webnovel

Bab. 30 ||Saling membagikan rahasia||

Bab. 30

"Dimana bukunya?"

"???"

Elvano mengangkat kepalanya dari leher Aleta dengan tatapan bertanya.

"Buku."

"Oh."

"Berikan padaku."

"Kamu tidak akan menggunakan alasan ini untuk pergi dariku bukan?"

Elvano mengerut keningnya dan memeluk Aleta dengan erat. Aleta menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan senyum kaku diwajahnya lalu menjawab kecurigaan Elvano.

"Tidak."

Elvano melepaskan tangannya yang ada di pinggang Aleta dan berlari untuk mengambil buku yang dia simpan dilantai.

"Oke. Berikan padaku."

Aleta mengulurkan tangannya setelah melihat Elvano datang dengan buku ditangannya. Elvano mengindari tangan Aleta yang akan menyentuh buku dan berkata dengan tegas.

"Biarkan aku yang membawanya."

"Baiklah."

Aleta menarik kembali tangannya yang terulur dan berjalan pergi untuk memimpin Elvano menuju kelasnya.

"Bawa kemana?"

"Kelas."

Aleta menjawab dengan samar saat dia mencoba merapikan seragam sekolah yang sedikit kusut.

"Oh."

Mereka berjalan tanpa ada seorangpun yang berbicara tapi Aleta kini memiliki keraguan dihatinya saat Nicholas dan Elvano saling mengenal apalagi sikap mereka saat mereka bertemu membuatnya terkejut dan bingung, Aleta menurunkan matanya dan bertanya pada Elvano yang masih terdiam disebelahnya.

"Xavier kamu mengenal Nicholas?"

"Tidak."

"Apa kamu mendapatkan ingatanmu yang hilang?"

"... Ya. Hanya sedikit."

"Apa?"

"Ini rahasia~"

Ekor panjang dari jawaban Elvano membuat sudut bibir Aleta berkedut.

"Kalau begitu aku tidak ingin tahu."

"..."

"By, kamu juga menyembunyikan sesuatu dariku bukan?"

Pertanyaan Elvano membuat jantungnya melompat ketakutan dan tertawa dengan gugup.

"Aku..."

"Jika kamu tidak ingin mengatakannya aku tidak akan memaksamu."

Sebelum Aleta bisa menjawab, Elvano mengubah pembicaraan yang membuat Aleta tidak bisa bereaksi dengan pemikiran melompat yang cepat dari Elvano.

"By, kita sudah sampai."

Elvano berhenti satu meter dari pintu kelas 2-1 dan menyerahkan buku yang ada ditangannya pada Aleta yang pikirannya masih berkeliaran.

"Oh, oh."

Aleta mengambil buku yang diserahkan oleh Elvano dengan bingung lalu menatap Elvano dengan sedikit gugup setelah dia membuat keputusan.

"Aku, aku akan mengatakannya setelah pulang sekolah oke?"

Elvano tertegun lalu menganggukkan kepalanya dan menjawab pertanyaan Aleta yang berhati-hati dengan perasaan senang.

"Oke."

Menatap Aleta yang memasuki kelas Elvano berbalik dan berjalan menuju kelasnya setelah jam pelajaran Pak Rendra berakhir.

...

Kringg...

Aleta berjalan keluar dari kelasnya saat bel istirahat berbunyi lalu berjalan menuju kelas Elvano. Berdiri didepan jendela dia melihat Elvano yang memiliki wajah serius menulis di bukunya dengan tenang dan mengabaikan orang-orang yang berjalan keluar dari kelas 2-2 yang menatapnya.

"Kak Vano lanjutkan saja nanti."

Gallendra menusuk punggung Elvano dengan bosan dan mengeluh pada Elvano yang masih mengerjakan soal yang diberikan oleh guru.

"Tinggalkan saja aku sendiri."

Elvano mengabaikan Gallendra dan tetap dengan fokus mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru karena dia malas mengerjakan tugasnya dirumah, dia hanya ingin menemani Aleta dan tidak terganggu dengan apapun.

"Kakak~"

Elvano mengabaikan Gallendra yang bertingkah manja pada dirinya. Gallendra yang diabaikan merasa kesal tapi disudut matanya dia melihat Aleta yang berdiri dibelakang jendela sedang menatap Kakaknya dan melambaikan tangannya pada Aleta yang berada diluar.

Aleta tersenyum sedikit dan mengangguk pada Gallendra yang melambaikan tangannya. Gallendra mengguncang bahu Elvano dengan cepat dan berkata dengan senyum dalam suaranya.

"Kak, Leta ada disini."

Akhirnya Elvano berhenti menundukkan kepalanya dan mengangkat kepalanya untuk menatap Gallendra dengan sedikit kesal.

"Jangan marah~"

Gallendra merentangkan tangannya dan mengangkat dagunya menunjuk pada Aleta yang berdiri dengan tenang didepan jendela.

"Leta datang menemui mu."

Elvano mengikuti arah yang Gallendra tunjukan dan melihat Aleta berdiri dan menatapnya dengan senyum tipis diwajahnya. Berdiri dengan tergesa-gesa dan berjalan menuju Aleta dengan cepat tapi langkah kakinya berhenti setelah Gallendra bertanya tentang Algibran.

"Kakak, kamu tahu Gibran ada dimana?

"Tidak tahu."

Setelah menjawab pertanyaan Gallendra, Elvano melanjutkan langkahnya menuju Aleta dengan cepat. Mereka saling memandang dan mengangkat bahu dan tidak lagi memikirkan dimana Algibran berada dan mengikuti Elvano berjalan keluar dari kelas menuju kantin.

"Menunggu lama?"

"Tidak."

"Kenapa kamu tidak memanggilku?"

Aleta menggelengkan kepalanya dan berkata sambil tersenyum.

"Aku tidak ingin mengganggumu."

"Tidak."

"Kalau begitu kamu ingin makan apa?"

"Aku tidak tahu."

Mereka berjalan menuju kantin sambil berbicara dengan berbisik-bisik dan mengabaikan yang ada dibelakang mereka yang merasa masam karena interaksi mereka.

"Kalian tidak akan mengajak ku?"

Mengangkat kepalanya secara bersamaan mereka memandang Kesya yang berjalan kearah mereka dengan cepat dan senyum cemberut diwajahnya.

"Hahaha, maaf Syasya aku melupakanmu."

Aleta menatap Kesya dengan tatapan meminta maaf dimata kuning cerahnya.

"Lain kali jangan lupakan aku."

Kesya memutar matanya dengan kesal dan bergabung dengan rombongan mereka.

"Hehehe~ lain kali aku tidak akan melupakanmu."

Kedatangan Kesya membuat Gallendra dan yang lainnya merasa seimbang karena Aleta kini berbicara dengan Kesya dan tidak lagi bermesraan dengan Elvano.

Drrt.. drrt..

Elvano yang memelototi adik dan temannya kini berhenti memperhatikan mereka dan mengeluarkan ponselnya yang berbunyi.

Menatap nomor tidak dikenalnya membuat Elvano ragu siapa yang bisa mendapatkan nomor ponselnya selain bawahan, keluarga, dan Aleta tapi dengan cara hantu dia menjawab panggilan tidak dikenal di ponselnya.

"Halo?"

"Hahaha! Ini benar-benar kamu Alvaro!"

Deg..

Alvaro...

Kepala Elvano berkedut dan mendesis pelan kesakitan yang membuat suara yang ada di sebrang ponselnya bertanya dengan kekhawatiran dan kepanikan dalam suaranya.

"Varo, kamu tidak apa-apa? Kamu ada dimana? Aku akan datang padamu dan memberikan obat penenang itu, oke?"

"Berikan lokasimu saat ini dan bertahanlah sebentar lagi. Nanti kita akan berbicara lagi setelah aku memberikan obat padamu."

Setelah mengatakan itu dia menutup teleponnya dengan tergesa-gesa dan tidak menunggu Elvano yang merespon.

"..."

Tangan Elvano sedikit bergetar karena dia masih memikirkan nama yang membuatnya sangat familiar ditelinganya. Dia merasakan bahwa ini adalah ingatan yang sangat penting baginya tapi secara tidak sadar tidak ingin dia ingat yang membuatnya sedikit sulit mendapatkan kembali ingatannya.

Tapi dia masih ingin mengetahui ingatan itu bahkan jika itu sangat menyakitkan baginya, jadi dia memberikan lokasinya saat ini kepada orang yang menelponnya sebelumnya karena mungkin orang itu juga berkaitan dengan ingatan itu.

"Vano, siapa yang menelepon?"

Arfian bertanya pada Elvano dan menatapnya dengan mata penasaran.

"Teman."

Elvano menjawab dengan samar pertanyaan yang Arfian tanyakan. Arkanio yang akan mengatakan sesuatu berhenti karena mulutnya terhalang oleh Arsenio yang menekan tangannya pada bibirnya lalu menatap Arsenio dengan ragu.

Arsenio menggelengkan kepalanya dan membiarkannya menatap Elvano dengan cermat, setelah menatapnya dengan cermat Arkanio menemukan wajah Elvano sedikit pucat dengan keringat tipis dikepalanya.

"Kakak, jangan mengatakan sesuatu untuk sekarang."

Arsenio menarik tangan Arkanio dan berbisik kecil ditelinganya yang membuat sang empu menganggukkan kepalanya tapi tidak bisa menahan rasa penasaran dimatanya.

"Kak Arkan."

Arkanio memalingkan kepalanya dan tidak lagi menatap Elvano dengan mata penasaran setelah melihat saudaranya tidak lagi menatap Elvano dia melepaskan tangannya yang ada pada Arkanio dengan puas.

Arfian tidak lagi bertanya setelah melihat Elvano yang tidak ingin membicarakannya.

Disisi lain di bandara Soekarno-Hatta, Fei Ran yang merasa cemas dengan keadaan temannya yang sudah lama tidak dia temui dengan cepat menghentikan taksi dan menatap ponselnya untuk melihat lokasi yang diberikan oleh Alvaro.

"Pak pergi ke SMA ANGKASA."

"Baik tuan."

"Pak bisakah kamu sedikit lebih cepat, temanku sedang sakit."

"Siap."

"Tapi mengapa temanmu tidak dibawa kerumah sakit?"

Supir taksi mencoba meredakan kecemasan penumpangnya yang tidak bisa diam dan selalu mengetuk jari-jarinya pada sandaran kursi dengan berirama yang membuat supir taksi merasakan tekanan besar menimpanya.

Fei Ran berhenti mengetuk jari-jarinya pada sandaran kursi dan menarik napas dalam-dalam.

"Terimakasih."

"Keadaan temanku sedikit rumit."

Supir taksi melambaikan tangannya dengan bebas dan menatap penumpang muda yang tampan di kaca mobil yang telah tenang dan merasa lega.

"Lalu bagaimana kamu akan pergi ke sekolah jika temanmu sakit?"

Fei Ran yang sudah tenang tertegun dengan pertanyaan dari supir taksi lalu menatap lokasi yang diberikan oleh Elvano dengan cermat karena dia takut salah memberikan alamat lalu mengangkat kepalanya dan memberikan senyum palsu pada supir taksi.

"Dia sedang bersekolah, aku hanya perlu memberikan obat yang dia tinggalkan."

"Oh."

Supir taksi tidak lagi bertanya dan fokus pada jalan yang ada didepannya.

Beberapa jam kemudian Fei Ran berdiri didepan gerbang SMA ANGKASA dengan wajah rumit lalu mengeluarkan ponselnya.

//Fei Ran//

14.45 [Varo kamu dimana? Aku sudah didepan sekolahmu.]

Setelah mengirim pesan kepada Elvano dia merasakan seseorang menepuknya yang membuat Fei Ran membalikkan badannya dan menatap pria muda yang sama tinggi dengannya dengan mata hijau dan senyum diwajahnya dengan bingung.

"Ya?"

Nicholas menatap pria tampan dengan wajah Asia dengan terkejut karena ini pertama kalinya dia melihat wajah lembut dan imut pada seorang pria. Meskipun agak tidak pantas mengatakan imut pada wajah seorang pria tapi wajah ini benar-benar lembut dan imut.

"Siapa yang kamu cari?"

Setelah dia menyingkirkan kendali yang ada pada tubuhnya dikehidupan sebelumnya kini dia merasakan bahwa dia benar-benar tidak menyukai Adele yang bisa menyukai beberapa pria dan tidak pernah ingin melepaskannya dan keinginannya sekarang adalah menjaga Aleta karena beberapa orang belum menyingkirkan kendali yang mengendalikan tubuh mereka yang membuat mereka tergila-gila dengan Adele yang membuatnya sedikit berbulu melihat keadaan mereka setelah datang ke Indonesia untuk melihat sudah sejauh mana mereka mengembangkan perasaan mereka dengan Adele.

Jadi dia merasa sedikit tertarik pada wajah asing yang tidak dikenalnya dikehidupan sebelumnya bisa berada disini.

Fei Ran sedikit mengerutkan keningnya melihat ketertarikan dimata hijau pria didepannya dan ingin menolak dengan kasar tapi karena sopan santun yang dikembangkan di kehidupannya saat ini yang menjadi kebiasaan dia menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh pria muda didepannya.

"Elvano."

Pupil mata Nicholas mengecil lalu dia menatap Fei Ran dengan cermat.

"Siapa kamu?"

Fei Ran memasang senyum palsu diwajahnya dan berkata dengan lembut dan kejam.

"Apa urusan mu."

Nicholas menatap Fei Ran dengan terkejut karena pria ini bisa mengatakan sesuatu yang kejam dengan wajah lembut dan imut sebelum Nicholas ingin mengatakan sesuatu Fei Ran menundukkan kepalanya dan melihat pesan dari Alvaro yang membuatnya dengan tergesa-gesa menuju Alvaro yang berada di taman belakang sekolah dan meninggalkan Nicholas yang terdiam lalu mengikuti Fei Ran yang tidak mempedulikan sekitarnya karena sedang terburu-buru.

....

Elvano menunggu dengan tenang seseorang yang akan datang padanya setelah melihat pesan singkat di ponselnya.

Apa kalian tahu siapa itu?

[...]

[Aku tidak tahu.]

[Untuk apa kita mengingat seseorang yang tidak bisa mendengarkan kita.]

[Kamu benar.]

Tapi kalian mengingat Paman Sam.

[Itu karena dia pria yang baik padamu.]

[Ah... Apakah itu Fei Ran??]

[Dimana? Dimana?]

[Dia juga datang kedunia ini?]

Dunia ini?

Elvano menangkap poin kunci dan bertanya dengan tajam pada bisikan-bisikan yang berisik ditelinganya.

[Tapi ini adalah duniamu dimana kamu pertama kali dilahirkan, bukan dunia itu.]

Jadi Paman Sam ada didunia itu?

[Ya.]

Tapi bagaimana kamu tahu ini adalah dunia dimana aku pertama kali ada?

[Bahkan jika kita tahu apa yang ada di pikiranmu itu hanya seperti kata hatimu bukan pikiran mu yang sebenarnya dan kami tidak pernah mengetahui tentang ingatanmu, tapi kami yang selalu menemanimu dari lahir hingga kamu dewasa di dunia itu membuat kami mengetahui apa yang kamu lakukan didunia itu entah itu kejadian besar atau kecil.]

Oh.

Elvano tidak bertanya lagi karena orang yang disebut Fei Ran telah berdiri didepannya.

"Varo apa kamu baik-baik saja? Sebelumnya aku selalu mencarimu dan bulan lalu aku baru saja mengetahui keberadaan mu ada disini jadi aku datang, tapi aku tidak tahu bahwa gejala yang terjadi padamu akan tetap ada."

Fei Ran mengomel didepan Elvano sambil mengeluarkan obat yang dia simpan dan memberikannya pada Elvano yang masih diam.

"Ini obatmu."

Elvano mengambil obat yang diberikan oleh Fei Ran tapi tidak memakannya hanya memanggil nama pria didepannya.

"Fei Ran."

"Ada apa?"

Fei Ran mengangkat kepalanya dan menatap Elvano dengan aneh.

"..."

"Kenapa kamu diam?"

Elvano yang tidak bisa mengatakan sepatah katapun akhirnya mengeluarkan suaranya dan berbicara dengan lembut.

"Apakah kamu baik-baik saja?"

"Ini tidak baik!"

"???"

Elvano memiringkan kepalanya dengan bingung karena dia tidak mengerti mengapa pria ini mengatakan dia tidak baik-baik saja.

Melihat Elvano yang tidak mengerti membuat Fei Ran yang telah mengembangkan kepribadian tenang karena tidak lagi melakukan pembunuhan dikehidupan sebelumnya didunia itu kini merasa kepalanya menjadi sakit kembali dan ingin mengutuk pria yang kini menjadi pria yang tiga tahun lebih muda darinya.

"Alvaro! Aku menghawatirkan mu setelah aku datang kedunia ini, karena aku merasa kamu tidak mati dan kamu mengatakan aku baik-baik saja?! Aku selalu merasa tegang selama beberapa tahun karena takut kamu menjadi sakit lagi!"

"..."

"Aku telah mencarimu tapi kamu tidak pernah aku temukan bukankah ini membuatku semakin sulit untuk tertidur?!"

"Aku hanya merasa tidak bisa menjagamu dengan baik setelah nenekmu menyuruhku menjagamu, tapi aku terjebak disana dan tidak bisa datang padamu untuk menjagamu jika kamu kembali dalam keadaan tidak sadar jika kamu menghancurkan sesuatu lagi, lalu apa yang harus aku lakukan."

"..."

Wajah Fei Ran yang lembut runtuh dan menatap Elvano dengan ganas tapi kekhawatiran dimatanya tidak palsu karena Fei Ran benar-benar mengkhawatirkan keadaan temannya yang tidak menentu dan mudah berubah-ubah.

Meskipun Elvano belum mendapatkan ingatannya tapi cara bergaul dengan Fei Ran membuatnya mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya untuk menghentikan kemarahan temannya.

"Fei Ran, aku sudah memiliki kekasih jadi jangan terlalu mengkhawatirkan ku, aku takut seseorang akan akan salah paham karena tindakan mu."

"... Apa yang kamu katakan?"

"Aku sudah memiliki kekasih."

"... Huh?"

Fei Ran merasa telinganya sedikit bermasalah karena dia mendengar pria yang sangat membenci manusia menyukai seseorang.

"Tunggu! Tunggu sebentar..."

Fei Ran menggosok telinganya dengan keras lalu menatap Elvano tanpa berkedip karena takut dia salah mendengarkan sesuatu.

Elvano melihatnya tidak percaya mengulangi apa yang dia katakan sebelumnya.

"Fei Ran, aku akan menunggu dia dewasa setelah itu kami akan menikah dan dia akan menjadi milikku selamanya."

"Sial! Kamu sudah memiliki kekasih dan kamu bisa dengan sabar menunggunya untuk menjadi dewasa lalu menikah?!"

"Ya."

"Kamu gila?"

Mata Fei Ran kini menatap Elvano dengan mata seperti melihat orang aneh dan ketidakpercayaan dimatanya bahwa orang yang ada didepannya adalah temannya.

Sudut mulut Elvano berkedut lalu bertanya dengan ragu.

"Sebegitu tidak percayanya kamu padaku?"

"Ya, aku meragukan keaslian kata-kata yang kamu katakan."

"Kenapa?"

"Kamu...?"

"Aku tidak percaya orang yang sangat membenci manusia akan mengatakan bahwa dia memiliki pasangan? Bukankah kamu dulu mengatakan kamu tidak pernah ingin memiliki kelemahan pada dirimu."

"Tapi aku sudah hidup bersama."

"..."

Udara menjadi hening setelah Elvano mengatakan bahwa dia telah hidup bersama.

"Satu rumah..?"

"Ya."

"Apa kamu tidur bersama atau berpisah?"

"... Aku akan tidur bersama setelah dia tertidur lalu bangun sebelum dia terbangun bahwa aku tidur bersamanya."

"Jadi tidur bersama secara sembunyi-sembunyi...?"

"Uhuk, uhuk.."

Elvano terbatuk untuk menutupi rasa malu diwajahnya tapi dia masih merasa sedikit malu seolah-olah Fei Ran bukan teman seumuran tapi penatua yang melihat keturunannya melakukan sesuatu yang tidak patut ditiru.

"Oke. Aku tidak akan mempermalukan kamu lagi."

"Tapi, selamat."

Fei Ran tersenyum dengan tulus atas kebahagiaan teman baiknya karena didunia ini banyak yang mengkhawatirkannya, memperhatikannya, dan memberikan kasih sayang yang selalu Alvaro rindukan didunia itu sebelumnya apalagi dia sekarang memiliki orang yang menjaganya, mencintainya, dan mentoleransi sikapnya yang membuatnya merasa lega.

Tapi dia masih harus menjaga dan menatap temannya ini jika keadaan mentalnya menjadi sangat tidak stabil dan sulit menghentikannya.

"Terimakasih Fei Ran."

"Tidak perlu."

Fei Ran menatap jam yang ada ditangannya dan berhenti berbicara dan menyuruh Elvano untuk kembali ke kelas karena sudah lima belas menit mereka berbicara.

"Pergi ke kelas."

"Hah?"

"Sudah lima belas menit berlalu apa kamu tidak akan dicari oleh guru?"

"Aku..."

"Lain kali kita berbicara lagi, aku sudah sedikit lelah dan ingin pulang."

"Oke."

"Tapi lain kali bawa pacarmu untuk pergi. Aku ingin melihat wanita hebat mana yang bisa menjinakkan orang sepertimu."

"Fei kamu mengatakan seolah-olah aku adalah binatang buas."

"Bukan?"

Fei Ran tersenyum dan berbalik pergi karena dia benar-benar lelah setelah perjalanan dari Prancis ke Indonesia tanpa beristirahat.

"Fei Ran."

Fei Ran berbalik dan menatap Elvano dengan ragu.

"Namaku Elvano Xavier Dirgantara. Panggil aku Vano, namaku bukan lagi Alvaro von Williams."

Fei Ran tertegun lalu menganggukkan kepalanya dan berbalik pergi.

"Oke, bos!"

....

Pikiran Nicholas sekarang sedang kacau setelah mendengar percakapan antara Elvano dan Fei Ran karena dia bingung dengan Elvano. Mengapa pria dengan wajah Asia itu mengatakan nama yang sangat berbeda dari nama Elvano dan apa yang dimaksud dengan datang kedunia ini yang dia katakan.

Dan, Elvano tidak pernah menyangkal sebutan yang diucapkan oleh Fei Ran tapi bagaimana dia bisa mengenalinya yang terlahir kembali?

Bukankah itu hanya dikehidupan sebelumnya? Tapi saat Fei Ran mengatakan dunia mereka membuat Nichola merasa Elvano adalah pria yang sangat aneh selain misterius, yang membuatnya pusing dan bingung.

Menggosok pelipisnya pelan, Nichola menghela nafas dan membuang kebingungan yang ada dikepalanya dan memfokuskan dirinya pada kariernya dan membuat Aleta memaafkannya.

....

Waktu berjalan dengan cepat sekarang sudah waktunya untuk pulang yang membuat Aleta sedikit gugup dan takut Elvano tidak mempercayai rahasia yang akan dia katakan nanti tapi saat dia bertemu Elvano yang menunggunya didepan pintu kelasnya dengan wajah tenang membuat Aleta menjadi tenang dan menarik Elvano dari kerumunan orang-orang yang pergi.

Saat sampai dirumah Aleta dan Elvano berjalan menuju kamar masing-masing dengan pemahaman diam-diam tapi setelah Elvano selesai mandi dan mengganti bajunya dia membuat puding dengan vla vanila diatasnya dan menyimpannya dimeja tempat mereka berkumpul untuk menonton TV lalu menunggu Aleta turun sambil memotong kecil-kecil puding itu.

Aleta yang mengenakan t-shirt putih yang panjangnya menutupi celana pendek sepaha yang dia pakai dan berjalan menuju Elvano dan duduk disebelahnya yang sibuk memotong puding menjadi potongan kecil-kecil.

"Makan."

"Ya."

Setelah menghabiskan puding yang ada ditangannya, Aleta menatap kosong pada piring kecil dengan sedikit vla vanilla yang masih menempel di piringnya dan membuka mulutnya untuk mengatakan rahasia yang sebelumnya coba dia sembunyikan sampai mati.

"Xavier, aku terlahir kembali."

Aleta menundukkan kepalanya dan tidak pernah ingin menatap Elvano karena takut dia melihat ketidakpercayaan dimatanya tapi Aleta tidak mendengar Elvano mengucapkan sepatah katapun yang membuatnya bingung dan mengangkat kepalanya dan menatap Elvano yang memiliki wajah tenang.

"Apa kamu percaya?"

"Hm."

Aleta menatap Elvano dengan mata terbelalak kaget karena sikap Elvano yang terlalu tenang dan mudah percaya yang membuatnya merasa sedikit cemas.

"Aku percaya padamu, Quenby."

Aleta menghentikan kekhawatiran dan kecemasan yang tidak perlu karena Elvano mengatakan bahwa dia mempercayainya.

"Lalu bagaimana kamu bisa kembali?"

"Aku mati."

"..."

Tangan yang sedang menyentuh rambut panjang Aleta berhenti, emosi aneh memancar dimatanya dengan cepat yang membuat Elvano tidak tahu emosi apa yang terlintas.

Aleta menurunkan matanya mulai berbicara tentang kehidupannya sebelumnya.

"Jelas aku tumbuh bersamanya saat masih kecil dan dia juga mengetahui aku sangat menyukainya tapi kenapa dia sangat menyukai Adele? Dan orang tuaku telah membesarkan ku dan melihatku tumbuh tapi kenapa mereka sangat mencintainya hingga mereka sangat tega melihatku mati dan bahkan menatapku dengan dingin saat itu."

"Aku sangat membenci mereka semua tapi aku tidak bisa membenci mereka, karena saat itu benar-benar salahku karena mencoba membunuh anak kandung mereka."

"Setidaknya bisakah mereka mempercayaiku jika aku melakukan itu karena Adele adalah orang yang licik?"

"Bahkan saat aku mati, aku bahkan sedikit membenci diriku sendiri kenapa aku bisa melakukan hal konyol itu sebelumnya. Tapi aku juga merasa sedih karena mereka tidak pernah mencoba mempercayaiku dan menyayangiku seperti sebelumnya? Aku merasa cemburu dan iri pada Adele yang bisa mendapatkan semuanya dengan mudah."

"Dan apa yang bisa aku lakukan...?"

Aleta yang tenggelam pada ingatannya memiliki wajah jelek dan kebencian dan kemarahan yang selalu dia tekan dihatinya meletus pada saat ini dan tidak memperhatikan wajah Elvano yang berubah seperti palet warna-warni.

Pria yang pertama baru kali mendapatkan kekasih dan ingin memberikan semua yang terbaik didunia untuknya dan memiliki kontrol dan kepemilikan yang kuat merasa sangat, sangat cemburu saat Aleta mengatakan bahwa dia pernah mencintai Algibran selama satu kehidupan lalu merasa kasihan pada Aleta yang tidak bisa mendapatkan kasih sayang orang tuanya tapi wajahnya menjadi putih karena kekhawatiran dan kemarahan karena mereka memperlakukan Aleta-nya seperti itu dikehidupan sebelumnya.

"Quenby, jika kamu menginginkan kasih sayang dari orang tua bukankah ada keluargaku yang menyukaimu lalu jika kamu menginginkan cinta, ada aku yang sangat mencintaimu bahkan jika aku mati dan menjadi roh."

"Aku sangat, sangat menyukaimu jadi jangan tinggalkan aku, oke? Jika tidak, aku akan merasa akan gila tanpamu."

Aleta tersentak dan tersadar dari ingatannya dan menatap Elvano dengan kaget.

"Jangan tinggalkan aku, jangan melupakanku, jangan menjauh dariku, jangan merasa takut padaku, jangan membenciku, tolong.. tolong cintai aku lebih dari kamu mencintai Algibran sebelumnya, jika kamu meninggalkanku aku tidak tahu akan seperti apa aku."

"Jadi kumohon tetaplah menyukaiku, aku yang sudah merasa semuanya membosankan dan tidak berarti, aku tidak ingin melepaskan tali kesadaran darimu yang mengikatku bahwa seseorang bisa mencintaiku, menyayangiku seorang selamanya bukan perasaan kosong dan dingin yang selalu ada dihatiku."

Tangan Elvano mengusap pipi Aleta dengan lembut lalu menarik Aleta untuk duduk di pangkuannya dan memeluk Aleta dengan erat, tangan yang mengusap pipi Aleta kini meluncur dilehernya yang rapuh dan menggosoknya dengan pelan.

Mata Elvano yang selalu berkabut kini bersinar dengan cahaya yang sangat terang tapi permohonan yang ada dimatanya membuat Aleta merasa tidak nyaman karena dia merasa tidak pantas jika Elvano memiliki permohonan yang rendah hati dimatanya.

"Aku akan tetap menyukaimu seperti apapun kamu menjadi."

"..."

Tubuh Elvano menegang karena saat Aleta mengatakan akan tetap mencintainya apapun yang terjadi dia benar-benar sedikit tergoda untuk menguncinya didalam sangkar emas yang dia buat dan membiarkannya selalu menatapnya.

Lalu kapan Elvano membuat sangkar emas? Elvano menemukan buku catatan yang dirinya sebelumnya memiliki rencana untuk menguncinya jika Aleta mencoba melarikan diri darinya atau Aleta merasa takut padanya dan dia telah menyiapkan sangkar itu di tempat yang sangat jauh dari keramaian agar hanya mereka berdua yang ada.

Elvano meletakkan dagunya dibahu Aleta agar Aleta tidak melihat pemikirannya yang menakutkan.

Lain kali...

Jika dia benar-benar melarikan diri, aku akan menguncinya, jadi lain kali saja...

Mereka terdiam selama beberapa menit lalu Aleta yang selalu mengusap rambut pirang Elvano berhenti bergerak dan bertanya dengan nada lembut pada Elvano yang diam.

"Xavier kamu tidak akan mengatakan sesuatu?"

"..."

"Aku sudah mengatakan rahasiaku tapi kamu belum mengatakannya, apa kamu tidak ingin aku tahu sesuatu tentangmu?"

"... Tidak."

"Xavier~"

"Itu terlalu menyedihkan, aku tidak ingin kamu menangis untukku."

Meskipun Elvano mengatakan dia tidak ingin Aleta menangis untuknya, dia masih memikirkan mata merah diwajah Aleta saat dia melupakan semuanya dan Aleta yang menangis karenanya membuat Elvano memiliki kegembiraan tersembunyi dihatinya karena seseorang mengkhawatirkannya dan merasa sedih untuknya, apa lagi Aleta yang menangis sangat indah dan terlihat seperti kecantikan yang rapuh yang membuat ingin menggertaknya dan menekannya.

"Katakan saja Xavier~ aku ingin tahu tentang mu."

"Oke."

Aleta bersandar pada Elvano dan mencoba mendengarkan dengan sangat serius. Melihatnya bersandar dengan lembut ditubuhnya dan memasang ekspresi serius diwajahnya membuat Elvano merasa lucu dan mencubit pipi Aleta yang lembut dan menggosoknya.

"Seriuslah."

Aleta menepuk tangan Elvano yang ada diwajahnya dan melotot marah pada pelakunya yang selalu mencubit wajahnya disetiap kesempatan. Menarik tangannya dengan sedikit enggan Elvano membuka mulutnya dan berbicara tentang dirinya.

"Aku dari dunia ini tapi juga bukan dari dunia ini."

"Hah?"

Aleta menatap Elvano dengan kebingungan dimata kuning cerahnya.

"Sulit untuk mengatakannya."

"Xavier aku tidak mengerti apa yang kamu maksud bahwa kamu dari dunia ini tapi juga bukan dari dunia ini?"

"Uh.."

Elvano juga sedikit bingung karena dia merasa sedikit sulit untuk menjelaskannya.

"Apa?"

"Seperti ini, aku pertama kali ada atau lahir didunia ini setelah itu aku pergi kedunia lain lalu aku kembali lagi kedunia ini."

"... Oke, aku sedikit mengerti lalu?"

"Aku sudah terlahir kembali didunia ini sebanyak lima kali."

"Lima kali? Kenapa?!"

Aleta menegakkan badannya dan menatap Elvano dengan mata terbelalak.

"Aku tidak tahu."

Elvano menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pembicaraannya.

"Setelah aku mati untuk yang kelima kalinya aku pergi kedunia lain tapi aku tidak memiliki ingatan tentang dunia ini. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan didunia itu tapi yang pasti adalah aku telah mati dan kembali lagi didunia ini."

"Bagaimana kamu tahu bahwa kamu pernah pergi kedunia lain?"

"Aku melihat dibuku catatan milikku."

"Lanjutkan."

"Aku datang dari dunia lain tidak memiliki ingatan tubuh ini sebelumnya tapi mungkin karena aku memang terlahir didunia ini aku merasa akrab dan asing dengan semuanya."

"Sudah hampir satu bulan aku berada disini. Tapi..."

"Aku kehilangan semua ingatan ku."

"..."

"Mungkin karena kebingungan atau proses penggabungan ingatan sebelumnya didunia ini dan dunia itu, aku secara tidak sadar ingin melupakan semuanya."

"Kenapa?"

Aleta menatap Elvano yang memiliki senyum tipis diwajahnya dengan keraguan yang tertulis diwajahnya.

"Ini semua sangat menyedihkan."

Elvano memalingkan kepalanya dan tidak lagi menatap Aleta dia hanya menyeringai sinis, sebelum Aleta bertanya Elvano melanjutkan ceritanya.

"Mereka semua menyedihkan. Sangat menyedihkan."

"Didunia ini saat dia baru saja berulang tahun yang ke 8, dia dan adiknya diculik oleh pria yang cemburu pada ayahnya karena bisa menikahi wanita yang dia sukai tapi pria yang menculik kedua anak kecil itu adalah orang gila."

"Lalu apakah kedua anak kecil itu akan baik-baik saja? Tentu saja itu tidak, salah satu dari mereka menjadi kelinci percobaannya tapi karena tubuhnya yang memiliki antibodi yang langka dia menjadi bahan percobaan untuk sampel yang berisi dengan racun dan berbagai darah hewan selama beberapa bulan mereka menghilang."

"Dia yang mencoba menjaga adiknya dari orang gila itu harus bertahan untuk menjadi bahan eksperimen manusia. Dia tidak ingin adiknya merasakan rasa sakit saat sampel itu bereaksi setelah disuntikkan pada tubuhnya. Bahkan jika dia pernah melawan, orang gila itu mengancamnya akan menggunakan tubuh adiknya sebagai bahan percobaan berikutnya jika dia tidak menuruti perintahnya."

"Dikunci diruangan kecil yang gelap selama tujuh hari, lalu mengalami lagi rasa sakit, keputusasaan dan ketakutan yang melandanya membuat anak kecil itu kehilangan cahaya yang seharusnya dia miliki."

Elvano tidak mengatakan betapa sakit dirinya saat organ dalamnya teraduk-aduk, jantungnya yang berdetak terlalu kencang hingga membuatnya kesakitan dan kesulitan untuk bernapas, dan kepalanya yang terasa mau pecah karena rasa sakitnya seperti ribuan jarum yang menusuknya dengan keras.

Dia tidak mau mengatakan rasa sakitnya pada Aleta karena dia takut membuat Aleta takut. Dia juga tidak pernah ingin mengatakan betapa takutnya dia dikurung diruangan gelap yang sangat kecil sendirian tanpa makan dan minum dan betapa putus asanya dia tidak bisa melawan pria itu dan hanya bisa secara pasif menerima perilaku tidak manusiawi yang dilakukan pria itu padanya.

Sangat putus asa seakan-akan dunia akan meninggalkannya dan meninggalkannya dijurang yang gelap dan dingin sendirian yang dimana dia tidak bisa menjangkau cahaya yang bersinar terlalu jauh darinya. 

"Saat ayahnya menemukan anak-anaknya, anak pertamanya telah membuat obat untuk menghilangkan ingatan dan menyuntikkannya pada adik kecilnya yang telah melihatnya sangat menyedihkan dengan penuh luka dan darah ditubuhnya tapi anak kecil itu menaikkan dosis obat itu hingga membiarkan adiknya melupakannya dan kejadian yang terjadi saat penculikan itu. Tubuh anak pertamanya penuh dengan luka sedangkan tubuh anak bungsunya masih halus dan lembut tanpa sedikitpun luka yang dia terima hanya pakaiannya yang compang-camping karena perlindungan saudaranya yang luar biasa dan ledakan bom yang dia buat untuk membunuh pria gila yang telah menjadikannya eksperimen manusianya."

"Karena teknologi medis yang kurang disini anak pertamanya harus pergi mendapatkan perawatan diluar negeri karena luka yang dideritanya. Karena anak bungsunya kehilangan ingatan ayah dan ibu anak kec itu menitipkan anak pertamanya kepada ayah dan ibunya yang ada di Prancis tak lama setelah itu mereka kehilangan kontak untuk menjenguk anak pertamanya karena anak pertama mereka di diagnosis menderita depresi dan autis. Orang tuanya telah mencoba melakukan yang terbaik tapi mereka masih memiliki anak bungsunya di Indonesia jadi mereka kembali dan selalu memberikan surat pada anak kecil itu."

Aleta dengan mata merah menepuk punggung Elvano dengan pelan untuk memberikan kehangatan dipelukannya. Elvano memeluk Aleta dengan erat seolah-olah itu adalah kayu apung keselamatannya dilautan luas yang dahsyat dan tetap melanjutkan ceritanya.

"Anak kecil itu tidak menderita autisme dia hanya menderita gangguan bipolar dan paranoid yang ekstrim, jika ada seseorang yang menyentuhnya dia menjadi sangat curiga jika orang yang menyentuhnya akan memiliki pikiran tersembunyi untuknya, seperti pria yang telah membuatnya menjadi eksperimen manusia. Anak kecil itu menjadi mudah curiga, anti-sosial, memiliki gangguan obsesif-kompulsif dan perilakunya yang menjadi kejam pada semua orang karena dia memiliki keinginan yang kuat untuk mengendalikan. Jika mereka melawannya dia akan membuat orang itu menghilang dari dunia."

"Dia menyembunyikan penyakitnya dengan baik dari kakek dan neneknya agar mereka tidak khawatir dan takut selama beberapa tahun. Dan membuat mereka hanya memikirkan jika anak kecil itu sedikit menarik diri setelah kejadian sebelumnya dan tidak pernah memikirkan jika cucunya sakit jiwa."

"Melihat kesempatan ini, anak kecil itu mengumpulkan kekuatannya untuk selalu mencari pria gila itu yang selamat dari ledakan bom yang dia pasang dengan gila. Dia terobsesi untuk membunuh pria itu dan mencarinya keseluruhan dunia dan akhirnya dia membunuh pria gila itu saat dia berumur lima belas tahun."

"Dengan imbalan dia tidak pernah mencoba kembali menemukan orang tuanya, adiknya, dan kakek, neneknya karena kepengecutan nya karena dia takut ibunya yang selalu menyayanginya akan membencinya dan takut padanya saat dia berperilaku seperti pria gila yang sudah mati itu karena ibunya membenci pria gila itu."

"Dia melarikan diri dari kenyataan."

"Sungguh pengecut, lemah dan menyedihkan."

"Tapi saat dia telah mengumpulkan keberaniannya untuk bertemu orang tua, adiknya, paman, dan kakek, neneknya kembali, keluarganya telah tiada yang membuatnya menjadi gila dan membalas dendam keluarganya pada orang yang telah membunuh keluarganya."

"Tapi pada akhirnya dia mati saat dia berumur 25 tahun. Yang membuatnya semakin sakit adalah dia terlahir kembali saat dia telah dilakukan sebagai eksperimen manusia tapi dia bertahan dan mencoba mengubah semuanya tapi pada akhirnya selalu berakhir dengan kematian yang tragis."

"Dunia ini memberikan lima kali kesempatan tapi dunia ini juga menghancurkan harapan yang dia buat saat anak kecil itu memiliki harapan jika dia bisa mengubahnya."

"Itu hanya angan-angan anak kecil itu."

Ternyata dunia juga meninggalkannya saat itu diwaktu yang selalu terulang kembali dan tidak pernah bisa bergerak maju. Meninggalkannya untuk mengulang pada waktu terpanjang dan putus asanya dia dan tidak pernah bisa hidup sampai usia 25 tahun.

"Kesempatan itu mungkin sudah habis dia pergi kedunia lain tanpa ingatan apapun tapi dia memiliki obsesi tentang kasih sayang keluarga."

"Aku belum mendapatkan ingatan didunia itu tapi yang pasti itu juga sama menyedihkan dan lebih konyol dari hidupnya didunia ini."

Tubuh Elvano bergetar bahkan jika dia sudah mati rasa dia tetap merasa sangat sedih karena apa yang terjadi padanya. Tidak bisa tumbuh seperti anak normal tapi harus tumbuh dalam kebencian dan kemarahan yang ada pada dirinya. Dia juga merasa tumbuh didunia lain itu lebih konyol, bodoh dan menyedihkan didunia ini.

"Xavier jika kamu ingin menangis, menangislah."

"..."

Suara Aleta sedikit tercekat, apa yang dikatakan Elvano membuatnya bisa merasakan kebencian, kemarahan, kesedihan, ketakutan, dan keputusasaan yang sunyi dalam suara tenang dan dingin.

Elvano mengedipkan matanya dan menguburkan kepalanya dileher Aleta dan tidak ingin berbicara karena perkataan Aleta membuatnya sedikit tersentuh tapi dia tidak pernah ingin menangis apalagi terlihat rapuh didepan wanita yang dia sukai itu sangat memalukan.

"Apa kamu ingin makan?"

Elvano yang telah lama terdiam mengangkat kepalanya dan bertanya pada Aleta.

"Tidak..."

Sebelum Aleta ingin melanjutkan perkataannya suara perutnya yang berbunyi mengkhianati pikirannya yang membuatnya ingin menguburkan kepalanya dilubang karena malu.

Elvano tersenyum dan tidak mengekspos rasa malu Aleta dan berbicara dengan tenang.

"Tapi aku lapar."

"Kalau begitu ayo pergi makan, aku akan membantumu memasak."

Aleta berdiri dari pangkuan Elvano dengan cepat dan melarikan diri menuju dapur untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Oke."

Elvano menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju dapur untuk mengikuti Aleta dibelakangnya.

-

-

-

-

[Bersambung....]