webnovel

Tiga Minggu!

Amara menggoyang sedotan dengan kedua jarinya. Wajah kakunya terus-terusan menghadap segelas jus sayur yang hanya diaduk-aduknya sejak diberikan oleh sang pelayan restoran sepuluh menit yang lalu. Kedua matanya terlalu takut untuk memandang sosok yang duduk di hadapannya.

"Kasian banget jusnya cuma buat mainan," sindir makhluk tampan itu.

Namun Amara tetap bergeming kaku. Lidahnya masih kelu. Ia sendiri bingung untuk apa pertemuan kali ini berlangsung. Dan anehnya, jantungnya terus berdetak kencang sejak tadi. Amara sendiri tidak paham kenapa bisa seperti itu. Amara gugup di depan seorang pria? Ini bukan dirinya.

"Aku kesini bukan mau lihat kamu yang seperti patung lho," jelasnya lagi.

Lalu matanya beralih pada jam yang melilit di tangan kirinya.

"Saki mana, sih?" gumamnya lalu berdecak.

Amara hanya melirik padanya sekilas. Lalu menggigit bibir bawahnya erat.

"Jangan begitu!"

"Hm?"

"Itu. Yang kamu lakukan sekarang."

Kedua mata Amara mengarah pada sedotan yang masih menempel di jarinya.

"Bukan itu. Tapi ini." Arga menirukannya. Menggigit bibir bawahnya.

Amara melepas bibirnya lalu berdecak sebal.

"Ck ... Kenapa?" tanya Amara setelah akhirnya buka suara.

Ketika wajahnya mulai memerah, Arga melengos.

"Nanti juga kamu tau kenapa."

"Nanti?"

"Ehm. Kalo kita sudah nikah."

Dan Amara pun kembali menunduk malu. Seorang Arga berhasil membuat Amara tersipu malu. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh seorang pria lainnya dalam hidup Amara, Arsan Fahrurazi.

"Oh iya ... gimana kabar Arsan?" Akhirnya Amara menemukan sebuah topik untuk beralih.

"Kenapa nanya dia?" Arga balik bertanya. Sedikit gusar.

"Yaaa ... pingin tau aja kabarnya. Kan dia udah nikah. Jadi, gimana dia setelah nikah?"

"Hepi-hepi aja, tuh." Arga menjawab setengah hati.

"Istrinya masih di Jepang?"

Senyum yang sejak tadi tersimpul di wajah Arga kini menghilang. Di telan oleh sebuah rasa kesal.

"Masih. Kenapa memangnya?"

Merasa wajah Arga mendatar, Amara justru tersulut emosi.

"Ya cuma nanya aja. Kok kamu jawabnya nggak enak gitu, sih?"

Arga memajukan wajah kesalnya.

"Gimana mau enak kalau calon istri malah nanya kabar cowok lain?"

Mendengar sebutan 'calon istri', wajah Amara otomatis memerah. Rasa bahagia membuncah di dadanya. Hanya dengan mendengar dua kata sederhana itu saja, membuat Amara serasa melangit. Dan dia cukup mengerti alasan 'calon suami'-nya itu menjadi gusar. Apalagi kalau bukan karena ...

"Cemburu?"

Bukannya menjawab pertanyaan sekaligus sindiran Amara, Arga justru mengeluarkan berkas-berkas dari dalam amplop coklat yang sudah dibawanya.

"Mama kamu sudah bantu mengurus berkas pernikahan di KUA. Tanggalnya juga sudah ditetapkan."

"Whaaattt???" Amara berteriak kaget dengan bola mata melebar.

Tentu saja teriakannya itu menyita perhatian pengunjung di sekitar meja mereka. Sadar akan situasi itu, Amara kembali menahan suara.

"Ka — kapan kalian merencanakan ini?" tanyanya tergagap. Masih tidak percaya dengan tanggal yang tertera di atas kertas.

"Sebenarnya hampir dua minggu yang lalu aku menghadap Bu Retha. Aku juga mengajak Ayah. Hari itu, aku sudah menyatakan niatku untuk melamar kamu."

"Tapi kan ..."

"Alhamdulillah Bu Retha setuju. Aku sudah bilang, aku juga akan menanyakan langsung ke kamu. Tapi Mama kamu itu bilang, kamu pasti setuju. Jadi beliau cepat-cepat mengurus pemberkasan."

"Astaghfirullah. Mama!" Amara menepuk jidatnya. Sungguh luar biasa Mamanya itu.

Lalu Amara teringat kejadian kemarin siang saat Mamanya dan Anggita tiba-tiba muncul di vila lalu melabrak sang calon menantu. Amara tidak tahan untuk tidak tertawa. Tawa yang terdengar renyah di indra pendengar Arga. Yang akhirnya memancing Arga untuk kembali tersenyum.

Saat Amara tersadar dengan reaksi Arga, ia kembali mengencangkan wajah.

"Ehm, ini siapa yang nentuin tanggal? Tiga minggu lagi???"

"Mama kamu."

Amara kembali menggeleng-geleng dengan helaan napas lelah. "Ya ampun, Mama."

"Tapi kalau aku sih maunya dipercepat," balas Arga dengan santainya.

"Hah? Kamu kira gampang nyiapin pernikahan dengan waktu mepet?"

"Nikah itu gampang. Jangan dipersulit. Yang penting ada calon mempelai, penghulu, wali, saksi, mahar."

Amara memutar bola matanya malas. "Nikah di KUA aja kalo gitu."

"Aku juga bilang begitu ke Mama kamu. Besok juga bisa."

Spontan Amara melambai-lambaikan penolakannya. "Eh? Eng – enggak, enggak. Jangan begitu. Aku cuma ..."

Wajah panik Amara justru membuat Arga tertawa geli.

"Iya, aku ngerti. Tiga minggu juga cukup."

Amara menghembus napas kesal. Hari ini emosinya benar-benar dipermainkan. Andai saja Sakya ada di sini, pasti kakaknya itu tidak akan berani menggodanya.

Sakya! Kemana dia? Kok belum datang?

Amara mencari-cari sosoknya ke sekitar dengan matanya. Ia benar-benar membutuhkan kehadiran Sakya. Wanita sholehah itu akan menjadi bala bantuannya dalam menghadapi pria yang sudah membuatnya panas-dingin ini.

"Kenapa?" tanya Arga setelah memperhatikan gelagat aneh Amara.

"Katanya Sakya mau datang," jawab Amara dengan mata masih mencari-cari.

"Mungkin telat. Tadi bilangnya mau mampir ke rumah teman sekosnya dulu di Denpasar."

"Teman sekos?" Manik matanya kembali menatap Arga.

"Temannya waktu kuliah dulu."

Kepalanya mengangguk-angguk mengerti.

"Emm, laki-laki yang kemarin ada di vila juga ... dari panti asuhan?" tanya Arga ragu-ragu.

"Ooh. Mas Andro? Iya, dia anaknya Bu Ratna."

"Hmmm." Arga hanya bergumam sekilas lalu kembali diam.

Diamnya itu diikuti pula oleh Amara . Diselingi dengan beberapa kali mencuri lirik ke wajah itu.

"Kenapa?" tanya Arga setelah akhirnya menyadari Amara memandangnya dengan was-was.

"Ummm ... katanya kan, harus jaga pandangan. Kalo nggak, zina mata. Tapi kok ... kayaknya kamu ngeliatin aku terus?"

Arga terkekeh konyol untuk menutupi wajahnya yang otomatis berubah warna. Sebenarnya pertanyaan itu menusuknya tepat di jantung. Pria ini sadar sudah berkali-kali berbuat dosa semenjak pertemuannya dengan Amara. Bahkan tidak seharusnya hari itu ia membiarkan Amara menyerangnya dengan - tidak sekali - tapi dua kali ciuman yang dalam seketika mampu meluluh-lantakkan pondasi imannya. Dan pertimbangan inilah yang menjadikan Arga mantap untuk melamarnya. Karena ia tidak akan pernah dapat mengelak dari pesona wanita itu. Mau beratus-ratus kali pikirannya memblokade hatinya, tetap akan selalu runtuh jika sudah berhadapan dengan seorang Amara.

"Kok diam? Nggak bisa jawab?" sindir Amara dengan nada yang justru terdengar sinis.

"Iya, aku nggak bisa jawab." Arga memilih berkata jujur.

"Tumben. Biasanya punya bahan buat ngeles."

"Karena yang kamu katakan itu benar. Seharusnya aku bisa menjaga pandangan dari wanita yang belum halal buatku. Tapi ternyata, imanku belum cukup kuat untuk menghindari kamu."

Sungguh Amara tidak menduga akan mendengar jawaban sejujur itu dari seorang Arga. Niat awalnya hanya untuk menggoda pria itu saja agar percakapan mereka tidak kembali kaku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Sepasang calon pengantin itu bernapas lega. Akhirnya Sakya muncul untuk menyelamatkan keduanya dari suasana aneh dan kikuk yang terbangun sejak awal.

Sakya langsung menempatkan diri di samping Amara selesai ber-cupika-cupiki.

"Kok, mukanya pada kaku gitu?" tanya Sakya setelah meletakkan tote-bagnya di pinggir kursi. Matanya memperhatikan keduanya.

"Eh, kok datangnya telat?" Amara lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Iya, maaf ya, Mbak. Tadi anak sulungnya teman tiba-tiba rewel. Jadi tadi saya bantu ngurus yang kecil dulu. Kasian repot sendiri."

"Oooh, sekalian latihan jadi ibu dong kamu," tutur Amara dengan tawa kecil lalu menyedot jus sayur dihadapannya.

"Iya ya, Mbak. Padahal kan yang bentar lagi jadi calon ibu ... Mbak Amara."

"Uhuk! Uhuk!"

Lagi-lagi Amara tersedak minuman karena salah tingkah. Tidak kakaknya, tidak adiknya, baik Arga maupun Sakya selalu saja mampu membuat dirinya malu.

Melihat wajah Amara yang tampak malu, Arga kembali tertawa. "Semua ada prosesnya, Saki. Lagipula, sepertinya calon istriku suka dengan anak-anak."

"Kalian ini ya!" seru Amara kesal.

"Mas, sudah ah. Jangan godain Mbak Amara terus."

Meskipun Sakya sudah menegur sang kakak, tetap saja Arga tidak tahan untuk tidak tertawa. Rasanya tidak sabar untuk bisa menggoda sang calon istri terus-menerus.

Sembari menggelengkan kepala melihat sikap kakaknya, Sakya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya.

"Mbak, aku bawa desain undangan nih. Sudah siap cetak semua. Ini ada empat desain yang sudah disetujui Bu Retha. Jadi Mbak Amara tinggal pilih salah satunya. Mau yang mana?"

Undangan??? Mama benar-benar luar biasa! Pekik Amara dalam hati.

Meskipun enggan, Amara terpaksa mengamati keempat model undangan di atas meja. Ada yang berwarna emas, ungu metalik, hijau pupus, dan ungu muda dengan aksen perak.

"Bagus semua. Aku ngikut aja." Amara menyodorkan keempatnya ke hadapan Arga.

"Ngikut siapa?" tanya Arga dengan dahi mengerut.

"Ngikut kamu sama Mama." Lagi-lagi Amara menjawab ketus.

Kali ini Arga menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia harus belajar sabar dalam menghadapi sikap Amara yang seperti ini.

"Amara, yang mau menikah kita. Bukan aku sama Mama kamu."

Amara menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh dengan wajah cemberut.

"Lho, kan kalian yang sudah ngatur semuanya. Persetujuanku cuma formalitas aja buat kalian."

"Bukan begitu, Amara. Mama kamu cuma mau membantu supaya urusan kita cepat beres."

"Berkas-berkas? Sudah diurus. Tanggal? Sudah kalian tentukan. Undangan? Kalian juga yang seleksi. Jangan-jangan baju pengantin juga sudah kalian pilih," lanjut Amara asal seraya memutar kedua bola matanya.

Arga melengoskan wajahnya ke samping kiri. Sakya menundukkan wajahnya sembari menggigit bibir.

"Kenapa?" tanya Amara kesal. Lalu tatapan tajamnya beralih pada Sakya.

Membuat Sakya sedikit mengangkat wajah dengan ragu. "Emm, iya sih." Wajahnya kembali tertunduk. "Baju pengantinnya tinggal fitting aja."

Kedua bola mata Amara membelalak terkejut. Padahal ia hanya asal bicara saja. Siapa yang mengira kalau tebakan asalnya ternyata benar? Amara mulai berpikir untuk membuat perhitungan dengan sang Mama.

"Mbak, marah ya?" tanya Sakya lembut.

Sejujurnya, Amara malu jika membandingkan dirinya dengan Sakya yang lemah - lembut, santun, dan murah senyum. Amara? Gampang marah, galak, pelit senyum. Ia juga sebenarnya masih bertanya-tanya kenapa Arga akhirnya memiliki rasa suka padanya.

"Enggak," jawab Amara dingin.

"Maaf. Memang sepertinya, aku dan Mamamu yang terlalu terburu-buru.

Tapi kamu nggak perlu menuruti kalo memang tidak mau. Kamu bisa pilih model undangan lainnya, atau cari baju pengantin di tempat lain. Dan kalo kamu merasa tiga minggu lagi terlalu cepat, kamu bisa pilih di tanggal lain." Arga menautkan jari-jemarinya di atas meja sembari sesekali menghembus napas pasrahnya.

"Mamamu hanya berniat membantu kamu. Katanya, kamu sekarang terlalu sibuk dengan urusan panti asuhan. Mamamu tidak ingin kamu jadi stres."

Penjelasan lembut Arga berhasil menurunkan emosi Amara yang tadi sempat memuncak. Calon suaminya itu tidak salah. Mamanya juga tidak salah. Mereka hanya ingin membantunya mengurus pernikahan agar Amara tidak perlu merasa dipusingkan dengan seluruh tetek-bengek itu.

"Maaf, aku yang terlalu kekanak - kanakan. Nggak mikir sampai sana."

Arga tersenyum kecil mendengar pengakuan Amara.

"Berarti ... kapan Mbak bisa ikut pulang ke Jakarta?" tanya Sakya dengan tatapan berbinar-binar.

Amara menggeleng sekali. "Aku belum tau, Sakya. Urusanku di sini masih banyak."

"Gimana kalo kamu mendelegasikan tugas ke Clint? Aku yakin dia punya banyak bala bantuan."

"Bisa, sih. Tapi aku sudah janji ke Bu Ratna dan Mas Andro untuk turun tangan langsung."

"Mas Andro?"

"Iya. Dia sering nemenin aku ke lapangan buat ngawasin proyek. Kadang dia juga ngasih masukan."

Arga memundurkan tubuh lalu bersandar lemah ke kursi.

"Kamu dekat sama dia?"

"Hmm," jawab Amara dengan anggukan sekilas. "Dia juga suka bantu-bantu kerjaan di proyek."

Terdengar suara ketukan pelan jari-jemari di meja. Kebiasaan Arga jika ia sedang tidak suka akan sesuatu. Sementara wajahnya pias.

"Aku harus pulang besok pagi. Aku harap kamu juga ikut." Kali ini ucapan Arga terdengar seperti sebuah perintah.

"Tidak bisa. Aku kan sudah bilang a —"

"Aku sudah beli tiketnya. Untuk kamu juga."

"Lho, kamu kan nggak ada nanya-nanya aku dulu, bisa ikut apa nggak. Ya salah kamu kalo tiketnya hangus."

Arga mendengkus kesal. "Amara."

Amara menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh dengan wajah ditekuk.

"Oooh, jadi begini sifat asli kamu. Diktator."

"Aku nggak akan begini, kalo kamu bisa jaga sikap."

"Jaga sikap apa?"

"Ya jaga sikap kamu itu."

"Kenapa dengan sikapku?" tantang Amara mulai sebal.

"Dekat-dekat dengan pria lain yang bukan mahrom kamu."

"Apaaa???"

"Ehm, ehm ... sudah, sudah! Cukup!" Sakya dengan tegas merentangkan kedua tangannya untuk menengahi adu-mulut di hadapannya.

"Kakak kamu, tuh. Nyebelin banget!" protes Amara masih sengit.

"Mbak?" Sakya menatapnya tajam untuk memberi peringatan.

Amara menurut dan membuang wajahnya marahnya ke arah sebaliknya.

"Kalian ini, belum suami istri lho. Tapi sudah bikin keributan rumah tangga di depan umum."

"Makanya, belum suami istri aja udah begini. Gimana kalo udah sah?" cibir Amara sinis.

"Kalo sudah sah, beda urusannya." Arga menjawab dengan menampilkan senyum sinisnya. Yang tentu saja disambut Amara dengan mata melotot.

"Masalahnya tuh jelas, lho." Sakya memajukan wajahnya ke samping telinga Amara. Ia berbisik, "Mbak Amara sadar kan kalo Mas Arga sedang cemburu?"

Arga cemburu?

Kedua matanya diam-diam menelisik pada pria dengan wajah gelisah itu. Lalu Amara berusaha mengulum senyum kecilnya.

"Oooh, begitu."

Amara menyeruput jus sayurnya hingga habis. Entah berkat minuman dingin itu, atau bisikan dari Sakya, yang jelas hatinya mulai adem.

"Oke, besok aku ikut ke Jakarta. Nanti aku minta tolong Anggita untuk handle urusan di sini."

"Beneran, Mbak?" tanya Sakya setengah tidak percaya.

"Iya. Lagian, aku juga belum ketemu sama calon mertuaku," jelas Amara disertai kerlingan mata dan sebuah senyuman manis dari Arga.

"Nanti aku kabari ayah."

Setelah membicarakan beberapa masalah lainnya terkait pernikahan mereka, Arga dan Sakya mengantar Amara untuk pulang ke vila.

Rencananya, malam ini ia akan menginap di hotel bersama Sakya. Agar tidak tertinggal penerbangan besok pagi. Begitu alasan Arga saat membujuknya. Menutupi alasan sebenarnya kenapa ia menginginkan Amara untuk tidak tinggal di vila.

Saat Amara sedang sibuk-sibuknya memasukkan segala keperluannya ke dalam koper, Anggita menghampirinya dengan wajah bersungut-sungut.

"Serius lo Mbak?"

"Apaan?"

"Lo minta gue ngawasin proyek bareng cowok psiko itu???"

"Cowok psiko?" tanya Amara bingung.

Anggita kembali teringat peristiwa menjelang siang hari tadi. Sontak kedua bahunya bergidik, bulu kuduknya meremang. Cowok itu berbahaya. Anggita tidak mau ambil resiko.

"Mbak, mending lo suruh Clint aja deh."

Sambil melipat baju di pangkuannya, Amara mendesah pelan.

"Iya, nanti gue minta tolong Clint juga. Tapi lo tau kan, dia juga punya kerjaan di hotel. Nggak mungkin tiap hari dia bisa ke proyek."

"Tapi, Mbak ..." Anggita menekuk wajahnya.

"Lo kenapa sih? Ada masalah?"

Amara membiarkan tumpukan baju di atas ranjangnya. Kini kedua tangannya terlipat di depan dada dengan fokus mengarah pada Anggita.

"Si Android itu, dia bahaya."

"Bahaya gimana? Ada juga lo yang bahaya. Liat cowok cakep dikit, pasti lo godain. Gue malah khawatir sama Mas Andro."

Dalam hitungan detik, sebuah bantal sudah terayun ke lengan Amara.

"Aduh!"

"Rese' lo, Mbak!"

"Dasar bocah!"

Tidak berniat membalas ejekan kakaknya, Anggita justru mengingat bahwa ada hal penting yang harus ia sampaikan. Agar semua salah paham di antara mereka benar-benar tuntas.

Dengan kepala tertunduk dan suara lirih, Anggita bertutur, "Mbak, gue mau jujur."

"Soal apa?"

Tubuhnya digeser mendekati Amara di pinggir ranjang.

"Gue ... minta maaf."

Amara memberi perhatian sepenuhnya setelah meletakkan tumpukkan baju ke dalam koper.

"I'm listening."

"Sebenarnya ... gue masih perawan."

"Aaah, becanda lo! Gue pikir mau ngomong apaan." Amara melambaikan sebelah tangannya dengan sikap tak acuh.

"Gue serius!" Anggita berucap tegas.

Membuat Amara kembali memperhatikan raut wajah sang adik. Menelisik jika adiknya itu memang hanya bercanda atau benar-benar serius.

"Gue ... sengaja sering pulang malam, bahkan nginep di tempat lain. Tapi bukan tidur dengan cowok-cowok seperti cerita gue dulu. Gue bohong."

"Jadi, selama ini lo nginep di mana?" Amara membalas kesal.

"Apartemennya sahabat gue, Sera."

"Sera?? Sera yang —"

"Iya, Sera yang itu."

Amara kembali mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Di mana ia bersama Retha ikut mengantarkan gadis itu ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Anggita yang waktu itu terlihat panik ketika menemukan temannya itu dalam keadaan tidak sadar dengan pergelangan tangan berlumur darah di dalam bath-tub.

"Lo masih bergaul sama dia?"

"Mbak, dia itu orangnya baik. Cuma salah milih pacar aja. Lagian, dia juga yang udah motivasi gue buat maafin lo dan Mama."

Kedua bola mata Amara berputar malas.

"Oke. Terus, kenapa lo bohong ke gue?"

Sesaat, Anggita bergeming. Berusaha memilih kata-kata yang pas sebagai jawabannya.

"Gue pingin dibenci sama lo."

"Hah?"

"Lagian waktu itu gue lagi muak sama lo. Ya udahlah nggak usah dibahas lagi. Yang jelas, gue benar-benar masih perawan."

Merasa Anggita menganggap sepele masalah ini, Amara mendesah kasar. Tentu saja masalah ini harus dibahas hingga tuntas. Tapi tidak sekarang. Ada sepasang orang dewasa lainnya yang sedang menunggunya di ruang tamu.

"Gue tetap mau bicarain masalah ini. Tapi lain waktu. Sekarang gue harus siap-siap." Tangan-tangannya kembali berkutat dengan baju-baju.

Anggita sudah menduga, masalah ini tidak akan berakhir hanya sampai ujung telinga kakaknya saja. Setidaknya, Anggita masih punya waktu untuk kembali menyiapkan mental.

Yang sekarang lebih mencemaskan adalah tentang dia yang harus menghadapi The Psycho-Man selama kakaknya tidak ada. Dan entah berapa lama Amara akan meninggalkannya.

"Mbak, lo nggak lama-lama kan di sana?" tanya Anggita memelas.

"Gue belum tau, Git. Mama cuma ngasih gue waktu tiga minggu buat nyiapin semuanya. Lo bayangin aja, tiga minggu!" seru Amara kesal dengan kedua tangan terangkat.

Anggita membelalak lebar. "Tapi lo nggak bakalan di sana tiga minggu kan?"

"Ya enggaklah. Semoga seminggu udah kelar."

"Jangan lama-lama, dong."

Tanpa disadari oleh keduanya, seseorang menguping percakapan itu dari balik pintu. Ia hanya bisa menghela napas. Menahan perihnya dalam diam. Karena menjerit pun tidak akan mampu menyembuhkan lukanya. Apalagi menyayat nadinya.

==================================