webnovel

A Trip Of Our Youth

Tiga sekawan yang ingin mencari pelarian dari penatnya kehidupan. Mengambil keputusan besar untuk rehat dari pekerjaan masing-masing dan memilih untuk melancong. Sebuah perjalanan yang mengajarkan banyak hal. Sebuah perjalanan untuk pulang.

hijupiter_05 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
49 Chs

Kamu... Masih Normal Kan?

Yora kembali mendapat panggilan negara sesaat setelah ia menutup pintu kamarnya. Niatnya sih Yora mau rebahan sedikit dulu, namun nampaknya sang ibunda sudah kehilangan kesabaran setelah dari tadi panggilan teleponnya diabaikan.

Yora akhirnya menjawab panggilan tersebut dengan hati-hati, takut ia mendapat teriakan menggelegar ibunya. Untungnya kekhawatiran itu tidak benar-benar terwujud. Sonya memang terdengar geram, tapi teriakannya tertahan. "Liora, sayang. Kamu di mana, Nak?"

"Baru sampe kamar, Mi."

"CEPETAN!" Baru saja Yora lega, ternyata teriaknya belakangan.

"Iya, iya. Nih aku siap-siap dulu."

"Alamatnya udah Mami kirim. Kalo telat, gaji kamu dipotong 10% tiap menit!" ancam Sonya.

"Kan yang ngurus gaji bukan Mami?!" Yora mulai was-was.

"Nanti Mami bilang sama yang ngurus gaji!" dan panggilan tersebut pun ditutup, menyisakan Yora yang dongkol dengan keadaannya.

"Gini nih kerja sama keluarga sendiri. Motong gaji udah kaya motong sayur, maen potong potong aja." kesal Yora yang berbicara pada dirinya sendiri.

Selanjutnya gak pake lama, Yora lantas mandi (karna memang dari tempat Aruna mereka belum mandi), lalu mengganti pakaiannya yang sudah dari kemarin itu dengan mid length skirt bermotif leopard yang dipadukan dengan dengan kaus hitam.

Begitu sampai di restoran, Yora merasa seperti model fashion show yang berjalan di atas cat walk. Suasana jadi sunyi begitu ia membuka pintu ruangan yang sudah dipesan khusus untuk mereka dan melenggang begitu saja menghampiri kedua orang tuanya.

Yora merasa seperti salah alamat karena outfit yang ia kenakan begitu berbeda dengan orang-orang dihadapannya. Ya jelas, mereka kan baru saja bermain golf.

Kaus polo juga celana yang mereka gunakan seakan mempertanyakan leather jacket dan high heels Yora. Jangan lupa dengan tiny sunglasses yang masih bertengger di hidungnya.

Yora lebih seperti ABG hits yang mau nongki cantik di kafe kekinian dan update di sosial media lengkap dengan tagar OOTD, ketimbang menghadiri urusan bisnis berkedok makan siang.

"Itu kacamata gak bisa dilepas dulu?" Bisik Sonya ketika anak perempuannya itu sudah duduk di samping nya.

Yora lantas membuka kacamatanya dan menyapa orang-orang yang hadir di ruangan tersebut. Tidak banyak sih, hanya dua pasang suami istri lain selain orang tuanya, seorang pria muda yang kira-kira seumuran dengan Yora, dua orang gadis yang Yora perkirakan masih SMP, juga seorang bocah kecil yang mungkin baru duduk di bangku TK.

Acara makan siang-yang menurut Yora sebenarnya tidak penting-itu berjalan dengan baik. Tentu saja disela-sela makan juga diisi dengan percakapan ringan supaya suasana terkesan hidup dan menyenangkan. Yang mana menurut Yora justru mengganggu. Ia hanya ingin menyelesaikan makannya lalu pulang.

Sayangnya tidak bisa semudah itu. Bahkan sehabis makan pun tetap dilanjutkan dengan bincang-bincang manja yang jelas tidak menarik untuk Yora.

Oleh karena itu, Yora memilih untuk mengasingkan diri ke sofa panjang yang tersedia di salah satu sisi ruangan. Ia hanya duduk menyilangkan kaki sambil menscroll akun media sosialnya sampai tiba-tiba merasa terganggu oleh kehadiran seonggok manusia sok kegantengan bernama Romeo di sampingnya.

Demi Dewa, Yora ingin sekali mengirim pria itu ke Pluto, siapa tau dia bisa bertemu dengan teman-teman aliennya disana. Yora paling anti dekat dengan pria yang modelan seperti Romeo ini.

Kalau tampangnya seperti Romeo Beckham sih gak masalah. Lah ini, tampang sebelas dua belas sama batu kerikil aja songongnya selangit. Beruntung saja ia lahir di keluarga tajir melintir, jadi penampilannya bisa ditunjang dengan brand-brand mahal. Padahal kalau tidak juga paling ia tidak beda jauh dengan preman pasar.

"Hai, lagi apa?" sapa Romeo.

"Mata lo masih berfungsi?" ketus Yora sambil menatap malas lawan bicaranya.

"Masih."

"Yaudah." Yora lalu lanjut menatap ponselnya.

"Lagi liatin apa sih? Serius banget." tanya pria itu lagi sambil dengan tidak sopannya mendekatkan tubuh juga kepalanya ke arah Yora.

Sontak Yora kaget juga kesal. "Apaan sih! Jauh-jauh dari gue!" bentak Yora, tapi tidak sampai mencuri perhatian para orang tua, sambil menjauhkan duduknya.

"Abisnya gue dikacangin."

Yora hampir memuntahkan kembali makanannya saat melihat wajah Romeo yang barusan diimut-imutkan. Sebegitu menarik kah Yora bagi Romeo sampai pria ini selalu mati-matian mendapatkan perhatian Yora tiap mereka bertemu?

Bukannya kege-eran ya, tapi si Romeo ini memang punya perasaan lebih kepada Yora. Buktinya ia sudah 2 kali menyatakan perasaan ke Yora yang pastinya ditolak mentah-mentah.

Untung saja keluarga Yora tidak mengadakan perjodohan demi bisnis ala-ala novel romansa, apalagi mengingat keluarga Romeo adalah salah satu vendor terbesar perusahaan keluarganya. Kalau sampai iya, Yora akan memastikan dirinya masuk ke sekolah biarawati agar telak alasannya untuk menolak.

Untungnya percakapan lebih jauh antara dirinya dan Romeo dapat terhindarkan karena Sonya yang memanggil. Yora langsung berdiri dengan secepat kilat dan berjalan menghampiri ibunya yang masih duduk di meja makan besar itu.

"Tolong ambilkan Ipad sama kacamata baca Mami di mobil, sayang." Pinta Sonya pada anak perempuannya itu yang lalu dibalas dengan "oke" oleh Yora.

Kesempatan bagus, pikirnya. Sesampainya di parkiran, Yora lalu membuka pintu mobil untuk mengambil barang yang diminta ibunya. Tapi bukannya kembali masuk ke dalam restoran, Yora justru meminta supir keluarganya yang mengantarkan barang-barang tersebut.

Setelah meminta tolong dan menitipkan pesan kepada sang supir, Yora lantas melenggang ke arah mobilnya. "Akhirnya bisa kabur juga gue."

Sementara Sonya yang bingung kenapa supirnya yang muncul pun bertanya. "Loh, Lioranya mana, Pak?"

"Non Yora katanya pusing, Bu. Izin pulang duluan, mau istirahat."

Setelah supirnya itu pamit keluar, Sonya jadi curiga."Perasaan tadi dia baik-baik aja deh."

"Udahlah, Mi. Mungkin memang lagi gak enak badan," kata Herman, suaminya. Padahal sudah jelas itu hanya alasan receh Yora untuk kabur dari sana.

Yora lega berhasil pulang lebih awal walau ada sedikit rasa tidak enak karena pergi begitu saja. "Maaf ya, Mi, Pi. Aku gak kuat deket-deket sama itu jelmaan ban serep." Bisik Yora pada dirinya sendiri, berharap orang tuanya dapat mendengarnya juga.

Setidaknya dia bisa menjauhkan diri dari Romeo lebih cepat.

* * *

Selesai makan malam, Sera membantu ibunya mencuci piring dan membereskan dapur. Sedikit hal berbakti yang bisa Sera lakukan di rumah.

"Ma, kalau Sera jual apart Sera gimana?" tanya Sera sambil mengelap piring untuk dimasukkan ke dalam lemari piring.

Fani yang sedang mengelap meja makan balik bertanya. "Terus kamu mau tinggal di rumah?"

"Mama gak mau tinggal bareng Sera emang?"

"Bukan gitu. Tapi kok tiba-tiba banget? Ada sesuatu nih pasti."

Sesuatu banget sih ini sebenenernya, pikir Sera dalam hati. Tapi karena rencana mereka masih sangat abtrak, Sera hanya bisa memberikan sneak peek sekarang.

"Ada apa sih?" tanya Fani mulai menyelidik. "Cerita dong. Mama jadi kepo."

"Belom pasti sih, Ma. Nanti Sera cerita kalo udah pasti."

"Mau ngapain sih, kok pake kepastian segala?" Fani yang sekarang sudah pindah lokasi dari meja makan lalu mengelap kitchenset yang berada dekat Sera. Wanita itu berhenti sejenak seraya menatap serius anaknya. "Jangan-jangan…"

Sera yang ditatap seperti itu entah kenapa jadi tegang. "Apa?"

"Uangnya buat modal kawin lari, ya?"

Sera melengos mendengarnya. "Apaan sih, Ma. Mau kawin lari sama siapa? Calonnya aja gak ada." Jawab Sera sambil memanyunkan bibirnya.

"Emang anak Mama belom laku juga?" Fani lanjut menggoda anaknya. "Kamu terlalu galak kali, Se."

"Halah, cowonya aja cemen kalo gitu."

Fani lalu kembali menatap Sera dengan curiga yang langsung diprotes anak bungsunya itu. "Apa lagi?!"

"Kamu… Normal kan?"

"Maksud?"

"Kamu masih suka cowo kan?"

Yaampun, pikir Sera. Pertanyaan macam apa itu. "YA MASIH LAH!" jawab Sera tak habis pikir.

"Yah, siapa tau. Kan Mama cuma mau memastikan." kata Fani yang lanjut mengelap kitchensetnya.

Hhh, ibunya ini ada-ada saja. Kalau gak suka cowo, terus ngapain Sera berusaha menafkahi para bujang yang jumlah membernya berpotensi ngalahin banyaknya member AKB48?

Sera jelas masih normal. Hanya standar pria idamannya yang jadi terlampau tinggi. Big thanks to para bujank.

Tbc . . .