Rubi masih bingung dengan maksud Anti mengajak Calisa untuk makan malam bersama dengan mereka. Ketiganya tampak begitu dekat dan bahagia. Membuat Rubi merasakan cemburu berat, karena Anti dan Melani tidak pernah memperlakukannya sedemikian rupa. Bahkan ketika jari tangan Rubi teriris pisau sekalipun, mereka tetap diam dan enggan bertanya.
"Sayang, kenapa melamun?" Tiba-tiba saja pipi Rubi dicolek oleh Jaya. Wanita itu tersentak dan mencabut sandaran tubuhnya pada ambang pintu.
"Eh, Mas. Sudah mau berangkat?" tegur Rubi.
"Iya. Mas pergi dulu ya, Sayang,"
CUP!
Sebuah kecupan mendarat di dahi Rubi. Tak lupa ia juga menjabat tangan Jaya, kemudian menciumnya. Rubi setia menanti Jaya hingga lelaki itu benar-benar hilang dari pandangan. Setelahnya, Rubi masuk ke rumah guna bersantai. Bersamaan dengan itu, sebuah bariton terdengar di telinga Rubi. Suaranya persis seperti dua buah benda yang saling bertubrukan.
BRAK!!!
Rubi terlonjak di tempatnya.
"Apa itu?" batinnya.
Karena penasaran, akhirnya Rubi memutar tubuh dan keluar halaman. Rasa ingin tahunya semakin besar ketika mendapati beberapa orang tunggang langgang ke arah Timur. Rubi pun spontan berlari dan betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil familiar menubruk tiang neon jalanan.
"MAAAAAS!!!" Rubi histeris.
Kendaraan roda empat itu adalah milik Jaya. Bagian depan mobil sudah tidak berbentuk. Rubi kocar-kacir dan memohon pada para pengguna jalan agar membukakan pintu mobil tersebut.
"Ini suami saya. Tolong bukakan pintunya," teriak Rubi.
Rubi tidak menyangka jika Jaya yang barusan keluar dari rumah akan mengalami kecelakaan. Sekujur tubuhnya lemas dan bulu kuduknya meremang. Apakah Jaya masih bernapas? Itulah yang berada dalam benaknya.
"Mas!" pekik Rubi tatkala suaminya berhasil dievakuasi.
Rubi langsung menghubungi ambulance dan mobil derek. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih pada orang-orang yang telah bersedia membantunya.
Sesampainya di rumah sakit, Jaya langsung dimasukkan ke ruang ICU untuk menjalani perawatan. Rubi bersyukur karena ternyata Jaya masih hidup, meskipun ia mengalami koma. Buru-buru Rubi menghubungi Hardi melalu ponsel Jaya.
Tak lama setelah itu, Hardi dan keluarganya sampai di hadapan Rubi. Mereka tak mampu menyembunyikan rasa panik.
"Ada apa dengan putraku?" tanya Anti.
"Jaya menabrak tiang neon di dekat rumah kami saat ingin pergi bekerja dan aku tidak tahu penyebabnya," jawab Rubi tak kalah panik.
"Ya, Tuhan. Anakku…"
Ibu mana yang tahan ketika mendengar kalau anaknya mengalami kecelakaan. Begitupun dengan Anti. Ia syok berat setelah mendengar kabar buruk ini.
"Kenapa kakakku bisa kecelakaan? Apa kalian baru bertengkar sehingga membuatnya tidak fokus berkendara?" Melani malah menuduh yang bukan-bukan.
"Melani! Jaga ucapanmu," tegur Hardi.
"Kami baik-baik saja. Aku tidak tahu kenapa Mas Jaya bisa menabrak tiang neon,"
"Benar juga yang dikatakan oleh Melani. Pasti kalian baru saja terlibat masalah, kan? Ah! Atau jangan-jangan kaulah yang sudah meminta Jaya untuk segera pergi." Anti mengusap air matanya kasar. Ia menyorot tajam wajah Rubi.
"Aku tidak berbohong, Ma. Sebelum Mas Jaya pergi kami baik-baik saja,"
"Anti, Melani. Kalian ini jangan menambah masalah baru." Lagi-lagi Hardi memperingati. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya bergejolak memikirkan keadaan Jaya.
Di tengah kegaduhan mereka, tiba-tiba seorang pria berpakaian putih keluar dari ruang ICU. Hardi merupakan orang pertama yang menghampiri sosok tersebut.
"Dokter, bagaimana keadaan putra saya?" tanyanya.
Dokter tersebut membuka masker yang menutupi mulut dan sarung tangannya.
"Putra bapak mengalami luka di bagian kepala, tapi jangan khawatir karena lukanya tidak terlalu berat. Dia masih mengalami masa koma akibat syok,"
"Hah, koma?" Bibir Anti ternganga lebar.
"Iya, Bu. Anda tidak perlu khawatir, karena ini takkan lama,"
"Apa kami boleh masuk ke dalam?" tanya Hardi lagi.
"Boleh. Asalkan jangan membuat keributan,"
Dokter itu pun pergi setelah keluarga Hardi mengucapkan terimakasih.
***
Hardi pamit untuk pergi ke kantor setelah semalaman menemani putranya di ruangan pasien. Sudah 24 jam dan Jaya belum sadarkan diri. Tidak sadarnya Jaya membuat ide Anti mengalir. Dia harus mengambil kesempatan untuk menyingkirkan Rubi.
Ketika Hardi sudah tidak berada di tempat, Anti menarik pergelangan tangan Rubi. Ia memberi kode agar wanita itu mengikutinya.
"Melani, jaga Jaya! Mama mau keluar dengan si kampungan ini," titah Anti.
Melani mengangguk mantap.
"Nyonya, kita mau ke mana?" Rubi setengah ragu. Ia lebih menginginkan menjaga suaminya.
"Jangan banyak protes. Ikut saja!"
Anti menggiring Rubi untuk masuk ke mobil. Ia dibawa ke suatu tempat yang Rubi sendiri pun belum tahu. Berulang kali Rubi bertanya dan minta putar balik. Sayangnya, Anti tidak mengecohkan itu semua. Hingga keduanya sampai di sebuah taman.
"Untuk apa kita ke sini, Nyonya?" Rubi tiada hentinya bertanya.
Anti meminta Rubi untuk duduk di bangku taman. Selang beberapa menit kemudian, seorang dara yang sempat membuat hati Rubi terbakar muncul. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Calisa.
"Hai, Tante," sapa Calisa dengan senyum manisnya.
Anti pun mengangkat tubuh guna menyambut kedatangan Calisa. Begitupun dengan Rubi.
"Ini ada apa, ya?" tanyanya kembali.
Anti dan Calisa saling berbalas pandang lalu tertawa. Mumpung Jaya tak sadarkan diri, jadi Anti mengambil peluang untuk mempertemukan Rubi dengan Calisa.
"Rubi, dengarkan baik-baik!" Anti membuka obrolan. "Ini adalah Calisa, anak dari sahabatku. Sengaja aku memperkenalkan Jaya pada Calisa beberapa hari lalu agar dia bisa melupakanmu,"
Degh!
Jantung Rubi seketika mencelos.
"Apa maksudnya, Nyonya?"
"Rubi, kau tahu sendiri kalau aku sangat membencimu, kan? Apalagi setelah aku tahu bahwa kau tidak bisa memiliki keturunan. Untuk apa lagi Jaya mempertahankan istri tak berguna sepertimu? Aku sudah memutuskan untuk memisahkan kalian berdua. Jaya akan kunikahkan dengan Calisa,"
"Apa? Tidak bisa begitu, Nyonya. Rumah tangga ini milik aku dan Jaya,"
Rubi menggelengkan kepalanya tidak terima. Meskipun Anti adalah ibu kandung Jaya, tapi bukan berarti dia dapat sesuka hati dengan pernikahan putranya. Apalagi sampai membawa-bawa wanita lain.
"Kau bukan siapa-siapa dan tidak sebanding dengan keluarga Om Hardi. Sebaiknya kau sadar diri gadis kampung!" Calisa menimpali. Ia melipat kedua tangan seraya menyombongkan diri.
"Tidak! Sampai kapan pun aku tak akan mau berpisah dengan Jaya. Kami saling mencintai,"
"Saling mencintai? Hahaha. Rubi, jangan terlalu besar kepala kau! Lihat saja, sebentar lagi Jaya akan membencimu," ancam Anti.
Sekarang Rubi mengerti kenapa Anti membawanya ke tempat ini. Sungguh tak disangka jika ia akan mendapatkan mertua yang begitu galak.
"Ingat! Setelah Jaya sadar kau harus minta untuk dicerai," timpal Calisa.
"Kalian semua tidak berhak mengatur urusan rumah tanggaku. Biarkan aku bahagia dengan Jaya,"
Saking geramnya, Rubi sampai kelepasan membentak Anti dan Calisa. Hal itu membuat Anti kesal dan langsung menjambak rambut menantunya.
"Aku tidak mau tahu! Kau harus menuruti semua ucapanku," titah Anti.
Anti dan Calisa meninggalkan Rubi yang masih menyisir rambut-rambutnya dengan jari tangan. Anti sukses membuat kulit kepala Rubi seakan tercabut dari tempat. Saat sadar bahwa dirinya ditinggal, Rubi memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah sakit. Rubi menyesali kenapa di sakunya tidak terdapat uang cash.
Sesampainya di ruangan berbau obat itu, Rubi dikagetkan dengan Jaya yang ternyata sudah siuman. Anti telah berada di sana lebih dulu dan saat ini dia sedang menyuapi putranya makan.
Ketiganya menatap wajah lusuh Rubi. Anti menjadi orang pertama yang menegur wanita tersebut.
"Rubi! Dari mana saja kau? Suami sakit bukannya dirawat," ujar Anti pura-pura bodoh.
***
Bersambung