnya pada Arisa. Arisa langsung menerimanya, menyimpan di saku celana. Tidak banyak berkomentar seperti Merapi.

"Yaudah, kita mulai sekarang," ujar Arival.

Biru mengangguk, menekan tombol HT, melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. "Paman bisa lakuin sekarang. Kita udah siap," ujarnya pada seseorang di seberang sana. Tanpa mendengar siapa yang Biru ajak bicara, Arisa tahu itu The Rock. Pria itu yang akan memulai pertama kali rencana yang telah disusun tadi.

"Semoga berhasil," ujar V, lebih pada semua orang.

Biru tersenyum mendengarnya, menepuk pundak sepupunya. "Kita pasti berhasil, V. Semua harus selesai hari ini."

V mengangguk mantap.

Arival dan Merapi sudah siap siaga di dekat pintu keluar, mengambil ancang-ancang. Mereka berdua yang akan langsung bergerak setelah The Rock selesai melakukan tugasnya. Baru kemudian Arisa, Biru, Sarah, serta V dan Eva yang menyusul bergerak ke tempat tujuan masing-masing setelah diberi aba-aba. Arisa, Biru, dan Sarah pergi ke gedung lab blok untuk mencari antivirus, sedangkan V dan Eva ke lab pemanenan—pura-pura melakukan tugas.

Satu menit kemudian.

Clap.

Seluruh listrik di gedung lab padam. Tentu saja itu perbuatan The Rock. Itu tugasnya.

Di dalam kegelapan, Arival dan Merapi segera menyelinap keluar. Pergi ke tempat yang telah direncanakan secepat mungkin sebelum listrik dihidupkan.

Arisa menelan saliva, menunggu dengan jantung berdegup kencang di dalam kegelapan. Berharap agar Arival dan Merapi berhasil menjalankan tugas tanpa ada masalah. Ini keadaan yang menegangkan, tentu saja. Arisa berusaha berkali-kali menenangkan diri, menormalkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ini gila! Padahal dia tidak bergerak, hanya berdiam diri di tempat.

Tiba-tiba seseorang menggenggam tangan Arisa, membuatnya terkesiap. Tapi sejurus kemudian sebuah suara terdengar.

"Selalu di deketku, Arisa."

Arisa tertegun. Siapa lagi jika bukan suara Biru? Tanpa diperintah otaknya, Arisa langsung tersenyum lebar merasakan genggaman di tangannya. Hampir-hampir saja mulutnya robek jika ia tidak menahannya semakin lebar. Oke, Arisa tahu itu berlebihan sekali.

Tapi satu yang pasti: Arisa benar-benar rindu Biru berada di dekatnya.

***

Lampu mati. Lorong remang-remang. Hanya ada pencahayaan minim dari ventilasi yang berjarak beberapa meter di sepanjang lorong.

Arival menghentikan langkah, dengan cepat merapatkan tubuh ke sisi dinding lorong yang tidak terkena sinar matahari. Merapi di belakangnya langsung mengikuti. Meskipun telah mengambil rute yang jarang dilewati pekerja lab, tetap saja ada beberapa pasukan keamanan yang melintas di persimpangan lorong tak jauh dari mereka berdua. Arival tidak mau mengambil resiko tertangkap pihak pro Paman Arktik meskipun banyak orang di benteng telah menentang pria itu. Pihak kontra Paman Arktik itu samar. Mereka berbaur, terlihat baik-baik saja, tetapi sebenarnya menentang dalam diam. Menunggu waktu yang tepat untuk melawan.

Arival menghela napas lega. Otot di tubuhnya merileks, tidak setegang tadi. Beruntung pasukan keamanan itu tidak berbelok ke lorong tempatnya dan Merapi berpijak. Teringat sesuatu, Arival mengambil sesuatu dari saku celananya.

"Pake ini," Arival menyodorkan sebuah electric gun pada Merapi. "Tempak yang perlu kamu tembak. Bebas. Sepuasnya. Tenang aja, pistol ini nggak bakal bikin orang mati. Efeknya cuma pingsan karena setruman," jelasnya.

Merapi menerima pistol itu, menatapnya sebentar.

"Kamu yang buat pistol itu pertama kali, Lang. Jangan bilang nggak tahu cara pakainya," terang Arival, tertawa.

"Wow..." Merapi menatap kagum electric gun yang sedang ia pegang. Arisa pernah bercerita padanya tentang pekerjaannya di benteng—yang tentu saja Arisa ketahui dari Biru sebelumnya. Tapi Merapi tidak menyangka senjata yang ia buat bisa sekeren ini.

"Ayo, Lang. Waktu kita sempit." Arival kembali melangkah, cepat namun tidak bersuara. Merapi mengekor di belakang, mengenggam electric gun di tangan.

Rencana yang Arival dan teman-temannya susun hampir sama seperti rencana saat membawa Arisa kabur dari benteng. Listrik sama-sama dipadamkan di gedung lab. Bedanya, saat menyelamatkan Arisa listrik dipadamkan agar mudah keluar tanpa terlihat di malam hari, sedangkan kali ini listrik dipadamkan untuk mematikan CCTV agar Arival dan lainnya leluasa menjalankan rencana selanjutnya. Di keadaan seperti ini, CCTV lah yang pasti akan diberi perhatian lebih.

Tujuan Arival dan Merapi sekarang adalah pergi ke pusat pengawasan CCTV sebelum listrik hidup untuk mengambil alih. Meskipun The Rock telah meledakkan dua generator milik gedung lab sekaligus, tapi Arival skeptis jika Arktik masih punya generator lain. Maka dari itu Arival terburu-buru sebelum listrik berhasil dipulihkan dan CCTV kembali bekerja. Sekali saja pengawas melihatnya dan menekan tombol darurat, rencana yang telah disusun sejak tadi akan berantakan. Lebih parahnya, Arival dan teman-temannya yang lain akan ditangkap. Perbuatan buruk Arktik tidak terhentikan.

Lima menit kemudian.

Arival mengecek keadaan. Lorong sepi, aman. Mereka telah sampai di depan sebuah ruangan tempat pusat pengawasan CCTV. Seperti rencana, listrik kembali hidup tepat pada waktunya. Lampu-lampu di sepanjang lorong berpijar menerangi seketika.

"Pas," gumam Arival, menyeringai senang. "Kita masuk. Tetep fokus ke orang-orang di dalam sana. Jangan sampai mereka pencet tombol darurat. Kamu boleh pakai electric gun-nya buat tembak mereka," ucapnya pada Merapi.

Merapi menelan saliva. Tangannya yang berkeringat menggenggam erat pistol yang Arival berikan padanya. Ia belum pernah memegang benda di tangannya sebelumnya. Senjata berbahaya seperti pistol dan revolver tidak bisa begitu saja beredar dan sampai di tangan sembarang orang. Perlu lisensi untuk memilikinya. Yaaah... terkecuali pistol mainan yang biasa ia gunakan untuk bermain tembak-tembakan air saat kecil dulu. Itu beda cerita.

Pintu logam di depan mereka terbuka setelah Arival menggesek ID card ke panel di sisi pintu. Setahu Merapi, itu kartu milik pemuda blasteran yang membantunya keluar dari lab pemanenan. Pemuda yang dipanggil V oleh banyak orang. Sepertinya keturunan Asia Timur.

Arival santai melenggang masuk. Ada empat pemuda yang duduk menghadap monitor besar penuh gambar rekaman banyak CCTV di depan mereka. Salah satu pemuda yang paling dekat dengan pintu memutar kursi putarnya. Pemuda itu langsung melotot kaget melihat sosok yang masuk ke ruang kerjanya.

"Rival...?"

Arival menyeringai. Rasanya ia ingin berkata 'hai' pada pemuda di depannya. Pemuda yang merupakan rekan kerjanya sebelum namanya masuk ke blacklist benteng. Rekan dekatnya di bagian keamanan. Tapi Arival tidak akan mengambil resiko dengan berunding dulu dengannya. Bagaimana jika rekan kerjanya itu pihak pro Arktik? Kali ini ia tidak akan bertaruh sehingga langsung bergerak maju, memukul telak wajah temannya sampai terjungkal ke belakang.

"Sori." Arival meringis. Temannya langsung tidak sadarkan diri hanya dengan satu serangan. Pukulannya pasti keras sekali.

Tiga pemuda lain yang melihat satu temannya jatuh tidak sadarkan diri langsung bergerak ingin menekan tombol darurat tak jauh dari mereka. Tapi Merapi telah mengantisipasinya sejak awal. Dengan cepat ia mengarahkan electric gun-nya pada mereka dan menekan pelatuk. Tiga kali pelatuk ditekan, tiga kali juga peluru tepat mengenai sasaran. Bukan peluru logam yang membunuh, tetapi peluru bundar yang akan memberikan efek setrum bagi orang yang terkena olehnya.

"Ternyata gampang banget," Merapi melihat empat pemuda yang jatuh tergeletak di lantai hanya dalam waktu beberapa detik. Sebenarnya ia kagum pada dirinya sendiri. Ternyata dirinya bisa sekeren ini. Baru pertama kali menembak, tetapi peluru yang tepat mengenai sasaran semu. Itu keren bukan?

Haha, Merapi tahu, author kesayangannya ini suka sekali membuatnya menjadi seseorang yang narsis dan selfish.

"Di belakangmu, Lang," ujar Arival. Matanya melirik ke sesuatu di belakang Merapi. Dengan gerakan cepat tetapi santai, Arival mengambil electric gun dari tangan Merapi dan segera mengarahkannya ke pemuda yang juga ia panggil Elang itu.

Dor!

Hanya dalam waktu sepersekian detik, pemuda yang berdiri hampir menekan tombol darurat di belakang Merapi jatuh dengan tubuh yang tersetrum listrik. Merapi menengok ke belakang, lumayan terkejut. Beruntung Arival melihat dan langsung bertindak cepat—ralat, Arival melakukan hal itu dengan santai tadi.

"Gampang karena kita pakai senjata. Coba kalau tangan kosong, pasti masih ada pertarungan sengit di sini," kata Arival. Merapi mengangguk membenarkan

"Btw, tembakanmu masih bagus, Lang," puji Arival, menonjok pelan bahu Merapi di sebelahnya. "Aku kira kamu bakal jadi noob lagi setelah ganti ingatan," kekehnya.

Merapi ikut terkekeh. Dia jadi ingin tahu seberapa keren Elang Merbabu yang asli.

Dirasa tidak ada orang lagi di ruangan itu, Arival segera menarik tubuh para petugas yang pingsan, berniat mengikat mereka sebelum mereka sadarkan diri dan merusuh, sampai sebuah suara terdengar dan menghentikan Arival dari aktivitasnya.

"Urus aja pekerjaanmu selanjutnya, Val. Aku yang bakal tangani mereka," Merapi langsung berinisiatif menawarkan diri untuk membantu. Jika bukan untuk keselamatan dirinya dan orang-orang yang sedang terancam bahaya, seperti Susan dan Arisa. Merapi tidak akan mau repot-repot melakukan hal seperti ini. Dia ingin tidur, istirahat. Bahkan kalau boleh ia ingin menyuntikkan serum mati suri ke tubuhnya agar orang-orang menganggapnya sudah mati. Bukannya hal menyenangkan ikut menemani Susan mati sementara di kamar mayat?

"Oke, thanks." Arival berterima kasih pada Merapi. Ucapannya juga mengingatkan Arival pada pekerjaan pentingnya di tempat ini. Tapi sebelum itu, Arival mengambil alat komunikasi di saku celananya, menghubungi seseorang.

"Kamu sama yang lain bisa pergi dari sana sekarang, Rah. Kita berhasil ambil alih pusat pemantau CCTV gedung lab."

Setelah mendengar jawaban dari seseorang di seberang sana, Arival langsung menutup panggilan. Ia segera melangkah ke salah satu komputer yang menyala di dekatnya, menancapkan flashdisk, memasukkan virus. Dan dengan trik yang hanya seorang Arival tahu, beberapa data yang terkunci langsung terbuka. Arival membenarkan posisi duduknya, tersenyum miring. Tangan dan otaknya tidak sabar lagi untuk bekerja.

Waktunya meretas sistem keamanan lebih dalam.