webnovel

The Proposal

Amara meletakkan mangkuk bubur yang sudah kosong di atas nakas. Tak disangka jika Arga benar-benar pintar memasak. Bubur buatannya benar-benar enak, tidak terasa seperti bubur ayam atau bubur nasi lainnya yang pernah Amara coba. Kalau Amara menjadi juri kontes masak di TV, Arga sudah pasti akan diloloskannya langsung ke babak final.

"Buburnya enak. Terima kasih sudah membuatkan untukku," ujar Amara sembari menyeka mulut.

"Sudah baikan?" Arga tak menghiraukan pujian yang diterimanya.

"Lumayan. Oh ya, siang ini kita bisa ke site."

Arga terdiam memandanginya. Sorot matanya terlihat penuh dengan rasa kesal dan kecewa. Tentu saja! Siapa juga yang tidak akan kesal menghadapi wanita labil seperti Amara. Sebentar marah, sebentar baik, sebentar angkuh, sebentar ceroboh, selalu merepotkan. Kalau saja Amara berhadapan dengan kembarannya sendiri, pasti sudah lama ia tinggalkan kembarannya itu.

"Aku ... aku mau minta maaf." Wajahnya berpaling menatap jendela kamar.

"Kamu merasa salah?" tanya Arga datar.

Amara menghembus napas lelah. Tatapannya masih tertuju pada refleksi kolam renang di pintu kaca patio. "Iya, aku tau sudah salah."

"Sudah sepatutnya kamu merasa salah. Nggak lupa kan sama semua perbuatan kamu tadi malam?"

"Ya. Dan kamu berhak untuk marah," timpalnya lemah.

"Tentu aku marah. Aku terbang kesini untuk bekerja. Bukan untuk liburan. Apalagi untuk main-main!" Nada bicara Arga mulai meninggi.

Tatapan bulatnya yang terkesiap beralih pada Arga yang benar-benar terlihat gusar. "Aku tahu. Dan aku sudah minta maaf."

"Maaf saja tidak cukup. Kamu sudah menyia-nyiakan waktuku. Kamu tahu itu!" Arga bangkit dari duduknya hendak meninggalkan kamar itu. Namun di depan pintu ia kembali membalik badan dengan tatapan tajamnya. "Dan satu lagi. Jangan pernah seret aku ke dalam masalah pribadi kamu!"

Braaak! Daun pintu itu ditutup sekuat tenaga dari luar.

Amara menatap kosong setelah menghilangnya punggung sang pria dari bola matanya. Menyisakan bulir bening yang perlahan mengalir dalam diamnya. Kembali terdengar bunyi retakan di dada. Meskipun terasa menyakitkan, ia tahu ini hanya sebuah retakan kecil.

Sedangkan Arga bersandar lemah di belakang pintu kamar itu. Memejamkan mata untuk menenangkan diri sembari merapal istighfar berkali-kali. Entah sudah berapa banyak kalimat permohonan ampun pada Tuhan yang sudah diucapkannya semenjak ia mengenal wanita di balik pintu itu.

Arga kembali meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa semua ini dilakukannya hanya demi seorang wanita yang saat ini tinggal seatap dengannya. Wanita yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Mama Jihan. Tidak ada waktu baginya untuk bermain-main dengan perasaan. Toh kalaupun ia jatuh cinta, yang jelas cintanya tidak akan jatuh untuk wanita seperti Amara. Meskipun Arga tak bisa menampik debaran yang ia rasakan terhadap wanita itu sejak bibir keduanya bersentuhan.

Astaghfirullah! Lagi-lagi pikirannya berkelana. Sebaiknya ia melaksanakan sholat dhuha yang tertunda sesegera mungkin. Namun setelah teringat sesuatu, bola matanya melebar. Ia menepuk dahi.

Sarung dan kokonya ada di dalam kamar itu. Kaos dan celana cargo yang ia kenakan sudah dikotori dengan aktivitas di dapur tadi. Arga berbalik menatap pintu, sedetik kemudian kembali membelakangi pintu. Lalu kembali menghadap pintu, kembali ragu ia memunggungi pintu. Arga berusaha memantapkan hati. Tidak mau membatalkan niat sholat sunnahnya hanya karena harus menuruti bisikan egonya. Ia harus mengambil koko dan sarungnya. Setelah menarik dan menghembus napas dalam berkali-kali, Arga kembali menghadap pintu lalu hendak mengetuk. Namun sebelum jemarinya menyentuh pintu kayu jati itu, pintu sudah dibuka dari dalam. Dan ...

Dug!

"Aaawww! Ssshhh ..." Amara menyentuh dahinya yang baru saja menabrak dagu pria itu.

"Ka — kamu ... ngapain di depan pintu?" tanya Amara ketus.

Arga mengusap kesal wajah gusarnya berkali-kali. Membuat kedua alis Amara bertaut bingung.

"Minggir." Arga memerintah galak.

"Hei, aku nanya!"

"Dan aku bilang minggir!"

Meski jengkel karena dirinya tidak direspon, Amara tetap menurut. Segera menggeser tubuhnya yang menghalangi jalan masuk. Dan dengan sikap dingin Arga memasuki kamar yang seharusnya ia tiduri sejak semalam. Suara bantingan pintu kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.

Amara sangat geram melihat sikapnya. Sejam sebelumnya bersikap manis seperti gula, sejam berikutnya bersikap dingin seperti es batu. Maunya apa sih? Amara kesal, sekesal-kesalnya hingga kedua kakinya menghentak-hentak lantai marmer villa itu.

"Mbak Amara, mangkuk buburnya sudah? Biar saya bereskan." Bu Rami tiba-tiba muncul di hadapannya dengan membawa kemoceng.

"Ya ampun, lupa! Sebentar saya ambil, Bu." Amara baru saja ingat jika tadi mangkuk buburnya diletakkan di atas nakas. Langsung saja ia membuka pintu kamar dan dalam seketika mendapati pemandangan itu. 1...2...3...4...5...6...7 detik matanya terpaku tanpa berkedip.

"Mau sampai kapan ngeliatin?" tegur Arga dingin. Ia tengah memasukkan tangan kanannya ke dalam lengan koko.

"Eh, ma — maaf." Braaak! Tangannya kembali menutup pintu dengan bantingan. "Sialan! Arga benar-benar rese'!!!"

Seharusnya Amara bersorak-sorai mendapat pemandangan gratis sebuah dada bidang yang terpampang jelas di depan mata. Tapi kok malah kesal ya?

"Kok misuh-misuh, Mbak? Malah wurung? Apa saya saja yang ambil?" Bu Rumi hendak melangkah maji namin segera ditahan oleh Amara.

"Eh jangan, Bu. Arga ...ehm, sedang ganti baju. Nanti saja ya, Bu."

"Oalaaah. Pantes mukanya abang-abang, Mbak." Bu Rami menutup mulutnya yang setengah tertawa.

"Merah karena saya habis mabuk tadi malam!" tampik Amara ketus.

Namun Bu Rami tetap saja menertawakannya. Bahkan kini tawanya tak tertahankan. "Enak ya Mbak kalo masih muda. Malu-malu meong kalo lihat pujaan hati."

Amara mengangkat kedua tangannya untuk bersedekap di dada. "Ehem! Bu Rami nggak ada kerjaan lain?"

"Eh iya, Mbak. Ngapunten. Saya ke teras dulu." Bu Rami segera undur diri dari hadapannya masih dengan cekikik pelan. Meninggalkan Amara yang terlihat bak remaja ABG galau.

====================================

Lima belas menit perjalanan Amara dan Arga menuju site, kembali dihabiskan dalam keheningan. Tidak ada satupun di antara keduanya yang mau memulai percakapan terlebih dahulu. Sepasang anak manusia itu saling membuang muka menghadap jendela. Dari kaca spion depan, sang supir tersenyum melihat sikap keduanya yang layaknya anak kecil yang sedang bermusuhan.

"Sudah sampai, Bu." Ucapan sang supir memecah kesunyian di dalam mobil sedan mewah itu.

Keduanya segera keluar dari mobil dan berjalan menuju tanah kosong luas yang sudah dipagari itu. Tanpa menoleh pada Amara yang sedang sibuk merapikan rambutnya yang tengah diterpa angin, Arga langsung merogoh kamera dari dalam ransel Polo-nya. Jemarinya bekerja cepat menekan tombol jepret setelah mendapatkan beberapa sudut yang pas. Sedangkan Amara sibuk membayangkan bentuk bangunan yang sesuai dengan luas lahan itu setelah selesai mencepol rambut panjang bergelombangnya. Ia duduk di sebuah balok kayu yang ada di depan pagar. Lalu lanjut menggambar beberapa sketsa pada sketchbook di tangannya. Amara terlalu sibuk menarik dan menebalkan garis tanpa menyadari jika di belakang punggungnya sudah hadir Arga yang sedang mengamati hasil karyanya.

"Kalo kamu bisa gambar, untuk apa menyewa arsitek?" Kata-kata pertama yang meluncur dari bibir Arga setelah empat jam lamanya saling mengunci mulut.

Amara yang kaget segera menutup buku sketsa di pangkuannya. Tubuhnya berputar dengan kepala mendongak hingga akhirnya bertemu tatap dengan Arga yang sedang membungkuk. "Bukan urusan kamu."

Arga menganggukkan kepala sekilas lalu tubuhnya kembali tegak. "Aku sudah punya gambaran kasar di pikiran."

"Jelaskan."

"Bentuk bangunan akan dibuat based on bentuk prisma. Elevasi tanah di ujung sana bagus untuk tempat masjid atau mushola. Nanti akan ada level. Lanskapnya juga mendukung. Parkiran dibuat di sisi kiri pintu masuk. Fasad bangunan akan saya tambahkan detail khas Bali. Oh ya, tentang permintaan kamu untuk tempat bangunan santai, tempat istirahat dan juga kantin karyawan, mungkin bisa dibuat dengan konsep bangunan joglo di ujung sana, akan saya buat jalan koridor dari gedung utama. Terus untuk potongan level ketinggian ..." Arga terus saja bicara. Namun alih-alih mendengarkan penjelasannya, Amara lebih terpaku menatap wajah serius pria itu. Sosok serius itu benar-benar menggugah jantungnya untuk berdetak dua kali lebih cepat.

"... Itu baru sketsa kasar yang ada di pikiranku. Karena aku sudah dapat ukuran detail luasannya dari kamu kemarin, mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi gambar detailnya bisa aku serahkan. Terus —" Kalimatnya diputus saat ia mendapatkan wanita itu hanya memandanginya, bukan mendengarkannya. "Kenapa kamu?"

Amara masih tetap menatapnya tanpa berkedip sekalipun.

"Amara?" Snap! Jentikan jarinya melayang di depan mata Amara.

"Eh, em ... apa?"

"Kamu melamun?"

"Enggak."

"Kamu tidak mendengarkan penjelasanku?"

Amara menghela napas pelan dengan mata terpejam untuk beberapa detik. Saat matanya kembali terbuka ia kembali menatap lekat pria itu. "Jujur, i wasn't listening. I was thinking of something."

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Arga dengan kedua alis terangkat.

"Aku sedang berpikir ... apakah kamu mau menjadi calon suami aku?"

"Apa?!"

*****************

"Serius, Ga??? Dania melamar kamu?"

"Santai, Zi! Biasa aja dong kagetnya."

"Aku tahu Dania orangnya nekat. Tapi nggak tahu kalau dia bakal senekat itu." Razi yang tadi bangun dari duduknya karena saking terkejutnya mendengar cerita Arga, kembali memposisikan diri di kursi.

"Terus jawaban kamu?" tanya Razi penasaran.

"Ya jelas aku tolak. Nggak mungkin aku sama dia."

"Kenapa?"

"Bro, she's not my type. Dia angkuh, sombong, ceroboh, semaunya, gahar kayak macan liar."

"Jangan begitu, Bro. Dia tidak seburuk itu. Bisa jadi kalian memang berjodoh." Razi memutar-mutar cincin kawin yang baru tersemat beberapa hari di jari manisnya.

Dengan geramnya Arga melempar lembaran kertas yang baru diremuk-remuknya pada mantan mitra kerjanya itu. "Tega banget doain teman sendiri berjodoh sama macan betina macam dia."

"Hahaha ... Kalau begitu kamu macan jantannya, Ga." Razi memungut bola kertas yang meleset itu di lantai lalu melempar pada tempat sampah di dekatnya.

"Aku kura-kura, Zi. Alon-alon asal kelakon. Beda ordo, famili, genus, species. Yg intinya tidak akan mungkin terjadi kawin silang."

Razi tersenyum miring mendengarnya. "Yakin? Hati-hati kemakan omongan sendiri."

"Mending makan bakso, deh. Makin siang, nih. Laper." Arga bangkit sambil mengusap-usap perutnya yang memang sudah minta diisi.

"Beneran laper? Apa cuma mau lari dari pembicaraan?" sindir Razi diiringi tawa kecil. Mengikuti langkah Arga keluar dari ruangannya. Hari ini memang sengaja Razi mengunjungi Arga di kantor untuk memberi oleh-oleh yang dipilihkan oleh Maira, istrinya.

"Sesukanya manten anyar aja, deh. Tau deh yang udah nggak uring-uringan lagi."

"Hahaha ... makanya bro, biar nggak uring-uringan lagi buruan cari yang bisa langsung dihalalin." Razi menepuk bahu Arga yang berjalan di sampingnya.

"Bro, aku nggak sepopuler kamu yang dalam seketika bisa bikin cewek-cewek histeris cuma dengan lirikan mata. Tuh contohnya!" Arga menunjuk dengan dagu ke arah salah seorang staf wanita yang sedang tersenyum dengan wajah memerah karena melihat kehadiran Razi yang dulu menjadi bintang di kantor milik Hardiyanto ini.

"Bro, si Armi senyum-senyumnya sama ente tuh," kilah Arga.

"Kita ketemu tiap hari tapi dia biasa aja kok."

Razi kembali tertawa pelan. Sahabatnya itu memang tidak pernah peka dengan ketampanannya yang juga menarik bagi kaum hawa. Beberapa kali para staf wanita menanyakan padanya atau Alma akan status Arga yang masih single atau sudah double. Namun keduanya selalu menjawab 'double'. Karena Razi dan Alma benar-benar ingin Arga mendapatkan yang terbaik dalam hidup. Pria itu sudah terlalu banyak berkorban dalam hidup. Ia butuh wanita luar biasa untuk menjadi pendamping hidupnya yang juga luar biasa.

====================================

"Bu Sakya?" panggil Amara pada Sakya yang baru saja keluar dari ruang kelas setelah selesai mengajar. Ia sengaja berdiri menunggu di samping pintu sejak lima belas menit yang lalu.

"Ada apa, Bu Dania?"

"Emm, ada yang perlu saya bicarakan." Amara terlihat ragu-ragu. Matanya melirik pada kerumunan mahasiswa yang mengantri untuk keluar kelas. "Bisa kita ke ruangan saya?"

"Oh, bisa. Bu Dania duluan saja, nanti saya nyusul. Saya taruh buku dan silabus sebentar di ruangan." Sakya menunjuk pada buku-buku yang didekap di dadanya.

"Ah, oh ... iya. Saya tunggu, ya." Amara segera meninggalkan Sakya dengan membawa sedikit kegelisahan. Membuat Sakya bertanya-tanya ada apa gerangan dengan sang dekan yang biasanya terlihat tangguh?

Tak sampai sepuluh menit kemudian, Sakya sudah mengetuk pintu ruangannya. Setelah sibuk mondar-mandir dalam kegamangan, Amara membukakan pintu ruangan. "Masuk, Sakya."

Sakya masuk dengan sikap unggah-ungguh. Seperti halnya putri Jawa yang sangat mengerti tata krama.

"Silahkan duduk."

"Ada apa, Mbak?" tanya Sakya setelah mendudukkan diri di sofa kulit di tengah ruangan.

Amara menghirup dan menghembus napas berkali-kali. Belum pernah ia segalau ini dalam hidupnya. "Jadi begini, emmm ... sudah seminggu ini sepertinya ... kakak kamu itu menghindari saya. Saya telepon nggak diangkat, WA juga cuma dibaca tapi nggak direspon. Padahal kita ada kontrak kerjasama. Kenapa ... ehm, Arga sangat tidak profesional?" Amara berusaha bersikap tenang.

Sakya mengangkat tangan kanannya untuk menutup mulutnya yang sedang tertawa kecil. Jadi ternyata sang dekan sedang gundah-gulana karena kakaknya. "Ooh, jadi begitu."

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Amara dingin.

"Maaf, Mbak. Bukan bermaksud tidak sopan. Soalnya memang saya perhatikan sudah beberapa hari ini Mbak seperti orang bingung. Jadi saya pikir sedang ada masalah berat. Ternyata masalahnya Mas Arga."

Amara salah tingkah mendengar ucapannya disertai dengan wajah yang langsung memerah. "Emm ... ehm, begini. Bukan begitu maksudnya. Saya —"

"Nggak apa-apa, Mbak. Mas Arga sudah cerita, kok."

Wah, dasar pembalut! Gampang bocor! Rutuk Amara dalam hati.

"Emm, dia cerita apa?"

"Mas Arga cerita kalau Mbak melamar Mas untuk jadi calon suami."

"Waaah, bener-bener — eh, maksudnya ... sebenarnya bukan begitu. Duh, gimana jelasinnya ya?" Amara bicara pada diri sendiri.

"Bukan begitu gimana, Mbak?" tanya Sakya dengan alis bertaut.

"Kakak kamu sih, nggak mau dengerin penjelasan saya dulu. Langsung nolak terus main pergi aja. Habis itu aksi tutup mulut. Sama sekali nggak mau diajak bicara," gerutu Amara kesal.

"Maksudnya? Penjelasan apa, Mbak?" Sakya mengernyit bingung.

"Begini, lamaran saya itu sebenarnya cuma untuk ... untuk sandiwara saja."

"Sandiwara? Maksudnya ... pura-pura? Mbak bukan benar-benar suka sama Mas Arga?"

"Jadi, saya diberi waktu oleh Mama saya sampai akhir tahun nanti untuk membawa calon suami di pesta akhir tahun kantor. Kalau tidak ... Mama akan menjodohkan saya dengan Om — ya pokoknya dengan pria yang sama sekali tidak saya sukai."

"Ooh ... begitu. Jadi Mbak nggak benar-benar suka dengan Mas Arga?" Lagi-lagi Sakya menanyakan hal itu. Padahal Amara sudah sengaja tidak menjawab.

"Saya hanya butuh bantuan dia. Tapi ... gimana saya mau jelasin semua itu kalau kakak kamu itu sekarang bersikap seperti seorang pengecut." Amara berlagak kesal.

"Hmmm, apa Mbak butuh bantuan saya untuk menyampaikan cerita ini ke Mas?"

Batin Amara berteriak. Ia mengajak Sakya bicara bukan karena ingin wanita itu menjadi penyambung lidahnya. Ia ingin Sakya mempertemukannya dengan Arga.

"Eh, nggak usah. Biar saya sendiri yang ngomong ke dia. Lagipula, ada masalah pekerjaan juga yang harus kita bicarakan. Tapi kalau dia menghindar seperti sekarang ini, gimana caranya saya berkomunikasi?"

"Emmm ... Mbak, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi ... kakak saya itu nggak bakalan mau main sandiwara seperti ini. Mas Arga itu

sedang belajar hijrah. Memperbaiki diri agar jadi manusia yang lebih baik, manusia yang lebih bertakwa, manusia yang lebih dekat pada Sang Pencipta. Jadi, untuk saat ini sepertinya Mas Arga belum ada keinginan untuk —"

"Saya tahu, Sakya. Makanya saya bilang ini cuma sandiwara. Saya nggak mungkin benar-benar menyentuh A —" Kalimatnya terpotong saat sekelebat adegan ciuman di pinggir pantai itu melintas di pikirannya. "— Maksud saya, nggak mungkin juga saya benar-benar menjalin hubungan dengan kakak kamu. Kami dua orang yang sangat berbeda."

Sakya beberapa kali menganggukkan kepalanya mengerti. Meskipun ia tak sepenuhnya percaya dengan argumen Amara. Hati kecilnya mengatakan wanita di hadapannya ini memang benar-benar menyukai kakaknya.

"Kalau begitu, saya kasih alamat rumahnya ya." Sakya mengeluarkan pulpen dan notebook kecil dari dalam tasnya.

"Di rumah Pak Hardi, kan? Sepertinya saya masih ingat rumah beliau."

"Bukan, Mbak. Mas Arga tidak tinggal lagi dengan Om Hardi," jawab Sakya santai sambil menulis sebuah alamat di selembar kertas.

"Lho, memang kenapa? Terus tinggal dengan siapa dia sekarang?"

Sakya menyerahkan secarik kertas berisikan alamat rumah tinggal Arga. "Maaf, saya nggak bisa jawab. Mbak bisa tanyakan langsung pada Mas Arga kalau sudah bertemu."

Amara menerima kertas itu dengan pikiran penuh tanya. Kenapa pria itu selalu penuh dengan kepingan teka-teki yang tak sanggup dijawab oleh Amara.

"Terima kasih, Sakya. Saya benar-benar berharap kakak kamu mau berbicara dengan saya. Dan pada akhirnya, mau membantu saya."

Sakya tersenyum lebar. Lalu tiba-tiba kalimat itu terlontar dari lisannya. "Saya juga tidak keberatan kok kalau Mbak benar-benar jadi kakak ipar saya."

♡♡♡♡♡♡♡♡♡●●●●●♡♡♡♡♡♡♡