Kamu adalah anugrah Tuhan yang begitu berarti untukku.
-Aksara Jaya-
***
Motor butut bermerk astrea, dengan suaranya yang khas seperti suara air mendidih itu terhenti di parkiran sekolah dengan mulus. Aksa melepas helmnya, meletakannya di kaca spion sebelah kanan. Setelah itu ia berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Ia tersenyum, saat memasuki kelas ternyata sudah ada seseorang yang dikaguminya sejak menduduki kelas 11. Gadis itu terlihat sibuk memainkan ponselnya.
"Pagi, Nay." Aksa menyapa gadis itu dengan senyum penuh di bibirnya. Namun, yang disapa cuek-cuek saja. Ah, ya, teringat dengan bekal yang dibawanya dari rumah, Aksa membuka tas hitam bergambar tengkorak miliknya, mengeluarkan kotak bekal yang berisi kue buatan Ibunya.
"Oh iya, Nay, Ibu aku tadi bikin kue, cobain deh, enak lho." Ia menyodorkan kotak bekal itu ke hadapan Nayla. Sejenak Nayla menatap Aksa yang tidak berhenti tersenyum. Melihat senyum itu justru membuat Nayla kesal.
"Ini, Nay, ambil," ucap Aksa. Nayla mendengkus sebal, ia beranjak dari bangkunya, meninggalkan Aksa begitu saja. Sepeninggalan gadis itu, Aksa tersenyum getir, lagi-lagi pemberiannya ditolak. Nayla memang sangat sulit ditaklukan. Walaupun begitu, ia akan terus memperjuangkannya.
Aksa menghela napas pelan, menatap kotak bekal di tangannya. Sepertinya, ia akan memberikan kue itu pada ke empat sahabatnya saja. Baru saja terpikirkan oleh Aksa, ke empat sahabatnya itu datang memasuki kelas. Albar Pratama, Gilvan Putra Aditama, Garry Santoso dan Gilang Saputra. Ketiganya yang berinisial G biasa dijuluki 3G (triji) seperti jaringan saja.
"Wih, Bro, anak rajin udah di kelas aja nih," ucap Albar. Mereka sudah duduk di tempatnya masing-masing.
"Btw, yang di tangan lo itu apaan, Sa?" tanya Albar ketika melihat kotak bekal yang dipegang Aksa.
"Oh, ini kue buatan Ibu gue, cobain nih, dijamin lo semua ketagihan," jawab Aksa. Albar menerima kotak bekal itu dari Aksa.
"Wih, enak nih pasti, tapi ini bukan buat Nayla?" Albar kembali bertanya, mengingat Aksa yang selalu memberikan Nayla makanan setiap paginya. Ya, walaupun Albar tahu makanan yang diberikan Aksa tidak pernah diterima gadis itu.
Aksa menggeleng sebagai jawaban. "Buat lo aja," sahutnya kemudian. Seketika Albar memekik senang.
"Gila, Bro, ini kue apaan? Enak sumpah! Krispi ada cokelatnya." Albar mengomentari kue pemberian Aksa dengan mulut yang penuh. Karena penasaran, Garry, Gilvan dan Gilang pun ikut mencicipi.
"Gue juga baru liat kue bentukannya bulet kecil begini," ucap Garry ikut mengomentari.
"Tapi enak," timpal Gilang pula. Gilvan mengangguk setuju. Aksa tersenyum puas mendengarnya. Apa pun buatan Ibunya, pasti rasanya memuaskan.
"Itu namanya kue bola-bola ubi ungu. Resep baru Ibu gue," sahut Aksa.
"Buatan Emak lo emang selalu enak, Bro." Albar mengacungkan jempolnya pada Aksa.
Albar melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ternyata, lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Ia pun menyudahi makan kuenya. "Kumpulin tabungan, woi." Teriaknya. Sebagai Bendahara, setiap harinya Albar bertugas mengumpulkan buku tabungan semua murid di kelasnya.
Aksa mengambil buku tabungannya di tas, merogoh selembar uang lima ribuan di saku kemeja putih, kemudian menyelipkan uang itu dan memberikannya pada Albar. Setiap harinya, Aksa hanya bisa menabung lima ribu saja. Sebab ongkos harian yang diberikan oleh Ibunya hanya sepuluh ribu, jadi ia bagi dua untuk jajan saat jam istirahat.
***
SMA Tunas Bangsa itu sekolah yang biasa-biasa saja, tidak ada Kantin seperti sekolah-sekolah elite di dunia orange. Hanya warung sederhana milik Mpok Ati yang terletak tak jauh dari sekolah, itu sudah cukup jadi Kantin bagi seluruh siswa di situ. Mpok Ati sendiri sudah membangun warung itu sejak angkatan pertama SMA Tunas Bangsa, perkiraan tahun 1999-an. Sudah lama memang. Tapi jajanan di warung Mpok Ati sudah menjadi favorite semua siswa. Gorengan dan siomay adalah dua makanan favorit yang banyak diburu.
Seperti saat ini, sejak detik pertama bel istirahat berbunyi, seluruh siswa di kelasnya masing-masing, langsung memburu warung Mpok Ati. Sudah pasti mereka akan berlomba-lomba mendapatkan gorengan dan siomay yang stoknya terbatas.
Jangan lupakan keberadaan ke lima soulmate— Aksa, Albar dan 3G, yang kini sedang memperhatikan kerumunan siswa yang berebut makanan di warung Mpok Ati. Hanya bel masuk yang mampu menyenggangkan warung bersejarah itu.
"Semoga masih ada sisa gorengan dan siomay buat Albar, Ya Allah. Albar laper banget." Albar berucap dengan kedua tangan yang ia tengadahkan, layaknya orang berdoa dengan ekspresi sedih yang dibuatnya berlebihan.
Garry menoyor kepala Albar, ia jijik melihat ekspresi sok sedih Albar. Sementara Albar cuek saja menanggapinya.
"Dari pada kita berdiri di sini nontonin oran-orang yang lagi jajan, mending kita ikut serbu ke sana, yuk, bisa keabisan nih kita." Albar memberi usul pada empat temannya. Dibalas anggukan setuju oleh 3G. Dan Aksa ngikut saja di belakang mereka.
Albar melihat sterofom berisi siomay lengkap dengan bumbu, saos juga kecap. Seporsi siomay itu tergeletak di meja panjang.
"Kayaknya, yang punya siomay ini nggak ada, deh," batin Albar. Senyum manis tercetak di bibirnya, ia mengambil siomay itu.
"Hebat banget dah gue, bisa dapetin siomay tanpa ngantri haha." Albar tertawa jahat dalam hatinya.
"Weh, udah dapet aja lo, gue aja belum." Gilvan menatap heran pada Albar.
"Iya dong, gue kan hebat," jawab Albar dengan bangganya.
"HEH, ITU SIOMAY GUE!"
Seketika warung yang tadinya ramai oleh teriakan-teriakan pembeli, hening. Semua mata tertuju pada Albar, Gilvan dan ... Nayla (?)
"Mampus lo, Bar, nenek lampir marah," ucap Gilvan.
Albar terkejut setengah hidup. Nayla menatapnya dengan garang.
"Balikin!" Nayla mengambil alih siomay di tangan Albar. "Jangan coba-coba ambil milik gue!" Nayla melanjutkan ucapannya dengan tatapan tajam.
Melihat kegarangan Nayla membuat nyali Albar ciut. Tubuhnya gemetar.
"Em, gu ... gue nggak ngambil, kok, justru gue mau ngamanin siomay lo. Takutnya nanti ilang atau gimana gitu." Albar ber-alibi sambil menatap Nayla takut.
"Halah, alasan aja lo!" Nayla menoyor kepala Albar.
"Buset, berani-beraninya ni cewek noyor gue," rutuk Albar dalam hatinya.
"So ... sorry, Nay, nggak bakalan gue ulangi lagi deh, janji!" Albar mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, sehingga membentuk huruf V.
"Ayo, Sin, kita pergi," ucap Nayla pada Sindy— sahabatnya yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Setelah kepergian Nayla dan Sindy, Albar mengembuskan napas lega sambil mengelus dada.
"HAHAHAHA"
Aksa dan 3G menertawakan Albar, membuat Albar jengah.
"Apa, lo, ngetawain gue!" sewotnya.
"Makanya, jangan suka ngambil hak orang," celetuk Gilang. Lagi, Albar mendengkus kesal.
"Kalo gue tau itu siomay punya Nayla, nggak bakalan gue ambil, sumpah. Tau sendiri tu cewek galaknya naudzubillah." Albar melirik Aksa sejenak, "Sumpah, Sa, gue nggak ngerti kenapa lo bisa jatuh cinta sama cewek galak kayak Nayla," sambungnya. Aksa terkekeh saja mendengarnya.
"Nggak usah banyak bacot, lo, cepetan mau jajan apaan, kita udah dapet nih," ucap Garry. Albar menatap satu-persatu temannya, ternyata masing-masing sudah mendapat jajanannya.
"Mpok, Albar mau siomay kayak biasa, ya!" Albar berteriak pada Mpok Ati yang sibuk melayani pembelinya.
"Siomaynya habis, Bar." Mpok Ati balas berteriak pula.
"WHAT?! ABIS?"
Seketika tubuh Albar mengejang, lalu ... pingsan.