webnovel

Air Mata Di Padang Bulan-Medan

Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "

Man_84 · Geschichte
Zu wenig Bewertungen
20 Chs

Difitnah

Semenjak surat yang diberikan Ahmad mendapat sambutan dari Latifah, diapun semakin sering berada di belakang pagar yang membatasi dirinya dengan Latifah.

Pagar itu bagaikan tembok Berlin yang sulit untuk menembusnya.

Namun, apabila perasaan sedang dilanda kerinduan, semua itu bukanlah tantangan yang begitu besar dirasakan dua orang muda-mudi itu.

Setiap kali senja sudah menampakkan rona kekuningannya, Ahmad sudah berada di balik pagar seng itu, mana tau dapat menatap Latifah agak semenitpun sudah merupakan kepuasan batin tersendiri yang dirasakannya.

Dengan berbekal sebuah handuk yang dililitkan di leher, kain sarung berwarna hijau yang membelit pinggangnya, peci putih yang menutupi rambut ikalnya, serta ember kecil yang tersangkut di jemari tangannya, ia mulai mengarahkan pandangannya ke seorang santriwati yang lagi duduk di bawah sebuah pohon mangga yang rindang dahannya, dengan sebuah kitab di hadapannya.

Bibirnya yang tipis, tak henti-hentinya berucap, sedang melafazkan bait-bait syair, sekali-kali mata yang indah dengan alis tebal dan bola matanya yang hitam itu memandang ke arah gerbang, seakan-akan, seorang isteri yang menunggu kedatangan suaminya dari medan perang.

Entah apa yang ada dalam pikiran gadis cantik itu, ketika melihat pagar berduri yang kokoh.

"Alangkah sempurnanya dirimu, wahai Latifah....

Gumam Ahmad dalam batinnya.

Ketika Ahmad lagi asyik masygul memerhatikan gadis berkulit putih itu, ada suara panggilan kecil masuk ke dalam telinganya,

"Ahmad....

Dengan cepat pemuda bermata sayu itu menoleh ke belakang, alangkah terkejutnya dia melihat Mudir Ma'had ( Kepala Sekolah), tengah berdiri di belakangnya bersama tiga orang santri yang tidak asing lagi baginya, yaitu,."Peri, Zoni dan Mirhan.

Peri adalah pemuda yang pernah menyatakan cinta kepada Latifah, akan tetapi gayung tidak bersambut.

Tanpa berkata banyak, Ayah Mudir pun menyuruh Ahmad ke kantor menghadapnya.

"Ahmad..." Ayah dengar akhir-akhir ini, kamu sering melihat-lihat ke lokasi putri, itu tidak baik!Nanti di contoh oleh adik-adikmu, bahkan menurut cerita yang Ayah dapat, bahwa kamulah yang melubangi dinding kelas Latifah yang bersebelahan dengan dapur umum.

"Kemudian menurut kabarnya, kamu juga yang menyumbat polongan air fatayat sehingga mereka harus mandi di Danau Siombun," jelas laki-laki berkepala 5 itu melanjutkan perkataannya.

(Danau Siombun itu merupakan nama sebuah danau yang dekat dengan pesantren dan menjadi alternatif kedua untuk mandi dan mencuci kalau sewaktu-waktu air proyek itu kering atau tersumbat, dan tidak mengalir ke lokasi pesantren).

Peri dan kedua temannya terlihat bahagia, karena ucapan mereka dapat memengaruhi Ayah Mudir, itu terpancar dari raut wajah mereka.

"Ayah....

Semua yang dituduhkan kepada saya itu adalah fitnah, saya tidak pernah berbuat seburuk itu Ayah.

Jawab Ahmad sambil mengangkat kepalanya untuk meyakinkan pria bertubuh kekar itu, yang sudah memimpin pesantren selama 10 tahun.

"Mana ada maling yang mengakui perbuatannya Ayah...!

Kata Peri menyanggah perkataan Ahmad.

Ahmad kembali menundukkan kepalanya.

Sejenak suasana dalam kantor itu senyap.

Kemudian Ayah Mudir berkata, "Menurut bahan bukti dan pengakuan sebagian dari teman-temanmu, maka Ayah mengambil keputusan bahwa kamu harus membersihkan pekarangan pondok sampai ke pekarangan lokasi putri selama seminggu ini Ahmad...!

Bak suara petir di siang bolong, dia mendengarkan keputusan orang nomor satu di pesantren itu.

Dengan berbesar hati, Ahmad menyalami tangan Ayah Mudir sambil menciumnya, sembari mohon diri disertai air mata yang mengalir membasahi pipinya.

          🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫