webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · sci-fi
Zu wenig Bewertungen
57 Chs

24-Save Ourselves

Ceklek.

Pintunya terbuka.

"Blue, ayo masuk!" teriak Arina ketika ia sudah memasuki ruangan di balik pintu itu. Benar yang ia pikirkan, pintu itu tidak menuju ke luar kedai. Ada ruangan di dalamnya. Mungkin tempat penyimpanan makanan.

Biru yang mendengarnya segera berbalik, berlari ke pintu. Arina langsung menutup pintu setelah Biru masuk. Makhluk-makhluk itu mengikuti Biru dan mendobrak pintu tadi. Berkali-kali. Padahal Arina belum sempat menguncinya.

"Arina, aku tahan pintunya, kamu buruan kunci." Biru berseru sembari menahan pintu yang kemungkinan sudah didorong oleh banyak zombie di sana.

"Oke, bentar, Blue." Arina berusaha mencari lubang kunci di pintu tadi. Lama sekali. Pasalnya, ruangan kali ini lebih gelap daripada sebelumnya. Tidak ada cahaya sama sekali.

Arina tambah panik. Dorongan pintu dari makhluk tersebut tambah kuat. Arina sendiri ikut membantu menahan pintu sembari masih berusaha mencari lubang kunci di sana.

Klek.

Arina menghela napas.

"Udah, Blue," kata Arina. Biru di sebelah Arina ikut menghela napas.

"Belum selesai, Na. Kita harus kasih penahan lain di depan pintu," ujar Biru.

"Bentar, aku cari saklar buat hidupin lampu dulu, Blue." Arina meraba-raba dinding di sisi pintu. Tidak ada sama sekali. Ia beralih mencari ke dinding lain, tergesa-gesa, panik karena pintu terus-terusan didobrak. Bagaimana jika pintu berhasil dirobohkan mereka?

Dug.

Saking rusuhnya, Arina tak sengaja terjegal sesuatu. Ia jatuh tengkurap ke depan. Tapi rasanya Arina juga mendorong sesuatu di depannya. Beberapa detik kemudian, suara kedebug jatuh terdengar.

"Aw." Biru mengaduh kesakitan.

Keadaan yang sangat gelap membuat Arina tidak tahu dimana posisinya sekarang, begitu juga dengan posisi Biru. Anehnya, rasanya ia bukan jatuh ke tanah, melainkan jatuh di atas sesuatu. Tiba-tiba ruangan bercahaya karena disoroti sesuatu. Seseorang menghidupkan senter.

Arina membelalakkan mata. Ia menahan napas ketika melihat wajah Biru ada di hadapannya dan sangat dekat, mungkin jaraknya hanya sepuluh senti. Arina sampai bisa merasakan deru napas Biru di wajahnya. Dia tidak pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki sebelumnya, walaupun itu ayahnya.

"Arina ... berat."

Suara Biru menyadarkan Arina. Buru-buru ia bangkit dan duduk menjauhi Biru. Wajahnya bersemu merah. Pastinya malu sekali.

"Maaf, Blue. Nggak sengaja." Arina meringis. Biru bangkit duduk. Rupanya Biru yang menghidupkan senter tadi. Arina sendiri baru sadar jika sedari tadi Biru masih membawa senter. Mungkin karena ia ketakutan karena makhluk tadi dan sibuk berlari menyelamatkan diri sampai tidak memperhatikan apa-apa.

"Nggak masalah, Na. Yang penting kamu nggak jadi kejedot lantai. Tambah ribet entar." Biru berucap. Arina nyengir mendengarnya. "Btw, buat apa cari saklar? Listriknya kan mati," lanjut Biru. Arina menepuk jidat. Ia benar-benar lupa.

"Kenapa nggak ngingetin? Aku kan lupa."

"Kamu keburu jatuh. Yaudah deh."

Brak.

Pintu kembali didobrak cukup keras, menyadarkan Arina dan Biru jika mereka masih dalam keadaan bahaya.

Arina mengedarkan pandang. Ia berada di ruangan yang lebih sempit dari sebelumnya. Mungkin hanya 3x3 meter. Dengan bantuan cahaya dari senter Biru, Arina bisa melihat tidak ada jendela sama sekali. Hanya ada pintu tempat Arina masuk tadi. Atap ruangan ini berplafon sehingga tidak ada sedikitpun pantulan cahaya bulan yang masuk.

Ada beberapa rak makanan yang tinggi di ruangan ini. Yang pasti, isinya bahan makanan dan beberapa alat masak. Ada juga dua kulkas yang berjejer yang kemungkinan merupakan tempat penyimpan sayur mayur. Di sudut ruangan ada wastafel yang menempel di dinding.

"Kita geser kulkas, Na." Biru mengaba. Arina mengangguk, kemudian membantu Biru mendorong dua kulkas untuk menutupi pintu.

Suara pintu didobrak masih terdengar. Engsel pintu tersebut sedikit demi sedikit mulai lepas. Pasalnya, pintu pertama alias pintu luar tadi dibuat lebih kuat daripada pintu di dalam. Arina jadi tidak yakin kulkas itu dapat menahan para zombie masuk.

"Blue," panggil Arina pada Biru yang sedang mencuci tangannya yang terkena darah zombie di wastafel. Biru hanya menjawab dengan deheman, masih sibuk membersihkan tangannya. "Mereka kayaknya tambah banyak. Aku takut mereka bisa masuk. Engsel pintunya juga udah rusak." Arina menyampaikan kekhawatirannya.

Biru menutup kran, sedikit mengibaskan tangannya yang basah ke udara. Ia mengambil senter, menghidupkannya, lalu mengarahkannya ke atas, ke plafon triplek berwarna putih. Biru mendongak, melihat sesuatu di atas sana. Matanya menjelajahi setiap sudut plafon. Arina tidak tahu apa yang Biru lakukan, tetapi keadaan benar-benar gawat karena pintu nyaris bisa dibuka sekarang. Dua kulkas di depannya rasanya tidak terlalu membantu. Arina ingin berlari ke pintu lalu menahannya, tetapi kepala dan tangan zombie itu sudah banyak menyembul masuk ke ruangan. Dan itu sangat mengerikan.

"Blue, bentar lagi makhluk itu bakalan masuk. Kita harus apa?!" Arina bertanya, mulai panik. Bagaimana tidak, hanya menunggu beberapa menit lagi, pintu akan jebol sepenuhnya. Dua kulkasnya pun sudah tergeser agak jauh dari pintu.

Biru tetap diam, masih menyenteri sesuatu di atas. Arina masih terus bertanya, mendesak Biru agar segera mengambil tindakan.

"Ayo pergi dari sini, Na." Biru tiba-tiba berbicara.

"Kemana?!"

"Ke atas," jawab Biru sembari menyoroti lubang persegi di plafon.

"Serius? Caranya?"

"Kamu naik ke wastafel. Setelah itu panjat rak buat naik ke sana. Nanti aku pegangin." Biru memberi instruksi. Arina melotot. "Pegangin raknya maksudnya," sambung Biru. Arina menatap tidak paham. Padahal ia melotot karena kaget harus memanjat rak tinggi. Tanpa memberitahu, Arina sudah tahu Biru akan memegangi raknya.

"Buruan, Na," desak Biru. Kali ini Biru yang menyuruhnya cepat. Dari mana saja dia sedari tadi?

"Iya, sabar. Nanti aku jatuh gimana?" Arina naik ke wastafel, hati-hati, tetapi berusaha cepat. Suara mengerikan di balik pintu tersebut mendorong Arina untuk berusaha lebih cepat. Ia meloncat ke rak. Biru di bawah memegangi rak tersebut agar tidak jatuh. Sampai paling atas, Arina langsung masuk ke lubang persegi di sudut paling pojok yang untungnya muat untuk badannya.

"Injak kayu yang kamu rasa kuat, Na, tapi jangan sampai injak tripleknya." Biru berteriak memberitahu. Arina mengiyakan. Ia langsung mencari pijakan yang pas. Jarak plafon dengan ujung atap yang tinggi  membuatnya leluasa bergerak.

"Udah, Blue," ujar Arina sembari melongokkan kepalanya ke lubang persegi tadi, melihat Biru yang berada di bawah. "Gimana cara kamu naik? Siapa yang pegangin raknya?" tanya Arina.

"Gampang." Biru menjawab singkat lalu mulai naik ke wastafel. Dengan mudah ia meloncat ke rak, tidak ada rasa takut jatuh.

"Cepetan, Blue, mereka hampir masuk!!" Arina panik. Ia menjulurkan tangannya ke bawah, berusaha membantu Biru.

Biru sampai atas. Tepat setelah itu, pintu terbuka dan puluhan makhluk masuk ke ruangan di bawahnya.

Arina menghela napas, melongokkan kepala ke bawah melihat puluhan zombie yang mengerumpul di bawahnya. Ia memegangi dada yang nyaris jantungan, menghela napas. Mereka berdua akhirnya selamat dari bahaya.

Yang Arina harapkan sekarang, semoga kedai ini tidak akan ambruk meskipun sudah dipenuhi dengan makhluk tersebut. Atau semoga saja makhluk itu tidak mempunyai insting untuk naik ke atas plafon seperti yang Arina dan Biru lakukan. Ahh, semoga saja.