webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · Urban
Zu wenig Bewertungen
54 Chs

Ancaman Satrio

Naulida tidak mempedulikan sorotan mata yang terpaku pada dirinya karena itu tidak penting untuk dirinya. Hal yang terpenting baginya adalah bisa melarikan diri dari ruangan panas yang terdapat monster manusia.

Naulida terus berlari sambil menyeka air bening yang terus-menerus mengalir di pipinya. Ia tidak mempedulikan kondisi jalanan yang dilewatinya karena ia menganggap jalanan itu sepi tanpa hunian meskipun masih ada kendaraan yang melintas. Naulida terus berlari sampai jarak antara dirinya dan restoran mewah itu jauh.

Naulida menoleh ke belakang untuk mengetahui jaraknya saat ini dari restoran itu. Ketika Naulida menoleh ke belakang, ia tersandung batu sampai tengkurap. Ia segera bangun dari jatuhnya secara perlahan karena kaki terasa sakit dan perih. Ia sedikit membungkukkan badan untuk membersihkan kakinya yang luka dan kotor.

Naulida terus berlari dengan kaki yang terluka. Ia memaksakan diri untuk terus melanjutkan langkahnya agar sampai di rumah. Dalam pikirannya, kini, hanya ingin jauh dari restoran dan banyak orang. Naulida ingin membutuhkan waktu sendiri dan meluapkan rasa kesal, marah dan benci atas sikap Satrio kepadanya.

Kakinya semakin terasa sakit untuk melangkah sehingga ia memutuskan untuk berhenti duduk sejenak di kursi panjang di pinggir jalan sambil memeriksa luka yang ada di kakinya.

"Auuw," keluh Naulida.

Jemari Naulida menyentuh lukanya secara perlahan sambil menekannya agar semua darah dan kotoran yang berada di sekitar lutut keluar. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari air.

Lima puluh meter dari jarak pandangnya, ia melihat sebuah warung yang sangat sepi masih buka. Naulida melirik jam tangannya dan waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Sudah jam sepuluh malam, jalanan semakin sepi. Aku harus segera mengobati kakiku dan aku membutuhkan air, tisu dan obat merah untuk mengobati luka di lutut," ucap Naulida sambil merintih dan mengusap keningnya.

Naulida berjalan dengan sedikit pincang ke warung itu sambil memegang kakinya. Suara klakson berbunyi berkali-kali dan ia semakin mempercepat langkahnya tanpa menoleh ke belakang karena takut itu Satrio.

Naulida tiba di warung dan membeli dua botol air minum, obat merah dan tisu. Ia mengeluarkan beberapa jumlah uang kertas dari tasnya untuk diberikan kepada penjualnya.

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama."

Naulida berbalik badan sambil membuka plastik yang ada pada tutup botol minuman dan ia menabrak badan seseorang. Bola mata mengarah pada sepatu kets berwarna biru tua dengan logo garis centang dan hidungnya menghisap aroma parfum yang ia kenal. Ia mengarahkan penglihatannya ke atas dan disuguhkan mata teduh yang sipit, wajah segar, alis tebal, hidung mancung, bibir tipis dan rambut sedikit klimis.

"Pak Alexander?" sontak Naulida.

"Kamu sedang apa di sini dengan pakaian seperti ini?" tanya Alexander yang menggerakkan bola matanya ke seluruh badan.

"A-aku sedang membeli ini," jawab Naulida sambil menunjukkan botol minum dan menyembunyikan tangan yang membawa obat merah dan tisu di punggung.

"Apa yang ada di tangan kamu yang satunya sedang bersembunyi di punggung kamu?" tanya Alexander sembari menatap Naulida.

"Tidak ada apa-apa," jawab Naulida yang menampakkan barisan gigi ke Alexander.

Alexander tanpa mengeluarkan pertanyaan lagi langsung membuka jaket dan sedikit membungkukkan badannya ke kaki Naulida. Ia mengaitkan jaket di pinggang agar menutupi kaki bagian atasnya. Ia menggendong Naulida di depan dengan jaket melingkar dan menutupi kaki Naulida.

"Eh, eh lepasin saya, Pak. Saya baik-baik saja," tolak Naulida.

Alexander tidak mempedulikan perkataan Naulida. Ia terus melangkah dan memasukkannya ke dalam mobil. Alexander pun masuk ke mobil dan mengendarai mobil secara perlahan.

"Apakah kamu tidak bisa melihat kalau kakimu sedang terluka?" sindir Alexander.

Naulida mengintip luka di lututnya dari balik jaket Alexander."Aku tahu dan melihatnya maka dari itu, aku membeli dua botol air minum, obat merah dan tisu," jawab Naulida.

"Kamu jadi menjawab sendiri keperluan yang kamu beli tadi di warung," ledek Alexander sembari terkekeh.

Naulida membulatkan bola matanya lalu ia menepuk dahi secara perlahan dan mengeraskan rahangnya.

"Astaga, Nau. Kamu selalu mencerocos seperti itu kalau kepepet," umpat Naulida secara perlahan dan intonasi penekanan.

"Kamu tidak perlu mengumpat diri sendiri, Nau karena aku suka dengan kejujuranmu," ucap Alexander.

Alexander memberikan pernyataan tanpa melihat ke arahku. Ia terlihat senang dan sedikit tersenyum di bibirnya. Naulida memperhatikan Alexander dengan lamat. Sesaat, ia menatap Alexander, pikirannya teringat dengan perkataan Martha, asistennya mengenai perutnya yang sakit.

"Apakah Bapak sudah sembuh?

"Sembuh?"

"Iya, tadi pagi meeting batal dan diundur karena Bapak sakit. Saya tahu dari teman dan Bapak memberikan perintah kepada Martha untuk memberi tahu ke grup WhatsApp kantor sehingga banyak yang mengetahui Bapak sedang sakit," jelas Naulida.

"Apakah Martha memberi tahu ke grup kalau saya sakit perut?"

"Bapak sakit perut? Bukan sakit parah?" cecar Naulida.

"Iya, saya hanya sakit perut."

"Tapi, Bapak Harry bilang kalau Bapak ingin dirawat olehku?" tanya Naulida.

"Tidak!" sanggah Alexander dengan raut wajah yang panik.

Alexander terlihat panik dan menyembunyikan kebenaran atas perkataan Bapak Harry sehingga ia mengernyitkan dahi sekilas lalu menghela napas karena ia berpikir bahwa itu tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi.

Naulida mengalihkan pandangan ke arah Alexander yang pandangannya fokus ke jalanan dan menanyakan aktivitasnya di daerah tempatnya bertemu dengan Alexander.

"Apa yang sedang Bapak lakukan di sekitar sini? Apakah Bapak ada acara?" tanya Naulida dengan pelan.

"Sa-saya ha-nya cari angin segar saja karena pengap di kamar."

"Pengap? Tidak mungkin," tolak Naulida.

"Iya."

Naulida menggeleng pelan dengan menurunkan bibir dan mengalihkan pandangan ke arah jalanan karena ia tidak percaya dengan perkataannya.

Naulida memijat kakinya dengan pelan karena lututnya terasa sakit. Alexander melihat kondisi lututnya sehingga mobil Alexander berhenti di salah satu taman terbuka yang bisa dikunjungi oleh siapa pun meskipun dalam keadaan gelap dan sedikit penerangan. Naulida dan Alexander turun dari mobil menuju kursi dekat taman. Ia dan Alexander duduk di kursi panjang berwarna putih.

"Mana kaki kamu?" pinta Alexander sambil mengambil obat, botol minum dan tisu.

Naulida menaikkan kakinya di atas kursi dengan kaki bagian atas tertutup jaket milik Alexande. Alexander meluruskan dan mengobati kakinya secara perlahan.

"Auw," keluh Naulida.

"Maaf," kata Alexander."Apakah itu sakit?" tanya Alexander sembari mengobati kaki Naulida.

"Apakah kamu tidak merasakan luka di kaki apalagi bagian lutut?" tanya Naulida.

Alexander terkekeh."Pernah bahkan sering tapi, waktu kecil," jawab Alexander.

Naulida mengangkat satu bibir ke atas."Isshh," kesal Naulida sembari mengambil obat, tisu dan dua botol air minum.

Naulida mengobati kakinya sendiri dengan kaki lurus ke aspal. Ia merintih kesakitan karena terkena obat merah. Alexander memegangi kakinya dengan sekuat tenaga.

Angin malam bertiup kencang di sekitar taman hingga dedaunan dan banner bergoyang depan dan belakang. Suasana dingin merasuk dalam badan Naulida dan Alexander sehingga ia menurunkan kaki dan lekas kembali ke dalam mobil Alexander.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau pulang dan sudah dingin di sini."

"Baiklah. Kamu juga harus pulang karena sudah malam dan besok ada meeting."

Naulida sedikit menatap Alexander dengan malas."Ah, come on, Pak, Bapak masih membicarakan soal kerjaan"

Alexander terkekeh mendengar perkataan Naulida yang terlihat sedikit muak membicarakan pekerjaan dengan kondisinya saat ini. Ia dan Alexander menuju mobil dan hendak memasuki mobilnya, tangan Naulida ditarik oleh jemari besar, berotot dan kekar.

"Aduh!" keluh Naulida dengan menampis jemari iru dari tangannya.

"Satrio?" kata Alexander.

Naulida berlari ke arah Alexander dengan sekuat tenaga. Ia hendak mencapai lengannya, tangan Naulida ditarik oleh Satrio dan ia menutup mulut Naulida dengan kencang. Jemarinya sangat kuat sehingga ia tidak bisa bergerak dan mengeluarkan perkataan apa pun. Satrio mengancamku dengan berbisik.

"Kamu jangan macam-macam, Nau. Aku akan mengikutimu sampai kapanpun dan sampai kamu mau menerimaku karena aku suka denganmu. Kalau kamu tidak menerimaku, aku bisa berbuat lebih jahat atas perbuatanku di restoran kepadamu," ancam Satrio.

"Lepaskan dia, Satrio!" bentak Alexander.

"Tidak akan karena aku suka dengannya dan kamu juga tahu itu, Alexander Perdana, teman SMAku. Aku tidak akan membiarkannya lagi seorang perempuan yang kucintai, kamu renggut dariku," tolak Satrio dengan menatap Alexander yang penuh dengan kebencian dan dendam terhadapnya.

"Itu masa lalu, Sat, dia tidak mengetahui apa pun tentang kita," ucap Alexander."Tolong, jangan sakiti dia!" seru Alexander.

Naulida membelalakkan matanya karena Satrio adalah teman SMA-nya. Ia melirik Naulida dan memohon kepada Satrio karena ia akan menyakiti seorang perempuan sekaligus rekan kerjanya. Satrio tidak mendengarkan perkataannya.

Hai, readers, Apakah teman-teman siap melanjutkan membaca dan mengikuti perjalanannya? Selamat membaca dan menikmati ceritaku, ya. Oh, iya, jika, teman-teman mampir membaca ceritaku, letakkan komennya, beri bintang dan klik collection, ya. Terima kasih

Angdancreators' thoughts