Airlangga dan Narotama bergegas menuju tempat kejadian perkara. Ada tak kurang dari satu lusin orang berbaju hitam-hitam. Mereka membawa golok di pinggangnya. Selain itu mereka juga membawa gerobak yang ditarik lembu. Mereka masuk ke rumah-rumah, lalu mengambil beras dan sayuran. Ada juga yang menyeret binatang ternak.
"Tuan! Tuan! Gabah saya jangan diambil!"
Airlangga melihat Sukma, petani yang dikenalnya kemarin. Pria itu sedang memohon pada orang berbaju hitam yang memanggul karung dari rumahnya.
"Pak! Pak! Sini, saya kasih tahu sesuatu!" Satu-satunya orang yang mengenakan ikat kepala hitam memanggil Sukma. Petani itu pun mendekatinya, meski tatapannya masih tertuju pada karung gabah yang dilempar ke gerobak. "Sudahlah, diikhlaskan saja, ya?"
Kedua mata Sukma melotot, tapi mulutnya tak berani bersuara.
Si pemimpin orang hitam-hitam merangkul bahu Sukma. "Bapak juga tahu, kan, selama ini Raja Hasin bersama Laskar Hitam melindungi desa ini dari prajurit Sriwijaya. Anggap saja ini biaya keamanan."
"Tapi panen sedang tidak bagus, Tuan," protes Sukma sesopan mungkin. "Ka—kalau diambil sebanyak ini, nanti keluarga saya makan apa?"
Si pemimpin Laskar Hitam memberi Sukma tatapan iba. "Jujur, saya juga sakit melihat anak-anak kelaparan. Tapi kami yang berjuang di medan perang juga butuh makan. Kami mau-mau saja bertani, tapi terus siapa yang berjaga kalau pasukan Sriwijaya datang?"
Sukma masih mau protes, namun orang-orang berbaju hitam itu mulai mengelilinginya disertai tatapan mengintimidasi. Nyali Sukma pun menciut. Akhirnya ia mengalah. Baginya lebih baik cuma makanannya yang dirampas daripada harus dipukuli juga.
Ada rasa tertusuk di hati Airlangga. Gabah yang kemarin ia panen dengan susah payah, kini diambil semudah itu oleh orang-orang yang mengaku melindungi desa dari Sriwijaya.
"Apa?!" hardik seorang Laskar Hitam yang sadar sedang diperhatikan Airlangga.
Pemuda itu cepat-cepat menundukkan kepala. Ia tak berani melawan selusin pria yang bersenjatakan golok. Sama tidak beraninya dengan penduduk lain yang cuma bisa pasrah.
Padahal Tunggadewa ada di sana, tapi cuma memperhatikan.
Oh ya, katanya orang itu memang antek-antek Raja Hasin.
Tunggadewa diam bersedekap, membiarkan rakyatnya sendiri dijarah orang lain.
Andai saja Airlangga memiliki pasukan, ia akan memerintahkan mereka memerangi Hasin…
Namun, Sri Dewi tidak butuh pasukan untuk melawan. Gadis itu berjalan tegap menuju kawanan Laskar Hitam, bagai tikus yang secara sukarela menempatkan dirinya di hadapan kucing-kucing kelaparan. Pandita Terep berusaha menghentikan putrinya itu, tapi perkataannya tak didengar.
Sri Dewi berseru pada pria-pria menyeramkan tersebut, "Jangan ambil makanan kami! Kalian ini penipu! Sriwijaya tidak pernah sampai ke tempat ini! Kami membayar keamanan, padahal kalian sendiri yang membahayakan kami!"
Airlangga pun terenyak.
Si pemimpin Laskar Hitam berdecak, "Kau lagi, kau lagi. Tunggadewa, urus adikmu ini!"
"Siap, Tuan!" Tunggadewa cepat-cepat menghampiri Sri Dewi.
"Hei!" hardiknya. "Jangan macam-macam!"
"Kenapa Kang Mas malah mendukung orang-orang ini? Apa Kang Mas tidak peduli dengan penduduk desa?" balas Sri Dewi.
Tunggadewa terlihat tidak nyaman. Ia mendesis agar kata-katanya cuma bisa didengar Sri Dewi. "Kamu itu tidak mengerti. Ini satu-satunya cara kalau mau selamat!"
"Masih ada cara selain berkomplot dengan mereka!"
"Apa? Mencari Sri Raja yang hilang? Itu cuma desas-desus, Sri Dewi! Sedangkan Laskar hitam ini yang nyata!"
Sri Dewi terpukul mendengarnya. Namun, ia terus melawan. Gadis itu pun menumpahkan pemikiran yang selama ini mengganjal di benaknya. "Kang Mas cuma menginginkan dukungan dari mereka agar disegani penduduk desa."
Lalu tangan Tunggadewa melayang, menampar pipi Sri Dewi.
Suasana menjadi hening.
Yang dipecahkan oleh tawa si pemimpin Laskar Hitam.
"Hahaha, sudah, jangan buang-buang waktu lagi," ujarnya. "Kalian semua, cepat penuhi gerobak!"
Orang-orang berpakaian hitam itu segera bergerak. Sri Dewi bisa menerima tamparan di pipinya, tapi ia tak akan membiarkan makanan penduduk desa dirampas. Ia segera berlari untuk menyerang seorang Laskar Hitam yang sedang menyeret kambing milik warga.
"Jangan cari perkara!" Tunggadewa menangkap lengan Sri Dewi, lalu menariknya. Ia bermaksud menampar gadis itu lagi.
Namun, Naratoma menangkap pergelangan tangan Tunggadewa. Kemudian ia menendang perut orang itu dengan sangat keras. Tunggadewa tersentak, lalu menepis tangan Narotama.
"Dasar kurang ajar, laki-laki macam apa memukul adiknya sendiri?"
"Kau ini—" Tunggadewa memegangi perutnya yang kesakitan. Ia terlihat murka.
Pria itu langsung menyerang Narotama. Ia melesatkan tinju rentetan tinju. Narotama menangkisnya beberapa kali, lalu menendang wajah Tunggadewa hingga terpelanting.
Si pemimpin Laskar Hitam tampak menikmati pergelutan tersebut. Ia tertawa-tawa mendapat hiburan gratis. Sampai sebuah sandal bersarang di keningnya.
"Aduh!"
Narotama yang melemparnya.
"Jangan ketawa-ketawa sendiri, seperti orang gila saja. Sini biar kau kuhajar sekalian!" ucap Narotama sembari bersiap melempar sandalnya yang satu lagi.
"Jangan berani-bera—"
Narotama melemparnya. Si pemimpin Laskar Hitam refleks menepis sandal tersebut.
Kini semua orang menyaksikan dengan napas tertahan. Sebelumnya tidak ada yang berani melawan anggota Laskar Hitam.
"Mpu! Jangan nekat!" desis Airlangga. "Mpu bisa dikeroyok!"
"Sri Raja!" jawab Narotama. "Kalau Sri Dewi saja tidak takut menegakkan keadilan, mau ditaruh di mana muka saya kalau saya takut? Memangnya saya si Tunggadewi?"
Tunggadewa tampak kesal, tapi ia sudah kepayahan.
"Lagipula saya tidak sendiri," lanjut Narotama. "Sri Raja, lihatlah dan pelajari."
"Menghinaku berarti menghina Raja Hasin!" teriak si pemimpin Laskar Hitam. "Anak-anak, serang orang itu!!"
Satu lusin Laskar Hitam mencabut goloknya lalu menyerbu. Narotama menerjang mereka tanpa gentar. Pria itu melompat, tinggi sekali, lalu menendang kepala seorang laskar hitam. Korbannya jatuh tersungkur.
Anggota Laskar Hitam yang lain mengayunkan golok ke arahnya. Naratoma menghindar, lalu menghantam kepala orang itu menggunakan punggung tangan.
Golok-golok lain diayunkan bersamaan ke arahnya. Naratoma menangkis, menghindar, berkelit. Tapi semakin lama semakin banyak golok yang terayun. Posisi Naratoma terkepung. Dan ia melompat tinggi, lalu berputar di udara. Sebuah pergerakan yang tidak manusia, sebab ia seolah melayang. Dari sana ia menendang kepala tiap orang yang mengepungnya. Laskar-Laskar Hitam itu pun berjatuhan.
Ajian yang digunakan Narotama barusan adalah ajian Bayu Senja, sebuah ilmu kanuragan tingkat tinggi. Jika manusia menapak bumi, Narotama dapat menapak udara. Ia juga bisa melayang dengan bantuan angin, membantunya bermanuver ke segala arah.
Sri Dewi yang terkesima menyaksikan pertarungan itu segera memutuskan untuk bergabung. Ia mengejar anggota Laskar Hitam yang masih berdiri, lalu menerkamnya. Sri Dewi mencakar tangan pria itu yang memegang golok. Setelah goloknya dijatuhkan, Sri Dewi berputar lalu menapak rusuknya. Orang itu terjengkang ke belakang.
Sukma ikut tergetar melihat orang asing dan seorang perempuan bertarung, padahal ia sendiri cuma bisa memohon. Ia meremas-remas kepalannya, lalu berseru, "Semuanya! Angkat senjata kalian!"
Ia meraih sebatang bambu.
"Jangan biarkan Sri Dewi bertarung sendirian! Kita lindungi desa ini bersama-sama!"
Akhirnya satu per satu penduduk desa pun mengangkat palu dan arit. Mereka membulatkan segenap tekad, kemudian ikut menyerbu. Anggota Laskar Hitam kalah jumlah.
Situasi kacau sepenuhnya.
"Bodoh!" Tunggadewa mengumpat. Ia memutuskan untuk kabur. Ia tak mau tahu lagi. Biar saja laskar Raja Hasin menghancurkan desa ini.
Narotama mengejar si pemimpin laskar, lalu mereka baku hantam. Keduanya saling bertukar jurus, tapi Narotama jelas lebih unggul. Ia berhasil menendang bokong orang itu. Si pemimpin Laskar Hitam jatuh berguling, lalu cepat-cepat bangkit. Ia melihat anak-anak buahnya sudah babak belur dikeroyok penduduk desa.
"Kalian sendiri yang cari perkara!" teriaknya seraya memegangi bokong yang nyeri. "Jangan salahkan aku kalau Raja Hasin datang ke sini membawa seluruh Laskar Hitam!"
"Justru itu yang aku harapkan!" seru Narotama. "Dengan begitu Sri Raja Airlangga bisa memberi pelajaran padanya secara langsung!"
Tiba-tiba kedua mata si pemimpin Laskar Hitam membelalak lebar. "Sri Raja… Airlangga… Kau adalah Sri Raja Airlangga?"
"Bukan, saya adalah Narotama, abdi dalem Sri Raja Airlangga." Kemudian Narotama menunjuk pada Airlangga. "Beliaulah sang Sri Raja yang akan memberi pelajaran pada rajamu!"
Sontak semua orang melihat ke arah Airlangga. Pemuda itu jadi tergagap. Ia mengutuki kebodohan Narotama dalam hati. Ia tidak mau mencari keributan, tapi Narotama malah membuat panggung duel baginya dan Raja Hasin!
"Tunggu… aku… bukan…" Sang raja berusaha memberi klarifikasi, tapi suaranya terlalu pelan untuk didengar.
"Baiklah!" seru si pemimpin Laskar Hitam. "Kalau kau memang Sri Raja Airlangga, Raja Hasin akan dengan senang hati menaklukkanmu. Dengan begitu Raja hasin bukan lagi sekadar raja dari antah berantah. Beliau akan memenangkan klaimnya atas Medang!"
Orang itu pun melarikan diri bersama anak-anak buahnya.
Lalu penduduk desa bersorak ramai. Ini pertama kalinya mereka berhasil melawan penindasan. Meski mungkin cuma akan jadi masa kemenangan yang singkat.
***
"Selamat pagi, Sri Raja."
"Terimalah persembahan seadanya dari kami, Sri Raja."
"Saya harap Sri Raja merasa nyaman tinggal di desa kami."
Penduduk desa tak henti-hentinya mengunjungi pondokan yang ditempati Airlangga. Sekarang semua orang begitu hormat padanya. Tunggadewa sudah kabur dari desa, dan Narotama yang mengusir para penindas menjunjung Airlangga sebagai sang raja. Maka tidak ada alasan bagi penduduk desa untuk menyangsikan klaim Narotama.
Tapi tentunya ada harga mahal yang harus dibayar Airlangga. Orang-orang itu berharap Airlangga memberi Raja Hasin pelajaran.
"Cukup, cukup, terima kasih semua…" Airlangga berusaha mengusir sesopan mungkin, lalu menutup pintu agar penduduk desa berhenti datang. Tinggal Narotama dan Sri Dewi yang ada di sana bersamanya. "Sri Dewi, saya ingin bicara empat mata dengan Narotama."
Gadis itu terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya menuruti titah sang raja.
Setelah dirasa situasi cukup privat, Airlangga mulai melepaskan unek-uneknya.
"Saya pasti mati, Mpu! Raja Hasin akan memenggal kepala saya!"
"Saya percaya Sri Raja bisa."
"Tapi saya tidak percaya!"
Narotama mendesah.
"Begini, Sri Raja. Ada alasannya kenapa saya melakukan hal yang saya lakukan. Untuk diakui sebagai raja, Sri Raja harus mengalahkan orang lain yang menyebut dirinya sebagai raja. Bisa dibilang ini adalah kesempatan bagus. Mengalahkan Hasin akan memperkuat pondasi kekuasaan Sri Raja."
"Kalau saya tidak mati duluan…"
"Tenang saja, saya akan turun tangan jika situasi sudah tak terkendali."
Airlangga ragu. Ia masih ingat bagaimana Naratoma malah asyik menonton dirinya dipukuli Tunggadewa.
Malamnya Airlangga tak bisa tidur. Ia sangat gelisah. Ia tidak mau matahari bersinar lagi besok pagi. Ia harap kiamat terjadi sekarang, sehingga semua orang mati, dan semua hidup bahagia di alam baka. Tak ada lagi penduduk desa yang tertindas. Tak ada prajurit yang mati sia-sia di medan perang. Tak ada intrik dan pengkhianatan antar saudara.
Sayangnya kiamat belum akan terjadi.
Airlangga bangun, lalu berjingkat-jingkat keluar dari rumah. Narotama sedang tertidur pulas di kamar sebelah.
Apa yang dilakukan Tunggadewa adalah tepat, dan Airlangga berpikir untuk mengikuti jejaknya. Ia mau kabur saja. Kembali bertapa di tempat yang tidak ada siapa-siapa.
Ia membuka pintu, keluar, lalu menutupnya sepelan mungkin.
Seluruh desa tengah terlelap, sementara bulan dan bintang hanya akan menjadi saksi bisu.
"Sri Raja."
"!!!"
Airlangga menoleh. Sri Dewi sedang bersimpuh di samping rumah.
"Ka—ka—kau sedang apa—?" Airlangga gelagapan.
"Saya menjaga kediaman Sri Raja."
"O—o—bagus."
"Sri Raja mau ke mana?"
Keringat dingin Airlangga menetes.