Terkadang mataku menangkap sesuatu dari tingkah Chandra. Namun, aku tidak berani menerjemahkannya.
"Boleh makan bersama?" tanya seseorang. kalau dari suaranya sih aku kenal.
Kepalaku menoleh ke arah suara. Ada bapak Chandra yang sedang melebarkan bibir. Manis. Eh, otakku mulai lagi. Jangan sampai aku berpikir kalau Chandra menaruh hati padaku. Tidak mungkin juga! Aduh Sheila kok mikirnya kejauhan.
"Boleh, Mas. Eh Pak," jawabku gugup.
"Mas juga boleh," ucap pria yang sedang duduk di samping.
"Tumben makan di sini. Biasanya, ada di kantin?" tanyaku.
"Iya tadi lihat kamu di sini," jawabnya.
Aku tersenyum saja. Mau bilang 'yes' kok nanti dikira kegatelan sama pimpinan divisi.
"Maksudku pengen makan di sini saja."
Aku mengangguk. Chandra hanya menatap. Kemudian pandangannya beralih pada makanan yang sebenarnya belum disentuh sekalipun.
Kami tidak saling berkata. Entah berapa menit. Yang ada hanyalah suara sendok dan lagu yang terdengar dari komputerku. Kemudian, pria dengan kemeja hitam berkata. Mungkin dia bosan kami saling diam.
"Kamu nanti lembur?" tanya bapak pimpinan divisi.
"Hari ini kan jatah saya off, Mas. Eh Pak."
Kenapa harus keseleo terus lidahku.
"Mas juga nggak pa-pa." Pria dengan lesung pipi kanan di samping tersenyum. Aku jadi makin gugup. Kutundukkan kepala, semoga dia tidak tahu kalau aku sedikit canggung. "Lebih mesra," lirihnya.
Aku menegakkan kembali kepala dan menghadap pria yang sedang makan. Dia menatap dengan rasa heran. Mungkin ini lho ya. Aku hanya mengira dari tatapan kedua matanya. Mata yang seakan menyuguhkan gejolak untuk diriku.
Ah, aku sudah lama tidak merasakan rasa ini lagi.
"Tadi bilang apa?" tanyaku.
Sebenarnya aku cuma ingin memastikan kalau apa yang kudengar benar. Namun, sepertinya telingaku yang salah mendengar.
"Panggil Mas juga boleh," jawabnya.
"Setelah itu?" tanyaku sekali lagi.
"Nggak ada," jawabnya singkat.
Pria aneh. Tadi jelas dia ngomong begitu. Selalu saja begini si bapak baperan satu ini. Apa aku yang tidak bisa memahami cara kerja otaknya? Aku yang terlalu lemot gitu. Diandra saja bisa kok mengerti kemauan dia. Nah, giliran aku pasti diperlambat kalau ada naskah. Entah karena aku yang tidak paham perintah. Entahlah!
"Kok malah marah?" tanya Chandra dengan nada sedikit tinggi. "Emang aku ngomong apa tadi?"
Kepalaku menggeleng. Percuma menjelaskan pada pria ini. Apa sih maunya? Chandra memang tidak pernah jelas buatku. Tingkahnya aneh.
"Bapak ada naksir gitu sama Tania?" candaku.
Em, tapi si bapak di samping malah tampak cemberut.
"Kok marah?" tanyaku.
"Kok kamu bisa bilang begitu?" ketusnya.
"Maaf," lirihku.
"Itu kan masalah pribadiku. Jangan pernah ikut campur."
Aku menghela napas. Aku memang salah. Tidak seharusnya aku bertanya perihal pribadi kepada pimpinan divisi. Toh, aku hanya anak buah. Jujur, aku merasa kurang nyaman atas tingkahku baru saja.
"Maaf, Pak. Bukan maksud saya."
"Lain kali jangan diulangi lagi," potongnya.
"Iya," jawabku semanis mungkin.
Namun, tetap saja tidak membuat Chandra berubah menjadi lebih baik. Aku kemudian memilih diam daripada mulutku membuat orang lain sakit. Kebiasaan banget sih, kalau sudah kepo. Duh, Chandra apa tidak akan memaafkan aku?
"Lagipula bukan Tania yang aku sukai. Ada orang yang kurang peka sama perhatian aku."
Chandra sudah menghabiskan makanannya. Diapun berlalu tanpa memberitahu kelanjutan kalimat yang aku anggap sangat membuat jiwa kekepoanku menyeruak. Apakah Diandra? Atau malah aku sendiri?
Tidak mungkin kalau pilihan yang terakhir. Siapa aku? Hanya seorang karyawan dengan status janda dengan dua anak. Mana mau dia sama aku.
Perawan masih banyak dan mereka mempunyai daya tarik lebih daripada aku. Buang jauh-jauh pikiran geer begitu.
***
"Sheila kamu tahu Chandra di mana?" tanya Diandra siang ini.
Aku menggelengkan kepala.
"Kok kamu lemes banget?" tanya si mbak cerewet lagi.
"Nggak pa-pa Mbak," jawabku sembari memberikan senyuman terbaik.
Chandra tiba-tiba masuk ke ruangan kami. Si bapak memberi perintah untuk rapat dadakan. Aih, ada apa lagi ini? Mungkinkah ada kesalahan yang telah aku buat. Terakhir rapat dadakan karena kesalahan diriku yang kurang tepat mengedit.
Kami masuk ruang rapat yang terletak di samping ruangan mengedit. Sebuah meja bundar dengan deretan kursi plastic berwarna merah menyambut para karyawan yang saling bertanya satu sama lain.
Aku hanya berjalan kemudian duduk yang lagi-lagi di dekat Diandra. Seneng banget dia bersebelahan denganku.
Setelah aku melihat ada bapak Chandra yang siap menyemburkan luapan kemarahan. Oalah ternyata di sebelah kirinya ada pimpinan divisi.
"Ada apa lagi sih Chan?" tanya Sony ketus.
Sony adalah editor bahasa Jepang. Lengkap bener ini penerbitan, sampai bahasa Jepang pun ada buku pendamping. Oiya lupa lagi, ini kan khusus untuk kampus di bidang perhotelan atau pariwisata gitu.
"Masalah penting! Kalau nggak ngapain aku suruh ke sini!" jawab Chandra. Dan memang sangat galak.
Yang aku tahu sejak pertama kali bekerja di perusahaan ini, mereka berdua tidak pernah akur. Ada gossip juga sih, sebenarnya dulu yang menjadi kandidat utama pimpinan divisi adalah Sony. Namun, karena kedatangan Chandra yang tiba-tiba menggeser posisi penting itu.
Aku juga tahunya baru segitu. Namun, kalau dilihat sehari-hari, Chandra memang tidak pernah akur dengan Sony. Ada saja yang membuat mereka ribut.
"Kepala editor memerintahkan untuk bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa SMA langsung edit dua. Tanpa koreksi lebih lanjut."
Aku bingung dong. Secara naskah SMA masih berada di tangan penulis karena memang amburadul tidak ketulungan.
"Tapi masih di tangan penulis, Pak," ucapku.
Chandra langsung menatapku dengan sadis.
"Kenapa tidak konsultasi dulu dengan saya. Bukankah saya sudah bilang sebelumnya, Sheila!" tegas Chandra.
Mati aku! Namun, memang parah banget itu naskah.
"Tapi, Pak. Naskahnya hampir 75% tidak dapat diedit. KD saja banyak yang berbeda. Belum lagi format yang berbeda antara penulis dan editor. Kalau KD saja meleset, bagaimana isinya bisa diedit."
Jujur, aku tahu ini hal sulit buat Chandra, tetapi memang naskah yang aku tangani sangat buruk. Itu baru materi. Belum pilihan ganda banyak yang sama pertanyaan antara chapter 1,3, dan 5 dengan mid test.
"Ada kendala lain sehingga harus kembali ke penulis?" tanya Chandra.
"Chapter 1, 3, dan 5 pilihan ganda banyak yang sama dengan mid test," terangku.
"Berapa persen?" tanya Chandra lagi.
"Lebih dari 50%," jelasku.
"Tidak bisa diganti oleh editor?"
Aku membacakan mantra lewat mulutku hingga Chandra siap meledakkan rudal ke kepala ini.
"Saya hanya editor, Pak. Tugas saya bukan mengganti tulisan. Itu sudah menjadi hak dan kewajiban penulis," jawabku.
"Oke nanti saya akan sampaikan kepada kepala editor. Ada kendala lain dari bahasa Indonesia dan Jawa,"
Chandra jelas menatap diriku. Semua orang di ruangan ini juga tahu hal itu. Bukan mauku mendapatkan naskah begitu buruk. Kenapa tidak koordinasi dengan kepala bagian penulis masalah format yang membuat aku pusing tujuh keliling. Chandra memang menyebalkan.