Satu minggu berlalu semenjak pertarungan Ronan dengan Collin, api kehancuran melawan api kehidupan. Dan karena kekalahannya, Collin memutuskan untuk tinggal bersama orang yang sesekali disebutnya diktator gila kuasa—karena keceplosan—serta Paman Bane.
Mereka memulai segalanya dari awal. Collin bertugas mencari kayu cemara berkualitas di hutan untuk pondasi rumah baru mereka. Paman Bane bertugas mengelola kayu-kayu tersebut sampai layak dijadikan tempat tinggal. Sementara Ronan—berbeda dari yang lain—diberi tugas melatih ilmu berpedangnya. Tentu, itu lebih melelahkan daripada hilir-mudik ke hutan. Sebab, Firecalibur beratnya setara seekor banteng.
Dalam kurun waktu setengah bulan, rumah mereka selesai dibangun. Bukan seperti pondok lagi, tetapi benar-benar seperti rumah di dalam hutan. Itu adalah sesuatu yang membanggakan, meski mereka harus tidur di lantai karena dipannya belum dibuat.
"Luar biasa. Tak kusangka bakat konstruksiku akan sehebat ini." Paman Bane memuji dirinya sendiri.
"Benarkah?" Collin mengernyit. "Kukira aku yang mengerjakan semuanya sendiri."
"Apa maksudmu, Nak Collin? Aku mengupas kulit dan mengampelas kayu-kayu cemara itu seharian, asal tahu saja."
"Ya, hanya di hari pertama." Collin melengos. "Aku yang melakukan semua hal itu di hari-hari berikutnya."
"Tak apa, itu sudah bagus." Paman Bane tersimpul ringan, tak merasa bersalah secuil pun.
"Hey, Paman Bane! Collin! Lihat ini!" Seseorang berseru, membuat mereka menoleh. Rupanya itu Ronan yang kepayahan memikul Firecalibur. Wajahnya tampak kemerahan, dan napasnya tersengal-sengal.
"Lihat dirimu, Ronan! Kau akhirnya berhasil mengangkat pedang raksasa itu. Sempurna!" Paman Bane tertawa bangga menyaksikan perkembangan keponakannya.
"Hey, bukankah aku seharusnya juga dapat pujian?" protes Collin. "Kau tahu, 'kan? Rumah ini, aku, Ronan. Kami sama-sama membuat kemajuan." Ucapan itu hanya ditanggapi angkatan bahu oleh Paman Bane.
"Huuh, aku memang hebat." Ronan memuji dirinya sendiri seraya terus berjalan menghampiri Collin dan sang Paman. "Aduduh, pinggangku sakit. Eehh!"
GUBRAK!
Lelaki itu ambruk dan ditimpa pedangnya sendiri. Ronan sontak jadi linglung karena kepalanya yang tertindih lempengan besi panas. Beruntung, Paman Bane dan Collin segera datang membantu. Mereka duduk di pekarangan rumah sembari menikmati sepoi angin sore.
"Aduh, perutku lapar sekali," ucap Ronan. Air liurnya menggelantung di bibir.
"Hey, kita masih punya stok daging, 'kan?" Paman Bane mengingatkan.
"Daging!?" Collin mengenyit curiga. "Daging yang mana?"
"Daging hewan buruanmu kemarin. Apa kau sudah lupa?" timpal Paman Bane.
"Eh! T-tunggu! Tu-tunggu! Kukira kita mengumpulkan stok daging sendiri-sendiri. J-jadi, seharusnya stok daging di rumah itu milikku, 'kan?" Collin coba meluruskan.
"Oh, jangan egois begitu, Nak Collin. Kita harus berbagi di situasi seperti ini. Sudahlah, aku akan siapkan dagingnya. Kalian nyalakan api." Paman Bane beringsut memasuki rumah.
"Berbagi apanya?! Kalian hanya malas-malasan di rumah," kisik Collin, masam.
Meski menggerutu, Collin tetap menyiapkan kayu bakar di depan rumah, lalu memantiknya dengan api. Ronan segera menyusul dengan raut wajah kelaparan, diikuti Paman Bane yang membawa sekeranjang daging rusa. Pria besar itu mulai menusuknya dengan ranting, dan menyusun daging-daging itu di tengah api.
"Aromanya sedap sekali." Ronan langsung mengendusi daging yang baru saja dimasak. "Kujilat, ya?"
"JAANGAANN!!" Paman Bane dan Collin spontan menceletuk.
"Haduh, ya sudah." Ronan seketika jadi kisut. "Kalian memang kejam."
Berselang sepuluh menit, daging-daging mereka akhirnya matang. Tanpa dikomando, Ronan langsung menyambar setusuk daging, lalu mengambil satu lagi, setelah itu satu lagi, dan satu lagi, sampai-sampai Collin tidak kebagian. Pemuda bergigi runcing itu hanya bisa mendengus pasrah saat Paman Bane memasakkan daging baru untuknya.
"Aku kenyang~" Ronan bersenandung sambil berbaring di tanah. "Ah, senangnya~"
"Dagingnya masih banyak. Mau kita apakan?" Paman Bane bertanya.
"Jangan diapa-apakan!" celetuk Collin. Matanya berkilat-kilat seram.
"Hehehe ... cuma bercanda." Paman Bane tertawa, setengah takut.
Membuang waktu sepuluh menit bagi Collin untuk menyaksikan perut buncit kedua orang di depannya selepas menyantap habis daging tusuk, sementara ia harus bersabar menunggu yamg mentah sedang dimasak. Akan tetapi, sekarang kepala suku gigi hiu itu bisa menikmati gurihnya daging olahan Paman Bane.
"Eeennaaakk~" katanya, seolah terhipnotis.
"Bagaimana? Daging terbaik hanya bisa dimasak oleh koki terbaik. Akulah koki terbaik." Paman Bane menaik-turunkan alisnya dengan percaya diri.
"Kerja bagus, Paman," sanjung Collin. "Oh, iya! Bagaimana dengan rencana pembalasan dendam ke kerajaan Elloria yang kalian bilang waktu itu?"
"Sial, aku baru ingat! Cih! Kita malah asyik makan di sini, sementara musuh kita di sana tengah sibuk menikmati takhta haramnya. Kita harus bergerak!" Ronan yang uring-uringan di tanah langsung bangun.
"Kita tidak bisa asal bergerak. Ingat! Mereka punya seseorang seperti kalian. Putra Raja Iblis juga ada di sana." Paman Bane memperingati.
"Ronan adalah putra Raja Iblis terkuat. Dia pasti dapat mengalahkannya dengan mudah." Collin menimpali.
"Ah, tidak, Collin. Paman Bane benar. Aku memang bisa membakarnya sampai tak bersisa. Tapi, di sana juga ada orang-orang Vestaria. Aku tidak bisa melukai rakyatku sendiri. Sebab, akulah Raja Vestaria yang baik hati." Ronan bicara lengkap dengan raut wajah anggun khas bangsawan, yang justru terkesan menjijikan bagi Collin dan Paman Bane.
"Ronan adalah putra Raja Daemon Pertama, pemilik api kehancuran. Aku adalah putra Raja Daemon kelima, pemilik api kehidupan. Jadi, putra siapa musuh kita ini? Api macam apa yang dikuasainya?" Collin penasaran.
"Berdasarkan keterangan Paman Bane, aku bisa mengasumsikan Elloria memiliki Putra Raja Daemon kesembilan, pengguna api keabadian," tutur Ronan. "Hitam. Warna apinya hitam."
"Ah, pengetahuanmu sangat luas, Ronan. Aku jadi iri," ungkap Collin.
"Kau akan sepertiku saat umurmu tujuh belas tahun. Anak Raja iblis akan mengetahui segala informasi mengenai dirinya secara otomatis ketika berusia tujuh belas tahun. Tak ada yang bisa menghambatnya. Maka dari itu, kondisi tersebut dinamakan kutukan tujuh belas tahun."
"Begitu, ya? Haduhh, masih setahun lagi," keluh Collin.
"Ngomong-ngomong, ada berapa Raja iblis yang punya anak di dunia ini? Aku lupa." Paman Bane ikut mengobrol.
"Baiklah, aku akan menceritakannya dari awal." Ronan menghela napas, bersiap menunjukkan kemampuan retorikanya.
"Tu-tunggu dulu! Kenapa harus dari awal?" sanggah Collin. "Kau bahkan sudah menceritakannya empat kali. Itu membosankan."
"Membosankan, ya?" Ronan tersenyum kecut. "Kalau begitu, jawab pertanyaanku. Ada berapa Raja iblis yang memiliki anak di dunia ini?"
"Dua belas! Itu mudah." Collin dengan entengnya menyahut. "Eh! Sepuluh, maksudku. Atau sebelas? Delapan, barangkali? Tujuh? Enam? Lima? Ah, sial! Aku lupa." Pemuda itu mendengus lesu.
"Dengarkanlah untuk yang kelima kalinya, Collin." Ronan tersenyum menang. "Baiklah, aku mulai."
Dahulu kala, neraka adalah tempat penyiksaaan yang paling kejam. Tak ada yang sanggup lolos dari sana, dan siapapun itu pasti akan menderita ketika apinya yang panas menyentuh tubuh mereka. Bangsa iblis merupakan satu-satunya makhluk yang dijebloskan ke neraka karena dosa di masa lalu. Nyaris selama satu milyar tahun, para iblis telah mencapai penderitaan terburuk dalam hidup mereka.
Akan tetapi, setelah masa hukuman mereka berlalu, Tuhan menurunkan rahmat-Nya. Neraka tidak lagi menjadi tempat penyiksaan, melainkan sebuah dunia baru yang dihuni bangsa iblis. Dunia yang terbuat dari api, hanya untuk orang-orang yang diciptakan dari api pula. Bangsa iblis hidup makmur di sana.
Demi menjaga kemakmuran tersebut tetap eksis, bangsa iblis mendaulat sembilan Raja untuk memimpin neraka. Sembilan iblis terkuat dipilih untuk menanggung sembilan api yang menjadi pilar neraka.
Raja Daemon Pertama menjadi penguasa api kehancuran. Raja Daemon Kedua menjadi penguasa api kehampaan. Raja Daemon Ketiga menjadi penguasa api peniadaan. Raja Daemon Keempat menjadi penguasa api penciptaan. Raja Daemon Kelima menjadi penguasa api kehidupan. Raja Daemon Keenam menjadi penguasa api pelindung. Raja Daemon Ketujuh menjadi penguasa api titik nol. Raja Daemon Kedelapan menjadi penguasa api kilat. Terakhir, Raja Daemon Kesembilan menjadi penguasa api keabadian.
Bersama mereka, neraka menjadi negeri termahsyur di langit. Hal ini lantas memantik api dengki di hati malaikat. Selain karena dejarat iblis yang kembali setara dengan mereka, para malaikat juga iri pada berkah Tuhan yang dilimpahkan atas bangsa iblis. Buntut dari kebencian tersebut tak lain ialah peperangan akbar antara bangsa iblis dengan bangsa malaikat.
Peperangan tersebut nyaris memusnahkan alam semesta. Bangsa iblis yang terdesak terpaksa memanggil kesembilan Raja mereka untuk bertarung. Sembilan Raja Daemon pun turun ke medan pertempuran, membantai semua malaikat dengan pusaka mereka. Akan tetapi, neraka tiba-tiba menjadi goyah karena kesembilan pilarnya telah hengkang dari singgasana.
Kemurkaan Tuhan turun kepada bangsa iblis untuk kedua kalinya. Mereka dikutuk takkan bisa menduduki takhta lagi selamanya. Kesembilan Raja iblis dituntut untuk menuntaskan masalah tersebut. Akhirnya, Raja Daemon Pertama sanggup mengakali kutukan Tuhan dengan menanamkan benihnya ke dalam rahim manusia.
Setiap tujuh puluh tahun sekali, yakni saat periode bulan darah tiba, maka kesembilan Raja iblis akan turun ke bumi untuk mencari inang yang akan mengandung anak mereka. Anak yang terlahir akan hidup sebagai manusia setengah iblis selama tiga puluh tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi Raja Iblis dan dibawa ke neraka. Ingatan mereka semasa menjadi manusia akan dihapuskan. Siklusnya akan terus berlanjut sepanjang zaman.
"Aku masih bingung. Kenapa disebut bulan darah? Apakah bulannya memang jadi semerah darah?" Collin berpikir keras.
"Aku sudah menjelaskan itu padamu setiap kali ceritaku selesai, Collin. Masa lupa, sih?" komentar Ronan, agak kesal.
"Memangnya tadi kau cerita apa?" Collin memasang wajah bodoh.
"Astaga! Dasar gigi hiu amnesia." Ronan menepuk dahinya keras-keras.
"Hahaha ... aku cuma bercanda." Pemuda berigigi tajam itu tergelak sendirian. "Aku tahu, kok. Periode itu dinamai bulan darah karena bulan merah akan muncul, menggantikan bulan di hari-hari biasanya. Benar, 'kan?"
"Salah." Ronan memberengut. "Bulannya tidak berubah. Itu hanya kiasan untuk menggambarkan kebrutalan Raja Daemon Pertama saat membantai para malaikat di bulan. Saking banyaknya malaikat yang mati, bulan sampai menjadi merah karena darah mereka."
"Oh, begitu, ya." Collin mengusap-usap dagunya, sok mengerti. "Aku paham. Tenang saja, kali ini aku akan mengingatnya. Bulan darah adalah bulan merah. Merah adalah warna api Raja Daemon Pertama. Raja Daemon Pertama adalah ayahmu. Ayahmu adalah--"
"Sudah, sudah, cukup!" potong Ronan. "Kau membuatku pusing."
"Collin hanya berusaha mengingat ceritamu, Ronan." Paman Bane terkekeh. "Jadi, Raja Daemon Pertama mematahkan kutukan Tuhan dengan menjadikan manusia sebagai Raja iblis, ya?"
"Bukan mematahkan, tapi mengakali," koreksi Ronan. "Bangsa iblis murni dikutuk takkan pernah bisa menduduki singgasana neraka untuk selamanya. Akan tetapi, seorang iblis yang dulunya manusia tidak termasuk dalam kutukan tersebut. Raja Daemon Pertama berhasil menemukan celah dari kutukan Tuhan dengan menanamkan benihnya kepada manusia."
"Atau, Tuhan memang sengaja membuat celahnya," ujar Paman Bane. "Kita tak pernah tahu apa isi kepala Tuhan, 'kan?" Ia melirik Ronan.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu." Ronan menghela napas.
"Hey, siapa itu Tuhan?" Collin tiba-tiba bertanya.
"Collin, sekali lagi kau bercanda, akan kusumpal mulutmu dengan ranting!" ancam Ronan.
"Apa!? T-tapi kenapa? Aku sedang serius, kok!" Collin bersikeras.
"Apa kalian tidak punya sesuatu untuk disembah di pesisir barat sana?! Sesuatu yang kuat, sesuatu yang mendatangkan keselamatan," semprot Ronan.
"Hiu," ucap Collin. "Kami menyembah hiu."
"Eh!? Serius? Lalu apa makanan pokok kalian?" Ronan mulai tertarik.
"Hiu. Kami makan hiu."
"APA-APAAN ITU!? KALIAN MEMAKAN APA YANG KALIAN SEMBAH?!" Ronan terlonjak kaget.
"Memangnya salah?! Dengan memakan hiu, kami bisa hidup dan meneruskan keturunan. Sebagai balas budi, kami mengagungkan hiu-hiu tersebut. Kurasa itulah yang disebut lingkaran kehidupan," tutur Collin seraya bersedekap.
"Hey, Ronan," desis Paman Bane. "Kurasa aku mulai tahu kenapa desanya hancur."
"Kenapa?" Ronan mendekatkan telinga ke mulut sang Paman.
"Azab penduduk desa yang memakan Tuhannya sendiri," bisik Paman Bane sambil senyum-senyum. Paman dan keponakan itu sontak tertawa dalam diam. Wajah mereka sampai kemerahan.
"Hey, ada apa?" Collin bersuara.
"T-tidak, kok, tidak ada apa-apa. Ahahaha...."
"Iya, kami baik-baik saja. Cuma sedikit tersedak hehehe...."
"Hmm ... ya sudah." Collin kembali menundukkan kepala tanpa curiga.
Tatkala Ronan dan Paman Bane kembali lirik-lirikan, tiba-tiba terdengar bunyi derap dari dalam hutan. Mereka sontak bersiaga, takut jika yang datang adalah orang jahat. Derap yang bertalu-talu itu ditutup oleh suara ringkikan bersambung dengus nyaring. Tak seberapa lama, dari lebatnya hutan keluarlah seorang ksatria yang menunggang kuda dengan gagah-berani.
"Collin, bersiap!" Ronan mengomando. Ia sudah membakar dirinya dengan api merah.
"Tentu saja!" Collin pun ikut mengubah wujud menjadi manusia api.
Sesaat Ronan hendak melemparkan bola api ke arah ksatria tersebut, Paman Bane sontak menghalanginya. Pria itu meminta agar mereka menunggu sampai Sang ksatria menjelaskan maksud kedatangannya. Lagi pula, masih belum ada serangan yang datang.
"Dua calon Raja iblis!?" Si ksatria yang baru saja turun dari kudanya terperangah. "K-kukira cuma satu!" Ia menatap Paman Bane dengan wajah terheran-heran.
"Siapa kau?" Paman Bane melempar tatapan sengit.
"Oh, maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Eustace Varn, kadet Elloria ke-509." Sang ksatria bernama Eustace itu membuka helm besinya.
"Cukup sudah. Dia Elloria! Aku akan membunuhnya!" Ronan menodongkan kedua tangannya.
"Tu-tunggu! Kumohon, tunggu sebentar!" Eustace sontak tiarap sambil menutupi kepala saking takutnya.
"Tunggu dulu, Ronan! Biarkan ia selesai bicara," ujar Paman Bane, menurunkan tangan keponakannya yang sudah bercahaya. "Bicaralah, Orang Elloria. Aku penasaran kabar apa yang membuatmu berani datang ke sini."
"T-terima kasih." Eustace pelan-pelan kembali menegakkan tubuhnya. "Saya memang kadet Elloria, tetapi hati saya hanya untuk Vestaria. Orangtua saya, mereka adalah anggota Pasukan Balas Dendam Vestaria, dan saya baru saja bergabung ke sana."
"Pasukan Balas Dendam Vestaria!? Jangan-jangan!" Paman Bane terbeliak.
"Benar. Kami adalah pengungsi Vestaria yang diizinkan tinggal di wilayah Elloria. Dengan kata lain, kami adalah mata-mata kalian." Eustace menjelaskan. "Kami hanya mengabdi kepada keturunan Claidestein. Sekali Vestaria, tetaplah Vestaria."
"Lihat, Ronan! Sudah kubilang kalau mata-mata kita masih ada di sana," kata Paman Bane semringah.
"Kenapa lama sekali?" Ronan menatap Eustace. "Bertahun-tahun kami menunggu kabar dari kalian. Kenapa baru datang sekarang?"
"Maafkan hamba, Yang Mulia!" Eustace langsung bersimpuh. "Kami sudah berusaha sekeras mungkin untuk mencari momentum yang tepat. Sayangnya, momen itu baru datang sekarang."
"Momentum?! Momentum apa?" tanya Ronan.
"Seminggu lagi di distrik Civerdell, putra mahkota kerajaan Elloria akan datang berkunjung. Dia adalah calon Raja iblis pengguna api hitam. Kami berencana menjadikan Civerdell sebagai medan pertempuran, dan Yang Mulia Ronan Claidestein dapat membunuh orang itu di sana. Jika Elloria kehilangan kartu as-nya, maka kudeta kita akan semakin mudah."
"Akhirnya!" Ronan menyeringai seram. "Dendam rakyatku akan terbalaskan."
"Distrik Civerdell, ya. Terus terang aku belum pernah mendengarnya," ujar Paman Bane.
"Itu adalah distrik baru yang dibuat khusus untuk dipimpin oleh putra mahkota Elloria. Masih belum banyak prajurit yang dipindahkan ke sana. Maka dari itu, kita harus cepat bergerak."
"Baiklah. Kami akan berkemas sebentar." Paman Bane beringsut meninggalkan Eustace. "Ayo, Ronan!"
"Mohon maaf, Yang Mulia. Hamba tidak bisa mengantar kalian menuju Civerdell. Hamba telah kabur dari barisan ekspedisi kadet, dan jika hamba tidak kembali secepatnya mungkin saja akan berakibat buruk bagi rencana kita." Eustace lagi-lagi bersimpuh.
"Lalu bagaimana cara kami sampai ke sana?" Ronan bingung.
"Ambil ini. Kompas magis." Eustace menyerahkan sebuah kompas berwarna emas. "Kompas itu telah dimantrai untuk selalu menunjuk ke arah Civerdell. Dua belas dukun terbaik Vestaria yang membuatnya. Jadi kalian tak perlu khawatir."
"Baik, aku ambil ini." Ronan menerima kompas tersebut. "Kau bisa pergi sekarang."
"Terima kasih, Yang Mulia." Eustace bergegas menunggangi kudanya. "Panjang umur Vestaria!" serunya sebelum menembus kegelapan hutan.
"Panjang umur Vestaria," sahut Ronan.
"Panjang umur Vestaria!" Seruan Paman Bane menyusul.
"Apa aku juga boleh menyebutnya?" Collin menceletuk. "Panjang umur Vestaria! Wow, ternyata keren. Panjang umur suku gigi hiu! Oh, yang ini lebih jauh keren." Ia meracau sendirian.
Ronan dan sang Paman telah kedatangan kabar besar. Pasukan Balas Dendam Vestaria yang sempat mereka kira sudah lenyap ternyata hanya mati suri. Kelompok itu bekerja dalam kegelapan, menunggu saat yang tepat untuk merebut takhta mereka kembali.
Sang calon Raja Vestaria telah diberitahu bahwa ia punya kesempatan untuk memerdekakan kaumnya. Sebuah kesempatan berharga yang sangat langka. Seminggu lagi, di distrik Civerdell, Ronan Claidestein akan membuat pembalasan dendam terkeji sepanjang sejarah Elloria.