webnovel

AKARSHA

Selamat datang dalam kisah cinta seorang gadis bernama Akarsha Jagaditha. Gadis remaja baru yang disukai oleh ketua OSIS di sekolahnya, juga kapten futsal yang namanya amat terkenal, tidak lupa dengan salah satu senior pramuka yang secara diam-diam juga menyukainya, namun tidak sampai di sana karena ada salah satu teman kelas sebelah yang juga sedang berusaha mencuri perhatiannya. Arsha yang sangat bersemangat dalam mengejar masa remajanya justru harus terjebak dalam kisah cinta rumit yang bisa saja membuatnya jatuh cinta atau patah hati. Padahal dia ingin masa-masa remajanya di isi dengan hal-hal menyenangkan bukannya sesuatu yang memusingkan dan bisa membuat kepalanya meledak. Niat hati ingin menghindar dari semuanya, namun tanpa di duga dia justru jatuh hati pada salah satu di antara mereka. Arsha tidak mau menyakiti siapa pun, tapi jika sudah seperti ini lalu apa yang harus dia lakukan?

puanra · Teenager
Zu wenig Bewertungen
166 Chs

15. Menuju Pendakian

Pada pukul delapan pagi seluruh peserta outbound kembali dikumpulkan di lapangan oleh para Angkatan Laut, banyak dari mereka yang masih terkantuk-kantuk ketika sudah duduk di pasir tersebut, kegiatan jurit malam memang baru benar-benar selesai setelah jam lima pagi— itu untuk anak-anak yang datang terakhiran, sedangkan Arsha yang sudah sampai sejak pukul tiga pagi lewat sedikit sudah lebih dulu beristirahat sehingga saat ini dirinya tidak begitu mengantuk. Jadi, wajar saja jika teman-temannya masih merasa mengantuk karena mereka baru tidur selama beberapa jam saja.

"Selamat pagi! Gimana nih masa sudah siang tapi kalian masih lesu aja sih?!" Pak Harso kembali menjadi juru bicara seperti sebelum-sebelumnya. Pria paruh baya itu menyapa dengan penuh semangat, berharap bahwa para peserta outbound juga tertular akan semangatnya yang membara di pagi buta.

"Sebenarnya ya kalian itu seharusnya saya bangunkan jam tujuh kurang karena kegiatan hari ini akan banyak memakan waktu, tapi karena saya kasian sama kalian yang pada baru tidur jadinya kegiatan dimundurkan satu jam agar kalian bisa istirahat lebih banyak," jelas Pak Harso.

"MAKASIH BANYAK PAK HARSO!" ucap kompak seluruh peserta outbound.

"Loh kalian jangan senang dulu, kan saya belum kasih tau apa kegiatan kita setelah ini."

"APA TUH PAK HARSO?"

"Kalian akan melakukan pendakian!"

Kericuhan mulai terdengar di mana-mana setelah pemberitahuan singkat yang telah Pak Harso katakan, banyak pasang mata yang tadinya masih terlihat sayu kini sudah terbuka sempurna, entah karena kaget atau sudah mulai excited dengan kegiatan yang akan mereka jalankan hari ini.

Pendakian ini bisa dibilang merupakan suatu kegiatan inti dari pelaksanaan outbound, tujuannya untuk melatih kekuatan para peserta outbound karena nantinya mereka akan diwajibkan mendaki tiga buah gunung yang berada di samping hutan yang semalam baru saja mereka lalui dan bersebrangan langsung dengan pantai. Kegiatan ini sudah terjadi secara turun-temurun setiap tahun untuk kegiatan rutin yang dilakukan oleh siswa dan siswi baru di SMA Bakti Nugia, jadi pastilah kakak senior mereka saat ini sudah pernah merasakannya lebih dulu di tahun kemarin.

Arsha sendiri tidak terkejut dengan pemberitahuan tersebut karena sebenarnya Bian sudah sempat menceritakan beberapa pengalamannya kepada Arsha waktu subuh tadi. Arsha, Zakiel dan Bian banyak mengobrol selagi menyesap bandrek buatan panitia lain, alasan Arsha bergabung dalam obrolan juga selain karena topik yang Bian bahas menarik, dia juga sedang menunggu Tirani yang belum sampai pada pos terakhir, jadi berakhirlah mereka bertiga duduk berhadapan untuk mendengarkan cerita dan juga pesan-pesan yang Bian beritahu.

"Nanti tuh bakal sama kayak tadi, kalian akan berhenti di beberapa pos buat laporan absensi. Kalian juga jangan takut tersesat karena pasti bakal ada kakak kelas yang jadi pemandu jalan di beberapa titik, mereka bakal bergerak lebih cepat daripada kalian buat kasih tau jalan selanjutnya. Apa yang harus kalian perhatikan nantinya itu cukup untuk tetap hati-hati aja, karena gunung itu termasuk curam dan untuk para perempuan pasti bakalan butuh tenaga ekstra untuk sampai di pos terakhir."

Itu sedikit banyak pengalaman yang sudah Bian ceritakan kepada mereka, sebenarnya masih ada beberapa hal lagi seperti tentang beberapa permainan yang akan mereka lewati, contohnya Two-line Bridge dan juga Flying Fox. Keduanya merupakan sebuah permainan yang berada pada media yang tinggi, permainan ini dapat menguji adrenalin para peserta outbound itu sendiri karena selama melakukan pendakian secara perlahan-lahan mereka akan terus berada pada sebuah ketinggian.

Ada perbedaan tentang kedua permainan itu, Flying Fox sendiri merupakan sebuah permainan di mana ketika para peserta outbound sudah sampai di puncak gunung yang merupakan pos terakhir untuk mereka datangi. Nantinya setelah sampai di pos terakhir mereka akan menaiki permainan itu untuk sampai di di bawah. Para peserta outbound akan menaikinya dengan cara meluncur pada seutas tali wire menuju tempat pendaratan di bawah sana dan tentunya mereka akan dipakaikan sebuah pengaman (harnes). Kemudian setelah sampai di bawah barulah mereka menyebrang untuk kembali ke pantai tempat pertama mereka dikumpulkan.

Lalu yang kedua ada Two-line Bridge, pada permainan ini akan ada sebuah tambang pegangan yang dibuat dua di sisi kanan dan juga kiri setinggi dada. Di pertengahan mendaki nantinya para peserta outbound akan bertemu dengan permainan ini yang akan dijaga langsung oleh beberapa Angkatan Laut. Cara melakukannya adalah para peserta didik harus melintasi tali dengan cara berpegangan tangan kanan dan kiri pada tali yang ada, kemudian mereka akan berjalan maju dengan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh, mereka tentunya akan dipasangkan sebuah pengaman untuk menjaga keselamatan.

Berbeda dengan Flying Fox yang memang harus dilalui oleh semua peserta outbound karena itulah cara tercepat untuk turun. Sedangkan untuk Two-line Bridge nantinya hanya akan diambil dari masing-masing kelompok minimal dua orang karena pasti akan ada banyak antrian peserta outbound yang ingin lewat. Sedangkan sisanya akan lewat jalan darat biasa.

Itu lah hal-hal yang Arsha sempat tangkap dari cerita Bian subuh tadi.

Para peserta outbound sempat diberi waktu selama sepuluh menit untuk memakai atribut mereka masing-masing, karena tadi ketika dikumpulkan masih ada banyak siswa yang belum memakai sepatu mereka. Yang sudah lengkap boleh langsung kembali ke lapangan untuk menunggu giliran berangkat, untuk kelompok yang sudah memiliki anggota lengkap sudah bisa langsung berangkat saat itu juga.

"Tir, lo udah beli minum belum?" Arsha menoleh ke belakang untuk menatap Tirani, mereka memang hanya diwajibkan untuk membawa diri sendiri dengan atribut yang lengkap, namun mereka juga disuruh untuk membawa minum agar terhindar dari dehidrasi di tengah perjalanan.

Tirani menggeleng. "Belum kok, nanti waktu kita berangkat aja langsung beli di warung sana." Tunjuk Tirani mengarah pada salah satu warung langganan mereka.

Arsha mengangguk singkat dan kembali menghadap ke depan, dia masih menunggu beberapa anggota kelompoknya yang belum melengkapi atribut. Selagi menunggu kedua netra Arsha pun mengedar untuk memperhatikan sekeliling, belum ada satupun kelompok yang berangkat dan entah mengapa Arsha jadi menggebu-gebu ingin menjadi kelompok pertama yang berangkat, tapi bagaimanapun juga dia tidak bisa memaksa anggota kelompoknya untuk cepat bersiap. Untung saja Arsha dan Tirani sudah lebih dulu bangun dan sudah sempat cuci muka beserta sikat gigi— mereka tadi pagi memang belum diizinkan untuk mandi karena ternyata kegiatan mendaki yang akan mereka lakukan.

Arsha sempat menemukan sosok Bian ketika mengedarkan pandangan. Kakak pembimbingnya itu terlihat seperti sedang mengobrol lucu dengan beberapa temannya yang lain; ada Kak Mark, Kak Cakra dan satunya lagi kalau tidak salah namanya Kak Dika. Mereka ber-empat asik saja tertawa seperti sedang membicarakan sesuatu yang lucu.

Selagi memperhatikan, Arsha tiba-tiba baru sadar kalau ternyata para panitia outbound yang merupakan para seniornya itu rata-rata memiliki wajah yang bisa dibilang tampan. Kecuali Cakra, entah mengapa Arsha lebih setuju untuk mengkategorikan wajah Cakra dalam list kakak kelas yang manis daripada yang tampan. Memang sih Cakra juga tampan, tapi kesan manis di wajahnya itu lebih mendominasi.

Apalagi sekarang laki-laki itu sedang tertawa, Arsha yang tidak memiliki minus mata bisa dengan jelas melihat bahwa ada sebuah gingsul yang mengintip di antara gigi atasnya. Arsha termenung sejenak, di setiap pertemuan mereka Arsha memang tidak pernah meneliti wajah Cakra secara langsung sehingga sekarang dia baru tau kalau kakak kelasnya itu memiliki sebuah gigi gingsul, pantas saja Cakra terlihat sangat manis apalagi jika sedang tertawa lepas.

Jantung Arsha langsung berdetak dengan cepat ketika manik mata Cakra tiba-tiba saja berpindah dan bertemu tatap dengan kedua manik matanya. Laki-laki itu langsung berhenti tertawa dan kini malah tersenyum miring kepada Arsha, jelas sekali senyum itu ditujukan untuknya. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Cakra.

"Sha, lo sakit?"

"Hah?"

"Muka lo merah." Tirani sudah berancang-ancang ingin mengecek suhu pada kening temannya itu, namun Arsha buru-buru menjauhkan wajahnya.

Kedua mata Arsha terbelalak lebar. "Demi apa lo muka gue merah?!" tanyanya kaget sekaligus tidak percaya.

Rena yang kebetulan ikut mendengarkan dari belakang Tirani, tiba-tiba ikut mengangguk untuk menanggapi kalimat Tirani tadi. "Iya, Sha. Muka lo merah banget tuh, mending lo izin aja deh kalo sakit, daripada nanti kenapa-kenapa loh?"

Arsha mengibaskan kedua tangannya dengan cepat untuk menolak saran Rena. "Gue nggak apa-apa kok, serius deh, udah jangan pada khawatir ya!" Gadis ini kembali menoleh ke arah kanan, niatnya ingin menghindari segala pertanyaan dari teman-temannya. Namun ketika dia berbalik, dirinya justru kembali menemukan sosok Cakra.

"Aduh astaga." Arsha mengumpat seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam ke lipatan kedua tangannya.

Karena nyatanya sedari tadi Cakra masih saja memperhatikan setiap gerak-geriknya, bahkan ketika tadi Arsha sempat melihat lagi ke arahnya, laki-laki itu tengah menyeringai seolah memberitahu bahwa sedari tadi dia menangkap segala perilaku Arsha yang sedang salah tingkah tanpa sebab yang jelas.

"Arsha, lo beneran enggak sakit? Mau gue izinin nggak?" Tirani menyentuh pundak Arsha dan bertanya demikian, jujur saja dia khawatir.

Namun alih-alih di'iya'kan, yang ada Arsha malah menggeleng dan semakin memundukkan kepalanya. "Gue nggak apa-apa, Tir. Beneran kok, udah ya sekarang lo diem dulu," desisnya pelan, karena sebenarnya Arsha masih harus menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba saja mulai menggila.

Lagipula kenapa juga Kak Cakra harus bertingkah seperti itu di saat Arsha sedang menyiapkan dirinya untuk pendakian? Kalau seperti ini 'kan Arsha jadi malu sendiri karena sudah tertangkap basah ketika memperhatikan kakak kelasnya itu.

<input id="ext" type="hidden" value="1">