webnovel

I Miss You but I Hate You

Adamantine 25

I Miss You but I Hate You

Sakit! Sesak! Tidak tahu bagaimana menggambarkan segala rasa buruk yang bergejolak di dadanya, Amara hanya bisa meraung di dalam kamarnya.

Bagaimanapun Arga menjelaskan, tetap saja rasanya sesak. Mengetahui bahwa Arga dan sang ibu tiri, Aletta memiliki sejarah asmara di masa lalu.

Sialnya lagi, Hardi tidak pernah mengetahui hubungan backstreet mereka. Kemarin setelah selesai bercerita, Arga memohon padanya untuk tidak menceritakan hal itu pada ayah angkatnya. Amara tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Sekarang ia dilanda kebingungan. Sebagai istri Arga nantinya, bagaimana ia harus bersikap pada si muka-plastik itu?

Kecewa berat. Mungkin dua kata itu yang paling tepat mendeskripsikan apa yang dirasanya sejak pulang ke rumah. Pria yang ia sangka titisan terbaik dari Tuhan, ternyata sama busuknya dengan Alvaro. Apakah memang semua pria sama busuknya?

"Tidak! Ayah tidak begitu!" Suara dalam kepalanya menjawab.

"Lho, emangnya lo tahu gimana kehidupan Ayah dulu?"

"Enggak, sih. Tapi gue yakin Ayah nggak begitu."

Suara dalam kepalanya terbagi menjadi dua kubu. Entah yang mana yang Amara mau dengar.

"Mbak Amara, nggak makan malam?" Suara Bu Susi terdengar memanggilnya dari luar pintu kamar setelah didahului suara ketukan.

Makan malam? Amara menatap lurus pada jam beker digital di atas meja. Jam 20.10.

Amara menghela napas pelan lalu mengusap wajah sembabnya dengan jari-jemari. Seharian ini ia sedang melakoni drama 'ratapan calon istri akibat calon suami yang tidak jujur'. Tentu saja efeknya menjadikan kantung matanya menebal dan kelopak matanya menyipit.

Bagaimana ia bisa keluar kamar dalam kondisi begitu? Bisa gawat jika Mamanya melihat wajah sembabnya ini. Pasti ia akan diinterogasi berhari-hari. Apalagi perang dingin antara mereka sudah berakhir.

"Saya nggak lapar, Bu Susi." Amara menjawab sedikit parau. Ia sedang berbohong. Tentu saja ia lapar berat.

"Mbak Amara nggak apa-apa? Belum makan dari siang, lho."

"Saya ada makanan di kamar, Bu Susi." Lagi-lagi Amara berbohong. Mana pernah ia membawa makanan masuk dalam kamarnya.

"Baik, Mbak." Setelah itu terdengar langkah kaki Bu Susi meninggalkan depan kamarnya.

Amara bernapas sedikit lega. Setidaknya ia tidak perlu keluar kamar untuk menjawab.

Layar ponselnya menyala. Ada notifikasi pesan masuk. Dalam hati ia berharap kecil akan sosok pengirim pesan itu. Karena sejak mereka berpisah kemarin, sama sekali tidak ada kabar dari Arga. Padahal seharusnya pria itu terus-menerus menghubunginya, meyakinkannya, mencari tahu kabarnya. Ya seperti pria-pria pada umumnya yang menunjukkan penyesalan setelah melakukan kesalahan pada wanitanya.

"Wanitanya? Pede banget lo, Amara!" Sindirnya pada dirinya sendiri.

Clint : How ya doin, Amara? Busy with the wedding stuffs?

Lihat, kan? Lagi-lagi Amara harus menerima kenyataan pahit. Sia-sia ia berharap. Seorang Arga tidak akan mungkin pernah menghubunginya duluan. Meskipun jelas-jelas ia yang berbuat salah.

Amara tersentak menanggapi suara dalam kepalanya.

"Memangnya dia bikin salah? Dia kan cuma cerita soal masa lalunya."

"Masa lalu yang masih berhubungan dengan masa depan, Amara. Ibu tirinya itu mantan pacarnya, lhooo. Mantan pacar! Wake up, girl!"

Suara yang satunya seakan kembali menampar kesadarannya. Ya, mantan pacarnya itu ibu tirinya. Berbeda kasus dengan Amara dan Alvaro. Mereka tidak lagi berhubungan. Bahkan sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar pria brengsek itu.

Ya, kasus mereka berbeda. Amara kembali menatap layar ponselnya.

Me : Fine, thanks! Sorry, busy day!

Amara mengetik balasan untuk Clint.

Sementara di sebuah rumah lainnya, seorang manusia yang sedang berada di kamarnya juga, sudah berkali-kali melakukan aktivitas yang sama selama dua jam ini.

Mengetik sesuatu di layar lalu kembali menghapusnya. Ketik - hapus. Ketik - hapus. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu.

Rambut di kepalanya sudah berbentuk tak karuan karena diusap gusar berkali-kali. Frustasi sendiri karena bingung harus bagaimana.

Lagi-lagi ia cuma bisa istighfar dan berdzikir dalam hati. Memohon petunjuk Allah SWT akan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Kenapa sulit sekali untuk sekedar menanyakan kabar wanita yang sudah pasti sedih itu akibat mendengar kejujurannya akan kisah masa lalunya yang memang buruk. Bukan buruk, tapi sangat buruk.

Itulah alasan utama kenapa beberapa tahun yang lalu ia memutuskan tidak akan pernah berhubungan dengan wanita manapun. Masalahnya dengan wanita sudah banyak. Apalagi Aletta, wanita siluman itu salah satu penyesalan terbesar dalam hidupnya. Cukup Mama Jihan dan Sakya saja wanita-wanita yang dekat dengannya.

Cukup bagi Arga. Tapi tidak bagi Mama Jihan. Arga terus-menerus didesaknya untuk segera menikah. Hingga akhirnya Arga memberanikan diri untuk minta dicarikan calon istri oleh murobbi-nya.

Marisa, wanita yang mau menerimanya, sudah tahu bagaimana masa lalunya. Marisa, wanita yang pernah dicintainya di masa lalu, mau menerimanya apa adanya sebagai seorang imam.

Tapi hari itu, Arga sadar perasaanya untuk Marisa tak lagi sama. Cintanya untuk Marisa ternyata sudah pupus. Sesering apapun Arga memunajatkan do'a untuk Marisa, selalu wajah Amara yang muncul di kepalanya. Bagaimanapun marahnya ia dengan Amara, tetap saja jantungnya berdetak kencang untuk wanita itu.

Tapi sekarang ... bagaimana jika Amara tidak bisa menerima dirinya yang tidak sempurna? Bagaimana jika Amara merasa jijik dengannya? Bagaimana jika ... ah, terlalu banyak jika! Keragu-raguan itu datangnya dari setan.

Segera Arga tepis semua prasangkanya. Bola matanya kembali menatap layar. Dalam hati menyebut 'bismillah' sebelum akhirnya jari-jemarinya yakin untuk menutul layar ponsel.

Bip!

Kembali layar ponsel Amara menyala. Sebuah pesan kembali masuk. Ia mulai jengah meladeni percakapan dari Clint yang tidak penting. Ia tahu adiknya bisa mengurus pembangunan panti dengan baik. Clint tidak perlu terlalu khawatir sampai mengeluh seperti tadi.

Arga : Assalamu'alaikum.

Kedua matanya melotot membaca tulisan di layar. Lalu punggung tangannya terangkat mengucek-ucek mata. Barangkali matanya seliwer dan salah baca.

Amara meraih kacamata minusnya di atas meja. Setelah yakin, kedua matanya kembali membelalak.

Amara mendadak salah tingkah. Bingung. Haruskah ia membalas? Gengsi, dong! Kan masih marah.

Kesal. Tentu saja Amara masih kesal. Tapi ... Amara juga ... kangen. Boleh, kan?

Setelah beberapa kali menarik dan menghembus napas, pikirannya pun memutuskan.

Me : Wa'alaikum salam.

Centang biru dua. Balasannya sudah dibaca. Status pria itu pun masih 'online'.

Arga : Sudah makan?

Pertanyaan klasik, pikir Amara. Lalu kembali berpikir sejenak sebelum membalas. Mau jawab apa? Jujur atau bohong?

Me : Sudah

Bohong saja.

Arga : Alhamdulillah

Amara tersenyum miring. Kalau menurut SOP orang berpacaran, biasanya setelah ditanya, yang ditanya juga menanyakan balik hal yang sama. Dalam hal ini, seharusnya Amara juga bertanya balik apakah Arga sudah makan?

Tapi tidak. Mereka tidak sedang berpacaran. Jadi Amara tidak perlu mengikuti SOP yang sudah ditentukan entah oleh siapa dulunya.

Amara memilih untuk diam saja. Membiarkan Arga yang aktif bertanya. Penasaran, apakah setelah peristiwa curhat-jujur kemarin, Arga merasa takut akan kehilangan dirinya?

Amara sendiri berharap begitu. Semua wanita juga berharap begitu. Kalau sang pria rela berjuang apapun agar tidak kehilangan wanitanya.

Matanya kembali memperhatikan layar. Status pria itu masih 'online'. Tapi tidak ada kata-kata 'is typing' di atas layar.

Padahal Arga juga sama seperti dirinya. Tengah berpangku tangan di atas meja menunggu ketikan Amara selanjutnya.

Sepasang manusia yang saling menunggu, gengsi memulai, namun saling merindu.

Hingga satu jam kemudian pun, tidak ada ketikan baru dari keduanya yang muncul di layar. Sama-sama menahan diri hingga terlelap. Arga merebahkan kepala di atas meja. Amara merebahkan kepala di atas karpet.

Keduanya terlelap dalam mimpi yang berbeda. Mimpi-mimpi yang menakutkan.

Kriiiiiiiiing! Alarm beker berbunyi kencang. Membangunkan Amara dari mimpi yang membuat napasnya tersengal. Punggung tangannya mengucek mata, dan betapa kagetnya Amara ketika menemukan kedua matanya basah. Ia menangis lagi?

Dengan malas, Amara menengadah. Suara adzan dari masjid di komplek perumahan itu terdengar. Dengan malas, ia berdiri untuk mematikan suara beker yang memekakkan telinga, mengalahkan suara adzan yang terdengar syahdu.

Amara beranjak masuk ke kamar mandi. Mencuci wajah dan tangannya dengan sabun. Lalu bercermin. Wajahnya benar-benar kacau balau. Matanya pun masih membengkak merah. Segera ia meraih waslap dalam kabinet lalu membasahi dengan air hangat di wastafel. Nyamannya saat merasakan kain hangat itu menempel di kedua matanya yang terpejam. Amara mengulang beberapa kali hingga sipitnya berangsur melebar.

Amara berjalan menuju keran di tub, lalu berhenti. Baru saja teringat kalau sedang libur sholat. Hari kedua tanggal merah. Dengan tersenyum, ia keluar dari kamar mandi.

Kembali terduduk di atas karpet, meraih ponselnya yang tinggal 15 persen dayanya. Lalu diraihnya power-bank yang ada di atas kasur. Amara memiliki banyak alat pengisi daya portable itu. Alasannya, karena ia tidak suka diam menunggu sementara ponselnya di-charge.

Sambil mengisi daya, Amara kembali mengamati layar ponselnya.

10 new notifications.

Segera ia buka pesan-pesan baru itu. Egonya mulai bersorak-sorai merasa menang. Ralat, gengsinya yang menang.

Dan dalam seketika egonya kembali jatuh. Semua sepuluh pesan baru itu dari Clint yang sibuk mengeluhkan kinerja Anggita.

Amara membanting ponselnya kesal di atas karpet.

So, it's a war?!

Berbeda dengan Amara. Arga yang baru saja pulang dari masjid setelah menunaikan sholat subuh, belum sempat mengecek ponselnya. Selesai mengganti baju kokonya dengan kaos kebesaran, Arga berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sendiri sarapannya, seperti yang biasa ia lakukan setelah Mama Jihan meninggal.

Arga meraih dua bungkus mie instant rasa soto di dalam lemari. Meracik bumbu di mangkuk, sembari menunggu rebusan mie matang. Dua bungkus mie cukup untuk mengganjal sementara perutnya yang keroncongan karena tidak diisi saat makan malam.

Setelah menambahkan dua butir telur ke dalam rebusan mie, semenit kemudian Arga mematikan kompor lalu meniriskan mie sebelum dimasukkan ke dalam mangkuk. Tuang air panas sedikit dari termos. Dan jadilah mie rebus telur favoritnya.

Sembari menunggu mie-nya agak adem, Arga menyalakan ponselnya yang sudah selesai diisi daya. Sama sekali tidak ada notifikasi pesan baru.

Arga menghembus napas pelan. Ia tahu Amara gengsi untuk meneruskan pembicaraan. Kalau Arga? Dia tidak gengsi. Hanya sedang meneliti bagaimana karakter calon istrinya saat sedang ngambek. Yang sekarang malah membuatnya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Arga menekan gambar telepon berwarna hijau lalu menempelkan ponsel di telinga kanannya. Tidak lupa menyungging senyum di wajah.

Sementara Amara yang tadi benar-benar kesal setengah mati, memutuskan untuk segera mandi dengan air dingin. Mungkin uap-uap panas di kepalanya bisa padam.

Tanpa mendengar dering lagu The Last Flight Out yang dinyanyikan di ponselnya.

Amara membuka penuh kran shower. Suara deras air yang jatuh menutupi suara panggilan masuk yang ia harapkan sejak kemarin. Dinginnya air yang mengalir di setiap inchi tubuhnya terasa menyejukkan. Menghapus panas di dadanya yang bergemuruh. Menyurutkan emosi Amara yang sudah siap meledak.

Selesai mengguyur badan di bawah shower, Amara meraih handuk kimono ungu favoritnya. Mengikatkan talinya di pinggang, lalu mengeringkan rambut dengan handuk kecil di depan kaca. Ia meraih hair dryer yang menggantung di dinding lalu mengarahkan benda itu ke setiap bagian rambutnya yang masih basah.

Tidak butuh waktu lama bagi Amara, karena kini rambutnya pendek sebahu. Sejak berhijab, Amara memutuskan untuk memendekkan rambut panjangnya. Ia belum tahu bagaimana caranya merawat rambut yang lembab karena terus-menerus ditutup sepanjang hari. Jadi untuk amannya, dipotong saja.

Selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, Amara beranjak keluar lalu duduk di depan meja rias. Mengaplikasikan basic make-up di wajahnya. Meskipun ia belum punya rencana akan kemana hari ini. Yang jelas, Amara harus segera keluar rumah.

Untuk apa juga membuang waktu dan pikiran demi pria yang bahkan tidak sudi membuang waktu untuk memikirkannya. Sudah cukup drama 'ratapan sang calon istri'-nya. Sekarang waktunya menjalankan drama 'bodo amat'.

Amara memilah-milah baju mana yang akan dikenakannya hari ini. Yang jelas, ia harus kelihatan fresh, ceria, dan tentu saja ... sem-pur-na.

Atasan tunik polos berwarna olive dipadu dengan outter bermotif abstrak dan celana kulot abu-abu sebagai bawahan, menjadi pilihannya. Sedangkan hijab scarf berwarna abu-abu polos yang dipilihnya untuk menutup kepala.

Amara mematut dirinya di depan cermin. Berputar-putar mengamati penampilannya dan ... perfecto!

I'm so scared that you will see

All the weakness inside of me

I'm so scared of letting go

That the pain I feel will show

Oh

I know you want to hear me speak

But I'm afraid that if I start to

That I'll never stop ...

Ponselnya yang tergeletak di atas karpet kembali berdering. Amara mendongak pada jam dinding di atas. Masih setengah tujuh. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini? Lalu pikirannya tertuju pada Clint. Mungkin karena Amara sama sekali tidak merespon semua curhatannya di WA, Clint memutuskan untuk meneleponnya saja. Amara mengangkat kedua bahunya malas.

I want you to know

You belong in my life

I love the hope

I see in your eyes

For you I would fly

At least I would try

For you I'll take

The last flight out

I cannot hold back the truth no more

I let you wait too long(wait to long)

Although it's hard

It scares me so

A life without you scares me more

Lirik lagu dari nada dering itu benar-benar mengganggunya. Ia memang sengaja memasang lagu itu sebagai nada deringnya saat ia sedang putus asa karena mendengar Arga akan menikahi Marisa.

Hei, inget! Jangan lupa ganti tuh lagu. No more mellow-mellow! Ketusnya pada dirinya sendiri saat menunduk untuk meraih ponsel pintar itu.

Namun betapa kagetnya Amara saat melihat nama yang tertera di layar. Bukan Clint. Amara menggigit bibirnya gelisah.

Giliran nggak di telepon, Amara marah-marah. Tapi begitu ditelepon seperti sekarang, Amara justru bingung harus bagaimana.

Dasar hati sama mulut suka nggak sinkron. Rutuknya pada diri sendiri.

"Assalamu'alaikum, Amara. Selamat pagi." Suara di seberang sana yang duluan menyapa begitu tombol terima ia tekan.

Amara tidak bisa bohong. Ia memang benar-benar merindukan sang pemilik suara merdu itu.

"Walaikum salam," jawabnya kaku dan dingin tak membalas ucapan selamat pagi.

"Maaf mengganggu pagi-pagi." Amara yakin sang pemilik suara itu sedang tersenyum tulus padanya.

"Hm."

"Sudah sarapan?"

"Belum." Kali ini Amara memilih untuk jujur.

"Sarapan dulu, biar nggak sakit," balasnya perhatian.

Amara memang masih marah, tapi jantungnya tidak mau diajak kompromi. Tetap saja berdegup kencang. Apalagi kali ini suara itu benar-benar terdengar lembut dan tulus. Menggetarkan hati yang mulai goyah.

"Hari ini kamu ada acara?"

"Kenapa emangnya?" balasnya sedikit ketus.

"Mmm ... kita perlu fitting kan?" Tanpa diketahui oleh Amara, pria itu sejak awal berbicara sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Itulah Arga jika sedang gugup.

"Nggak tau," jawab Amara tak acuh.

Terdengar suara helaan napas dari pria itu. Dari nada Amara berbicara saja, ia tahu betul wanita ini masih kesal padanya.

"Amara ...," Kalimatnya terjeda. Lalu ia menarik napas panjang. "Maaf. Aku minta maaf sudah bikin kamu kecewa. Aku tahu ini semua nggak mudah buat kamu."

Amara menghenyakkan diri di atas ranjang. Perlahan menarik bantal di atas pangkuannya.

"Aku tahu masa laluku memang berat untuk diterima. Tapi aku harap ... kamu mau menerima aku yang sekarang untuk menemani kamu hingga masa depan. Sampai kita tua. Sampai akhir hidup."

Tak kuasa, Amara meremas bantal di pangkuannya.

"Aku mau kamu yang jadi bidadariku di dunia dan akhirat."

Tak terasa sebulir air lolos dari mata kanan Amara. Ujung jari telunjuknya menyapu di pipi.

Sekali lagi terdengar desahan napas Arga yang berat. "Tapi ... kalau kamu nggak bisa, aku mengerti. Itu hak kamu. Dan bukan salah kamu."

Sesak. Kenapa rasa sesaknya melebihi kemarin? Amara tidak tahu. Apakah ini efek dari 'tanggal-merah'-nya? Betapa mudahnya hatinya mengalami mood-swing. Air matanya kembali menetes. Kini lebih banyak.

"Kamu nyebelin, Ga! Sudah capek-capek aku ngompres mata, dandan maksimal, luntur semua!

"Hah?" kaget Arga saat mendengar rutukan sebal Amara. Tapi wanita ini sedang menangis. Suara sengguknya terdengar jelas.

"Kamu tau nggak sih kalo semaleman aku nangis gara-gara kamu? Aku pusing mikirin kamu dengan si muka-plastik itu! Aku sebal! Aku cemburu! Aku terluka! Kamu tau nggak, siiih?" Amara menggeram, setengah menjerit.

"Amara ..."

"Sebelum aku berubah pikiran, aku mau kita ke KUA hari ini juga. Kamu dengar, kan? Kita nikah hari ini juga! Aku akan bilang Mama. Kamu bilang Pak Hardi. Tapi, jangan bilang ibu tiri kamu. Aku nggak mau dia ikut hadir. Oke?"

Arga yang sedang tersenyum lebar langsung menyambut ajakan itu penuh semangat. "Oke. Kita nikah hari ini."

Telepon ditutup dengan salam dari Arga. Amara mengerjapkan mata berkali-kali.

Serius??? Nikah hari ini??? Amara, you're crazy!

Amara menggeplak kepalanya sendiri. Kok bisa nekat bilang begitu? Tapi memang benar, ia harus buru-buru sebelum kembali berubah pikiran. Sebelum galaunya kembali menyerang.

Cepat-cepat ia menghampiri cermin di meja rias lalu sedikit membenahi dandanannya. Menambahkan sedikit sapuan blush on, menegaskan garis kontur pipi, lalu menambahkan eyeliner yang tadi memang belum menghias matanya. Ia mau menikah. Dandannya harus lebih maksimal.

Dengan terburu-buru ia keluar kamar lalu menekan tombol lift dengan tak sabar. Begitu sampai di lantai bawah, ia yang masih mengenakan sendal rumah berlari-lari mencari sosok yang harus dibawanya ikut ke KUA.

"Maaa!"

"Mamaaa!"

Amara berlari menyusuri setiap ruang di lantai satu. Ternyata lelah juga jogging mengelilingi istana Mama-nya ini.

"Maaa!" Akhirnya Amara menggedor pintu kamar tidur sang mama. Lalu memutar-mutar kenopnya. Masih dikunci.

Masa iya jam segini masih belum bangun?

"Maaa!"

"Mbak Amara, ada apa?" Bu Susi yang tadi sedang menyiram anggrek-anggrek di pinggir kolam, berlari menghampirinya.

"Mama mana, Bu?" tanya Amara dengan napas tersengal-sengal.

"Nyonya sudah berangkat ke bandara, Mbak."

"Ke bandara? Memangnya mau kemana?"

"Ke Bali kalau nggak salah dengar."

"Aaarrrghhh! Pasti Clint!" geram Amara kesal.

"Jam berapa pesawatnya, Bu?"

"Saya kurang tahu, Mbak. Tapi berangkatnya belum sampai sejam yang lalu."

Amara membuka layar ponsel lalu menekan sambung cepat ke nomor mamanya. Nada panggil saja yang terdengar. Tapi hingga akhir tidak diangkat. Sekali lagi Amara mencoba, tetap sama saja. Mamanya tidak mengangkat telepon.

Amara melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Jam 07.05. Amara kembali menatap ponsel lalu menghubungi sekretaris Retha.

"Halo, Shinta?" Amara langsung menyapa begitu telepon diangkat pada dering kelima.

"Eh, iya, Bu?"

"Mama saya hari ini berangkat ke Bali ikut jadwal yang jam berapa?"

"Oh, Ibu Retha ke Bali? Saya justru baru dengar dari Ibu. Padahal nanti siang ada meeting denga—"

"Berarti kamu nggak tau. Oke, makasih Shin." Buru-buru Amara menutup telepon.

Amara mengulik kontak lain di ponselnya. Beberapa kali dering berbunyi, Amara menunggu dengan gelisah.

"Halo, Pagi Mbak Amara."

"Pak Ganjar? Lagi nganter Mama saya ke bandara?"

"Oh ... iya, Mbak. Bu Retha ada di sini."

"Lagi di mana sekarang, Pak?"

"Baru masuk bandara, Mbak."

Amara bernapas lega. "Pak, tolong HP-nya serahin ke Mama."

"Halo, Amara."

"Mama, tolong jangan pergi dulu. Aku butuh Mama banget." Amara merengek seperti seorang anak kecil.

"Hah? Kamu kenapa, Sayang?" Retha menegakkan tubuhnya dari sandaran jok mobil.

"Ma, aku mau nikah hari ini juga. Please, Ma. Kita ke KUA."

"Apa???"

====================================