webnovel

Akhir Cinta Avissa

"Kok ada ya makhluk seperti kamu di bumi ini. Gendut, item, pake kacamata tebel. Kayak elien. Nggak ada sisi bagusnya. Enek lihatnya." Ardian mendorong jidat Avissa dengan jari telunjuknya hingga gadis itu terjengkang. Kemudian Ardian tertawa terbahak-bahak diikuti oleh kedua temannya. Avissa hanya bisa memeluk tasnya dengan takut, tanpa bisa melakukan perlawanan. Ya, seperti itulah teman-teman Avissa Maharani memperlakukan dirinya. Bukan hanya Ardian, tetapi juga teman-teman yang lainnya. Avissa maharani, Seorang siswi SMA yang tidak good looking, selalu menjadi bulan-bulanan teman-temannya dan juga kakak tingkatnya. Sampai suatu saat, avissa hampir putus asa dan mengakhiri hidupnya karena tidak kuat lagi menghadapi bully-an. Beruntung, dia diselamatkan oleh seseorang. Pada saat itu, Avissa nekat melakukan sesuatu agar hidupnya bisa berubah. Kalau memang dia tetap hidup, dia harus berubah. Berhasilkah dia melakukan sesuatu tersebut? Bagaimana kehidupan dia setelahnya? Akankah dia membalas dendam kepada orang-orang yang telah membullynya tanpa rasa bersalah?

Roisatul_Mahmudah · Urban
Zu wenig Bewertungen
20 Chs

Putus Asa

Avissa turun dari angkot dengan wajah tertunduk. Rambutnya pendek tak beraturan. Air mata terus jatuh ke pipi tembemnya. Kaki, tangan, dan bibirnya masih gemetar. Gadis itu berjalan gontai menuju suatu tempat, yang jelas dia tidak langsung pulang ke rumah.

Dia mempercepat langkah kakinya menuju ke rel kereta api. Ya, Avissa sudah tidak tahan lagi. Gadis remaja itu bahkan sudah tidak mau lagi melihat dirinya sendiri yang saat ini pasti jauh lebih mengenaskan dari sebelumnya. Dia tidak bisa lagi membayangkan pergi ke sekolah dengan keadaan rambut yang acak-acakan seperti itu. Pasti mereka akan lebih gencar menghina, mencaci dan membully dia. Baginya, mati itu jauh lebih baik daripada ia harus menghadapi cacian dan hinaan semua orang serta hidup dengan keadaan yang terus tertekan.

Dengan langkah ragu-ragu dia melangkah menuju rel kereta api. Kakinya gemetar. Saat itu yang terlintas di dalam pikirannya, lebih baik menghadapi kematian daripada menghadapi Bulian dari teman-temannya esok hari.

Sebentar lagi, kereta api akan melintas. Dengan hati-hati, dia duduk tepat di atas rel. Avissa menunduk, sambil memeluk lututnya. Dia memejamkan mata.

'Ayah, maafin Vissa. Vissa harus pergi,' ucap Avissa dalam hati. Suara kereta api mulai terdengar. Visa memeluk lututnya semakin erat sambil memejamkan matanya. Sebentar lagi, urusan di dunianya akan selesai. Dia fikir, dia akan lepas dari masalah yang selama ini dihadapi.

Semakin lama suara kereta semakin mendekat. Lalu, terdengar suara klakson yang sangat keras. Avissa semakin mengeratkan pelukannya ke lutut, ya. Tinggal beberapa detik lagi, pasti kereta itu akan melindasnya dan mengirisnya menjadi serpihan-serpihan.

Teeeettttttttt .... Klakson berbunyi sekali lagi.

'selamat tinggal ayah'

Namun, saat jarak kereta dengan avissa tinggal 3 meter, seseorang menggeret tubuh Avissa dengan kuat. Mereka berdua berguling tepat di samping rel. Dan kereta, meluncur dengan cepat.

Avissa langsung menatap sosok yang menggeretnya. Dia sedang berbaring di tepi rel kereta dengan nafas ngos-ngosan. Dia adalah seorang anak laki-laki yang masih mengenakan seragam SMP seperti dia. Anak laki-laki itu berkulit cerah, dengan postur tubuh kecil dan tinggi.

Avissa yang saat itu juga terguling langsung duduk, menatap geram ke arah orang yang sudah menggagalkan rencananya.

"Kenapa kamu menggagalkan rencanaku? Kenapa kamu menyelamatkan aku. Aku sudah tidak ingin hidup lagi. Kenapa kamu mengacaukan semuanya."

Anak laki-laki itu langsung duduk, lalu menatap Avissa.

"Jangan bodoh kamu. Orang-orang di luar sana rela mengeluarkan beratus-ratus juta hanya untuk bertahan hidup. Mereka rela menghabiskan banyak uang hanya agar mereka bisa hidup lebih lama. Kamu yang dianugerahi kesehatan, Kenapa dengan seenaknya ingin mengakhiri hidupmu sendiri. kamu sudah bisa dikatakan dewasa. Aku tahu kamu sudah berumur 18 tahun, kau sebentar lagi lulus SMA, tapi kenapa kamu masih seperti anak-anak? pendek sekali pikiranmu."

Avissa menunduk, matanya masih basah.

"Kamu tidak tahu apa yang kurasakan. Kamu tidak tahu susahnya menjadi aku."

"orang itu memiliki masalah sendiri sendiri. Kamu bukan satu-satunya orang yang punya masalah. Kamu sehat. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Kamu bisa mengubah hidupmu. Seterpuruk apapun keadaan kamu saat ini. Kamu bisa mengubahnya. Tunjukkan sama mereka, kamu bisa berubah dan jauh lebih baik dari mereka. Terlalu enak di mereka Kalau akhirnya kamu memilih untuk menyerah. Aku yakin kamu gadis yang pintar. Gunakan hidupmu sebaik-baiknya mumpung kamu masih punya kesempatan."

Laki-laki bermasker itu memandang Avissa sejenak, lalu dia segera berdiri dan berjalan menjauhi Avissa yang saat itu masih terduduk serta terbengong.

Siapa laki-laki itu? Dia berasal dari sekolah yang sama dengan Avissa. Dia juga tahu permasalahan Avissa. Avissa terdiam sejenak, lalu dia meresapi benar benar apa yang dikatakan oleh anak itu. Ya, dia benar. Mungkin mereka akan semakin menertawai Avissa ketika Avissa lebih memilih untuk menyerah. Dia pasti bisa berubah. Ya, dia pasti bisa berubah. Dia pasti punya kesempatan jika dia mau berusaha.

Avissa segera mengusap air mata dengan kedua ibu jarinya. Semangat hidupnya kembali mencuat. Dia ingat, dia masih mempunyai seorang ayah yang pasti akan membantunya. dia masih mempunyai seorang ayah yang pasti akan mengusahakan untuk memberi apapun yang dia mau. Ya, Avissa harus berubah dan menunjukkan kepada mereka bahwa dia mampu menjadi Avissa yang kuat, dan tidak lemah lagi.

***

Dengan mata yang masih sembab, Remaja 18 tahun itu menyusuri Gang menuju ke rumahnya. Dia tidak mengindahkan pandangan orang-orang yang memandangnya aneh.

Avissa mempercepat langkahnya dengan tetap menunduk. Setelah sampai di rumahnya, gadis itu segera membuka pintu kayu yang warna catnya mulai memudar. Avissa tinggal di rumah tua  sederhana warisan dari kakeknya dulu.

Dia tundukkan wajahnya biar tidak terlihat kalau matanya sembab.

"Jam segini baru pulang. Kemana aja kamu, Nak?" Suara serak Ayah Avissa terdengar lembut namun Tegas. Saat itu Ayah Avissa sedang menyesap kopi dan tidak menoleh ke arah sang putri. Avissa baru saja membuka pintu dan belum sempat melangkahkan kaki masuk ke rumah, tetapi sudah disambut dengan tatapan cemas sang ayah.

Ayah Avissa adalah seorang tukang kebun di sebuah rumah mewah milik keluarga Azhari. Keluarga kaya raya pemilik beberapa hotel ternama di kota mereka. Gajinya hanya cukup untuk mereka hidup dan dikirim ke kampung. Karena di kampung masih ada nenek Avissa yang setiap bulan harus di kirim.

Avissa yang menutup pintu pelan-pelan. Gadis berkulit gelap dan pipi chubby itu masih enggan menjawab pertanyaan sang ayah. Dia masih menunduk takut-takut.

"Vissa, rambut kamu kenapa?" Ayah Avissa terbelalak saat melihat rambut anaknya acak-acakan. Dia langsung meloncat dari tempat duduknya.

Avissa tidak menjawab. Dia hanya menangis. Sang ayah yang tadinya geram karena anak gadisnya yang tidak kunjung pulang, kini hatinya teriris iris melihat anak gadis satu-satunya sedang bersedih sedalam itu. Pak Naryo memegang kedua pundak Avissa yang masih menunduk.

"Katakan sama ayah, siapa yang melakukan ini padamu? Siapa?" Wajah pak Naryo merah padam. Tentu saja dia tidak akan rela melihat putrinya diperlakukan seperti itu.

Avissa tidak menjawab. Dia masih terus terisak. Bibirnya sulit untuk berucap. Dia masih terus menunduk sambil sesenggukan. Namun tiba-tiba, dia ingat suara misterius saat di sekolah tadi. Dia tidak boleh lemah. Dia harus kuat dan bangkit.

Avissa menghapus air mata dengan kedua tangannya. Dia menghadap ayahnya.

"Ayah, Avissa mau jadi orang kaya. Avissa nggak mau jadi orang miskin terus seperti ini. Tolong Vissa ayah. Avissa nggak mau terus di hina karena kita miskin." Avissa menatap ayahnya. Lalu air mata kembali meluncur dengan deras ke pipinya.

Saat itu, hati pak Naryo seperti tersambar petir. Dia langsung merasa sesak. Ternyata itu yang membuat anaknya menangis sepulang sekolah? Pak Naryo menunduk dengan mata memerah.