webnovel

epesode 4

Rumah yang semula penuh akan canda tawa, kini telah berganti menjadi rumah duka. Oliver hanya menangis sepanjang waktu, menangisi sang anak yang pergi meninggalkannya karena penyakitnya kambuh dan tidak tertolong.

"Jika tahu akan jadi begini, aku memastikan Zia meminum obatnya," ucap Oliver sedih, saat ini dia telah kehilangan putri satu-satunya itu dan tidak mungkin melihat tawa Kanzia lagi.

Ansel memeluk istrinya dengan lembut, menatap kearah makam sang putri. " Jangan menangis lagi, Zia akan sedih jika melihatmu menangis ," ujarnya mencoba menangkan sang istri, dia juga berduka sekarang, tapi apa yang bisa di lakukan.

"Aku tidak bisa menghidupkan putri kita," ujar Ansel pelan, mengelus surai sang istri lembut dan berkata, " Zia pasti sudah bahagia di sana," imbuh Ansel lembut.

Oliver merespon dengan tangis, memeluk erat suaminya itu, "Aku harap begitu, Zia tidak akan merasakan sakit lagi mulai sekarang. Dia akan bahagia tanpa harus meminum obatnya setiap hari," ujar Oliver meringis kala mengingat baru kemarin keduanya bertemu putri mereka dan kini mereka harus berpisah untuk selamanya.

Ansel memaksa senyum kecil, memeluk sang istri lembut dan menganggukkan kepala pelan. Sudah garis takdir putri mereka meninggalkan mereka setelah sekian lama mengidap kelainan jantung bawaan dari lahir.

"Hah! Mungkin garisan tangan putri kita," ucap Ansel merasa frustasi dengan situasi ini, tidak ada yang tahu putrinya akan kesulitan mencari obat suatu hari nanti.

Suasana keluarga kecil Oliver kini di liputi duka di setiap kali mereka mengingat Kanzia, bagi Oliver tidak akan mudah melupakan kenangan indah bersama putri tercintanya.

Waktu selalu berputar, hari terus berganti dan dengan seiring kesedihan Oliver yang perlahan memudar di makan waktu. Seolah dia terbiasa oleh rasa sakit di tinggal sang putri, kini kendali perusahaan Kanzia telah Ansel ambil alih saat mengingat putri mereka telah tiada.

Evans enggan mengurus perusahaan adiknya, dia merasa kacau kala teringat adiknya ini jika mengelola perusahaannya. Seolah tidak ingin mengingat kembali kenangan indah bersama sang adik tercinta.

Ini akan membuat dia sulit melupakan Kanzia dan terus larut dalam kesedihan selama sisa hidup Evans. Padahal dia memiliki anak serta istri yang harus di jaganya. Demi mereka, dia akan berusaha kuat dan bertahan.

Mengingatkan Evans tidak mau, Ansel tidak bisa memaksa. Dengan perasaan berat hati dia mengambil alih perusahaan, selang beberapa hari Ansel meminta sekretaris Kanzia di waktu itu membereskan semua barang sang putri dan mengirim semua barang itu ke rumah.

Kini pria itu berjalan masuk ke dalam ruangan itu, memperhatikan setiap sudut dengan raut wajah berduka. Mendesah lelah mengingat bos dinginnya yang cantik telah meninggal dunia.

"Baru satu minggu, tapi rasanya bos masih ada di sini!" ucapnya memasukkan barang-barang di sana ke dalam kardus dengan telaten.

Mata pria itu menatap kearah bingkai foto Kanzia, di mana Kanzia tengah tersenyum bersama kakak laki-lakinya serta di samping keduanya ada Oliver dan Ansel yang tengah tersenyum bahagia.

"Keluarga yang bahagia, tapi... sayang sekali!" ucapnya mendesah lelah, menyesali malam itu tidak dapat mendengarkan teriakan bosnya.

"Apa boleh buat, aku juga tidak tahu ini akan terjadi malam itu. Kami juga takut di marahi jika datang memeriksa setiap menit." Pria itu merasa frustasi dan sedih mengingat mereka menemukan tubuh kaku bos mereka waktu itu, tidak bernyawa lagi.

Di saat merenungi dan memikirkan semua itu, dia tidak sengaja melirik kearah bawah tempat duduk dengan dahi mengernyit.

"Bukannya itu buku yang bos baca malam itu?"

Dia mengambil dan memeriksa, dengan mata rumit pria itu bergumam pelan, " Siapa yang membaca buku kosong begini! Tidak mungkin ini di baca oleh bos, hanya buku tanpa tulisan."

"Aneh, kenapa bos membaca buku ini seharian hari, itu? Padahal cuma buku polos," tuturnya di kala meletakan buku novel tanpa tulisan dalam kardus bersama beberapa barang lain.

Tanpa pria itu sadari, saat dia menutup kardus dan berjalan keluar ruangan bos. Novel yang semula Kanzia baca tiba-tiba lenyap begitu saja.