webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · sci-fi
Zu wenig Bewertungen
57 Chs

44-Samudra Clan

"Kak Susan, bahaya. Dia diambil alih pihak oposisi."

Semua yang ada di ruangan dalam mode tercengang mendengar ucapan pemuda bernama V itu. Tentu saja itu bukan rencana. Lebih tepatnya, itu sudah melenceng jauh dari rencana.

"Kamu bilang Ausans juga bakal dibawa ke sini?" kata Merapi, lebih pada pemuda tadi.

"Kak Susan diambil alih di luar kendali kita. Aku baru tahu beberapa menit yang lalu," kata pemuda itu lagi. Eva yang berada tak jauh dari Arisa hanya bisa menutup mulut tak percaya.

"Oke, tenang." Sarah berusaha meredakan ketegangan. "V, apa ada dari pihak kita yang ikut nanganin Susan?" tanyanya.

V nampak berpikir sejenak. "Ivan ada di sana."

Helaan napas lega langsung terdengar dari Sarah. Arisa mengerutkan dahi samar. Bukan hanya karena helaan napas Sarah, melainkan karena pemuda yang dipanggil V itu menyebut nama Ivan. Apa itu Ivan yang ada di permainan pikiran beberapa hari yang lalu? Ivan bawahan Jenderal Joko di basecamp?

"Susan aman. Kalian tenang aja," ujar Sarah tiba-tiba, sukses membuat semua menatap tak mengerti. "Ivan udah aku kasih serum mati suri beberapa jam yang lalu. Pas—"

"Mati suri?" Arival menginterupsi ucapan Sarah. Dahinya terlipat.

Sarah mengangguk, "Kemungkinan besar serum itu udah disuntik ke Susan. Jadi prosedur pemanenan nggak akan jalan karena orang-orang kira Susan udah mati," terangnya. "Seperti namanya, serum itu buat jantung nggak berdetak. Organ-organ tubuh lain juga nggak bekerja setelah serum itu disuntikkan. Keliatan kayak orang yang nggak bernyawa beneran. Jadi Susan aman. Kecuali kalau mereka teliti lebih dalam aktivitas batang otak. Dan semoga aja nggak," lanjutnya.

Arisa mengangguk takzim, mengerti. Ia pernah membaca buku ilmiah tentang mati suri yang terjadi ketika tiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernapasan terhenti, hanya saja batang otak masih aktif. Aktivitas batang otak sendiri bisa diamati dengan alat Electroencephalography atau EEG. Meski denyut jantung tidak teraba dan napas berhenti, seseorang baru dikatakan benar-benar mati jika grafik EEG sudah flat.

"Dia nggak akan mati beneran kan?" Merapi bertanya khawatir.

Sarah menggeleng, "Serum itu udah teruji. Susan bakal bangun setelah dua jam."

Semua orang termasuk Arisa menghela napas lega mendengarnya.

"Siapa yang ciptain serum itu?" Biru tiba-tiba bertanya.

Sarah tersenyum, melirik Arisa, "Aku dan Arisa. Baru diuji coba dua bulan yang lalu."

"Woah, aku baru tahu." Eva berkomentar, terkagum.

"Daebak! Kalian berdua keren!" V berujar memuji. Arisa hanya bisa nyengir. Dia tidak ingat hal itu sama sekali.

"Oke. Kalau gitu, kita susun rencana selanjutnya. Banyak orang yang sedia diperintah di luar sana. Paman Arktik juga tahunya semua berjalan normal. Dia nggak tahu kalau Merapi dibawa pergi. Dia juga nggak tahu kalau perintah buat ngurung aku, Sarah, dan Biru nggak dilakuin Paman Rey sama sekali."

"Paman Rey?" Kedua alis Arisa saling bertautan.

"Paman Rey itu The Rock. Komandan pasukan yang bawa kita kesini. Sebagian anak buahnya ada di pihak kita," Biru yang menjawab. Arisa ber-oh dalam hati. Dia baru mengerti satu hal. Seperti perkataan Arival sebelumnya, kedatangan The Rock memang telah direncanakan sejak awal.

Biru, Arival, Sarah, dan Eva nampak berdiskusi. Merapi juga ikut mendengarkan. Tapi seperti biasa, Arisa paling malas memikirkan rencana. Dia lebih suka mendengar hasil jadinya saja.

"Kamu asal mana?" tanya Arisa pada pemuda yang sedang berdiri menyandar ke ranjang dorong di dekatnya. Arisa lebih tertarik mendekat ke arah V, mengajaknya mengobrol. Wajahnya yang nampak familiar membuat Arisa ingin tahu.

V menoleh, melepas kacamata, menaikkan kedua alisnya. "Aaahh, Kak Arisa nggak inget aku kan?" Dari bicaranya, Arisa tahu Arisa yang asli dulunya cukup akrab dengan pemuda berwajah asia timur ini.

"Iya, aku tahu kamu baby face. Tapi jangan panggil kak. Umur kita pasti sama, bahkan lebih tua kamu kan?" Arisa ikut berbicara akrab, seakan-akan sudah saling mengenal lama.

"Aku emang masih muda. Delapan belas tahun. Baru kerja di lab tiga bulan yang lalu," ujar V. Arisa menatap tak percaya. "Baru kali ini aku dibilang umur 20 tahun lebih. Biasanya orang-orang nebak umurku masih lima belas tahun. Apa mukaku setua itu?" V terkekeh karena ucapannya sendiri.

Arisa nyengir, "Nggak juga sih. Mukamu bahkan termasuk imut buat ukuran cowok 18 tahun. Setahuku, orang yang mukanya baby face itu biasanya punya umur yang lebih tua, jadi aku bilang kamu udah tua," ujarnya. "Jadi kamu asal mana? Korea? China? Atau Jepang?"

V menggeleng. "Nggak semua. Aku lahir disini, tinggal disini sejak virus Moscow nyebar. Nggak pergi kemana-mana. Di benteng terus. Keluar benteng cuma buat piket jaga."

"Ohh, keturunan luar, ya?" tanya Arisa.

V mengangguk, sedikit menampakkan wajah imut. Astaga... pemuda di sebelah Arisa itu lebih cocok menjadi artis Korea daripada ilmuwan yang bekerja di lab seperti ini.

"Ayahku dari Indonesia. Eomma-ku dari Korea," jelasnya. Arisa mengangguk paham. Pantas saja...

"Eomma bahasa Korea, ya? Kamu berarti bisa bahasa Korea?"

"Nggak juga," jawabnya. "Aku emang panggil ibu pakai bahasa Korea, tapi aku cuma bisa sedikit. Eomma lebih sering pakai bahasa Indonesia kalau ngobrol," lanjutnya.

Arisa mengangguk, ber-oh ria dalam hati. "Emm, kamu tahu, V? Mukamu nggak asing di ingatanku. Aku kayak pernah liat kamu sebelumnya. Padahal—"

"Ah iya!" seru V. Arisa tersentak kaget karenanya. "Bukannya ingatan Kak Arisa diganti jadi ingatan Bibi Arin, ya? Pasti tahu Kim Taehyung kan? Artis Korea yang nge-hitz di zamannya Bibi Arin."

Arisa tertegun, dia ingat.

"Iya... Namanya Kim Taehyung. Dan dia mirip banget sama kamu. Di ingatanku, grupnya bubar dua tahun yang lalu, tahun 2026. Lumayan sering diobrolin sama temen sekelas." Arisa bercerita.

"BTS maksudnya?" V bertanya.

Arisa mengangguk, "Kok kamu tahu?"

"Eomma cerita, dia dulu fan BTS. Dan nggak nyangka banget bisa punya anak yang mukanya mirip sama salah satu membernya. Muka Ayah yang Indonesia aja sama sekali nggak nurun ke aku," ujarnya. Arisa mengangguk membenarkan. Muka V memang tidak nampak seperti blasteran. Gen ibunya lebih dominan daripada gen ayahnya.

"Maka dari itu, eomma kasih nama Koreaku Taehyung. Bedanya, margaku bukan Kim karena ayahku bukan dari Korea."

Arisa ber-oh ria untuk kesekian kalinya. "Kalau nama Indonesiamu?"

"Karena V itu nama panggung Kim Taehyung dan nama belakangku ikut nama ayahku, jadi namaku V Samudra," terang V. "Keren, kan? Ayah yang kasih nama itu."

Arisa terdiam. Nama belakang V sama seperti nama Biru. Mereka berdua...

"Kamu adik Blue?!!" seru Arisa pelan. "Kenapa Blue nggak pernah cerita dia punya ibu Korea, astagaa... Mukanya bahkan nggak ada Koreanya sama sekali. Atau malah kalian beda ibu?" Otak Arisa langsung dipenuhi banyak dugaan. Ia melirik Biru di seberang sana, menatap tak percaya. Keturunan Korea? Yang benar saja?

Kekehan langsung terdengar dari pemuda berkulit putih itu. Ucapan Arisa barusan membuatnya ingin tertawa. "Iya, aku adiknya. Tapi adik sepupu. Papanya Kak Blue atau Paman Atlan itu pamanku. Nama ayah kita sama-sama ada samudra-nya. Papa Kak Blue namanya Samudra Atlantik, kalau ayahku Samudra Pasifik. Nama mereka keren kan?" V tersenyum lebar, mengangkat kedua alisnya.

"Wow... Aku baru tahu itu." Arisa sendiri hanya bisa melongo. Banyak hal yang belum ia ketahui rupanya.

"Paman Artik juga pamanku," V tersenyum suram. Arisa menoleh menatap pemuda di sebelahnya. Tatapan V berubah sendu. "Semua keluargaku sembuh dan kebal karena dia. Entah nyawa siapa yang dia ambil. Banyak temen-temenku yang meninggal setelah dibawa pergi pihak benteng. Katanya mereka keinfeksi. Padahal sebelum dibawa mereka baik-baik aja. Aku baru tahu kebenaran tentang mereka sekarang," lanjutnya. Arisa menelan ludah. Ini kedua kalinya ia mendengar ucapan kekecewaan tentang Arktik dari keponakannya sendiri. Pertama Biru, dan sekarang V.

"Paman Arktik itu egois. Aku pengen benci, tapi keluargaku bisa hidup karena dia." V melengkungkan bibirnya ke bawah. Alih-alih nampak sedih, V malah terlihat lebih imut dengan wajah seperti itu. Bisa tidak sih raut sedihnya yang wajar? Dasar keturunan Korea!

Arisa menghela napas, menepuk-nepuk punggung V. "Setelah ini semua bakal selesai. Yang udah terjadi, yaudah. Itu udah lewat. Berdoa aja semoga rencana kita sekarang berhasil."

Entah mendapat setruman dari mana Arisa mengatakan hal itu. Padahal sebelumnya dia belum bisa berbaikan dengan keadaan. Dia masih sangat benci dengan seseorang bernama Arktik.

"Yaudah, Kim Taehyung. Ayo ke mereka! Kita lihat rencananya."