“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil.
“Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin.
“Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu.
Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.”
Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata.
Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.”
“Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih.
“Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja yang kamu mau.”
“Aku nggak butuh apa pun dari kamu, Nan.”
“Ay, kamu jangan memaksa aku untuk bersikap kasar!” pinta Nanda.
“Pukul saja kalau itu bisa membuatmu puas, Nan!” pinta Ayu sambil menyodorkan wajahnya ke arah Nanda.
“Kamu ...!?” Nanda menatap wajah Ayu sambil menahan amarah. Ia tidak menyangka jika wanita itu sangat sulit untuk ia hadapi. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu mau apa? Apa pun aku turuti.”
“Matiin aku atau kamu yang mati!” pinta Ayu.
“Ay, kamu ...!? Kamu udah gila, ya? Kamu cuma hamil, Yu. Kita menikah saja dan semuanya selesai. Kenapa kamu buat semuanya jadi rumit? Kamu sengaja mau bikin masalah sama aku?”
“Masalah ini kamu yang buat, Nan. Kalau barangmu nggak nakal, aku nggak akan hamil!”
“Kamu yang mengantarkan dirimu ke kamarku malam itu. Kenapa kamu salahin aku?”
“Kamu paksa aku dan anggap aku sebagai Arlita. Iya ‘kan? Kamu jangan menyalahkan aku, Nan. Maksud aku baik. Aku cuma mau kasih hadiah ke kamu dan ...”
“Sudah, sudah. Perempuan kerasa kepala kayak kamu, nggak akan ngerti maksudku!”
Ayu mendengus kesal dan berusaha keluar dari dalam mobil tersebut.
“Ay, aku belum selesai ngomong!” Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu.
“Nan, aku udah capek sama semua ini. Aku nggak punya alasan untuk menikah sama kamu meski bayi ini anakmu.”
“Mamaku sakit, Ay. Apa kamu nggak punya hati?” tanya Nanda.
Ay menghela napas. Ia sangat membenci Nanda, tapi wajah Tante Nia yang begitu lembut dan baik, membuat hatinya bergejolak.
“Kita menikah saja. Bagaimana kalau kita buat perjanjian? Aku akan berikan semuanya untukmu,” pinta Nanda sambil menyodorkan dokumen kontrak pernikahan.
Ay tersenyum melihat dokumen kontrak yang diajukan oleh Nanda. Melihat judulnya saja, ia merasa itu sebuah penghinaan baginya.
Nanda bernapas lega saat Ay tersenyum menatap dokumen yang ada di tangannya. Ia terlihat bersemangat dan menyodorkan pena ke hadapan Ayu. “Setuju?”
Ayu tersenyum manis ke arah Nanda.
KREEEK ...!
Ia langsung merobek dokumen tersebut dan melemparkan ke arah Nanda. Membuat pria itu, tertegun sejenak sembari menahan amarahnya.
“Aku nggak butuh pernikahan kontrak! Kamu hanya akan menjadikan aku janda di masa depan!? Lebih baik, aku tidak pernah menikah denganmu seumur hidup! Masih ada Sonny yang mencintai aku dan mau menggantikan posisimu sebagai ayah dari anak ini! Jangan temui aku lagi untuk mengajukan pernikahan gila!” seru Ayu kesal sambil membuka pintu mobil Nanda.
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar.
“Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak.
Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya.
Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar.
Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya.
Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur.
“Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil merapikan anak rambut Ayu yang berantakan.
Ayu tak menyahut. Ia segera keluar dari dalam mobil tersebut dan meninggalkan Nanda begitu saja.
Nanda tersenyum lega. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan tempat tersebut untuk mempersiapkan lamaran.
...
Setelah melewati perdebatan panjang dan rentetan persyaratan yang rumit, keluarga Nanda dan Roro Ayu menggelar sebuah prosesi pernikahan. Pernikahan yang hanya dipersiapkan dalam waktu satu minggu, dipaksa untuk diadakan secara mewah, lengkap dengan prosesi adat yang tidak bisa ditinggalkan oleh keluarga Roro Ayu.
Ayu melemparkan sunduk mentul dan aksesoris lainnya ke atas meja rias begitu prosesi adat pernikahan selesai. Atas nama kemanusiaan, ia akhirnya menyetujui pernikahannya dengan Nanda.
“Yu, aku sudah memberikan pernikahan mewah dan mahar yang begitu banyak untukmu. Kenapa wajahmu masih tak bersahabat. Aku tidak enak dengan keluarga besarku. Mereka akan berpikir, kamu tidak bahagia menikah denganku,” tutur Nanda sambil menghampiri Ayu.
“Aku memang tidak bahagia.”
“Tidak bisakah bersandiwara sebentar saja, Yu? Aku sudah memenuhi semua syarat dari keluargamu, juga syarat darimu. Apa masih tidak bisa membuatmu bahagia?” tanya Nanda. Ia nyaris kehilangan kesabaran menghadapi Ayu yang tidak mau menurut dengannya meski saat ini status mereka sudah sah menjadi suami-istri.
“Aku tidak bisa berpura-pura bahagia. Biar saja seluruh dunia tahu kalau aku tidak bahagia menjadi istrimu,” sahut Ayu ketus.
“Kamu ...!?” Nanda menyambar leher Ayu dan menekannya. “Jangan buat kesabaranku habis, Yu. Aku bisa saja mencelakaimu dengan mudah,” ucapnya sembari menekan leher Ayu.
“Bunuh aku saja, Nan! Itu jauh lebih baik,” tutur Ayu sambil menatap tajam ke arah Nanda.
Nanda menatap mata Ayu yang menyiratkan banyak luka. Ia langsung melepaskan genggamannya dan melangkah pergi dari kamar pengantin tersebut.
Ayu menghela napas sambil menahan air matanya untuk jatuh. Ia menoleh ke arah ponselnya yang berbunyi.
“Selamat untuk pernikahanmu hari ini. Maaf, aku tidak bisa datang untuk mengucapkan selamat. Aku kirimkan hadiah pernikahan untuk kalian. Semoga kalian hidup bahagia. Terima kasih, sudah menjadi bagian dari rencana masa depanku yang begitu indah.”
“Hiks ... hiks ... hiks ...” Ayu langsung terisak begitu ia membaca pesan yang dikirimkan Sonny untuknya. Ia benar-benar merasa sangat bersalah. Sebab, ia tidak mampu menjaga kesucian cinta yang sudah mereka jalin bertahun-tahun lamanya.