webnovel

The Broken Hearts

- You messed me up and torn me into pieces. Yet, i'm still here begging you to fix me. -

By. Author

Andro meringkuk di tengah kekalutannya. Otaknya kacau, nalarnya tak mampu bekerja. Hatinya pun kacau. Kembali patah seperti dulu kala. Lagi-lagi kecewa. Lagi-lagi ditinggalkan.

Ingin ia berteriak, melampiaskan sakit yang kembali menyiksa batinnya. Namun tak bisa. Atap di atasnya ini bukan rumah tinggalnya. Ironisnya, malah ia sedang bernaung di dalam pemilik hatinya, Amara.

Frustasinya bermula dari kejadian sejam yang lalu, sewaktu ia tidak sengaja mencuri dengar percakapan Anggita via telepon di ruang makan.

"Mama serius? Mbak Mara udah nikah???"

Nikah???

"Kok dadakan, sih? Anak Mama yang itu nggak bunting duluan, kan?"

Bunting???

"Ah, parah! Kenapa Gita nggak dikabarin dari tadi pagi? Tau gitu kan, langsung cari flight kesana."

Setelah itu Andro melarikan diri menuju teras untuk mencerna berita yang baru didengarnya itu.

Dan di sinilah ia sekarang bertengger. Meringkuk putus-asa  beralas keramik dingin. Tiupan angin senja yang mulai kencang, tak cukup membuatnya merinding untuk beranjak masuk ke dalam.

Andro tahu, ia tidak berhak marah. Ia bukan siapa-siapanya Amara. Dan sesalnya juga, kenapa malam itu ia tidak langsung menuntut jawaban dari Amara. Andro tahu kenapa tidak, karena ia sudah tahu jawaban Amara. Tapi hatinya tetap ingin menyangkal. Bahwa Amara akan menerima cintanya. Bahwa Amara sudi menjadi kekasihnya.

Aah, cuma angan-angan!

"Ngapain lo dari tadi di sini terus?"

Suara di belakang punggungnya, membuatnya menoleh.

"Hm, gw tebak nih! Lo pasti udah denger beritanya kalo kakak gue udah nikah. Ya, kaaan?"

Malas menjawab, dan malas menanggapi, Andro berniat untuk melarikan diri. Mencari tempat sepi lainnya.

"Mau kabur kemana lo? Ke ujung dunia? Percuma! Lo mau kemana juga, nggak bakal bisa lari dari rasa sakit," teriak Anggita yang mencemoohnya angkuh.

Terpantik kesal, Andro kembali berbalik badan menghampiri wanita seksi itu. Ya, malam ini Anggita terlihat seksi dengan kaos kebesaran dan mini-short yang dikenakannya.

"Jangan ganggu aku! Kita nggak punya urusan apa-apa selain pekerjaan." Andro membalas dingin.

"Dih, siapa juga yang mau gangguin lo!" Anggita bersila tangan di dada. "Justru gue mau ngingetin lo, biar lo bisa fokus sama kerjaan. Nggak melulu ngabisin waktu buat meratapi nasib sial lo itu."

"Nasib sial?"

"Patah hati itu termasuk nasib sial, kan?" sergahnya santai.

"Jangan sok tau! Kamu nggak tau, apa-apa." Kedua tangan Andro mengepal di sisi tubuhnya.

"Oh ya? Masa? Yakin gue nggak tau apa-apa?"

Andro menatapnya nanar. Hatinya sedang remuk, tapi wanita di depannya ini telah menghancurkan dinding pertahanannya.

"Lo yang nggak tau apa-apa." Telunjuk Anggita mengarah padanya.

"Hidup lo cuma berpusat di rasa sakit. Dan cuma itu yang lo pedulikan, rasa sakit lo! Apa lo peduli gimana perasaan nyokap lo? Tante lo? Ck, egois lo!" Anggita berdecih.

"Gue kasitau ya, Android. Bahkan nyokap dan tante lo itu nggak punya waktu buat meratapi nasib mereka yang single-fighter. Seluruh tenaga dan pikiran mereka cuma tercurah buat anak-anak kurang beruntung itu. Tapi lo? Apa yang lo lakuin selama di sini?"

Andro menggeram marah.

"Semenjak kakak gue terbang ke Jakarta, lo lebih banyak ngabisin waktu cuma buat ngelamun. Tebakan gue, lo lagi ngayalin kalo kakak gue itu jadi istri lo. Bener, nggak?"

"Aku bilang jangan sok tau!"

Anggita melangkahkan kakinya mendekat, menantang, menghadang. Tidak seperti terakhir kalinya mereka berhadapan, kali ini Anggita tidak takut.

"Ayo jujur! Bener kan tebakan gue?"

"Apa maumu?" Andro mendengkus geram.

"Mau gue? Simpel! Lo kerja yang bener. Bantu nyokap sama tante lo. Bukan cuma mereka, anak-anak itu juga butuh bantuan lo. Jangan egois!"

Gengsi mengakui, tapi Andro tahu celotehan wanita seksi di depannya ini benar. Selama beberapa minggu ini cuma Amara yang mengisi kepalanya. Ia abai dengan segala kewajibannya. Anggita benar, Andro memang egois. Seluruh ucapan wanita ini benar. Menyakitkan memang, tapi benar. The truth is always painful, untuk Andro.

Tapi lebih baik Andro diam, daripada harus menurunkan harga dirinya untuk sekedar bilang "iya, kamu benar." Jadi Andro memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam rumah, melewati Anggita yang berdiri di depannya.

Tapi sebelum mencapai pintu, lagi-lagi langkahnya terhenti oleh suara Anggita. "Belajar move-on! Cewek itu banyak di dunia. Apalagi di sini. Lo mau cari bule juga banyak."

Tapi yang seperti Amara tidak ada. Sanggahnya dalam hati.

Anggita berjalan mendahuluinya yang sedang mematung kaku. Setelah melewati pintu, ia melanjutkan, "Kalo lo mau dapat yang mirip kakak gue, banyakin doa. Kali aja dikabulin sama Tuhan."

.

============================

.

Untung saja kemarin Aletta berusaha mencari tahu alamat tempat tinggal Amara. Tidak sulit bagi orang suruhannya untuk menemukan rumah mewah milik seorang janda yang juga pengusaha terkenal.

Dan di sinilah sekarang Aletta berada. Menunggu dalam diam di dalam mobilnya yang terparkir di depan pintu gerbang mansion besar itu. Ia sudah mencoba masuk tadi, tapi satpam yang menjaga tidak mengijinkan. Dengan alasan sudah malam, dan majikannya sedang tidak ingin diganggu.

Sudah satu jam Aletta menunggu. Tidak ada sama sekali tanda kemunculan Arga keluar dari rumah besar itu. Dering teleponnya pun tidak diangkat oleh Arga. Pikirannya sudah mengarah kemana-mana. Mungkin Arga sedang sibuk menghamili istri batunya. Aletta tidak sanggup memikirkan itu. Hatinya tidak sanggup. Terlalu lama ia memendam rasa pada Arga.

Pria itu memang tidak pernah mau menidurinya dulu, dengan alasan tidak ingin menyakiti Aletta. Padahal apapun yang akan dilakukan Arga padanya, Aletta ikhlas. Ikhlas lahir batin menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk Arga. Cuma untuk Arga.

Kalau pada akhirnya ia tetap tidak bisa memiliki Arga, untuk apa juga ia mau diajak nikah oleh Hardi yang hampir berumur dua kali lipat umurnya? Meskipun mereka tidak pernah berhubungan badan, tetap saja Aletta merasa muak hanya tinggal berdua seatap dengan tua bangka itu. Apalagi laki-laki itu selalu memperlakukannya dengan baik, selalu memberi apa yang ia mau. Kecuali Arga. Membuatnya selalu merasa bersalah jika tidak membalas berlaku lembut.

Meskipun statusnya sebagai istri, Hardi lebih dirasanya sebagai seorang ayah yang senantiasa melindungi dan peduli. Bukan mencintai.

"Ga ... kalo aku nggak bisa jadi milik kamu satu-satunya, jadi istri kedua kamu juga nggak pa-pa." Aletta berujar pada diri sendiri sembari mengusap foto Arga di layar ponselnya.

Sementara di dalam rumah, Amara tengah mondar-mandir gelisah selepas satpam di depan menghubunginya perihal kedatangan Aletta. Arga pun hanya duduk membisu. Sama sekali tidak berkomentar. Tangannya hanya sibuk membolak-balik majalah di pangkuannya. Seakan tidak ada sesuatu yang merisaukan.

"Itu ibu tiri kamu mau diapain?" tanya Amara akhirnya membuka suara.

"Biarkan saja," jawab Arga cuek dengan mata masih fokus membaca sebuah artikel kesehatan.

Kesal dengan respon Arga yang terlalu santai, Amara merebut majalah itu lalu membuangnya ke atas nakas.

"Hei, itu mantan pacar kamu. Dan aku nggak suka dia datang kesini. Ini namanya nantangin!"

"Jangan su'udzhon. Bisa jadi dia mau kasih kita selamat." Arga berdiri lalu menyentuh kedua bahu Amara. Berusaha menenangkan.

Amara membalik badan untuk menghadap suaminya. "Kalo sekedar ngasih selamat, ngapain dia telpon-telpon kamu terus? Ngapain dia masih nunggu di luar?" Amara melangkah mendekat dengan tangan menyilang. "Dan kenapa juga kamu nggak mau nemuin dia?"

Tubuhnya ditarik oleh Arga untuk ikut duduk di atas ranjang. "Sayang, aku kan suami kamu sekarang. Nggak pantes kalo menemui wanita lain cuma berdua-duaan."

"Maksud kamu?" Dahi Amara mengernyit.

"Kamu saja yang temui dia. Tanya, apa maunya?"

"Iiih, ogah banget!" Amara menggeram kesal.

Arga meraup wajahnya yang mulai gusar. Sebenarnya sejak tadi ia berharap kalau Amara yang akan maju ke medan pertempuran untuk menghadapi ibu tirinya. Bukannya Arga bersikap sebagai lelaki pengecut, tapi memang bahaya kalau Arga langsung yang menemuinya. Karena Arga sudah tahu benar apa maunya wanita itu. Sekitar sepuluh menit sebelum kedatangan Aletta, ayahnya sudah mengabarinya. Hardi menceritakan semua yang terjadi tadi sore. Semua percakapan alot yang diakhiri dengan perginya Aletta dari rumah.

"Ya sudah, kalau begitu dibiarkan saja sampai dia pergi sendiri," ucap Arga lalu menghembus napas berat.

"Kalo dia keukeuh nunggu sampe tidur di mobil gimana?"

"Kenapa kamu yakin dia bakal begitu?"

"Karena dia cinta sama kamu!" teriakan Amara menyentak.

Arga mengurut dahinya yang tak pusing. Tidak pusing, tapi mumet. Mau seberapa jauh Arga menyangkal, tetap saja sentakan istrinya barusan cukup membuatnya tertegun. Cerita ayahnya tadi sore pun seakan memukulnya.

Dulu Arga menyangka jika Aletta mau menikahi ayahnya hanya demi harta. Karena ia tahu persis Aletta itu wanita manja. Waktu mereka masih bersama pun, Aletta sering meminta ini dan itu padanya.

Dan Arga selalu berusaha memenuhi segala inginnya, tanpa sadar.

Hingga suatu malam, saat mereka sedang menyantap bakso di taman, terdengar kumandang adzan Isya dari masjid di belakang taman itu. Sang penjual bakso pamit sebentar kepada mereka, bahkan menitipkan gerobak baksonya. Penjual itu berlari masuk ke komplek masjid. Di sekitar si penjual, tampak berbondong-bondong pria berkoko dan bersarung, melangkah bersamanya memasuki pelataran masjid.

Hanya dari pemandangan itu, semuanya bermula. Esoknya, Arga mulai mencari teman SMA-nya yang berprofesi sebagai ustadz. Banyak pertanyaan yang Arga ajukan pada temannya itu. Termasuk tentang takdir dan eksistensi Tuhan. Agamanya memang Islam sejak ia diadopsi. Tapi hanya tertera di KK dan KTP saja. Untuk realita dalam kehidupannya, bisa dibilang ia bahkan tidak mengenal siapa itu Tuhan.

Langkah selanjutnya, Arga memberanikan diri mengikuti kajian-kajian di masjid. Apapun yang ingin ia ketahui, selalu ia tanyakan. Esoknya lagi, Arga memborong buku-buku agama Islam di toko. Seperti tidak pernah ada kata cukup, bahkan Arga meminta teman SMA-nya yang ustadz itu untuk menginap seminggu di apartemennya. Selama seminggu itu, ia benar-benar menerima transfer ilmu dari temannya.

Lusanya, Arga memutuskan menjual apartemennya. Hasil penjualan, ia sumbangkan pada panti asuhan tempat ia dulu dirawat oleh Mama Jihan. Keesokan harinya lagi, Arga mengakhiri hubungannya dengan Aletta. Saat itulah ia sadar, jika selama itu Aletta hanya menjadi tempat pelampiasan nafsu bejatnya saja. Sama sekali tidak ada cinta untuk wanita itu. Selanjutnya, bisa ditebak sendiri bagaimana jalan ceritanya.

Drrrttt!

Ponselnya di atas nakas kembali bergetar. Arga tak berani membaca tulisan di layar. Sudah berkali-kali ia abaikan, dan kali ini panggilan itu akan tetap ia abaikan.

"Yakin nggak mau diangkat?" tanya Amara sinis.

Sembari menghela napas, Arga berdiri untuk menyerahkan ponselnya. "Kamu saja yang angkat."

"Kenapa aku?" elak Amara dengan pandangan mencelos.

"Ya sudah. Yang jelas aku tidak mau angkat." Arga hendak melempar ponselnya ke atas ranjang, namun dengan gerakan cepat Amara merebutnya.

"Sini!"

Sepasang bola mata Amara membulat tak suka. Tapi jempolnya tetap menggeser layar.

"Malam, Ibu ..." sapa Amara dengan suara dilembut-lembutkan.

"Hei, saya bukan ibumu!"

"Kan saya mantu Ibu sekarang."

"Ck! Mana Arga? Saya mau bicara sama dia."

"Ooh, Arga. Lagi tidur di samping saya, Bu."

"..."

"Ada perlu apa, Bu?" Amara hampir terkekeh, tapi cepat-cepat ditahannya.

"Bangunin dia! Saya mau bicara!" perintah Aletta angkuh.

"Maaf, Bu. Saya nggak tega. Dia lagi—eh, maksudnya kami baru aja ... ya begitu deh, Bu. Kayak nggak tahu kerjaannya manten baru aja." Kali ini Amara tidak tahan untuk tidak tertawa. Tapi lengkung di bibirnya segera lenyap saat matanya bersirobok dengan tatapan Arga yang memandangnya nakal.

"Saya nggak mau tau!!! Kamu harus bangunkan dia!"

"Maaf Bu, saya nggak bisa." Amara kembali bersikap tegas. "Ini sudah jam istirahat dan kami benar-benar lelah. Ibu nggak tau aja kami baru selesai berapa ronde."

Kali ini kedua lengan kekar Arga sudah melingkari tubuhnya dari belakang.

"Apa kamu bilang?"

"Ya sudah, Bu. Saya mau istirahat juga. Sudah dulu, ya. Ibu juga jangan lupa istirahat, nanti sakit lho."

"Awas kam—"

"Assalamu'alaikum."

Panggilan diputus oleh Amara. Ia menghembus napas lega. Ponsel itu dibantingnya ke atas ranjang.

"Nah, beres kan," celetuk Arga sembari mengecup bahu kirinya. Lalu dagunya bersandar di sana.

"Apa yang beres?" Amara yang masih kesal, melepaskan diri dari kungkungan Arga lalu berbalik menghadapnya.

"Ya ... itu."

"Nggak ada yang beres!" semprot Amara geram.

"Sayang ..."

"Nggak usah sayang-sayangan! Ini tuh salahnya kamu. Andai dulu kamu nggak berhubungan sama dia, pasti dia nggak bakal ngejar-ngejar kamu kayak orang gila gini."

Arga melemparkan diri ke atas ranjang. Matanya memejam lelah. "Iya, aku tahu. Aku yang salah."

"Then fix this! Kamu harus tanggung-jawab, Ga. Kamu nggak bisa terus-terusan menghindar dari dia. Apalagi dia ibu tiri kamu. Sebenci-bencinya aku sama dia, aku masih punya hati. Kasian sama ayah kamu."

"Ayahku nggak cinta dia." Arga merespon cepat kalimat panjang Amara itu.

Amara duduk di pinggir ranjang, di samping tubuh suaminya yang terebah. "Hah?"

"Nggak pernah ada cinta dalam pernikahan mereka," jawab Arga santai, masih dengan mata terpejam.

"Ya terus kenapa ayah kamu mau nikah sama dia?"

Arga membuka matanya dalam sekejap. Pemandangan pertama yang matanya temukan, wajah serius istrinya yang menyimpan segenap rasa penasaran.

Begitu tipikal seorang Amara. Selalu mudah penasaran dengan segala hal. Termasuk urusan orang lain. Tapi berkat rasa penasarannya itulah, mereka dipertemukan.

"Sayang, bisa nggak kita bahas ini lain waktu?" Kedua tangan maskulin itu tengah mengusap lembut kedua pipi Amara.

"Nggak bisa, Ga. Ini tuh—"

"Ssshhh! I just wanna kiss you right now."

Semua terjadi begitu cepat. Dalam sekejap Amara sudah berada dalam dekapan suaminya. Saling memagut, saling mencinta, saling mendamba. Segenap masalah yang tadi berputar di otak, lenyap terbawa gelombang melodi cinta.

Cinta. Satu kata yang bahkan tak mampu menggambarkan rasa yang ia punya untuk Arga. Ini lebih dari cinta. Lebih dari segala rasa yang pernah ia punya untuk Alvaro. Dosakah Amara karena begitu mencintai makhluk ciptaan-Nya?

Diam-diam dalam hati, Amara bersimpuh. Memohon ampunan karena takut akan perasaannya yang berlebihan ini.

Kata orang, berani jatuh hati, harus berani patah hati. Benarkah ia akan patah hati? Lagi?

Seperti seorang wanita yang kini tengah meraung keras di dalam mobil akibat merasakan perihnya patah hati. Tangisnya bercucuran tiada henti. Membasahi layar ponsel di pangkuannya. Bahkan ia tak mampu menghentikan tangisnya.

Sakit ini begitu dalam. Begitu menyiksa. Begitu membunuhnya. Haruskah Aletta mati dan membawa sakitnya hingga ke liang kubur? Jika itu sanggup menyadarkan Arga bahwa betapa berartinya dia, Aletta rela kehilangan nyawanya.

Jika dengan ia mati bisa membuat Arga berlumur penyesalan hingga ujung umurnya, dengan senang hati Aletta akan menghilangkan nyawanya.

Ia bukan penakut. Bahkan berhadapan dengan malaikat maut pun ia tak gentar.

Aletta melajukan mobilnya kencang, menginjak gas sekuat tenaga. Tak dihiraukannya berisik klakson-klakson entah dari depan atau sampingnya. Lampu sorot menyilaukan itu menutupi jarak pandangnya. Aletta semakin menggila. Satu kalimat yang ia ucapkan di kepalanya.

"Silahkan jemput aku, malaikat kematian!"

Bruaaakkk!!!

.

============================

.

Di tengah malam ini, Andro kembali menatap langit. Sungguh gelap. Tak ada satupun bintang yang sudi menemani bulan purnama yang tertutup kabut awan malam ini. Angin dingin yang menerpa tubuh gagahnya terasa menusuk hingga ke tulang.

Ada apa dengan malam ini? Tak biasanya Sanur sedingin ini. Harusnya tadi ia membawa jaket saat keluar dari villa. Ia keluar diam-diam. Tidak mau Anggita ikut campur lagi dengan urusannya.

Andro hanya ingin sendirian. Tapi bukan untuk kembali meratapi nasib atau merisaukan hatinya yang patah. Kata-kata Anggita tadi yang masih setia mengusik pikirannya.

Benar juga. Selama ini Andro hanya peduli dengan perasaannya sendiri. Rasa sakit yang terus-menerus ia pelihara. Padahal tanpa ia sadari, sakit itu sudah menggerogoti jiwanya. Menjadikannya sebagai manusia teregois di muka bumi.

Andro tidak pernah peduli apa yang dirasakan oleh ibunya saat ia mencoba menghabisi nyawanya sendiri. Pasti sedih.

Tapi selalu saja Andro berusaha meyakinkan dirinya, jika ia adalah manusia yang paling sedih di dunia.  Masalahnya adalah masalah terberat di dunia. Dan orang-orang di sekitarnya harus mengerti itu. Mereka diharuskan untuk menerima fakta itu.

Padahal boleh jadi, ibunya-lah orang yang paling sedih. Karena memiliki anak yang hidupnya menyedihkan seperti dirinya. Belum lagi malu yang harus diterima oleh ibu dan tantenya saat tetangga sekitar tahu  kalau ia sedang berusaha bunuh diri.

Entah bagaimana cara mereka membungkam mulut-mulut itu. Yang jelas sepulangnya Andro dari rumah sakit, tak seorangpun tetangga yang berani mengolok-olok tindakan bodohnya. Untuk menegurnya pun, mereka seakan tidak punya nyali. Jika berpapasan dengannya, paling-paling mereka hanya menghaturkan senyum singkat lalu buru-buru berlalu.

Dan Andro tidak pernah berani bertanya. Egonya menyuruhnya untuk lupakan saja. Dan Andro mulai belajar cuek sejak saat itu.

"Hey, Kid! What are you doing here?" Andro mendongak ke belakang begitu merasa sebelah pundaknya ditepuk keras.

"Oh, hi Clint." Wajahnya kembali menatap laut setelah mengetahui sosok yang menepuknya tiba-tiba.

"Ngapain?" tanya Clint lagi dengan logat lucu.

"Just watching the waves."

Clint memutar bola matanya lalu mendudukkan diri di samping Arga.

"There are two reasons for that. Broken-heart or finding some peace."

Andro tertawa miris. "Both."

Clint menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"You like Amara, don't you?"

Andro menoleh pada Clint yang sedang ikut menatap gulungan ombak.

"I know, Andro. I know," lanjutnya lagi.

Enggan kembali meluruskan pandangan pada ombak, Andro meniti pasir di bawah kakinya.

"She is something, right? A one in a million," tembak Clint lagi tepat sasaran. Membuat Andro tak berdaya untuk menjawab.

"But you see, people just see what their hearts want to see."

"Point?" Andro kembali menatapnya serius.

Akhirnya setelah bosan memandang ombak yang bergulung kecil, Clint memutar lehernya untuk menatap pria patah hati di sampingnya. "Open your heart. There's always possibility for everything. Including love."

"Yeah, right. Easy for you to say," dengkus Andro mengejek.

"Kid, just so-you-know, it happens to me more than twice."

Andro menertawakannya. "I don't buy it!"

"Kid, buy it! It's cheap, on sale." Clint membalas berkelakar, membuat Andro semakin terbahak.

"Glad you can make it."

"What?"

"Laughing. Hahaha ..."

Andro hanya kembali tertawa. Kali ini lebih lepas. Sudah lama ia tidak membuka mulutnya selebar ini. Menguapkan perasaan dukanya dengan suka.

Lagipula, sudah lama ia tidak memiliki teman ngobrol seorang pria juga. Teman dalam hidupnya cuma ibunya dan tantenya. Hanya dua orang itu.

Sejak ditinggal oleh ayahnya, Andro kecil tumbuh menjadi seorang penyendiri. Penakut. Bahkan pengecut. Tidak pernah berani melawan teman-teman sekelas yang hobi mem-bully-nya.

Beberapa kali Andro pindah sekolah, karena selalu menjadi korban bullying. Hingga di bangku kelas VIII SMP. Adalah Kenes, seorang siswi pindahan dari Jember, yang menjadi teman pertamanya. Bahkan kekasihnya. Perempuan yang mampu membuatnya nekat kehilangan nyawa, lima tahun yang lalu. Sejak itu, Andro kembali menutup diri. Kembali ke sosok pendiam yang tidak mau berteman dengan siapapun. Tidak percaya dengan siapapun.

Tapi kali ini, saat matanya meniti wajah Clint, Andro tahu pria ini tulus. Bahkan tidak berusaha menghakiminya. Seperti Anggita.

Ah! Andro menepuk kakinya sendiri. Untuk apa ia memikirkan Anggita?

"Well, Kid ... it's getting late."

Tangan Clint yang lagi-lagi menepuk keras pundaknya, membawanya kembali ke dunia nyata 

"Forget her. You'll recover sooner than you think. I promise you."

Clint berusaha bangkit dengan susah payah, menepuk-nepuk pasir di celana cargonya, lalu beranjak meninggalkan tempat itu tanpa kembali berkata-kata.

Membuat Andro sedikit heran, bagaimana mungkin bule gempal itu bisa menemukannya di sini? Masa iya kebetulan? Pantai ini cukup jauh letaknya dari vila. Ia saja harus menggunakan motor trail untuk datang ke tempat ini.

Tak mau ambil pusing dengan kemunculan Clint, Andro kembali meniti ingatannya akan kata-kata Clint yang tadi ditujukan untuknya.

Forget her. You'll recover sooner than you think. I promise you.

~~~~~~~~~~~~~~~~

Pesan cinta dari author❤❤❤:

Dearest my beloved readers, dimanapun berada...

Stay safe, healthy & strong untuk semuanya. Menghadapi musibah wabah yang sedang mendunia ini nggak mudah. Benar-benar nggak mudah. Kecuali kita bersatu, bekerja sama dengan baik dalam melawan penyebaran wabah pandemi Covid-19 ini.

So please stay at home #dirumahaja. Nikmati waktu bersama keluarga, peliharaan, siapapun yang tinggal seatap dengan kita dirumah. Boleh juga sambil baca webnovel bareng2, apalagi baca lanjutan babang Arga bareng2...boleh bangeeettt...pake ngettt ngeeettt! 🤣🤣

Kata Amara, ikhtiar dulu baru tawakkal. Amara aja ngerti, masa kamu enggak? 😜

Be safe, everyone 🥰

PS: jangan lupa tinggalkan jejak cintamu dgn klik bintang 🤩