webnovel

CERITA KESEMBILAN: CANGGUNG?

"Ternyata memang benar kata kamu. Pacarmu itu gayanya kaya anak remaja."

Mendengar ucapan dari salah satu teman Bu Lestana yang terarah kepadaku, aku hanya tersenyum kecut karena perkataannya itu terbilang benar dan ada sedikit sindiran.

Sejujurnya aku bukan tipe orang yang tahu akan fashion atau bahkan pakaian yang sedang trend. Aku memegang prinsip asal pakaian itu terlihat bagus di mataku atau nyaman maka akan kupakai, aku tidak peduli apa kata orang lain. Bahkan, berkat prinsipku ini, aku terkadang kena omelan dari keluargaku soal pakaianku yang tidak sesuai dan diminta untuk menggantinya.

Lagipula, wajar saja kan kalau aku memilih menggunakan pakaian berkesan remaja. Aku sendiri masihlah remaja. Tapi, ini bisa menjadi sindiran kalau aku dianggap sebagai orang dewasa. Bahkan orang yang memiliki pekerjaan bergaji tinggi.

Ngomong-ngomong, bagaimana mereka bisa menilai pakaianku berkesan remaja? Padahal aku dan kedua laki-laki itu sama-sama pakai kemeja.

"Iya. Lucu, deh," sahut satunya lagi.

"Oh, jadi kalian suka laki-laki yang bergaya masih muda, ya?" tanya salah satu laki-laki yang duduk di sebelah perempuan yang menyatakan aku lucu.

"Bukan gitu, Sayang," sanggah teman Bu Lestana. "Tentu saja aku lebih suka lihat kamu pakai pakaian yang ketat agar kelihatan otot-ototmu itu," lanjutnya dengan nada menggoda.

"Kalau aku sih, lebih suka cowokku pakai baju yang dewasa dan kalem. Ya kan, Mas?" balas satunya lagi sambil melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Sebagai tanggapan, laki-laki itu hanya menjawab dengan anggukan sambil membenarkan kacamatanya agar terkesan sebagai laki-laki yang kalem.

Kalau aku, orang yang menjadi objek pembicaraan di antara orang-orang dewasa asing, hanya bisa tersenyum kecut atau tepatnya memaksakan tersenyum karena tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.

Benar-benar berbeda sekali dengan pelaku yang membawaku ke situasi ini, yaitu Bu Lestana. Dia malah dengan wajah datar menikmati makanan pesanannya, seolah tidak merasa bersalah.

Hallo, Ibu Lestana. Tolong bantulah aku atau minimal berikanlah aku suatu informasi apa saja yang sudah kamu katakan kepada mereka soal pacarmu itu! Sehingga aku tidak perlu memikirkan cara untuk mengelabui mereka!

"Hei, Kak," panggil laki-laki berotot. "Gimana kerjaannya? Lancar-lancar saja?" tanyanya sambil menepuk pundakku dengan pelan.

"Begitulah," jawabku singkat dengan nada setenang mungkin.

"Kalian benar-benar serasi sekali!" ujar laki-laki berotot itu tiba-tiba. "Sama-sama engga banyak ngomong," lanjutnya sambil menepuk-nepuk punggungku.

"Sayang, jangan pukul-pukul dia. Kasihan dia kesakitan," ujar pacarnya.

"Tenang saja, laki-laki dipukul segini engga bakal sakit. Iya, kan, Kak."

Aku ingin sekali meneriaki sanggahan kalimatnya itu, tapi kesan sebagai orang yang tidak banyak bicara akan hilang dan kurang cocok untuk menanggapinya seperti itu. Jadi, aku mengangguk sebagai tanda setuju dengan pendapatnya.

"Hei, Kak," panggil perempuan yang pacarnya laki-laki kalem. "Udah ajak jalan Lestana ke mana aja?"

"Aku kan sudah menceritakan semuanya," ujar Bu Lestana tiba-tiba setelah terdiam sedari tadi.

Nah, begitu dong sedari tadi, Bu!

"Hehhh, tapi aku ingin mendengar langsung dari pacarmu itu~"

"Bukannya kamu janji engga bakal nanya banyak-banyak ke pacarku kalau aku ajak dia kumpul?"

"Tapi kan ini engga banyak."

"Udah, Dek," ujar laki-laki kalem menenangkan pacarnya. "Kasihan dianya juga. Lagipula, pasti jawabannya engga bakal beda jauh sama yang diceritain sama Lestana."

Teman Bu Lestana itu pun hanya bisa cemberut karena merasa tidak puas. Tapi, itu tidak bertahan lama karena dia langsung memulai topik pembicaraan, yang bukan ke arahku, dengan ceria. Sehingga, aku pun bisa merasa sedikit lega.

Mereka saling berbincang dengan asik tanpa mempedulikan aku dan Bu Lestana yang sedari tadi hanya diam melihat dan mendengar, atau tepatnya membiarkan kami memilih untuk diam saja tanpa memberikan suatu protes karena tidak mau ikut berbincang.

Akhirnya penderitaanku selesai setelah satu jam lewat bersama dengan mereka. Bu Lestana menolak ajakkan mereka untuk jalan-jalan di mall ini dengan alasan ada tugas guru yang harus segera diselesaikan. Jadi, kami pun sekarang sudah dalam perjalanan pulang, tepatnya Bu Lestana mengantarku dulu ke depan gerbang sebelum memasuki perumahanku.

"Maaf karena sudah merepotkanmu," ujar Bu Lestana setelah menghentikan mobilnya.

"Tidak apa-apa, Bu," balasku. "Terima kasih karena sudah mengantar saya dan bajunya, Bu," lanjutku sebelum turun dari mobil.

"Apa kamu tidak penasaran dengan apa yang terjadi?" tanya Bu Lestana tiba-tiba saat aku hendak membuka pintu mobil.

Sebenarnya aku sangat penasaran sekali, apalagi kalau sampai membuatku kewalahan dan terkejut begini. Bahkan ingin sekali aku menanyakan semua hal yang ada di kepalaku, tapi kurasa untuk sekarang aku tidak harus mengetahuinya. Aku merasa kalau perasaan Bu Lestana sedang kurang baik, jadi akan buruk kalau ditanyakan yang ada kesan menekan.

"Kalau Ibu belum memberitahuku, berarti sekarang bukan waktu yang tepat," balasku. "Jadi, aku tidak menanyakannya."

"Begitu," tanggapan Bu Lestana singkat dengan nada datar namun terasa seperti ada rasa bersalah sambil mengalihkan pandangannya.

Karena merasa tidak ada yang akan Bu Lestana bicarakan, aku pun langsung saja turun dari mobil. Tapi, sebelum itu. Aku pun menyampaikan sesuatu yang menurutku bisa membuat Bu Lestana merasa lebih baik.

"Kalau saya perlu bantuan Ibu, apakah Ibu mau membantuku?" tanyaku sambil melihat ke arahnya.

Ibu Lestana perlahan menggerakkan kepalanya untuk melihatku. Ekpresi yang begitu datar namun rasanya ada rasa terkejut dapat kulihat darinya. Kemudian, dia pun memberikan tanggapan singkat.

"Tentu saja."

Setelah aku turun dari mobil, Bu Lestana pun menjalankan mobilnya untuk pergi. Lalu, saat sudah terlihat jauh dari pandanganku, aku pun berbalik dan mulai melangkah untuk memasuki perumahan tempat tinggalku.

Namun, baru dua langkah, aku pun menghentikan kakiku karena tersadar sesuatu yang gawat. Seperti yang dikatakan Bu Lestana bahwa dia akan membelikan semua yang akan kukenakan untuk pertemuan tadi. Jadi, sekarang aku membawa semua itu.

Sesuatu yang gawat ini adalah sebuah jawaban untuk alasan kenapa aku bisa memiliki ini semua kepada keluargaku. Aku bisa saja menyembunyikan baju dan celanannya di tas sekolahku, agar tidak terlihat. Tapi, bagaimana dengan sepatunya?

Kalau aku paksakan dimasukkan ke dalam tas, maka akan terlihat menonjol. Pasti itu akan menarik perhatian keluargaku, terutama cucuku bernama Rani. Biasanya kalau aku pulang tidak bersamanya, maka orang pertama yang kutemui saat memasuki rumah adalah dia.

Kalau saja dia bukan tipe orang yang sangat penasaran dan tidak suka mengangguku, pasti aku bisa mengelabuinya. Tapi, sayangnya dia sulit merasa puas, apalagi kalau berhubungan dengan sesuatu yang membuatnya benar-benar penasaran. Dia akan berhenti kalau sudah mendapatkan jawabannya, jadi aku pasti akan selalu diganggu dengan pertanyaan darinya kalau aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan serta masuk akal.

Mungkin akan mudah kalau aku buang saja, tapi sangat disayangkan kalau dibuang, apalagi ini adalah pemberiaan dan aku mengetahui kalau harganya tidaklah murah.

Hmm… Bagaimana, ya?

Ah, benar juga. Ada cara itu!

***

"Hei, Aibo."

"A-Apa?"

"Loh, kamu kok kaget gitu?"

"Ya gimana engga kaget. Kamu manggil aku pas lagi melamun."

"Emang kamu ngelamunin apa?"

"Ide ceritaku."

Sebenarnya itu setengah dari kebenarannya. Karena setengahnya lagi aku merasa tenggang dengan apa yang akan terjadi di sekolah.

Aku berpikir akan terjadi suatu kehebohan akibat kejadian kemarin, apalagi Bu Lestana dengan terang-terangan menarik tanganku kemarin. Pasti kalau ada murid yang melihatnya, maka akan menjadi gosip yang sangat panas.

Tapi, hingga sekarang, aku tidak mendengar desas-desus suatu hal yang aneh. Malah, suasana sekolah seperti biasa. Tidak damai karena ribut, tapi ributnya yang wajar saja.

"Hmmm… begitu."

Setelah memberikan tanggapan seolah tidak tertarik dengan apa yang kukatakan. Dia pun duduk di kursi depan mejaku dan menanyakan sesuatu.

"Hari minggu nanti, kamu ada acara?"

"Enggak. Emang kenapa?"

"Temenin aku ke pernikahan om-ku, ya."

"Enggak mau," jawabku langsung. "Kenapa juga aku harus nemenim kamu?"

"Ayolah. Temenin aku, donggg," mohon Arkan tanpa menjawab pertanyaanku. "Om-ku orang kaya loh. Pasti nanti di pernikahannya bakal banyak makanan yang enak-enak. Kaya spaghetti atau zupa-zupa."

"Beneran?" tanyaku yang tertarik.

"Iya. Bener. Serius. Enggak bohong aku!"

Sebenarnya di rumah aku tidak kesulitan untuk bisa makan makanan yang enak-enak. Tapi, kalau bisa mendapatkan yang gratis dan bisa dimakan sebanyak mungkin, kenapa tidak.

"Okelah. Lihat aja nanti."

"Sipp, mantap!" balas Arkan sambil mengacungkan jempol. "Nanti aku sms tempatnya!"

Kemudian, terdengar suara bel masuk. Langsung saja Arkan ke tempat duduknya dan begitu juga dengan lainnya. Pelajaran pertama adalah matematika, jadi setelah beberapa saat sesudah bel berbunyi, Bu Lestana lah yang memasuki kelas ini.

Selama pelajaran berlangsung, dia mengajar dan berinteraksi kepada kami seperti biasa. Seolah tidak ada sesuatu yang cukup luar biasa terjadi. Seperti kejadian kemarin, di mana aku dijadikan pacarnya.

Kupikir dia akan merasa canggung atau bertingkah sedikit aneh hari ini, terutama kalau berinteraksi kepadaku. Tapi, dia tetap datar tanpa ekpresi seperti biasanya. Malah, saat mata kami bertemu saat seksi absen. Dia tidak memperlihatkan tanda-tanda yang berbeda.

Kurasa akunya saja yang terlalu berlebihan memikirkan apa yang terjadi kemarin atau ini akibat aku selalu menonton cerita romantis yang cukup lebay.

Lagipula, sesuatu seperti hubungan cinta yang terjadi di antara guru dan murid tidak akan terjadi di sini dan hanya terjadi di cerita saja. Jadi, wajar saja Bu Lestana tidak memperlihatkan tanda-tanda seperti mulai menyukaiku akibat suatu kejadian.

Ah, bukan berarti aku mengharapkan itu terjadi!

Aku hanya terlalu terpengaruh oleh cerita drama romantis. Jadi, pikiranku ke mana-mana!

"Fiki, dari tadi Ibu perhatiin, kamu melamun terus," ujar Bu Lestana tiba-tiba. "Ada apa?"

"Eh, enggak apa-apa, Bu," balasku sedikit panik. "Cuma kepikiran suatu ide cerita."

Setelah memberikan tanggapan 'begitu', Bu Lestana pun melanjutkan mengajarnya.

Hahhhh…

Sepertinya aku memang terlalu terpengaruh oleh cerita drama romantis…