webnovel

Happiness isn't Forever

- Can't you just love me way much more than you love the others? -

***

Udara pagi ini sehat, sejuk, segar. Gratis dibagikan Tuhan untuk dihirup oleh semua makhluk ciptaan-Nya. Menyehatkan paru-paru, melancarkan fotosintesis, meneduhkan sinar mentari yang mulai memancar.

Amara menghirup dalam-dalam seluruh oksigen yang dibutuhkan tubuhnya. Pagi ini semua terasa menyenangkan, menenangkan. Diawali dengan sebuah kecupan cinta yang ia terima saat baru saja membuka mata. Berangkat sholat Subuh berjama'ah sambil bergandengan tangan menuju masjid. Sarapan nasi uduk bersama di jalanan depan masjid. Dilanjutkan dengan ngobrol pagi bersama suami tercinta ditemani kopi kesukaan.

Fabiayyi 'aalaa'i rabbikumaa tukadzdzibaan.

Nikmat Tuhan yang manalagi yang kau dustakan? Baru kali ini Amara merasakan makna surat yang sedang tekun dihapalnya. Ternyata benar yang Arga bilang. Ketika kita mengerti makna bersyukur, maka segala sesuatunya akan terasa nikmat.

"Yuk, masuk." Arga menggamit tangannya. Menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil. Amara mengangguk nurut.

"Ga, kenapa sih harus pagi-pagi begini? Ini masih jam setengah delapan, lho." Amara melirik jam tangannya ketika sudah berada di dalam mobil.

Arga menyalakan mobil lalu memutar tombol AC. "Lebih cepat lebih baik, Sayang. Lagipula, orangnya punya banyak kegiatan. Nanti keburu pergi."

Amara manggut-manggut mengerti. Sesekali ia melempar senyuman pada suaminya yang fokus menatap jalanan.

"Kenapa?" tanya Arga saat menoleh sekilas.

"Nggak pa-pa. Lagi bahagia aja," jawab Amara penuh senyum.

"Alhamdulillah, istriku lagi bahagia. Bahagianya yang lama ya."

"Ih, apaan sih kamu."

"Lho, benar kan? Kalau bahagia itu jangan singkat-singkat amat waktunya. Yang lama, dong. Biar awet."

Amara berkerut bingung. "Awet apa?"

"Awet muda."

Sembari melayangkan cubitan kecil ke lengan suaminya, Amara tersenyum kecut. "Maap deeeh, istri kamu ini udah tua."

Arga tertawa renyah. "Tua umurnya, mukanya nggak kalah sama ABG kok."

"Halah, bisaan aja!"

Perjalanan yang berlangsung dua puluh menit itu tak terasa lama karena sepanjang itu keduanya  sibuk bercengkerama. Bercanda. Berdiskusi. Bahkan main tebak-tebakan. Waktu seakan berlalu sangat singkat. Arga memasukkan mobil ke dalam sebuah halaman rumah yang cukup luas. Luas halaman itu tiga kali lipat dari luas bangunan rumah di tengah-tengahnya. Sebuah rumah mungil yang tak tersentuh arsitektur modern. Kusen pintunya saja seperti bergaya tahun 80-an.

Arga membukakan pintu mobil bagi Amara, lalu menjulurkan tangannya. Memperlakukan sang istri sebagai permaisuri hati. Membuat hati Amara berbunga-bunga bagai padang kembang di taman surga hingga ia tersenyum lebar tak henti-henti.

Lagi-lagi, nikmat Tuhan yang manalagi yang mau didustakan?

Tidak menyangka. Arga yang dulu dingin padanya, menjarak diri, bahkan kebal terhadap godaan, kini bersikap manis sekali. Amara mengibaratkan suaminya itu seperti madu. Sulit diraih. Namun begitu memiliki, manisnya tidak pernah hilang.

Arga menggandeng tangannya menuju teras rumah. Lalu mengetuk pintu depan. "Assalamu'alaikum."

Tidak terdengar jawaban dari dalam rumah.

Sekali lagi Arga mengetuk pintu. Namun kembali tidak ada respon.

Amara mencermati kondisi sekitar. Benar-benar lengang. Seperti tidak berpenghuni. "Kok kayaknya sepi ya? Kamu yakin orangnya ada di rumah?"

"Coba ya aku telp—"

Kreeek!

Pintu itu dibuka dari dalam. Seorang wanita bergamis syar'i berdiri di hadapan mereka.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Suara merdu itu menjawab.

Mendadak senyum yang sedari tadi merekah di bibir Amara musnah. Sepasang matanya mengerjap beberapa kali untuk benar-benar mempercayai apa yang dilihatnya. Benarkah wanita itu yang diinginkan Arga untuk menjadi gurunya?

"Yuk, masuk." Wanita itu mengajak keduanya untuk ikut bersamanya menuju ruang tamu.

"Maaf ya, masih berantakan. Sedang ada keponakan liburan di sini," ucapnya segan sembari membereskan beberapa mainan yang berserakan di sekitarnya.

"Oh, Mbak Sari sedang balik kesini?" tanya Arga padanya.

"Iya, tapi cuma seminggu. Mas Haris lagi ngurus surat-surat di kedutaan. Ayo, silahkan duduk dulu."

Berbagai rasa berkecamuk dalam hati Amara. Kenapa ia harus kembali bertemu dengan wanita itu? Marisa!

"Sa, ini Amara istriku."

Marisa mengulurkan tangan kanannya disertai senyum kecil. Amara yang masih belum dapat menghilangkan keterkejutannya, menjabat kaku.

"Amara."

Arga menarik Amara yang masih terpaku untuk ikut duduk bersamanya. Marisa menyadari situasi yang memang tidak nyaman itu.

"Ah, sebentar ya. Saya buatkan minum dulu," pamit Marisa.

"Nggak usah repot-repot." Amara berkata cepat.

"Nggak repot kok, Mbak." Marisa membalas tersenyum. "Sebentar, ya."

Setelah Marisa berlalu dari hadapan mereka, Amara memicing tajam pada suaminya.

"Apa maksudnya, nih? Kok dia sih?"

"Lho, Marisa itu pinter ngaji. Ilmu agamanya bagus. Lulusan Mesir. Guru di boarding-school Islam. Dia bisa jadi guru yang baik buat kamu."

Amara memutar mata malas. "Hmmm ya, ya, ya. Pinter ngaji. Lulusan Mesir. Guru boarding-school. Hebat ya mantan tunangan kamu itu."

"Mantan tunangan? Mantan tunanganku kan cuma satu."

"Iya. Marisa."

Arga mencubit pipinya gemas. "Mantan tunanganku cuma kamu."

Namun Amara segera menepis tangannya dengan wajah cemberut. "Apaan sih?"

"Ya kamu, cemburu nggak pada tempatnya."

Amara mendelik tajam. "Terus tempatnya cemburu di mana?"

Merasa semakin gemas, Arga tertawa nakal. "Di kamar."

"Iih, apaan sih kamu?"

Sementara sepasang pengantin baru itu asyik saling menggoda, sepasang bola mata yang sedang berkaca-kaca tengah menatap dari bilik dapur. Sebelah tangannya meremas dada. Sakit sekali rasanya. Berbanding terbalik dengan wanita yang sedang ditatapnya, tersenyum bahagia.

Marisa masih ingat kejadian pagi itu. Saat Arga akhirnya bertandang ke rumahnya. Untuk pertama kalinya setelah delapan tahun lamanya mereka putus komunikasi. Marisa pikir hari itu, Arga ingin memastikan masalah pernikahan mereka. Namun yang terjadi, Arga justru memberi kabar buruk, yang dalam sekejap menghancurkan segala mimpi dan harapannya untuk merajut hidup bahagia bersama satu-satunya pria yang ia cintai.

Marisa paham betul jika ternyata Allah menakdirkan garis hidupnya tidak berjodoh dengan Arga. Yang Marisa tidak paham, meskipun ia sudah berusaha keras untuk ikhlas, kenapa rasa kecewa itu tetap ada? Menyakiti hatinya begitu dalam.

"Sa?" Sebuah tangan menyentuh lembut punggungnya dari belakang.

Marisa berbalik dan segera menghambur ke dalam pelukan. "Umiiii ..."

"Lho, kamu kenapa?" tanya Umi Nida pada putrinya yang sedang berurai air mata.

"Kenapa berat ya Umi? Apa Risa belum bisa ikhlas, ya?"

Umi Nida menghela napas lalu mengusap lembut punggung Marisa. "Patah hati itu memang berat, Nak. Tapi kamu harus belajar merelakan rasa itu. Nggak pantas kalau kamu masih menyimpan rasa pada laki-laki yang sudah berstatus suami orang lain. Nggak pantas, Nak."

"Risa tahu, Umi. Tapi ... Risa nggak menyangka akan sesakit ini rasanya."

Umi Nida mengurai pelukannya lalu menarik tangan putrinya untuk ikut duduk bersamanya di bangku kecil.

"Sekarang Umi tanya. Kenapa kamu mau terima tawarannya Arga untuk menjadi pembimbing istrinya?"

Marisa menunduk, menggigit bibir. "Risa pikir, dengan cara begitu Risa akan lebih mudah menerima kenyataan."

"Nduk, ini sama saja kamu mendatangkan bahaya untuk dirimu sendiri. Abah juga sudah melarang kamu, tapi kamu tetap keras kepala. Semakin kamu kenal istrinya, akan semakin sering kamu bertemu Arga, semakin sulit untuk melepaskan rasa. Ayo jujur sama Umi. Kamu sebenarnya pingin sering ketemu sama Arga, kan?"

Terdiam, Marisa tak mampu menjawab. Teropong matanya pun masih tertuju pada jari-jemari yang tengah ia mainkan di atas pangkuan.

Kembali menghela napas, Umi Nida mengusap lembut kepala Marisa. "Ya sudah, sekarang bersihkan dulu wajahmu. Kita temui mereka bareng-bareng. Nggak enak ditinggal kelamaan, tehnya juga keburu adem."

Menuruti kata-kata ibunya, Marisa bergegas membasuh wajahnya sembari melapalkan kalimat-kalimat thoyyibah untuk menenangkan hatinya yang galau. Setelah beberapa kali menarik napas dalam, Marisa kembali memaksakan senyum terukir di wajahnya. "Umi duluan, Risa yang bawa nampannya."

Umi Nida berjalan di depan dan langsung menyapa ramah sesampainya di ruang tamu.

"Masyaa Allah, Mbak Amara cantik ya." Itulah pujian yang terlontar dari bibir Umi Nida seusai bersalaman dengan Amara.

Berbeda dengan Arga yang tertawa kecil, Amara justru tersenyum kaku. Bingung bagaimana harus bersikap dalam situasi seperti ini. Ia bukan orang yang munafik. Jika Amara tidak suka akan sesuatu, biasanya akan terpancar jelas di wajahnya. Bahkan ucapannya. Namun karena sekarang ada nama baik suami yang harus ia jaga, Amara berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Meskipun terlihat aneh di wajahnya.

"Oh ya, Umi dengar ... katanya Nak Arga meminta Marisa untuk menjadi guru ngajinya Mbak Amara. Betul begitu?" tanya Umi Nida sopan.

Meskipun keluarga Ustadz Harun tergolong kaya, namun kehidupan mereka jauh dari kata itu. Mereka tetap menjadi orang-orang sederhana dengan prilaku yang juga membumi. Seperti sikap yang sedang ditampilkan oleh Umi Nida saat ini.

"Iya, Umi. Karena saya yakin Marisa orang yang tepat untuk bisa membimbing istri saya. Marisa memiliki ilmu agama yang baik. Lagipula, Amara juga sudah setuju."

Setuju, karena terpaksa. Keluh Amara dalam hati lalu menunduk untuk menyembunyikan wajah jengkelnya.

"Oh, begitu." Umi Nida melirik pada putrinya yang sejak tadi hanya tertunduk.

"Tapi ... mohon maaf sebelumnya, Nak Arga. Umi ingin berpendapat, boleh?"

"Silahkan, Umi." Arga mengangguk.

Kembali Umi Nida melirik pada Marisa yang sedang sibuk meremas jari di atas pangkuan. "Menurut Umi, tidak pantas rasanya kalau Risa yang dimintai bantuan."

Tertegun, Amara menaikkan wajahnya.

"Kan warga di sini juga sudah banyak yang tahu kalau Risa batal menikah. Saya juga tidak tahu bagaimana kabar bisa berhembus cepat, tapi yang jelas kemunculan Nak Arga dan istri di sini pasti menimbulkan macam-macam persepsi di pikiran orang lain."

Marisa semakin merunduk dan menggigit bibir bawahnya.

"Kita tidak bisa mengontrol pikiran dan perasaan orang lain. Lebih baik menghindari fitnah dengan menjaga sikap kita. Jadi saran Umi, sebaiknya Nak Arga mencari orang lain untuk membantu Mbak Amara."

Arga tertegun. Sama sekali ia tidak pernah terpikir mengenai masalah ini. Perkataan Umi Nida memang benar. Tidak seharusnya ia dengan egois meminta bantuan Marisa. Nama baik Ustadz Harun, Umi Nida, dan Marisa yang akan menjadi taruhannya.

"Astaghfirullah," ucap Arga lirih. "Afwan, Umi. Saya sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Saya paham, Umi."

Amara mengamati sikap Marisa yang seperti wanita ketakutan. Terlihat aneh di mata Amara. Namun Amara bernapas lega, setidaknya Marisa batal menjadi gurunya.

"Alhamdulillah kalau Nak Arga mengerti. Oh ya, Umi ada rekomendasi sebenarnya untuk menjadi pengganti Risa."

"Boleh Umi kalau tidak keberatan." Sepasang bola mata Arga berbinar.

"Sebentar ya, Umi coba hubungi dulu orangnya. Dia ustadzah kenalan Umi." Umi Nida bangkit dari duduknya lalu berjalan masuk ke kamarnya. Meninggalkan tiga orang  yang duduk dalam hening di ruang tamu.

Marisa masih tak mampu mengangkat wajahnya. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Pun sama halnya dengan Amara. Namun Amara lebih suka membunuh waktu dengan melihat-lihat ponselnya. Sementara Arga yang berada di tengah-tengah, bergantian melayangkan pandangan pada istrinya dan Marisa. Baru saja menyadari jika kedua wanita ini menyimpan rasa bersitegang dalam diam.

"Ehm, Risa ..." Akhirnya Arga memutuskan untuk membunuh sepi. Membuat Marisa pada akhirnya mendongakkan wajah.

"Iya?"

"Saya minta maaf karena tidak peka dengan masalah ini."

Amara membelokkan kedua matanya pada suaminya.

"Saya juga minta maaf, Mas." Marisa membalas pelan.

"Kamu dan Umi tidak salah, Sa. Saya yang salah."

"Saya juga salah kok, Mas."

"Enggak, Sa. Kamu nggak salah. Saya yang harus minta maaf."

Amara yang mulai jengah dengan sikap dua manusia itu, akhirnya bersuara. "Emangnya ini lagi lebaran maaf-maafan?"

"Amara."

"Kalian berdua manis banget ya. Kayak suami istri beneran."

"Amara."

"Apa? Bener, kan?" Telunjuk Amara mengarah pada Marisa. "Kamu bicara sama dia lembut banget, padahal dia bukan istri kamu. Sebelum aku jadi istri kamu, kamu selalu bersikap dingin denganku."

Melihat Amara yang mulai naik pitam, Marisa berusaha menenangkan. "Ma—maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud demikian. Saya cuma—"

"Cuma apa?" Amara menantang. "Jujur aja deh! Kamu masih punya perasaan kan sama suami saya?"

"Tidak, Mbak."

"Jangan bohong! Saya juga wanita. Saya bisa lihat dari muka kamu."

"Astaghfirullah! Amara!" Suara Arga menyentak, membuat Amara semakin terpancing emosi.

"Ga, aku nggak akan bohong sama kamu. Aku hargai kamu mau mencarikan aku guru ngaji. Tapi kalau dari awal aku tahu orangnya itu dia, aku nggak bakalan setuju."

"Tidak setuju?"

Amara yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bangkit dari duduknya. "Kamu merasa bersalah karena sudah nggak peka dengan kondisi dia dan keluarganya. Tapi apa kamu juga merasa bersalah karena sudah nggak peka dengan perasaanku? Aku Ga, aku yang istri kamu. Harusnya perasaanku yang kamu jaga."

Dengan dada sesak, Amara berjalan keluar dari rumah itu. Tidak mempedulikan suara Arga yang bergaung memanggil namanya berkali-kali. Amara hanya ingin menjauh dari situasi yang sejak awal sudah perlahan mengikis rasa bahagianya. Diiringi dengan sedikit penyesalan. Menyesal karena sudah sangat memuja suaminya. Berpikir jika kehidupan rumah tangga mereka akan baik-baik saja. Tanpa diwarnai bumbu-bumbu pihak ketiga seperti gosip-gosip artis yang sering ditonton Sasha, mantan sekretarisnya.

Beruntung bagi Amara karena tanpa disangka sebuah taksi lewat di depannya. Amara segera menghentikan laju taksi dengan lambaian tangannya. Menepis tangan Arga yang sejak tadi sibuk merayu dan menarik pergelangannya. Segala ocehan Arga tidak masuk ke dalam telinganya. Terlalu sakit untuk kembali berpaling dan menatap wajah suaminya.

"Tolong, beri aku waktu. Aku ingin sendiri dulu," ucap Amara sebelum akhirnya masuk ke dalam kursi penumpang. Tanpa sama sekali memandang Arga yang sedang kalut.

"Mau kemana, Mbak?" tanya sang supir di depan.

"Bandara, Pak."

Bahkan setelah mobil melaju, Amara enggan menoleh ke belakang. Takut pikirannya berubah seiring dengan rasa tidak teganya. Amara hanya butuh ketenangan. Karena saat ini pikiran dan hatinya sedang bergulat. Meyakinkan diri sendiri bahwa meski bahagia itu tidak selamanya, ia akan tetap baik-baik saja.

Ingat Amara, berharap hanya pada Allah. Bukan pada manusia.

Arga kembali masuk ke dalam rumah Ustadz Harun. Kali ini Umi Nida sudah kembali bergabung bersama Marisa di ruang tamu. Merasa tak enak hati, Arga menjelaskan pada Umi Nida bahwa istrinya harus buru-buru pergi karena ada keperluan mendadak.

Meskipun Umi Nida mengangguk, tentu saja wanita paruh baya itu mengerti apa yang sebenarnya sudah terjadi selama dirinya berada di kamar tadi.

"Kenapa Nak Arga tidak ikut pulang bersama istri?" tanya Umi Nida lembut.

"Em, tadi Amara—"

"Mbak Amara mau pergi sendiri saja, Umi." Marisa menyelak. Ia mengerti Arga sedang kalut untuk menjelaskan.

"Hm, begitu. Oh ya, tadi teman Umi namanya Ustadzah Atiq sudah menyetujui untuk menjadi murobbiyah bagi Mbak Amara. Nanti Mbak Amara bisa datang langsung ke liqo' nya. Setiap hari Rabu dan Kamis ba'da Ashar di masjid Al-Ihsan. Nanti Umi kirimkan nomor kontaknya lewat Abah."

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Umi." Arga tersenyum tipis. Nqmun berita baik dari Umi Nida tidak cukup menenangkan hatinya.

Dan Umi Nida cukup merasakan kegelisahan pria yang kembali termangu di hadapannya ini.

"Nak Arga, kalau boleh Umi kasih saran. Sebaiknya Mbak Amara disusul saja. Menurut Umi tidak ada wanita yang ingin pergi begitu saja tanpa suaminya. Pasti hatinya sedang tidak tenang."

"Tapi Mbak Amara tadi bilang ingin sendirian, Umi." Marisa yang kembali menjawab ibunya.

"Risa." Cukup dengan isyarat mata, Umi Nida berhasil membuat Marisa kembali tertunduk diam.

"Risa benar, Umi. Istri saya tadi bilang begitu. Jadi saya menghargai permintaannya."

Kembali menghempas napas, Umi Nida menggelengkan kepala. "Satu hal yang perlu semua suami tahu. Dalam kondisi hati yang nggak karuan, wanita seringnya berucap yang tidak sesuai dengan hatinya. Bilangnya enggak mau, tapi dalam hati sebenarnya ingin sekali. Bilangnya iya, padahal hatinya menolak."

Arga tersentak. Merasa apa yang diucapkan Umi Nida memang benar. Amara tadi sempat mengungkapkan jika ia sebenarnya menolak Marisa untuk menjadi gurunya. Dan itu baru diucapkannya setelah Amara akhirnya merasa marah. Namun lagi-lagi Arga teringat jika Amara tadi benar-benar marah dan sama sekali tidak menggubris bujukannya. Kepalanya kembali tertunduk lemas.

"Bagaimana kalau wanita itu bersikeras, Umi?"

"Satu yang Umi tahu, wanita itu makhluk Allah yang paling rapuh hatinya. Sekeras apapun pertahanannya, dibalik itu hatinya sedang hancur. Dan tugas suami adalah untuk menjaga agar hati itu tetap utuh, bahkan berbinar. Karena kalau sudah hancur, semua redup. Segala sesuatunya akan menjadi sulit ketika gelap. Kamu mengerti kan maksud Umi?"

Arga terdiam. Perlahan berusaha meresapi perkataan istri Ustadz Harun itu. Beberapa detik kemudian Arga mengangguk mantap. "Paham, Umi."

Sementara Marisa, kembali meremas jari-jemari di pangkuannya. Benar kata Uminya, hatinya memang sedang redup. Oleh seseorang yang tidak semestinya singgah di hatinya. Dan entah bagaimana caranya agar hatinya kembali menyala terang bak pelita.

Setelah Arga pamit pulang pun Marisa masih memikirkan kondisi hatinya yang justru semakin memburuk setelah tragedi tadi. Amara memang benar, Marisa masih mencintai Arga. Dan rasa itu sudah dipeliharanya cukup lama. Sejak pertama kali ia mengenal anak laki-laki usil bernama Arga. Anehnya lagi, saat Amara pergi tadi Marisa justru merasa senang.

Meskipun berkali-kali meyakinkan diri bahwa itu tidak benar, Marisa tetap merasa lega. Bahkan sesekali ia mencuri pandang pada Arga. Entah setan apa yang berhasil merasuki pikirannya. Cepat-cepat Amara lari menuju kamar mandi. Berwudhu untuk menghapus segala pikiran kotor yang menempel di kepalanya.

Marisa kembali bertanya-tanya, bagaimana caranya menghilangkan pria itu dari hatinya? Bahkan setelah belasan kali munajat dalam tahajud dan dhuha, rasa itu masih setia melekat.

"Umi?" panggilnya tiba-tiba pada sang ibunda yang tengah merapikan gelas-gelas yang masih berisi utuh dan tak tersentuh di atas meja.

"Ada apa, Nduk?"

"Tolong carikan suami untuk Risa, ya. Sepertinya Risa harus segera menikah."

===============================