webnovel

Reminiscing

Ada yg tau nggak ini lagunya siapa? Lagu favorit thor sangat ini 😁

Remember the nights when we closed our eyes

And vowed that you and I would be

in love for all time

Anytime I think about these things I

shared with you

I break down and cry 'cause I get so

emotional

Until you release me I'm bound under ball and chain

Reminiscing our love as I watch four seasons change

***

Amara menatap tak percaya pada benda yang tengah digenggamnya. Tidak tahu harus senang atau sedih. Harusnya sih senang, tapi entah kenapa pikirannya menyimpan segenap kekhawatiran yang tidak bisa ia jabarkan.

Ia duduk di tepian ranjang, menatap lembut pada Arga yang masih tertidur pulas lalu mendesah pelan. Suaminya itu baru tidur usai Subuh, setelah begadang semalaman untuk menyelesaikan PR dari kantornya. Terselip sedikit rasa bersalah. Mungkin benar Amara masih belum bisa bersikap dewasa. Egonya masih setinggi langit. Jika saja beberapa hari yang lalu ia tidak melancarkan aksi drama sinetron, mungkin pekerjaan suaminya tidak akan telantar, menumpuk, dan menyusahkan seperti sekarang ini.

Hari ini rencananya mereka akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan siang hari. Pada akhirnya Amara terpaksa mengalah. Menuruti keinginan sang suami tercinta. Meskipun dari lubuk hati terdalamnya tak ingin segera beranjak dari pulau dewata.

Merasa galau, Amara memilih turun ke bawah untuk sarapan bersama adiknya yang sejak kemarin siang menghindari dirinya. Meja makan sudah dihuni oleh Anggita, Ratna, Levi, dan Andro. Pancaran aura dingin di ruangan itu membuat Amara merinding. Keempatnya sedang menghabiskan nasi goreng buatan Bu Rami tanpa suara, hening.

"Ehm, pagi." Amara menyapa riang semuanya dengan senyum lebar yang dipaksakan.

"Pagi, Mbak Amara." Ratna yang terlebih dahulu membalasnya diikuti oleh balasan senyum dari Levi.

Namun di antara semuanya, Andro-lah yang tersenyum paling lebar dengan mata berbinar menyambut kedatangannya. Anggita yang memperhatikan itu berdecak sebal.

"Rencana pulang hari ini, Mbak Amara?" tanya Ratna usai meneguk air putih.

"Iya, Bu Ratna. Rencananya sih begitu. Tapi Mas Arga-nya masih tidur. Sepertinya masih capek karena begadang semalaman."

"Uhuk! Uhuk!" Andro tiba-tiba tersedak lalu meraih segelas air putih di sebelahnya. Levi mengulum senyum saat melirik keponakannya yang saat ini berwajah semerah kepiting rebus.

"Enak ya Mbak kalo udah jadi manten. Mau aha-ihi semalaman juga nggak jadi masalah," sindir Anggita tak acuh setelah menggigit ayam goreng ala Upin-Ipin di tangannya.

"Hush! Sembarangan aja lo kalo ngomong. Dia begadang karena kerjaan dari kantor."

"Oooh." Anggita menatap paha goreng di genggamannya penuh minat.

"Kirain. Kalo ngomong yang jelas makanya. Ntar ada yang salah sangka terus baper lagi." Tatapannya beralih pada Andro yang tengah memandangnya penuh amarah.

Amara tersenyum miring. Sekarang ia paham semuanya. Terjawab sudah teka-teki di kepalanya.

"Oh ya, Mas Andro ... gimana perkembangannya bangunan panti yang baru?" tanya Amara di sela-sela kunyahannya.

"Alhamdulillah sudah delapan puluh persen, Mbak. Tinggal menunggu pagar, cat bagian belakang, dan beresin lanskap."

Anggita mendelik pada Andro yang menjawab dengan wajah sumringah. Berbeda seratus delapan puluh derajat jika sedang berhadapan dengan dirinya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, panas.

"Lo ambil alih lagi, Mbak. Gue balik ke Jakarta juga hari ini," ujarnya cepat lalu membanting tulang di atas piring.

"Hah?"

"Kemarin lo cuma minta tolong gue untuk sementara kan. Gue rasa udah cukup lama gue di sini."

"Nggak bisa, Git. Gue kan harus ngikut Arga balik ke Jakarta." Amara meletakkan sendoknya di pinggir piring.

"Bukan urusan gue. Lagian udah satu setengah bulan gue di sini."

Amara menarik kursinya mundur lalu berdiri menghampiri adiknya yang akan segera meninggalkan meja makan.

"Kita perlu bicara."

"Kalo lo mau bujuk gue, sori. Nggak bisa."

"Gita. Please, tadi juga Mas Andro bilang bentar lagi selesai."

"Justru itu. Bentar lagi kelar. Jadi buat apa kehadiran gue di sini?"

"Git—"

"Nggak apa, Mbak. Nggak perlu dipaksa. Mungkin Mbak Gita punya lebih banyak urusan di Jakarta," sela Andro tenang.

"Oh ya, tentu. Urusan gue banyak banget di Jakarta. Termasuk menuntaskan kerinduan sama seseorang yang sudah lama menantikan kepulangan gue." Anggita sengaja bersikap manis.

Amara berusaha menahan tawanya. Sungguh, ia tak tahan dengan kondisi ini.

"Nggak apa-apa, Mbak. Nanti biar Levi saja yang menemani Andro sehari-hari." Ratna yang juga sadar situasi tak tahan untuk tidak berkomentar.

"Iya, Mbak. Saya saja nanti yang ikut meninjau sama Andro."

"Tapi Bu—"

"Nggak apa-apa, Mbak Amara. Lagipula kami sudah terlalu banyak merepotkan. Bantuan dari Mbak Amara untuk kami sudah lebih lebih dari cukup. Mbak Gita juga. Terima kasih banyak sudah membantu kami selama ini. Maafkan kami juga." Usai berucap, Ratna menundukkan kepala. Matanya tak berani bersitatap dengan Anggita. Terlalu malu mengingat kejadian dua malam yang lalu. Ia sudah seenaknya membentak wanita muda itu. Seakan ia itu orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih.

"Jangan bilang begitu, Bu Ratna."

"Wah, sudah selesai ya sarapannya. Pagi, Sayang." Arga tiba-tiba muncul lalu mengecup lembut kening Amara di hadapan semua.

"Maaf ya aku nggak bangunin kamu." Amara yang tersipu malu mengusap lembut punggung tangan suaminya.

"Ehem. Nggak usah bikin orang lain jeles deh sama kalian," sindir Anggita jengah.

"Maaf, saya permisi dulu." Merasa risih, Andro bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan cepat menuju kamarnya.

"Seneng ya kalo liat pasangan pengantin baru. Mesra terus bawaannya." Kali ini Levi yang berujar jujur sambil tersenyum. Sementara Ratna terlihat memaksakan senyumnya dengan mata tertuju pada pintu kamar Andro.

Amara membimbing Arga untuk duduk di kursi makan di sebelahnya. Lalu mengambilkan seporsi nasi goreng ke dalam piringnya. Amara melanjutkan sarapannya yang tadi tertunda. Sementara Anggita mengambil kopi pesanannya di dapur.

"Lagi banyak kerjaan ya, Mas Arga?" tanya Ratna berbasa-basi.

"Begitulah, Bu. Biasa, ngejar sebelum akhir tahun."

Paham dengan pekerjaan yang dilakukan Arga, Ratna mengangguk kecil. Dulu saat ia masih bekerja dengan Hasan pun, Ratna sudah terbiasa berkutat dengan dunia arsitektur dan bangunan.

"Bu Levi, benar nggak apa-apa nanti menemani Mas Andro ke lapangan?" tanya Amara setelah menelan kunyahannya.

"Anak-anak gimana? Apa Bu Ratna sendirian nggak repot?"

Levi dan Ratna saling bersitatap, seperti sedang saling bertanya dengan bahasa kalbu.

"Insyaa Allah, Mbak. Nanti kami atur lagi jadwal belajar anak-anak," ucap Levi ragu.

"Ada apa memangnya?" Arga bertanya penasaran.

"Tuh, Gita minta balik ke Jakarta. Padahal pembangunan panti belum kelar."

Setelah mendengar penjelasan Amara, Arga mengerti sekaligus bingung. Sepengetahuannya, adik iparnya itu lebih mirip pengangguran daripada seseorang yang menjabat sebagai direktur marketing. Jadi untuk apa Anggita terburu-buru balik ke Jakarta tanpa alasan yang jelas? Arga curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian kemarin.

"Nggak pa-pa, Mbak Amara. Nggak usah khawatir. Nanti saya sama Mbak Ratna bisa atur jadwal, kok. Lagipula sebentar lagi juga selesai."

"Bu Ratna, Bu Levi, saya benar-benar minta maaf atas sikapnya Anggita." Amara mendesah pelan. "Mungkin adik saya itu memang terlihat cuek dan angkuh. Tapi sebenarnya dia itu baik dan peduli."

"Iya, Mbak Amara. Saya tahu kok. Mungkin memang Mbak Gita punya urusan yang harus diselesaikan di Jakarta."

"Kira-kira berapa lama lagi selesainya?" Arga tengah memikirkan sesuatu.

"Tadi katanya Mas Andro sudah delapan puluh persen. Mungkin seminggu lagi rampung," Amara menjawab suaminya.

Meski berat, akhirnya Arga tarik napas sebelum kembali bicara. "Ya sudah, kamu di sini dulu saja sampai selesai."

Amara menatap tak percaya hingga tak berkedip. "Hah?"

"Kenapa? Bukannya kamu juga masih mau tinggal di sini?"

"Tapi kan, Ga—"

"It's okay." Tangan kanannya terulur membelai lembut puncak kepala Amara dengan senyum terulas di wajah.

Lagi-lagi, Amara merasa hatinya terbagi dua. Senang sekaligus sedih. Senang karena keinginannya terkabul. Sedih karena harus kembali berpisah dengan suami tercinta. Memang benar ternyata yang namanya hubungan jarak jauh itu berat. Baru wacana saja sudah membuat Amara menghempas napas berat. Apalagi kalau sudah benar-benar menjalani. Padahal kali ini Amara sedang tidak ingin sama sekali berpisah dari Arga.

"Nggak ah, Ga. Nggak kuat jauh dari kamu," ucapnya bergelayut manja.

"Ya ampun, belum kelar film romantisnya? Males deh gue." Anggita yang baru saja kembali dari dapur berujar sebal lalu berbalik meninggalkan ruang makan.

"Udah nggak usah diladenin. Lagi galau dia," bisik Amara yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Arga.

Ratna dan Levi yang menjadi penonton semakin canggung.

"Saya nggak apa-apa kok, Mbak. Insyaa Allah kami bisa membagi waktu." Levi berucap mantap. Ingin percakapan ini segera tuntas agar bisa cepat meninggalkan ruangan itu.

"Kalau nggak begini saja. Minggu depan pas weekend kita balik lagi kesini."

Amara menatap tidak percaya. Tumben sekali suaminya ini mudah luluh dan mengalah. Malahan sekarang Arga sedang tersenyum lembut padanya. Sepertinya Amara mengendus aroma-aroma mencurigakan. "Serius kamu, Ga?"

"Serius, Sayang."

"Aah, jadi makin sayang sama kamu."

"Makannya nggak dilanjut?"

"Kok aku jadi males makan ya." Amara mengerucutkan bibirnya.

"Mau disuapin?"

"Mauuu."

Arga menyendok nasi goreng di piring Amara. "Aaaa?"

"Aaaa ... mmmhhh. Tuh kan jadi enak kalo disuapin suami."

Ratna dan Levi sama-sama tahan napas.

.

==========================

.

Andro menatap nanar. Sementara pikirannya sibuk ber-pro dan kontra tentang ini dan itu. Sampai ia tidak mengerti harus bagaimana bersikap ketika akhirnya sosok yang membuatnya gundah beberapa hari ini sudah muncul di hadapan. Satu jam sebelumnya ia menerima telepon dari Retha. Wanita yang tadinya ia harapkan menjadi calon mertuanya itu memintanya untuk datang ke hotel Rudita.

"Syahdan ..."

"Nama saya Andromeda."

Sosok di depannya itu menarik napas dalam. Matanya menatap penuh makna.

"Saya ..."

"Saya tahu siapa anda."

Dan ternyata ... ini tujuannya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Apa anda ingin bertemu saya sekedar untuk basa-basi?"

Aura dingin menciptakan ketegangan di antara kedua manusia itu. Yang satu menatap penuh kerinduan. Yang satu menatap penuh amarah.

"Um, gimana kalo kita semua duduk dulu." Retha berucap kikuk pada kedua pria yang mengapitnya. Lalu inisiatif untuk duduk terlebih dahulu di sofa dalam ruang kerjanya.

Meski enggan, Andro dan Hasan sama-sama mengikuti. Andro terlihat mengambil posisi terjauh. Menjarak diri dari sosok yang selama ini sangat dibencinya.

Situasi di ruangan itu benar-benar hening. Tidak satupun dari keduanya mau memulai buka suara. Retha yang berada di antara keduanya mulai gerah. Meskipun hembusan AC di ruangan itu sangat sejuk.

"Eh, Andro mau minum apa? Biar saya pesan ke sekretaris saya."

"Terima kasih, Bu Retha. Tapi maaf, saya tidak haus."

"Syahdan, saya—"

"Sudah saya katakan nama saya Andromeda."

Retha menunduk dengan lidah kelu. Sepertinya apapun yang ia usahakan untuk membantu kedua manusia itu akan serba salah. Jika ia keluar ruangan meninggalkan mereka, khawatir terjadi keributan. Jika ia tetap berada di sini menjadi pengawas, khawatir menciptakan ketidaknyamanan. Diam-diam matanya terus-terusan mengamati keduanya secara bergantian.

"Kamu ... sudah makan?"

"To the point saja. Saya tidak bisa berlama-lama," balas Andro ketus.

"Andro ..., maaf." Hasan tertunduk sendu. "Maafin Papa."

"Apa?! Papa?" Andro melengos. "Papa saya sudah lama tiada."

Kecewa, Hasan mengangkat kepala. Menatap sayu pada putra yang telah lama ditinggalkannya.

Retha mengerti bagaimana perasaan Andro. Karena anak-anaknya pun mengalami hal yang sama. Kehilangan ayah dan ibu mereka di waktu kecil. Tapi ia juga mengerti bagaimana perasaan Hasan. Karena peran mereka sama.

"Anda tidak punya hak mengaku sebagai papa saya."

Jleb! Tidak punya hak. Kata-kata itu mengiris dada Hasan. Menimbulkan nyeri dan sesak yang teramat dalam.

"Saya tahu itu. Kamu benar, saya tidak punya hak untuk itu."

"Bagus kalo anda sadar diri. Saya tidak perlu capek-capek menjelaskan kenapa."

Semakin bingung, Retha berkali-kali tarik napas. Niatnya benar-benar tulus ingin membantu ayah dan anak yang telah lama berpisah ini kembali bersatu. Tapi apa? Yang sekarang disaksikannya hanyalah pemandangan yang menyakitkan mata.

"Tapi saya ingin kamu tahu. Ada seorang anak kecil yang fotonya selalu saya pandangi setiap malam. Yang selalu saya dekap saat tidur. Yang selalu hadir dalam mimpi saya. Bertemu dalam mimpi pun rasanya seperti nyata." Tak sadar, mata Hasan sudah basah.

"Saya tahu. Ini semua salah saya. Kesalahan saya tidak termaafkan. Tapi saya ..." Hasan terdiam sesaat berusaha mengendalikan emosinya agar tetap tenang. Meskipun suaranya bergetar hebat.

"Saya hanya ingin anak dalam foto itu tahu betapa saya menyayanginya. Merindukannya."

Kembali melengos, Andro sama sekali tidak peduli dengan kata-kata yang baru saja ia dengar.

"Maaf Bu Retha, apa ada keperluan lain yang perlu Bu Retha sampaikan? Kalau tidak ada saya harus segera pamit. Kasian ibu saya repot sendirian di rumah." Andro melirik tajam.

"Ah ..." Retha melirik pada Hasan yang diam tertunduk. Dapat dilihatnya sepatu pria itu tengah basah menampung tetesan dari wajahnya.

Mungkin memang sekarang belum waktu yang tepat.

"Ya sudah kalo begitu. Maaf kami sudah mengganggu waktu kamu." Retha tersenyum pahit.

"Baik. Saya permisi."

Andro bangkit lalu berdiri sejenak di tempatnya. Memandang pria yang tengah menangis itu dalam hening.

"Tolong. Jangan pernah muncul dalam hidup kami lagi."

Keluar dari gedung bertingkat dua itu, Andro melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Amarahnya menggebu-gebu. Mengambil alih semua logika dan akal sehatnya. Ia tahu harus kemana untuk melampiaskan semuanya.

Motornya berbelok ke sebuah camp muay-thai boxing di area Badung. Sudah setahun ini Andro giat berlatih di sana atas rekomendasi dari salah seorang kenalannya yang juga berlatih di sasana itu. Termasuk bantuan potongan harga.

Mengerahkan seluruh tenaga, Andro melampiaskan semua emosi yang menghimpitnya. Tak tanggung - tanggung ia melancarkan serangan bertubi-tubi pada lawannya yang adalah seorang bule asing. Dari mulai jab, strike, cross, smashing-elbow, knee-bomb, jumping foot-thrust, semua jenis serangan keras ia kerahkan untuk menghabisi lawannya hingga babak belur. Hingga sang wasit terpaksa menarik tubuhnya mundur karena peringatannya tidak dihiraukan oleh Andro.

"What's wrong with you, man? Sick!" Sang lawan yang sudah terkapar di lantai ring merutuk dengan napas tersengal.

Di pinggir arena, Andro berusaha mengambil napas karena energinya benar-benar terkuras.

"Sedang ada masalah?" Kadek, sang wasit yang memang sudah dikenalnya beberapa bulan ini menepuk bahunya.

Enggan menjawab, Andro keluar dari arena menuju ruang ganti. Membuat sang wasit hanya bisa menggeleng-geleng sendiri menatap kepergiannya.

"Wow, she's hot as hell!"

"Hahaha. I met her few days ago."

"Ask her to join us."

"Tonight?"

"Yea."

Terdengar percakapan tiga pria bule di belakang punggung Andro.

Sudah biasa Andro bertemu dengan mereka. Tapi tak ada satupun yang ia tahu namanya. Andro bukan orang yang mudah bersosialisasi dan mengakrabkan diri.

"No way, man. I'm gonna bring Britney tonight."

"F*ck! How many girls you dated exactly?"

"Hahahaha. I'll give you one."

"By the way, what's her name?"

"That girl? The one with the big b**bs?"

"Yea right."

"Hmmm, Engjita (Anggita)?"

"How does it spell?"

"Hahahaha. Who cares!"

Pria bule yang baru saja menjawab dengan tawa lebar tidak sadar jika Andro sedang berdiri di belakangnya sambil menatap foto wanita yang muncul di HP milik bule itu.

Duaaakkk!

Bule itu tersungkur jatuh menabrak bangku setelah Andro melancarkan serangan keras dari belakang.

"What the f*ck!"

"Hey, you!"

Kedua teman bule itu berusaha membalas serangan mendadak Andro tadi. Pukulan dibalas dengan tendangan, sikutan, pitingan, hingga Andro merasa kewalahan. Ditambah lagi dengan bule yang tadi ditendangnya sudah bangkit dan ikut bergabung mengeroyoknya.

Perlawanan satu lawan tiga yang tak terelakkan. Untungnya Andro lebih banyak menguasai teknik serangan dibanding mereka. Pelatihnya mengatakan jika kekuatan Andro ada pada tendangan. Andro tak segan-segan memanfaatkan kakinya untuk itu. Hingga salah seorang bule jatuh terduduk dan tak kuat lagi untuk bangkit.

"Sh*t! Stop!" teriaknya garang pada kedua temannya yang juga hampir kehabisan tenaga.

Telunjuk Andro menunjuk tepat di pucuk hidung bule yang ia serang di awal tadi. "I warn you! Stay away from that girl!"

"Who the hell are you? And who the hell is she?" tanya bule satunya yang sedang mengusap darah yang tengah mengucur keluar dari hidungnya.

Andro menggeram marah saat meneriakkan, "She's mine!"

Meraih ranselnya, Andro berjalan meninggalkan tempat itu. Tujuannya kesana untuk melampiaskan amarah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dadanya naik turun akibat menampung api yang kian bergejolak membakar akal sehatnya.

Motornya melaju cepat dalam perjalanan kembali ke vila. Emosi di dadanya kian meluap hingga tidak tahu harus ditumpahkan kemana. Namun di pertengahan jalan Andro tiba-tiba menginjak rem mendadak hingga bannya berdecit nyaring. Membuat barisan kendaraan di belakangnya terpaksa rem mendadak dan melayangkan umpatan padanya. Untung saja tidak ada kecelakaan beruntun yang terjadi akibat ulahnya. Tapi Andro tidak peduli. Ia berbelok menuju sosok yang tadi terlewati titik matanya. Sosok itu baru saja keluar dari salah satu butik besar.

Andro memarkir motor sembarangan lalu berlari menghadang.

"Kita perlu bicara," lontar Andro padanya.

"Lo ... ngapain lo di sini?"

"Kita perlu bicara, Gita."

"Sori. Gue nggak ada waktu.

"Gita!" panggilnya tegas.

"Heh? Tumben lo nggak manggil gue pake embel-embel 'mbak'."

"Bisa kita bicara?" Pertanyaan mengandung unsur paksaan keluar dari Andro.

"Enggak. Gue nggak punya waktu dan gue nggak mau." Anggita melengos tak acuh lalu melanjutkan langkahnya melewati Andro.

Dengan cepat Andro menarik tangannya hingga tubuhnya terpaksa berbalik menghadap Andro.

"Apaan sih lo!"  Tapi Anggita berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman yang tidak begitu kuat.

"Saya perlu kamu."

"Hah?"

"Please?"

"Untuk apa?"

"Saya ..." Andro menarik napas bersamaan dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh. "Aarrgh!"

Mengurungkan niat dan menelan kembali kalimat yang sudah di ujung lidah, Andro memilih berjalan menjauhinya. Harga dirinya terlalu besar untuk kembali menjilat ludah.

Anggita yang sudah telanjur kesal berlari kecil lalu balas menghadangnya.

"Cepetan ngomong." Kedua tangannya menyilang di depan.

"Lo mau bicara apa?"

Sial! Benar-benar sial! Andro merutuk dalam hati. Haruskah ia mengalah dengan egonya?

"Eh robot, kenapa malah diam? Gue nggak punya waktu banyak."

Andro masih menatapnya dalam diam.

"Ada hal penting apa yang mau lo omongin?"

"Nggak ada. Cuma ... hufffth ..." Andro menghembus berat.

"Hati-hati di jalan. Semoga perjalanan pulang kamu lancar."

Derap langkah sepatu boots mengiringi kepergiannya. Meninggalkan Anggita yang masih menganga lebar.

Whaaat the ...??? Gue udah gila kali ya mikir dia mau mengakui perasaan. Brengsek lo manusia besi! Semoga jenazah lo ditolak bumi!

-------------‐-------------------------------------------------

Buat yg kangen sama Anggita 😘

Buat netijen hatersnya Andro 😁

Jawaban dari pertanyaan thor diatas:

Boyz II Men - Four Seasons of Loneliness

Selamaaattt buat yg benar!!! Cukae!!! Omedettou!!! 🥳🥳🥳

Artinya kita seumuran 😆😆