Entah Panggilan telah berakhir atau belum. Tiba-tiba saja benda berwarna hitam itu terjatuh membentur lantai lalu Circi memeluk ku sangat-sangat erat. Sesekali bibirnya mengecup kepalaku. Berulang kali mengucapkan kata maaf. Namun aku tak mampu membalas. Karena yang aku inginkan sekarang adalah bertemu dengan gadis yang bekerja sebagai pengantar pesanan itu, yang tak lain adalah seorang Putri Mahkota dari salah satu kerajaan Peri bernama Elsa, sekaligus seseorang yang dahulu pernah mengisi kekosongan hati namun harus aku tepis saat tahu ia bukanlah sang kekasih sejati. Aku pikir ini salah satu cara untuk selangkah lebih dekat padanya. Sebab jika permasalahan ku dengan Elsa selesai, maka tugasku dikemudian hari hanya tersisa satu. Yaitu, fokus untuk mendapatkan seluruh hati calon Luna kami, Circi.
Setelah memberontak begitu kencang, hingga tak sengaja memberikan tiga garis berwarna merah di bagian lengan kanan atas, baru dan lagi. Kini wujud immortalku hanya bisa berjalan bolak-balik di belakang pintu minihouse. Menunggu seorang wanita dewasa yang menyamar menjadi seorang perempuan muda saat sedang berbaur dengan kalangan manusia. Wanita dewasa yang sangat aku rindukan. Telah lebih dari seratus tahun aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sesekali kedua mata hitam pekat milik Dri menatap lekat ke arah calon Luna kami. Begitu nampak bagaimana ia terisak, duduk dengan kaki terlipat hingga menghimpit dada, lalu kepala tertelungkup ke dalam lipatan kaki. Bahunya bergetar.
"Sabar sebentar sayang,"batinku, kalut.
Setelah beberapa puluh waktu berlalu, terlihat dari pintu kaca minihouse. Seseorang tengah mematikan kendaraan berwarna hitam-merah tersebut. Saat pelindung kepala berbentuk setengah bulat itu terlepas. Disitulah aku tersadar bahwa orang itu adalah wanita yang telah ditunggu-tunggu. Ketika kepalaku berbalik ke arah belakang, bermaksud untuk memberi tahu Circi tentang kedatangannya, justru yang terlihat calon Luna kami tengah duduk termenung dengan tatapan mata kosong ke arah lantai di bawa sofa. Karena tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, segera saja aku berlari ke arahnya kemudian menjilati pipi pucat itu.
Tokk Tokk Tokk
"Hei, kamu begitu senang saat tahu orang yang kamu rindukan telah datang? Hm? Baiklah, aku akan membuka pintunya untukmu, tetapi berjanjilah, jangan pergi meninggalkan aku, oke Alfa?" Ujarnya padaku dengan fokus teralihkan ke arah pintu kaca mini house, menampakkan Elsa dengan pakaian yang jauh dari kata anggun kini telah berdiri di sana. Karena terlalu tidak sabar untuk bertemu membuat aku mengabaikan nama baru yang diberikannya padaku, yaitu, Alfa.
"Padahal itu nama yang bagus." Muram Dri.
"Kamu hanya seekor hewan berbulu, tapi memberikan pengaruh luar biasa pada hidupku selama beberapa minggu ini. Pada akhirnya, aku tahu bagaimana rasanya saat kehadiran dan uluran tanganku padamu harus terkalahkan oleh rasa rindu. Jadi begini ya rasanya, saat semua usaha harus berakhir sia-sia. Ah! Ada apa denganku? Kenapa aku jadi mudah sekali terbawa perasaan hanya karena seekor hewan berbulu sepertimu." Ucapnya penuh air mata, menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Maaf aku tidak becus mengurusmu, maaf aku tidak mengerti apa maumu, maaf aku jauh dari kata baik untuk merawatmu. Harusnya aku menyadari semuanya sejak awal agar kamu tidak perlu merasakan kondisi terburuk dalam hidupmu. Tapi karenaku,"
Kalimatnya terputus, kini yang terdengar hanya isak tangis yang semakin kencang. Jujur rasanya hatiku dan Dri seperti diremas hingga luluh lantak, tak menyisakan apapun. Sakit sekali ketika mendengarnya berkata seperti itu. Entah ia mendapatkan kekuatan dari mana, tak sampai 10 detakan jantung ia telah berdiri dan berjalan lurus tanpa menolehkan kepala ke arahku lalu membuka pintu kaca minihouse lebar-lebar. Mempersilahkan Elsa untuk masuk dan meninggalkan kami di dalam minihouse. Sedang Circi sendiri telah terduduk lemas di kursi plastik tepat didepan jendela di sudut teras minihouse.
"Maaf sayang, aku dan Dri telah menyakitimu," Batinku kalut.
***
30 menit berlalu. Di dalam minihouse aku terlalu sibuk adu mulut dengan Elsa hingga mengabaikan Circi yang ternyata mengintip pembicaraan kami berdua melalui salah satu jendela dibagian kanan minihouse, yang terbuka. Kemudian hal tidak diduga terjadi. Kesalahanku karena telah mengucapkan kalimat kasar pada Elsa hingga membuat Putri Mahkota kesal lalu mengeluarkan energi negatifnya sebagai Bangsa Peri. Ketika menyadari, tanpa mempedulikan Circi sontak aku berusaha melindungi diri dari energi negatif dengan cara kembali pada bentuk manusia. Sangat kencang sekali ketika suara-suara retakan tulang dari tubuhku menggema keseluruh minihouse.
3 detakan jantung, suasana minihouse sangat sunyi, namun selanjutnya, terdengar bagaimana Circi terjatuh dari kursi. Saat mendengar itu, aku dan Elsa terdiam dan saling pandang. Setelah menyadari keadaan serta apa yang telah terjadi, serentak kami berdua, berlari bersamaan. Membuka paksa pintu yang tadinya sempat Elsa tutup, secara lebar-lebar. Nampaklah Circi terduduk bersimpuh di samping kursi plastik berwarna putih. Kedua mata bulat itu menangis. Tubuhnya memberikan respon bahwa ia merasa shock luar biasa. Tepat di belakang Circi, dua orang manusia paruhbaya tengah berdiri kaku, menampakkan reaksi yang sama shocknya seperti Circi.
"Elsa, Apa ini?" Tanya Circi, dapat didengar suaranya semakin memelan, mungkin akibat dari shock yang di rasakan. Kedua mata menangis itu menatap tepat ke arah Elsa yang panik. Kemudian sebelum Elsa menjelaskan, kedua orang paruhbaya itu menarik Circi untuk berdiri, lalu membopongnya masuk dalam mobil dan melaju kencang, menghilang dari padangan. Tersisa Aku dan Elsa saja disini.
***
4 minggu aku dan Dri juga Elsa tidak bertemu seorang Circi. Ketika mencoba mencari infopun, hasilnga nihil. Kini giliranku dengan keluarga di istana mendapat kejutan berupa kedatangannya bersama Elsa. Ya, hanya datang berdua.
"Padahal aku berharap Circi datang bersama calon mertua ku, tetapi sepertinya, itu tidak akan terjadi. Benar Dri?" Mindlinkku pada Dri yang sedang diam, menatap tajam Circi dengan perasaan campur aduk.
" . . . "
"Baiklah, tak apa Dri. Percayalah, perasaanku juga sama campur aduknya denganmu. Tapi aku merasa ini akan menjadi akhir dari pertemuan kita dengan Circi atau efek samping dari aku yang terlalu berpikir negative?" Mindlink ku lagi. Dan sebuah jawaban yang cukup mengejutkan datang dari Dri. Dimana, biasanya setiap Dri menjawab satu suara dengan apa yang sedang aku tanyakan, itu pertanda memang akan segera terjadi. Entah ini sebuah karunia atau, tidak tahu.
"Aku satu suara denganmu Lay, tetapi tidak ada salahnya, jika kita berharap itu hanya sebuah prasangka buruk." Tegas Dri. Yang aku respon hanya dengan sebuah anggukan dan senyuman pahit.
Dengan berpura-pura riang gembira, aku sambut penuh kebahagiaan ketika tubuh dua perempuan itu mulai memasuki aula istana, tempat di mana tahta seorang Alpha berada. Bahkan aroma tubuhnya sudah tercium dari radius yang jauh. Untuk mempertahankan wibawa dihadapan penghuni istana dan bangsa, aku tetap duduk di kursi singgasana, mencoba terlihat biasa saja. Sejenak kedua orang itu membungkukkan badan di depanku lalu Elsa yang mulai berbicara, Putri Mahkota Bangsa Peri ini menjelaskan bahwa ia telah mengakui seluruh masalalu yang pernah terjadi diantara aku dan Elsa. Setelah itu Circi yang mendapat kesempatan untuk berbicara. Yang awalnya terkejut, pada akhirnya berganti dengan perasaan bahagia karena telah sekian lama tidak mendengar suaranya.
"Alfa," Ketika Circi berusaha memulai permbicaraan, ucapannya harus terpotong begitu saja oleh teguran salah satu bawahanku.
"Tidak sopan! Kau tidak patut untuk memanggil Alpha Layendriarka kami dengan nama lain! Apalagi tanpa gelar Tuan Besar kami sebagai Alpha!" Ucap salah satu bawahanku, dengan wajah memerah serta tangan terkepal kuat. Pertanda setinggi apa emosi yang berusaha dikontrolnya. Namun segera aku beri tanda agar terdiam.
"Untuk apa aku memanggilnya Alpha, kalau aku tidak bisa mendampinginya sebagai seorang Luna? Bukankah akan lebih baik kalau aku memanggil Tuan Besar kalian dengan sebutan lain? Tidak, tidak, bukan sebutan lain, ya, mirip-mirip lah, setidaknya lebih mutlak" Ucap Circi dengan suara sendu, diiringi senyum pahit. Bahkan tak urung, air mata telah mengalir di pipi yang tak pernah bosan aku ciumi disaat ia telah memejamkan mata sembari menyelami mimpinya yang telah hanyut di ribuan meter arus sungai.
"Tau? Kenapa aku ingin memanggilmu Alfa? Alfa kepanjangan dari Alexander Fabraham. Nama itu jauh lebih gagah daripada nama Layendriarka, atau gelar Alpha itu sendiri. Bukan aku tidak menghargai kedua orang tua dan para tetua, tapi, asal kamu tahu, nama Alfa bagiku seperti sebuah nama yang memiliki hukum mutlak, tidak dapat goyah oleh apapun. Tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun. Dan, tentu saja teguh pendirian, juga, tidak akan menyerah atas pilihan yang telah dilakukan dengan penuh pengorbanan,"
"Kau sedang menyindirku?" Tanya ku dengan penuh penekanan dan diliputi emosi. Dapat dilihat dari bagaimana wajah yang telah memerah dan nada suaraku yang semakin meninggi.
"Hh, tidak, tidak, tidak sama sekali." jawabnya sambil tersenyum sangat manis dan sesekali kepalanya menggeleng.
"Ya, kamu mengorbankan perasaanmu untuk Elsa, dan begitu juga sebaliknya, mengorbankan perasaan Elsa untukmu? Kamu lakukan itu tanpa pikir panjang? Kamu lakukan itu secara spontan sampai tidak menyadari bagaimana Elsa sakit hati dan menangisi keterpurukannya? Sampai mengabaikan bagaimana hatimu luka oleh pilihanmu sendiri lalu membalasnya padaku?" lanjut Circi
"Membalasnya padamu? Apa maksudmu?"Tanyaku penuh selidik.
"Ya, kamu tahu, hati yang kamu miliki sejak kamu mengakhiri ikatan dengan Elsa hingga akhirnya hati itu berpaling padaku karena mengikuti ucapan para tetua yang mengatakan bahwa, akulah Luna mu, akulah yang lebih pantas mendapatkan tahta itu. Apa kamu sadar? Hatimu sedang terluka, lalu kamu berikan hati yang luka itu padaku. Apa kamu mengerti? Hatiku ikut merasakan perihnya saat harus menerima luka yang bahkan sebelumnya tidak tahu telah diiris oleh apa dan bagaimana. Jika kamu tanya, apa hatiku siap untuk menyambut kedatanganmu? Maka aku jawab, hanya sekedar menyambut kan? Tidak masalah. Tentu saja hatiku sangat-sangat siap, tapi, maaf, pintu hatiku hanya terbuka separuh saja agar bersedia mempersilahkan hatimu yang luka itu untuk masuk lebih jauh lagi. Paham?" Jelas Circi dengan kedua tangan terkepal erat di kedua sisi tubuh yang mulai mengurus.
"Hahaha, kalau begitu, bukankah sudah menjadi tugasmu untuk menyembuhkan luka dihatiku? Aku berpaling padamu karena aku yakin, kamu bisa lakukan itu." Candaku berusaha mencairkan suasana. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
"Kamu salah. Sepertinya kamu tidak paham juga dengan maksudku. Begini, alasan kenapa pintu hatiku hanya terbuka separuh padamu. Aku mempertimbangkan penuh seluruh hal yang telah terjadi padamu, seluruh pemikiran yang ada di kepalaku, seluruh hal yang memiliki keterkaitan dengan gelar Alphamu. Bukankah pada akhirnya hanya ada 2 pilihan? Pilihan pertama, aku mempersilahkan hatimu yang luka untuk masuk lalu menjadi hatiku sebagai satu-satunya rumah untuk tempat berpulang tapi dengan resiko, aku harus bersedia dan ikhlas untuk merawat dan mengobati luka itu. Kamu perlu tahu, aku bukan dokter atau perawat di rumah sakit yang memiliki alat medis lengkap dan lebih canggih untuk menyembuhkan luka-lukamu. No problem, kalau-kalau hatimu dapat sembuh total tanpa menimbulkan akibat yang lain. Lalu bagaimana, jika ternyata luka dihatimu tidak kunjung sembuh, justru semakin parah hingga memburuk, akibatnya menimbulkan permasalahan yang baru," Jelas Circi, tak memberi aku kesempatan untuk berbicara.
"Seperti, bisa saja kamu akan menyakitiku seperti kamu menyakiti Elsa, kamu berpaling dariku karena para tetua mengatakan 'Alpha, anda memiliki mate lainnya yang jauh, bahkan jauh lebih pantas untuk menduduki tahta Luna daripada Shirly Kenia' dan akhirnya kamu mengulang kembali kesalahan di masa lalu," Ucap Circi dengan mata tertutup, membuat berbulir-bulir air mata menetes.
"Tidak. Aku berjanji," Ucapanku diputus begitu saja.
"Jangan berjanji, sejak kecil Papa sebagai cinta pertama sejak aku masih merah hingga aku saat ini berusia 21 tahun, tidak pernah membiasakan dengan janji-janji apapun itu, pasti Papa akan selalu beri bukti. Jadi kalau kamu serius, bahkan sangat-sangat serius untuk menikahiku dan menjadikan anak perempuan semata wayang ini untuk menjadi seorang luna, jangan beri janji, Tapi beri bukti." Lanjutnya mencoba tegar dengan menegakkan pandangan ke arah kedua mata biru pekatku.
"Dan pilihan yang kedua adalah aku menolakmu. Mungkin ini hal konyol, karena jika aku menjawab lamaranmu, suatu saat nanti, dengan jawaban ini, maka bukan hanya kamu yang rugi. Tapi aku juga akan merasakan hal yang sama. Kenapa? Penyebabnya, karena perasaanku," lanjutnya lagi, setelah sempat beberapa detik terhenti.
"Ah! Tidak-tidak. Saat ini perasaanku belum penting. Yang sangat penting adalah, perasaanmu dan perasaan Elsa. Aku mau, selama 3 hari, tidak-tidak, perkara hati tidak bisa selesai 3 hari. Mungkin, selama satu minggu, pikirkan baik-baik dan matang, apa benar hatimu telah berlabuh pada rumah baru di hatiku atau hatimu masih tertinggal di rumah lama, di hati Elsa. Terakhir, selama satu minggu, aku ingin, lebih baik Alfaku sayang tidak perlu bertemu ataupun menghubungiku dulu." Ucap Circi secara final.
"B-bagaimana bisa? Kau mempermainkan hati dari calon Alphamu?"Tanyaku dengan suara bergetar.
"Tidak. Bukan begitu. Aku pikir ini yang paling baik. Nanti setelah satu minggu berlalu dan kenyataan berbicara bahwa hatimu memanglah telah bersandar didepan pintu hatiku, maka tugasku saat itu hanya satu. Aku hanya perlu membuka pintu lebar-lebar, bukan hanya sekedar menyambutmu tapi akan lebih dari itu. Aku pamit." Ucapnya, kemudian benar-benar pergi tanpa menolehkan kepala ke arah belakang lagi. Percayalah, seluruh sel-sel tubuh melemas, seolah tak memiliki tenaga. Padahal faktanya sejak tadi Dri memindlink agar aku berlari secepat mungkin mengejar calon Luna kami itu.
***
Seminggu berlalu. Selama seminggu penuh aku benar-benar menghabiskan banyak waktu bersama Elsa. Mencoba membangun kemistri yang dulu sempat padam, namun tetap padam hingga waktu yang diberikan telah lalu. Aku yakin, seyakin-yakinnya bahwa hatiku telah sembuh dan mencintai Circi tanpa ada celah lagi. Elsapun ikut menyadari bahkan sebenarnya ia mendukung penuh niatku yang ingin menyambangi kediaman orang tua Circi di kota. Info terakhir yang kami dengar bahwa kondisi fisik dan mental Circi semakin menurun, bahkan berulang kali keluar-masuk rumah sakit, dan telah menjalani terapi serta konsultasi rutin. Sontak aku dan Elsa mencoba untuk menjenguk namun sesampainya disana justru sebuah kabar buruk menamparku. Secara tidak langsung, seperti langit tak memberi restu atas hubunganku dengan Shirly Kenia, Luna dihatiku.
Yaitu, Circi meninggal dunia. Membawa seluruh perasaan yang telah aku yakinkan berulang kali dalam kurun waktu seperti yang Circi pinta. Namu takdir berkata lain. Disini, tugasku bukan lagi untuk membuat Circi berhasil aku bawa ke istana agar lekas menempati posisi Luna namun, disini, aku harus bisa dan memantapkan hati untuk ikhlas. Membiarkan Circi pergi membawa seluruh harapan serta doa yang telah tersimpan abadi.