webnovel

Aku Menjadi Putri dari Protagonis dan Antagonis

"Pemeran utama wanita ini hebat tapi dia ibu yang buruk untuk anak-anaknya." ujar Marisa yang asik membaca novel terkenal sebelum dia tertidur. Keesokan harinya, Marisa terbangun di ruangan asing dan dilayani dengan begitu baik hanya untuk tersadar dia sudah masuk ke dalam novel yang dibacanya semalam dan sekarang ini dia menjadi putri dari protagonis dan antagonis yang akan mengalami akhir yang tragis!! Tidak, Marisa harus berbuat sesuatu agar hidupnya jauh dari penderitaan!!

seberkasraga · Urban
Zu wenig Bewertungen
6 Chs

Bagian Lima: Tes penerimaan

Ayuning berusaha memutar otaknya untuk membuat Marisa marah dan membuat masalah dengan mereka. Tujuan utamanya datang adalah agar dia bisa membuat Alisa ditegur oleh ayah mertuanya karena kelakuan kasar Marisa. Jika itu tidak berhasil, maka rencananya dan suaminya akan gagal.

"Bagaimana kalau kau menginap di rumah tante?" ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Ayuning dan langsung mendapatkan protes dari Agnes yang menarik-narik bajunya dari samping. Ayuning juga menyesali ucapannya itu. Dia menggenggam tangan Agnes untuk menenangkan putrinya.

Semua itu tertangkap oleh Marisa dan dia menggelengkan kepalanya. "Aku harus mengikuti banyak acara untuk menambah isi protofolioku, jadi kurasa itu tidak bisa tante." Kedua ibu anak itu segera menghela napas lega. Apa mereka tidak bisa lebih terang-terangan lagi dari itu?

"Sayang sekali, padahal kita bisa membuat pajama party." ujar Agnes yang dari nadanya tidak ada rasa kecewa sama sekali. Marisa hanya mengangguk menyetujui ucapan Agnes dan meminum teh miliknya.

Setelahnya, Ayuning masih berusaha untuk menggosokan garam diluka Marisa yang tentu saja tidak berhasil hingga akhirnya mereka pulang setelah setengah jam berada di sana. Setelah kedua ibu anak itu pergi Marisa mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai sambil memijat pelipisnya.

Dia tidak habis pikir apa yang salah dengan otak Ayuning dan Agnes. Jika dilihat, karena Agnes masih muda, Marisa bisa menganggap itu sebagai didikan orangtuanya tapi untuk Ayuning, sebagai ibu, Marisa tidak bisa mengikuti pikirannya sama sekali.

Dari sisi mana Ayuning melihat kalau bertamu ke rumah orang dan membahas hal-hal yang menjadi duri dalam daging pemilik rumah itu adalah hal yang wajar dilakukan? Kalau dia terus seperti itu sama saja dengan Ayuning mendorong Agnes untuk hancur.

Sibuk dengan pikirannya mengenai bagaimana Ayuning mendidik Agnes, Marisa tidak menyadari Hadi yang berdiri di ambang pintu menatapnya. Hadi baru saja selesai dengan apa yang ditugaskan oleh Nona mudanya itu dan ingin memberikan laporan tapi melihat bagaimana kondisi Nonanya, Hadi menjadi ragu.

"N-nona, apa kepala anda sakit?" Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya mengenai keadaan Marisa. Dengan kepala berat, Marisa menoleh ke arah Hadi. "Tidak. Apa kau sudah selesai dengan masalah ujian itu?" Hadi mengangguk dan berjalan mendekat ke Marisa. Dia berhenti tepat lima langkah dari marisa.

"Dokter bilang tidak ada masalah jika Nona ingin keluar. Jadi saya membahas jadwal ujiannya dengan pihak sekolah dan mereka memutuskan untuk meminta Nona mengikuti ujian tengah semester yang mereka lakukan. Lalu, karena Nona pindah di waktu yang kurang tepat, mereka juga bilang setelah di terima, Nona harus banyak megikuti kelas tambahan untuk memenuhi kredit yang masih kurang. Lalu jika pada akhir kenaikan kelas nilai Nona tidak memuaskan, maka sekolah akan mengeluarkan Nona dari sekolah. Apa.....masih ingin pindah, Nona?"

"Iya. Aku harus pindah." jawab Marisa penuh keyakinan. Dia tidak bisa terus bersekolah di AAHS karena kemampuan seninya kosong dan itu sama saja menggali lubang untuk dirinya sendiri. Marisa harus memilih jalan yang sesuai dengan kemampuannya.

"Kalau begitu, jadwal untuk tes adalah hari Rabu, Nona."

"Lusa? Oke. Tolong panggilkan tutorku karena aku perlu belajar banyak untuk dua hari ini untuk tesku." Marisa beranjak meninggalkan ruang tamu dan kembali ke kamarnya. Tanpa tahu Hadi menatapnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur. Hadi tidak bisa untuk tidak merasa curiga dengan sikap Nona muda yang menurutnya begitu berubah dari sebelumnya.

***

Dua hari berlalu begitu saja dan hari ini Marisa datang ke sekolah nomor satu di kota ini, Wiyata Eunoia High School. Sekolah yang memiliki tiga pembagian kelas yaitu kelas internasional bagi siswa yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan kelas favorit bagi siswa unggulan lalu yang terakhir adalah kelas reguler dimana untuk murid biasa.

Incaran kelas yang Marisa inginkan adalah kelas favorit. Dia tidak ada niatan untuk keluar negeri dan menurutnya universitas di dalam negeri tidak kalah bagus dengan universitas di luar negeri. Tujuannya juga tidak terlalu muluk.

Melihat dari kemampuan 'Marisa' sendiri, rasanya tidak akan sulit untuk masuk kelas 1 atau kelas 2 di tingkatnya karena di sekolah yang lama Marisa masih masuk dalam sepuluh besar dalam satu angkatan.

Memang jika dibandingkan dengan Mario dan Diana yang masuk dalam lima besar, 'Marisa' terkesan jauh sekali dari mereka tapi jika dilihat dari keseluruhan sekolah, 'Marisa' jelas termasuk dalam murid teladan.

"Nona kita sudah sampai." Hadi turun dari mobil dan segera membukakan pintu untuk Marisa. Keluar dari dalam Mobil, Marisa melihat gedung besar di depannya. Sekolah ini memang tidak salah disebut sebagai nomor satu. Lihat saja bagaimana bangunan megah ini dan fasilitas yang diberikan.

Sambil diarahkan oleh Hadi, keduanya berjalan masuk ke dalam sekolah. Suasananya sepi, jika tidak salah ingat, mereka sedang dalam masa ujian.

"Permisi, kami kesini untuk melakukan ujian penerimaan murid pindahan. Saya sudah membuat janji dengan Ibu Maya. Nama saya Hadi." Petugas yang duduk di meja penerimaan segera menelpon Ibu Maya dan tidak lama mereka diantar ke dalam ruangan.

Sepertinya ini ruangan untuk menerima tamu. Tidak butuh waktu lama, seorang perempuan dengan pakaian kerja rapi dan rambut dikuncir kuda rendah masuk dengan senyuman tapi tetap terlihat tegas.

"Halo, saya Maya yang berbicara dengan anda di telepon." sapa Ibu Maya kepada Hadi dan menawarkan jabatan tangan yang disambut Hadi. "Jadi ini putri anda?" tanya Ibu Maya sambil melirik Marisa.

"Bukan, dia Nona di tempat saya bekerja. Saya kepala pelayan di keluarga Darmadji." Mendengar penjelasan itu Ibu Maya mengerti. Sekolahnya ini adalah nomor satu dan juga termasuk sekolah elit.

Mereka menerima murid dengan latar belakang biasa namun tetap saja kebanyakan murid di sekolah ini adalah murid dengan latar belakang penuh cerita.

"Baik, kalau begitu apa kau sudah tahu prosedurnya, Marisa, benar?" Ibu Maya duduk di depan Marisa. Dia mengangguk kepada wanita di depannya itu. "Ya. Apa aku akan melakukan ujiannya sekarang?" Marisa meletakan tasnya di pangkuan dan mengeluarkan alat tulis yang sudah dia siapkan.

Ibu Maya punya kesan baik terhadap Marisa. Dia suka dengan anak muda yang siap dan tidak ragu-ragu tapi tentunya ini perlu diiringi dengan nilai yang bagus. Sebagai guru, Ibu Maya memang merupakan orang yang mementingkan nilai.

"Baiklah kalau begitu, kita mulai tesnya sekarang. Tuan bisa menunggu diluar hingga tes selesai."

Marisa mengangguk dan menaruh tasnya di belakang punggungnya lalu meletakan kotak pensil pada sisi kanannya. Ibu Maya juga segera membuka map coklat yang sudah dia bawa dan mengeluarkan kertas di dalamnya.

"Selama tiga hari ke depan, kau mungkin harus selalu datang ke sini untuk mengikuti ujian dan ini jadwal ujiannya, materi yang akan diujikan juga sudah ada di sana, jadi nanti saat pulang kau bisa mempelajari ulang materi-materi tersebut." jelas Ibu Maya sambil memberikan kartu jadwal ujian dan juga kertas soal ujian.

Marisa menerimanya dan menyimpan kartu itu ke dalam tasnya sebelum membuka soal ujian. Ujian pertamanya adalah bahasa, waktu yang diberikan sembilan puluh menit. Dengan tenang Marisa mengerjakan soal ujian itu.

Selama tiga hari, Marisa akan melakukan ujian pelajaran 3 kali setiap harinya. Untuk hari pertama ini dia mengerjakan soal bahasa, matematika dan sejarah.

Hari kedua, bahasa Inggris, sosiologi dan IPA Umum karena Marisa memilih jurusan sosial. Hari ketiga, ekonomi, geografi, dan kewirausahaan.

Setiap harinya dia menghabiskan waktu hingga empat setengah jam melakukan ujian itu dan itu melelahkan untuk kepalanya yang baru saja mengalami benturan keras.

Maka dari itu setelah masa ujian selesai, Bi Ina memasakan makanan penuh nutrisi untuk Marisa dan melarangnya menyentuh buku selama dia masih beristirahat dan menunggu pengumuman hasil penerimaannya.