"Tolong, turunkan aku!"
Senika terus mengelak ketika Luke sudah mendudukkannya ke pelana kuda.
"Bukankah sepuluh menit yang lalu kau merasa kepanasan?" tanya Luke, yang kemudian duduk di belakang Senika.
Senika mengerucutkan bibirnya. "Itu sepuluh menit yang lalu. Sekarang tentu saja berbeda."
"Sudah terlambat," singkat Luke. Tangannya menggenggam tali kendali kuda hitamnya. Ia pun menariknya kuat agar kuda itu mulai bergegas.
"Ugh!"
Senika mendengkus sambil memutar bola matanya. Rasa-rasanya dia ingin mengajak Luke berduel satu lawan satu. Tapi, dia tidak bisa melakukannya. Selain berasal dari keluarga kekaisaran, Luke juga memiliki kemampuan yang bagus dalam bertarung. Sedangkan dirinya? Jangan tanya. Lemah.
"Ayolah, Senika. Akan lebih baik bila kita menikmati perjalanan ini," bujuk Luke hangat.
Senika kian menekuk wajahnya. Gadis yang duduk menyamping itu meremas gaun putihnya sebal.
"Kita akan pergi ke sebuah kota yang indah. Kau yang jarang keluar ini mungkin akan takjub dengan pemandangannya."
"Apa kau sedang mengejekku?" ketus Senika. Sepertinya dia semakin sensitif dengan kata-kata Luke.
"Ah, tentu tidak. Aku menyukai gadis yang jarang keluar rumah."
Masih dengan posisinya, Senika tidak membalas Luke. Entah dia enggan berdebat atau sekadar meredam emosi. Yang pasti, dia sengaja membisu.
Tapakan kuda kian terdengar. Bunyi rumput kuning yang terinjak sepatu kuda semakin renyah. Serangga-serangga saling bersiulan, diiringi burung hantu yang mengguguk. Selain itu, hanya hembusan angin yang melewati mereka.
"Masih marah?"
Kemuraman Senika kian nampak. Ia membuang muka agar Luke tidak melihatnya. Jelas saja dia marah. Luke tidak menuruti apa yang dia inginkan.
"Jangan marah. Kau makin menggemaskan kalau marah."
Senika langsung menoleh ke arah Luke. Kalimat itu ... mengingatkannya pada seseorang.
"Luke." Akhirnya Senika memanggil namanya.
"Iya?"
"Apa kau mengenal seorang prajurit di medan perang yang melawan Alberian?"
"Mungkin. Jika kau menyebutkan ciri-cirinya."
"Dia memiliki rambut dan mata hitam. Perawakannya sedikit kurus. Namanya 'Louis'."
Luke mendadak melambatkan kecepatan. Ia berdehem sebelum menjawab, "Entahlah."
Senika mengerlingkan mata. Sementara Luke menarik napas.
"Kau tahu, ada banyak prajurit di medan perang. Kalau ditotal ada sekitar puluhan ribu." Luke menandaskan.
"Oh, sayang sekali."
Senika menundukkan kepala. Sementara Luke mengalihkan dirinya ke Senika. Ia memiringkan kepalanya dan bertanya, "Siapa dia?"
"Temanku."
Luke memalingkan muka dan mengigit bibirnya. Ia kembali menarik tali kendali di tangannya---mempercepat laju kudanya dua kali lipat.
"Luke! Apa kuda ini gila?!" teriak Senika, sembari menutup matanya. Ia mau tidak mau merangkul Luke supaya dirinya tidak jatuh.
Namun, Luke tidak menjawab apa-apa. Sekarang, gilirannya yang mengantap cemberut.
"Luke, tolong hentikan dia!"
Tapi sekali lagi, Luke tidak mendengarkan kemauan Senika. Entah apa yang ada di benaknya.
***
Usai perjalanan panjang, mereka tiba di Roem---sebuah kota yang terkenal dengan sungai dan jembatan besarnya.
Pertama, Luke mengajak Senika berganti kostum. Tentu saja, ia tidak membiarkan wanita itu berjalan-jalan dengan gaun tidur dan kaki telanjang. Ia membelikannya gaun lengan lonceng sederhana dan sepatu hak rendah.
Setelahnya, Luke dan Senika menonton opera musik. Opera yang menayangkan tentang kisah cinta seorang putri dan pelayannya. Kisah yang cukup klise.
Secara keseluruhan, pertunjukan musik itu memiliki simfoni yang indah--meskipun keduanya tidak menikmatinya karena membosankan. Mereka bahkan memutuskan untuk keluar sebelum pertunjukan selesai.
"Musik itu terlalu merdu sampai membuatku mengantuk," kata Senika.
Luke bergeming. Alih-alih menanggapi Senika, mata tajamnya malah terpusat pada sebuah kios di dekat tiang lampu. Ia pun mendatangi kios itu dan tak lama setelahnya, ia kembali menemui Senika.
"Untukmu. Kau menyukainya 'kan?"
Luke menyodorkan satu stik apple toffee berlapis cokelat ke hadapan gadis itu.
"Oh? Darimana kau tahu?" tanya Senika. Manik matanya menjadi cerah setelah menerima manisan dari Luke.
"Sedari dulu kau menyukai cokelat." Luke menarik napasnya sebelum melanjutkan, "kau tidak terlalu menyukai makanan penutup, namun kau menghabiskan itu jika terdapat taburan bubuk kokoa. Kau bahkan lebih suka cokelat panas dibanding teh manis."
"Begitu."
Senika tak mengira Luke memperhatikannya sedetail itu. Ia pun menjilati apel di tangannya. Apel itu manis, namun entah mengapa menjadi semakin manis. Seraya berjalan, Senika mengunyah makanannya pelan-pelan. Sesekali, ia mendongak ke arah Luke yang terus menatapnya.
"Kau tidak makan?" tanya Senika.
Luke tersenyum tipis. "Melihatmu menikmati makananmu sudah cukup untukku."
Secara insigtif, alis Senika terangkat. Menurutnya, Luke seperti orang tua miskin di film-film yang bahagia jika melihat anaknya makan. Itu sedikit ... aneh?
Tak terasa, mereka sampai di tepi sungai Roem. Banyak perahu berjajaran yang siap digunakan di sana.
"Pasangan yang di sana! Naiklah perahu ini! Nikmati malam romantis dengan menyaksikan pertunjukan kembang api!"
Luke menoleh ke arah Senika. Ia melengkungkan matanya bak anak kucing yang sedang memelas. Senika tahu pasti arti dari ekspresinya itu.
***
Saat ini, keduanya menaiki perahu di tengah sungai Roem. Sungai berair payau yang terdapat deretan gedung kecil di kanan kirinya. Berbagai lampu mini yang menghiasi menyinari gelapnya malam. Membuat pemandangan Roem begitu cantik.
Namun, Senika tidak terfokus dengan itu. Gemetar di tubuhnya tak kunjung hilang.
Luke mempertajam lensanya. Ia mengeloskan jubahnya dan melepaskan satu per satu kancing jaketnya. Lalu, menyelimuti Senika dengan jaket cobalt tersebut.
"Aku tidak kedinginan," ucap Senika.
"Aku tidak mau Duke Chester memarahiku karena putri kesayangannya sakit."
Senika memandang heran paras paripurna Luke. Ayolah, dia bahkan tidak sadar bahwa penculikannya malam ini sudah mengundang kemarahan Orwen. Akan tetapi, Senika tak sampai hati untuk mencibirnya.
"Apa kau tidak masalah jika orang-orang mengenalimu?" tanyanya, sambil melirik jubah cokelat yang tergeletak.
Luke berdehem pelan. "Itu bagus. Mereka akan tahu kalau kita sedang menghabiskan waktu bersama."
Senika memasang tampang kosong. Dia pikir putra mahkota itu sedikit bodoh karena tidak memedulikan reputasinya.
Setelah beberapa menit, keheningan berlangsung di antara mereka. Air beriak di bawah perahu. Kayuhan dayung pemilik perahu menimbulkan gelombang kecil. Perahu mereka hampir sampai ke Big Roem Bridge.
Luke meraih tangan Senika. Sorot matanya berubah serius.
"Senika."
"Ya?"
"Aku ...."
Luke mengatakan sesuatu yang penting. Namun, lontarannya tak terdengar karena siungan kembang api mendahuluinya. Ia memercikkan kilauannya---membuyarkan fokus keduanya ke bunga-bunga yang bermekaran di langit.
"Maaf, apa?"
Senika memiringkan kepalanya. Ia menunggu kelanjutan kalimat Luke yang menggantung. Sementara Luke menggaruk lehernya resah.
"Tidak, lupakan yang tadi."
Pria itu pun menelan salivanya. "Begini, sebentar lagi akan diadakan event berburu monster."
"Lalu?"
Luke berlanjut memperlihatkan telapak tangannya. "Jadi ... maukah kau menjadi Lady-ku?"
Menjadi Lady bermakna mengumumkan kedekatan sepasang pria dan wanita di depan publik. Para bangsawan dan ksatria berpartisipasi menjadi pemburu monster. Mereka akan berlomba-lomba membabat monster di pegunungan Alphenus.
Barang siapa yang mendapat buruan paling banyak, dialah pemenangnya. Sang pemenang akan dihadiahi bunga mawar untuk diberikan ke Lady-nya. Momen yang paling romantis untuk mengumandangkan kasih sayang.
Luke memberikan kode yang sangat jelas, sehingga Senika kesulitan berkilah.
Senika memikirkan sesuatu dengan jeda waktu yang cukup panjang. Setelah pertimbangan yang matang, Senika menutup matanya. Ia pun memutuskan meletakkan tangannya di atas tangan Luke.
"Baiklah."
Seharusnya Luke mengecup punggung tangan Senika. Tapi tidak. Luke mendadak memeluk erat Senika---menyebabkan mata Senika melebar. Luke sama sekali tak menyangka kalau Senika akan menerimanya.
"Terima kasih."
Senika melipat wajah. Rasa bersalah sekaligus takut menyelimutinya. Sekali lagi, ia menggali kuburnya sendiri.
***
Sementara itu, sesosok pria berjubah putih berdiri di depan jembatan. Manik emerald-nya memantulkan bayangan perahu yang dinaiki Senika. Sosok misterius itu terkikik---sembari menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Lalu, ia mengelus kucing hitam yang duduk menemaninya di permukaan jembatan.
"Lucu sekali bukan? Lihatlah betapa dungunya gadis itu!"
Pria itu pun menyingkap penutup kepala yang membuatnya gerah. Kala kain penutupnya jatuh, nampak kilauan emas yang berpendar dari rambutnya. Lengkungan seringai tercetak di wajahnya sewaktu dirinya membalikkan badan.
"Sepertinya garis takdir tidak akan berubah," gumamnya, sebelum ia meninggalkan tempat itu.
***