webnovel

CERITA KEEMPAT: LIBURAN YANG TERASA BUKAN LIBURAN

Di hari libur yang kutunggu, karena bisa melakukan hal yang kuinginkan sepuasnya, yaitu main PS. Ditambah, tidak adanya sosok pengganggu yang akan menghilangkan mood-ku dalam bermain. Semakin membuatku merasa senang dengan hari ini.

Setidaknya itulah yang harusnya kurasakan. Entah kenapa, rasanya aku tidak bisa menikmati permainan yang kumainkan. Walau aku sudah menggonta-ganti permainannya, menyimpan makanan ringan yang enak serta minuman yang menyegarkan, dan posisi duduk yang bersandar di pinggir kasur supaya nyaman.

Tapi, tetap saja. Rasanya ada yang bikin tidak nyaman. Sehingga, aku tidak konsentrasi memainkan permainannya.

Baiklah, biar kuingat hal apa saja yang terjadi sebelum aku memainkan PS. Saat pagi, setelah bangun, aku sarapan seperti biasa bersama yang lainnya. Setelah selesai sarapan, Egi dan Santi pergi untuk jalan-jalan berduaan. Kak Doni dan Kak Yuni juga jalan-jalan, hanya saja jalan keliling komplek rumah atau akan mampir ke beberapa rumah kenalan mereka. Lalu, aku langsung ke kamar.

Oh iya, Rani pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama Ringgo dan teman lainnya yang aku lupa siapa saja namanya. Sehingga, hanya aku sendirian di rumah ini.

Apa karena aku sendiri di rumah, sehingga merasa tidak nyaman?

Kurasa bukan itu. Aku bahkan terbilang cukup sering di rumah sendirian. Dulu, saat ibu angkatku harus dirawat di rumah sakit. Aku sering di rumah sendirian, karena tidak bisa tinggal di rumah sakit untuk menjaga ibu angkatku.

Apa mungkin ada pr yang akan dikumpulkan besok dan belum kuselesaikan?

Aku sudah mengerjakannya kemarin malam. Kalau pun memang benar. Aku malah terlalu senang liburan sehingga melupakannya, jadinya kurasa bukan itu jawabannya.

Jadi, kenapa aku tidak bisa merasa seperti sedang liburan?

Mungkin, sebaiknya aku jalan-jalan di sekitar rumah untuk menyegarkan pikiran dan menjauhi layar tv sejenak. Bisa jadi aku mengalami kejenuhan, jadi harus disegarkan dengan udara segar dan sedikit jalan-jalan.

Setelah mematikan PS, serta tv, aku pun keluar dari kamar. Aku putuskan untuk jalan-jalan mengintari komplek. Kesunyian dan kesegaran udara pagi ini yang menemaniku saat jalan-jalan. Namun, itu tidak bertahan lama. Karena tiba-tiba terdengar suara nada dering dari smartphone-ku.

Aku pun merogoh saku celana. Setelah dilihat, ada panggilan masuk dari Rani. Aku pun menerima panggilan dan mendekatkan smartphone-ku ke telinga kanan.

(Hallo, Kakek,) panggil suara yang kuketahui adalah Rani.

"Ya, hallo," balasku. "Ada apa?" tanyaku langsung to the point.

(Kakek, aku mau minta tolong, boleh?)

"Apa?"

(Aku lupa membawa naskah cerita untuk pentas drama tugas Bahasa Indonesia. Tolong bawain.)

Aku ingin sekali menolaknya. Karena akan cape dan malas untuk pergi jauh-jauh cuma untuk mengatarkan barang. Terus, nanti balik lagi. Sehingga, rasa tidak nyaman ini malah semakin menjadi sehingga membuatku malas untuk main PS.

Tapi, kalau kutolak, bisa menjadi gawat. Jadi, aku terima saja.

"Iya. Di mana naskahnya? Terus, di mana rumah temanmu?"

(Yey, makasih, Kakek!) senang Rani. (Naskahnya ada di kamar, di meja belajar. Kalau tidak ada, coba cari saja di sekitar, engga bakal jauh dari kamar. Terus, kalau udah, kasih tahu. Nanti aku kirim lokasinya di chat.)

Kemudian, panggilan pun diputuskan begitu saja oleh Rani. Aku pun berbalik menuju rumah. Setelah di rumah, langsung saja aku masuk ke kamar Rani yang ada di sebelah kamarku.

Kamarnya rapih dengan suasana yang membuat orang masuk langsung bisa menebak kalau kamar ini adalah kamar perempuan. Warna dinding yang cerah dengan dominan warna merah muda, kasur yang spreainya beserta selimutnya adalah gambar tokoh kartun kucing yang imut, lemari pakaian berwarna pink, dan banyak lagi perabot atau hiasan dinding yang memiliki nilai keperempuanan.

Langsung saja aku berjalan menuju meja belajar, di sana ada tumpukkan kertas yang sudah dicapit oleh klip kertas besar berwarna hitam di sisi atasnya. Aku pun mengambil kumpulan kertas itu yang di atasnya ada tulisan 'Cinderella'.

Setelah mengambilnya, aku keluar dari kamar Rani dan pergi ke kamarku. Di sana, aku pun mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, aku menyimpan naskah Rani ke tas dan membawa dompet. Kemudian, aku pun keluar dari rumah. Namun, sebelumnya aku memberi pesan ke Kak Doni dan Egi untuk memberitahu aku pergi ke teman Rani untuk mengantar naskahnya yang ketinggalan.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya aku keluar dari gerbang masuk perumahan Ceria. Ada jalan raya yang tidak terlalu jauh dari gerbang, jadi aku tidak perlu berjalan jauh lagi untuk naik angkot. Cukup lama aku berdiri menunggu, sampai akhirnya angkot berwarna hijau datang.

Inginnya sih aku naik motor, tapi aku belum diizinkan untuk menggunakannya di luar perumahan. Jadi, mau tidak mau aku naik angkot, walau rasanya pengap dan akan berdesakan bila penumpang sudah banyak.

Saat aku naik, dapat dilihat cukup banyak orang yang sudah duduk. Ada satu yang kosong, yaitu di dekat pintu keluar dan akulah yang bagian duduk di sana. Setelah aku duduk, pak supir pun menjalankan angkotnya.

Setelah beberapa kali berhenti karena satu persatu penumpang turun dan bertambah kembali. Akhirnya, aku sampai di tujuan. Aku pun bilang kiri agar supir angkot menggerakan angkot ke tepi dan berhenti. Setelah berhenti, aku pun turun dan memberikan uang lima ribu rupiah.

Aku pun berbalik untuk berjalan memasuki gang. Dengan dibantu oleh arahan dari chat Rani, aku pun berjalan mengikuti sambil mengkonfirmasi setiap tempat yang dikatakannya sebagai patokan. Seperti ada dua simpangan kiri dan kanan, aku disuruh pilih yang kanan. Jalan terus lurus sampai ada rumah pagar hitam yang ada plat nomor 36 di sebelah kananku, kemudian aku harus belok ke kiri. Begitu dan seterusnya.

Akhirnya, aku pun sampai di depan rumah yang terasnya cukup besar dengan ada dua kursi kayu menghadap ke luar serta meja kecil di tengah. Kemudian, aku pun mengirimkan chat ke Rani kalau aku sudah sampai.

Tidak lama setelah mengirim chat. Pintu yang sedikit terbuka pun terbuka lebar dan orang yang melakukannya adalah Rani. Kemudian, dia pun berjalan menghampiriku.

"Hehehehe, makasih, Kakek," ujar Rani dengan senang.

"Lain kali jangan sampai lupa," keluhku.

"Iya, aku minta maaf karena udah ganggu liburan Kakek."

Oh, ternyata dia sadar kalau itu merepotkanku. Kupikir dia tidak akan sadar dan meminta maaf kepadaku.

"Rani, kamu sendiri ceweknya?" tanyaku karena tidak sengaja melihat tiga laki-laki sedang duduk di lantai sambil menulis di buku yang kurasa sedang mengerjakan tugas.

"Enggak. Nanti ada dua lagi. Mereka datangnya agak telat, karena ada urusan dulu."

Tunggu sebentar, bukankah situasinya cukup berbahaya. Rani adalah perempuan dan ada tiga laki-laki asing bersamanya. Bukankah ada kemungkinan hal yang buruk bisa saja terjadi kepada Rani, kalau mereka memanfaatkan situasi yang menguntungkan ini. Terlebih, kelihatannya rumahnya sedang sepi.

Aku tidak boleh membiarkan hal ini. Aku harus menjaga Rani agar tetap aman, setidaknya sampai kedua temen yang cewek datang atau situasi terlihat baik-baik saja.

"Rani, boleh aku masuk? Aku mau istirahat dulu."

"Bentar."

Rani pun berbalik dan memasuki rumah itu. Dapat kulihat dia bicara dengan salah satu temannya, yang memakai kacamata. Setelah kurasa pembicaraan mereka selesai dan melihat ke arahku. Rani pun berjalan kembali ke luar rumah.

"Boleh katanya, Kek."

Aku pun berjalan untuk memasuki rumah. Setelah masuk, ruang depan ini cukup luas. Ada satu kursi panjang dan dua kursi untuk satu orang serta meja panjang pendek dengan alas kaca di samping ruangan. Saat aku masuk, teman Rani yang kacamata itu menyambutku.

"Siang, Kak," sapanya. "Silahkan duduk saja di kursi. Mau aku ambilkan minum?"

Dari tingkahnya, dia sangat ramah sekali. Bahkan dengan inisiatif menawarkan minum. Tapi, entah kenapa rasanya aku lebih mencurigai dia dibanding dua lainnya.

"Boleh. Terima kasih," balasku.

Aku pun berjalan menuju kursi yang panjang dan teman Rani yang berkacamata itu kurasa ke dapur untuk mengambil air minum untukku. Dengan duduk di kursi yang panjang ini, aku bisa memandang lurus ke depan untuk mengawasi mereka yang sedang mengerjakan tugas.

Tidak lama kemudian, datanglah teman Rani yang berkacamata itu dengan gelas bening berisi air di tangan. Dia pun menyodorkan gelas itu kepadaku setelah berdiri di dekatku.

"Ini, Kak, minumnya."

"Makasih," balasku sambil mengambil gelas itu dan kembali fokus ke Rani dan kedua temannya.

Teman Rani yang pakai kacamata itu ikut bergabung dan melanjutkan mengerjakan tugas. Aku masih terus memantau mereka. Dilihat hingga sekarang, sepertinya mereka benar-benar fokus sekali dalam mengerjakan tugasnya. Jadi, mereka orang baik-baik.

Kurasa itulah yang mereka inginkan. Memperlihatkan sikap yang baik-baik saja sehingga bisa membuatku lengah. Terus, nanti saat aku lengah, baru mereka mengeluarkan sifat aslinya. Saat itu terjadi, sudah terlambat.

Aku tidak boleh lengah walau sedetik pun. Aku tidak akan memalingkan pandangku dari mereka dan bersiap dengan kejadian buruknya. Loncat melewati meja, meninju ketiganya tepat di wajah, lalu lari membawa Rani. Itulah yang akan kulakukan nanti kalau sampai situasi tidak bagus.

"Ani, kakak kamu kenapa masang wajah nyeremin gitu?" bisik teman Rani yang ada di sebelahnya.

"Dia bukan kakakku. Dia kakekku," balas Rani mengoreksi. "Wajahnya memang begitu. Jangan takut, Kakek tidak akan menggigit."

Woi, aku bisa mendengar percakapan kalian. Apa maksudnya aku tidak akan menggigit? Memangnya aku anjing.

"Kakek," panggil Rani. "Kami sedang mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Jadi, jangan menatap kami seperti itu. Bisa mengganggu konsentrasi kami."

Tidak disangka Rani akan mengatakan hal itu, terlebih menggunakan nada sopan dan sedikit baku. Padahal aku pikir dia akan menggodaku seperti mengatakan 'Kakek, jangan menatapku seperti itu, di sini ada teman-temanku. Aku jadi malu~' dengan nada genit.

Tanpa mengatakan apa-apa, aku pun berdiri dan berjalan ke luar. Aku pun duduk di kursi, di teras. Dengan begini, mereka tidak akan terganggu.

"Ani, kakek kamu masih liatin kaya gitu… Apa jangan-jangan ada yang aneh dengan penampilanku?" bisik yang tadi sebelumnya membisik.

'Laki-laki yang memakai bondu merah muda di kepalanya menurutmu tidak aneh?' Itulah kata yang ingin kulontarkan setelah mendengar bisikan yang menurutku bukan bisikan.

Rani tidak mengatakan apa-apa, tapi dia melihat ke arahku dengan wajah yang mengatakan. 'Aku cantik banget, ya. Sampai-sampai Kakek mau terus memandangiku'. Setidaknya itulah yang sempat aku pikirkan, tapi kenyataannya kurasa tidak. Maksud dari tatapan itu adalah jangan terus melihat kemari.

Karena kurasa apa yang kulakukan memang bisa mengganggu mereka, aku pun berhenti mengintip dari sisi pintu dan fokus untuk memainkan smartphone-ku. Kalau terjadi apa-apa, kurasa Rani akan berteriak. Di saat itulah aku langsung beraksi.

"Eh, ada Kak Fiki."

Mendengar namaku terpanggil. Aku mengalihkan pandanganku dari layar smartphone-ku dan melihat ke arah orang yang ada di dekatku. Dari wajahnya, rasanya tidak asing. Selain dia, ada dua perempuan di sebelahnya.

"Yo," balasku sebelum kembali fokus ke smartphone.

"Ah, kalian telat!" tegur seseorang yang kuketahui dari suaranya adalah Rani.

"Aku kan sudah bilang, ada urusan," balas suara perempuan yang kurasa salah satu dari kedua perempuan yang bersama laki-laki yang wajahnya tidak asing bagiku.

"Maaf, ya, kami telat," balas suara laki-laki yang kurasa adalah laki-laki yang wajahnya tidak asing.

Kemudian, beberapa percakapan terjadi. Ingin sekali aku membuat mereka diam, tapi aku tidak punya hak dan hal itu tidak sopan. Wajar saja mereka ribut, karena mereka kan butuh berkomunikasi. Terlebih, tipikal orang yang sering berkumpul memang seperti itu.

Kurasa, sekarang saatnya aku untuk pulang. Walau kurasa masih meragukan, tapi setidaknya ada teman perempuan yang menemani Rani agar tidak membuat suasana yang terlalu berbahaya.

"Oh iya, soal yang peran jadi Cinderella, biar aku aja, ya."

"Eh, kan sudah ditentukan kalau Rani yang jadi Cinderella."

"Itu kan pas peran pangerannya sama Tio. Kalau pangerannya diganti sama Ringgo, harusnya aku yang jadi Cinderella."

"Hei, harusnya aku! Aku yang ingin berdansa dengan Ringgo!"

Baru saja ingin aku beranjak dari kursi ini, tiba-tiba keributan sudah terjadi saja. Kalau saja tadi aku tidak menunda karena ingin menyelesaikan cerita yang kubaca, pasti aku tidak akan mendengar dialog menyebalkan mereka.

"Sudahlah kalian, peran kan sudah ditentukan. Kalau tiba-tiba diganti mendadak…" ujar yang kurasa dari Rani, ingin melerai mereka.

"Rani, kamu mengatakan itu karena senang bisa bedansa dengan Ringgo, kan?!"

"Iya. Pasti alasan Tio yang meminta diganti perannya karena bujukanmu, kan?"

"Aku ti-"

"Jangan banyak alasan. Sebenarnya memang itu rencanamu, kan!"

"Iya. Kamu bekerja sama dengan Tio agar bisa berdansa dengan Ring-"

*DUKKK

Dengan keras aku memukul daun pintu, akibatnya ocehan mereka terhenti dan melihat ke arahku. Aku pun memasuki rumah lagi.

"Kalian berisik sekali. Hanya karena masalah seperti itu saja diributkan," ujarku dengan nada kesal. "Rani, mana naskah ceritanya?"

"I-Ini!"

Dengan cepat dan panik Rani mengambil naskah di lantai depannya, lalu berdiri dan menyerahkannya kepadaku. Sedangkan yang lainnya masih duduk diam dan memperhatikan aku. Kalau dua perempuan yang tadi mengoceh menyalahkan Rani, terlihat sedikit kesal karena bentakanku, namun tidak berani mengeluarkannya.

Setahuku, adegan di mana pangeran berdansa dengan Cinderella adalah saat cerita mau selesai. Jadi, aku langsung membaca beberapa lembar dari belakang. Dari yang kubaca, di sini katanya pangeran menolak semua ajakkan dari putri-putri yang datang ke pesta agar berdansa dengan mereka. Namun, hanya satu yang diterimanya, yaitu dari Cinderella. Malah, pangeran sendiri yang memintanya.

Aku pun membalik naskah dan menunjuk ke paragraf penjelasan pangeran yang menolak semua ajakan putr-putri yang datang ke pesta dan mengajaknya untuk berdansa. Kemudian, dengan lantang, aku memberitahu ideku.

"Dengar, di bagian ini kalian ganti saja dengan pangeran menerima semua putri-putri yang mengajaknya berdansa atas perintah ayahnya supaya tidak mempermalukan keluarga di pesta. Dengan begini, kalian berdua berdansa dengan pangeran. Atau kalian ganti semua peran dan tentukan dengan undian, tidak peduli mau cocok atau tidak perannya dengan wajah atau sosok kalian. Yang terpenting pembagian perannya bisa jadi adil!"

Semuanya terdiam melongo melihatku, tidak terkecuali Rani. Dia masih berdiri dan memasang wajah kaget kepadaku. Kalau boleh jujur, aku senang melihatnya begitu. Karena dengan begitu, ada perasaan senang bisa membuatnya terkejut. Anggap saja pembalasan karena selalu merepotkanku.

"Ide yang bagus, Kak Fiki!" ujar laki-laki yang wajahnya tidak asing bagiku secara tiba-tiba. "Bagaimana menurut kalian?"

"Ka-Kalau Ringgo setuju, aku setuju saja…" ujar salah satu perempuan yang tadi membuat keributan.

"Aku juga… kalau Ringgo setuju, aku mau saja…" ujar satunya lagi.

"Nih, naskahnya," ujarku sambil menyodorkan naskah ke Rani yang masih diam melongo.

Tanpa berkata apa-apa, Rani langsung menerimanya.

Karena sepertinya situasi sudah tidak ribut lagi dan aku menyadari apa yang kulakukan adalah hal yang memalukan, aku langsung berbalik dan pergi.

Setelah keluar dan beberapa langkah menjauh dari rumah teman Rani. Tiba-tiba, terdengar ada yang memanggilku. Tepatnya suara perempuan yang meneriaki kata kakek. Aku pun menghentikan langkah dan berbalik badan. Dapat kulihat Rani berjalan cepat ke arahku.

"Apa?" tanyaku setelah Rani sudah dekat di depanku.

"Itu… maaf kalau aku terlambat mengatakan ini…" ujar Rani dengan nada bersalah dan kepala menunduk. "Terima kasih… berkat Kakek mereka bisa menjadi tenang," lanjutnya dengan wajah menghadapku sehingga ekpresi senangnya terlihat olehku.

Aku cukup terkejut melihat tingkah Rani yang manis itu. Aku memang sempat mengharapkan dia bisa baik dan berhenti menggodaku atau menyebalkan. Tapi saat itu terjadi di depan mataku, entah kenapa aku merasa itu aneh.

Yah, tapi sejujurnya aku cukup senang melihatnya begitu, sih.

Sial, aku harus segera mengalihkan pembicaraan sebelum rasa senangku keluar dan dilihat oleh Rani dengan sebagai senyuman yang tiba-tiba dipasang. Dia pasti akan menanyakan kenapa aku senyum-senyum sendiri.

"Kalau kamu nanti bakal kerja kelompok lagi dan yang ceweknya belum datang, jangan dulu datang. Kalau terjadi hal yang tidak baik kan bakal repot!" peringatku sebagai pengalih pembicaraan.

Rani yang tadinya tersenyum manis sekarang malah memasang wajah bengong seolah terkejut dengan apa yang kukatakan. Namun, itu tidak bertahan lama, karena dia segera mengganti wajahnya dengan senyuman menyebalkan. Itu bertanda, Rani akan segera menjahiliku.

"Hehhhh, apa maksud Kakek dengan tidak baik kalau aku kumpul dengan laki-laki saja? Jelaskan kepadaku~" ujar Rani dengan nada riang.

Sial, dia kembali lagi menjadi menyebalkan.

"Sudahlah, cepat ke sana! Kamu harus latihan!"

"Iya-iya, Kakek yang punya pemikiran mesum~"

"Woi!"

Dengan tawa penuh kemenangan, Rani pun berbalik dan kembali ke rumah temannya. Sedangkan aku, mulai merasakan kekesalan dalam diri karena berhasil dijahili.

Kalau tahu aku akan dijahili begitu, seharusnya aku tidak mengatakan itu dan langsung pergi saja!