webnovel

ALFA

Terlahir menjadi seorang perempuan muda yang sangat berbeda dari umumnya membuat Shirly Kenia harus menerima fakta yang ada. Beruntung selama hidup mengenal Orang Tua dan seorang kurir perempuan di HAFA BAKERY milik Bunda, yang begitu baik dan selalu menebar aura positive. Sehingga membuat Shirly Kenia sangat menikmati selama 21 Tahun hidup di dunia. Tetapi semuanya telah berubah, perubahan ini juga menjadi titik awal Shirly Kenia memiliki tekad bulat untuk keluar dari zonanyaman. Lalu, bagaimana kelanjutan dari hidup Shirly Kenia? Apakah tetap dapat dinikmati atau justru . . .

whatsappmail · Urban
Zu wenig Bewertungen
17 Chs

Cerita Yang Terlewat (1)

Ada yang luput dari Lay dan Dri. Sang pemilik dua nama sekaligus dua wujud dalam satu tubuh itu, melupakan keberadaan sepasang manusia yang ikut menjadi saksi dalam beberapa detik menjelang berubah bentuk dari seekor hewan berbulu menjadi seorang lelaki dewasa. Suara retakan demi retakan tulang disetiap detik masih terngiang di telinga sepasang suami istri itu.

Tentu bingung dan seribu pertanyaan meliputi benak serta pikiran Papa dan Bunda. Bagaimana putri semata wayang bertemu si hewan berbulu? Bagaimana bisa memelihara hewan, hewan? Cih! Bukan hewan. Entahlah harus disebut apa. Karena, aneh! Ow, memelihara? Peliharaan? Mereka yakin putrinya masih waras untuk memilih makhluk aneh itu sebagai peliharaan! Selanjutnya apa yang terjadi hingga bisa berada di dalam minihouse? Semuanya. Sepasang suami istri itu perlu mengetahui apa saja yang telah terjadi selama berminggu-minggu tidak ada kabar, dan tidak bertemu sama sekali. Kepala mereka berdenyut-denyut. Tidak berhenti sampai disini, masalah bertambah dengan secara tidak sengaja baju lengan panjang tersingkap menampakkan luka bekas cakaran yang telah mengering sempurna, lalu belum lagi Circi yang sejak sampai di rumah hingga saat ini, hanya diam seribu bahasa, duduk membisu, menatap kosong jendela kamar yang telah hampir enam tahun tidak didiami.

Kemudian Papa dan Bunda berpandangan. Teringat pada satu orang yang juga terlibat dalam peristiwa tadi. Yap! Elsa! Bagaimana Elsa bisa disana? Berbicara sesantai itu tanpa rasa takut bersama makhluk aneh? Apa saja yang mereka bicarakan? Dan, Dan . . .

Rasanya kepala manusia berbeda jenis kelamin ini mau pecah. Semua yang sudah terjadi sangat rumit. Tak tahu berawal dari mana? Dari apa? Sejak kapan? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain. Kebingungan melanda setengah mati. Dapat dilihat tangan berkeriput pertanda umur yang sudah tidak muda lagi, tertaut satu sama lain. Mencoba saling menguatkan. Beruntung di kantor atau di HAFA BAKERY tidak sedang mendapat masalah apapun, sehingga tidak menambah-nambah beban pikiran.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Keluh Bunda, merebahkan punggung pada sandaran sofa. Tangan kurus bergerak menutupi mata dari sebersit cahaya yang menyeruak masuk dari jendela ruang tamu. Diikuti kedua mata bulat mengatup perlahan.

"Tenangkan diri masing-masing. Kita hanya perlu bicara dengan kepala dingin." Jelas Papa singkat. Kemudian beranjak ke dapur, membuat secangkir kopi hangat. Kepala terasa penat. Perlu oksigen dan kafein lebih, sekedar merileks kan otak dan hati yang sejak tadi sibuk bergelut sendiri.

"Sayang, aku pikir kita bisa bicarakan saat ini juga," saran Bunda, menengadahkan kepala. Nampak dari raut wajah sangatlah stress. Sejak tadi banyak pertanyaan berseliweran memenuhi seluruh sel syaraf otak.

"Tidak sekarang. Ini bukan waktu yang tepat. Circi masih shock. Jangan paksakan untuk membahas masalah pagi tadi di hari ini juga." Tegas Papa, mulai meneguk bulir terakhir kopi di dalam cangkir. Kedua mata hitam bulat nan pekat itu menerawang ke balik awan di langit sore.

"Sayang, bukankah lebih cepat lebih baik? Kita juga tidak tahu di hari esok ada masalah baru apalagi?" Protes Bunda, memijit kepala yang berdenyut. Beberapa kali melirik ke arah pintu kamar putrinya, berharap agar tidak terjadi sesuatu.

"Benar. Tapi kamu perlu ingat. Circi tidak senormal kita, dia perlu waktu. Biarkan malam ini berada di dalam kamar. Kita tetap bisa mengawasi dari cctv. Tidak masalah kalau malam ini aku begadang. Lagipula besok Mr. Khai dan tim akan datang, kita tidak bisa seenak jidat melakukan sesuatu yang tidak tahu nanti berakibat apa, biarkan yang piawai yang bertindak." Jelas Papa mencoba menstabilkan suara, tidak ingin menimbulkan permasalahan baru.

"Sayang, kau tahu. . ."

"Kau hanya perlu ingat satu hal. Putri kita tidak sempurna seperti yang lain. Jangan memaksakan kehendak! Camkan itu!" Setiap kata terucap penuh penekanan, kemudian berlalu masuk ke dalam kamar.

BRAKKK

Bantingan pintu menggema ke seluruh sudut ruang kamar.

"Sayang," Panggil Bunda berusaha menyusul suaminya ke dalam kamar namun terhenti oleh keberadaan Circi yang berdiri di tangga seberang. Otomatis sebuah senyum terbit tatkala sang tokoh utama yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan menampakkan diri.

"Hai nak, ada yang bisa Bunda bantu?" Tawar beliau, berusaha fokus pada sang putri.

"Bunda, aku lapar," Ucap Circi to the point. Dalam sedetik Bunda berjalan menghampiri kemudian menarik lembut tangan sang putri semata wayang ke arah meja makan. Setelah membereskan wadah gula dan kopi serta bubuk atau partikel kecil yang tercecer, Bunda mulai fokus pada olahan masakan.

"Bunda masak seperti biasa ya nak? Mm, kuah sayur asem manis, ikan cakalan goreng, sambal merah dan. . . apa ya?" Bingung Bunda di depan wastafel. Kedua tangan terhenti sejenak dari aktivitas membersihkan ikan cakalan yang baru dikeluarkan dari dalam freezer.

"Telur goreng aja, biar cepet Bun, sudah keroncongan dari tadi. Perutku sangat lapar," rengek Circi seperti anak kecil. Sebenarnya tanpa merengekpun, bagi kedua orang tuanya, Circi tetaplah anak kecil walaupun telah berusia lebih dari 20 tahun. Disebabkan oleh keistimewaan yang dimiliki Circi sehingga Bunda dan Papa tetap menerima lapang dada. Bagi sepasang manusia paruhbaya itu, Circi seperti berlian di Palung Maria. Sulit didapatkan. Perlu banyak pengorbanan.

"Jangan lupa, telur mata sapi, bagian kuning bulat ditengah dimasak setengah matang ya Bun, hehehe." Kekeh Circi, menyangga dagu di atas meja makan. Kedua mata bulat mengikuti kemanapun bunda bergerak.

"Oke nak." Canda Bunda, mengacungkan jempol, kemudian kembali fokus pada segala macam perkakas di hadapan. Nampak elok ketika dilihat mata, betapa lihainya Bunda saat tangan berkeriput bersentuhan dengan alat di dapur. Terbesit rasa iri namun Circi yakin, bahwa ia hanya perlu banyak belajar untuk bisa se-fasih Bunda.

Berbeda dengan perempuan paruhbaya yang sibuk bergelut di dapur, Circi sendiri kembali diam termenung, sedang mempertimbangkan sesuatu. Setelah 20 menit terlewati, aroma makanan lezat menggelitik hidung membuat kesadaran kembali. Ketika kepala itu tertoleh ke arah piring putih di tangan sang Bunda, kedua matanya menyayu, timbul kemantapan hati. Circi berinisiatif untuk memulai terlebih dahulu membicarakan masalah dengan Papa dan Bunda. Melihat bagaimana pengorbanan Bunda yang tanpa lelah memasakkan makanan dikala perut lapar, yang tak pernah bosan selalu peduli dan memperhatikan meski suasana hati kalut karena baru saja mengalami perbedaan pemikiran dengan suami sendiri. Circi sadar, ia telah dewasa, harus berubah untuk menjadi anak perempuan yang mandiri.

"Bunda, tidak perlu menunggu besok. Kalau prinsipmu adalah lebih cepat lebih baik, kita bicarakan malam ini. Aku juga berpikir, tidak ingin masalah ini semakin berlarut-larut. Aku tidak mau menambah beban kalian berdua. Harusnya diusia kalian yang menua ini, aku membanggakan tapi justru selalu menimbulkan masalah. Maaf. Juga benar kata Papa, aku tidak senormal dan sesempurna anak perempuan lain, tetapi aku juga bukan anak kecil lagi, sudah besar, sudah dewasa. Hehehe," Bujuk Circi, sepenuh hati.