Dalam perjalanan tak ada kata satupun yang terucap dari bibir dua anak manusia itu. Keduanya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mobil BMW 8i berwarna putih memasukki salah satu komplek perumahan elit di kota Jakarta. Meski itu bukan kali pertama Aluna berada di lingkungan tersebut, tetapi tetap saja ada rasa takjub bukan main.
Mobil sudah menapaki halaman rumah dengan cat putih. Rumah dengan dua lantai dan halaman yang luas itu mengingatkan Aluna akan tragedi asal bicara yang membuat ia kehilangan kesempatan untuk menunda pernikahan gila ini.
Lihatlah!. Aluna kembali mengeluh, benar-benar bukan kebiasaan gadis kelahiran tahun 98.
"Selamat datang tuan...nona" Begitu pintu utama terbuka, kedua pengantin baru itu disambut salah satu asisten rumah tangga.
"Terima kasih bi Jum" balas Zaedan dan diikuti Aluna dengan tersenyum manis ke arah bi Jum. Salah satu ART di rumah keluarga Akbara.
Zaedan berjalan dengan langkah lebarnya dan diikuti Aluna dengan setengah berlari. Setelah beberapa langkah, Zaedan berhenti seketika. Untung saja Aluna tidak menabrak punggung kokoh itu.
"Kemana orang rumah bi Jum (Melinda dan tuan Yudistira)?" tanya Zaedan.
"Oh, kalo nyonya keluar sebentar tuan, dan kalo tuan besar sedang istirahat. Apa perlu saya bangunkan?" tanya bi Jum ragu.
"Hmm.., baiklah tidak usah, terima kasih" Zaedan melanjutkan langkah menunju anak tangga. Baru beberapa anak tangga yang ia naiki, sudut mata memicing ke arah gadis yang tengah kebingungan di bawah, "Hei!, apa yang kau tunggu!. Cepat naik ke atas" sarkas Zaedan.
Buru-buru Aluna menaiki tangga dan menyusul Zaedan.
Sesampainya di depan pintu, Zaedan pun membuka secara perlahan.
Krek...,
Dapat dilihat dari bola mata Aluna betapa mewah kamar yang ada di hadapannya. Dekorasinya simpel namun terkesan mahal, dominasi warna putih dan silver sangat kentara di ruangan ini. Ada ranjang king size, sofa putih memanjang, televisi yang lebar. Bahkan di rumah Aluna tidak ada TV sebesar itu.
"Kau...cepat masuk ke ruangan itu!. disitu tempat untuk menaruh pakaian" Aluna mengikuti arah pandangan Zaedan. Terlihat ada dua pintu tertutup di sebelah kiri sisi kamar.
Tanpa berlama-lama, Aluna langsung bergegas. Saat tangan kanan mungil itu memutar hendel pintu, pintu pun terbuka secara perlahan. Lagi, Aluna terkesiap melihat apa yang ada di depan mata. Deretan lemari dan dua sofa kecil tanpa sandaran tertata rapi.
"Bagian sebelah sana, itu bagian mu" jawab Zaedan dingin dari balik tubuh Aluna.
Aluna memasukkan semua pakaiannya. Saat ini bukan waktunya untuk takjub dengan semua pemandangan yang ada. Lebih baik memikirkan nasib kedepannya. Begitulah pikiran Aluna.
***
Mobil bentley bewarna silver memasukki pekarangan rumah mewah itu. Setelah mobil berhenti tepat di depan pintu masuk, seseorang dengan pakaian hitam keluar dari balik kemudi dan mengitari mobil untuk membuka pintu mobil. Keluarlah wanita berusia 40 tahunan yang sangat kontras dengan wajah dan gayanya.
"Silahkan masuk nyonya".
"Terima kasih bi Jum" senyum hangat terpancar dari wajah cantk itu. "Oh iya, apa Zaedan dan istrinya sudah sampai?".
"Sudah nyonya, belum lama. Mungkin sekitar setengah jam yang lalu" jawab bi Jum.
"Baiklah, siapkan makan siang, aku tak sabar ingin makan bersama dengan menantu cantik ku itu" Melinda segera berjalan ke arah kamarnya. Namun langkah kecil wanita itu berhenti tatkala suara bi Jum kembali terdengar.
"Maaf nyonya, ada bu Tatik di belakang, beliau ingin bertemu dengan nyonya, ingin berbicara suatu yang penting katanya" bi Jum menyampaikan keinginan bu Tatik. Salah satu ART di rumah itu juga.
"Baiklah, suruh dia menemui ku di kamar sekarang" titah Melinda.
Bi Jum pun melaksanakan perintah, ia bergegas kembali ke dapur.
***
"Kau mulai lapar?" pertanyaan ini datangnya dari suami, entah mengapa suasana hatinya kembali baik.
"Belum kang, masih kenyang" jawab Aluna sekenanya, sebenarnya Aluna sangat bosan. Terlebih canggung berada dalam 1 ruangan dengan Zaedan tanpa berbicara satu sama lain.
"Kalau lapar bilang, biar kita turun ke bawah" jawab Zaedan yang masih setia duduk di sofa sembari fokus terhadap ipad miliknya. Mungkin sedang ada pekerjaan dari kantor.
Aluna yang semakin gelisah kemudian kembali berucap, "Kang....bolehkah saya keluar?" tanya Aluna ragu.
"Keluar ke mana?" Zaedan kembali bertanya, alisnya berkerut. Namun fokusnya tetap tidak terlalihkan.
"Keluar dari kamar, saya ingin berkeliling-keliling saja" jawab Aluna
"Tidal usah, kau tidak kenal siapapun di rumah ini. Mama juga belum kembali, jadi tunggulah sebentar" kata Zaedan yang suaranya sudah tidak mengenakkan.
***
Disisi lain, Melinda sedang mengamati kesedihan seorang wanita yang hampir seumuran dengannya. Wanita itu tampak sedih, terlihat sekali bahwa ia sebenarnya merasa enggan melakukan apa yang tidak ia inginkan.
"Baikklah bu Tatik jika itu sudah keputusan final, saya tidak bisa memaksa" suara Melinda juga lirih, seperti memendam rasa sedih, "Saya harap bu Tatik tetap kuat, maafkan saya dan keluarga jika ada kesalahan selama bu Tatik bekerja di sini".
"Tidak nyonya, selama ini saya dan suami diperlakukan dengan baik, bahkan...." wanita bernama bu Tatik itu sudah tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
"Sudah bu Tatik, yang lalu biarlah berlalu, sudah...sudah, bu Tatik harus ikhlas" ucap Melinda menenangkan, wanita itu menepuk pelan bahu bu Tatik.
Dengan tubuh yang masih bergetar, bu Tatik mengangguk sembari berkat, "Terima kasih nyonya, selama ini sudah sangat membantu. Sampaikan juga terima kasih saya kepada tuan besar dan tuan muda. Saya tidak bisa berlama-lama".
Melinda menarik sedikit sudut bibirnya, "Iya, nanti saya sampaikan. Sampaikan juga salam saya kepada suami dan mertua bu Tatik ya" balas Melinda
"Baik nyonya".
Dua wanita itu berpelukkan erat. Ya, mungkin itu pelukkan terakhir mereka.
***
Matahari sudah mulai beranjak ke posisi tertinggi di langit bumi.
Saat ini, beberapa asisten tampak sibuk menyiapkan makan siang yang istimewa. Maklum, mereka sedang menyambut kedatangan anggota baru di keluarga kaya ini. Seorang nona muda cantik. Mereka juga sudah tidak sabar ingin melihat lagi wajah cantik nona muda mereka itu, pasalnya di awal pertemuan mereka tak dapat terlalu lama melihat.
Setelah beberapa waktu, makan siangpun siap. Seluruh anggota keluarga juga sudah siap. Tuan Yudistira, nyonya Melinda, Zaedan, dan Aluna makan dalam diam. Karena tradisi makan di keluarga Akbara memang seperti itu. Berbagai macam hidangan disajikan secara istimewa. Tentu, ini bagian dari penyambutan sang nona muda.
Akhirnya, hidangan terakhir pun sampai di atas meja. Hidangan penutup kali ini yaitu caramel custard yang sangat menggoda. Nah, waktu inilah yang pas untuk berbincang. Di keluarga ini, waktu menyantap hidangan penutup sudah diperbolehkan untuk berbincang ringan.
"Kapan kamu sampai Dan?" tanya tuan Yudistira mengawali percakapan.
"Em..., sekitar pukul 10 tadi kek" jawab Zaedan singkat. Ia masih sibuk menyendok kudapan di hadapannya.
"Kenapa tidak membangunkan kakek" protes tuan Yudistira.
"Sudahlah kek" jawab Zaedan, pertanda malas untuk berdebat.
"Bagaiman Aluna?, kamu suka tinggal di sini?" tanya tuan Yudistira beralih memandangi cucu menantunya itu.
"Suka kek, di sini Aluna merasa nyaman" jawab Aluna membalas senyum Yudistira.
Setelah percakapan itu, beberapa detik hanya ada keheningan. Namun, Melinda kembali bersuara
"Pah...Dan..., bu Tatik menyampaikan ucapan terima kasih, bu Tatik tadi undur diri. Beliau sudah tidak bekerja lagi bersama kita" ucap Melinda dengan raut wajah sedih.
"Jadi dia benar-benar berhenti?"
•
"Mengapa bu Tatik berhenti ma?"
Dua pertanyaan itu terlontar dari mulut masing-masing pria di hadapan Melinda. "Iya pah, bu Tatik benar-benar berhenti" Melinda diam sejenak, lalu beralih menatap Zaedan, "Bu Tatik berhenti, karena papa mertuanya sedang sakit parah Dan, tidak ada yang bisa mengurus selain bu Tatik setelah kepergian ibu mertua bu Tatik" Melinda menjelaskan.
"Mengapa tidak di bawa saja papa mertua bu Tatik ke sini, kita masih punya banyak kamar di belakang, dan..kita bisa menyewa perawat untuk mengurusnya" jawab Zaedan tak terima.
"Memang benar, tapi...bu Tatik berhak memilih jalan hidupnya Dan. Mama tau kau pasti sedih, mama juga, dan kakek mu juga pasti sedih" kalimat ini dibalas anggukan kepala oleh tuan Yudistira.
Zaedan hanya diam, dia sudah tidak bicara lagi.
Berbeda dengan Zaedan. Aluna tampak menyimak ucapan dari 3 generasi keluarga Akbara tersebut. Namun pupil mata melebar dan telinga berdiri tatkala mendengar satu nama 'Tatik'.
'Mungkinkah orang yang sama?' batin Aluna.
***
Author butuh support ini, caranya gampang
1. Jangan Lupa sedekah Power Stone (PS) setiap hari
2. Masukkan cerita ini ke koleksi kalian ya
3. Beri review yang baik dan positif
4. Komentar positif dan membangun
5. Share cerita ini kepada orang-orang terdekat kalian
Cerita ini tidak akan berkembang tanpa dukungan kalian semua....
Jangan lupa follow ig
@pemujakhayalan