webnovel

Part 2

Kali ini Tia menitikan air matanya. Kedua bola matanya tak sanggup lagi membendung air yang akan turun. Dia tahu sekali apa yang telah di alami Nia kini. Setelah membacanya semua isi buku harian Nia. Tia pun kembali lagi ke kamar Nia dengan langkah berat.

'Mungkin dia sudah tertidur' pikirnya saat itu.

Memang benar suasana di rumahnya sudah tidak segaduh beberapa jam lalu. Tia tersenyum senang, karena mungkin Nia sudah tertidur. Sama seperti pikirannya, tadi.

Perempuan itu membuka pintu perlahan, agar memastikan Nia tidak merasa kebisingan. Dan kemudian terbangun.

'Apa itu? Apa yang telah ku lihat? Ada apa yang sebenarnya telah terjadi? Mengapa berceceran cairan merah di lantai? Atau jangan-jangan…' Tia membuyarkan khayalannya sesaat, lalu lari menuju Nia, yang berada lima langkah dari tempatnya berdiri saat ini.

'Astaga. Mengapa ini terjadi?'

Gadis belia itu tergeletak di lantai, dalam kedaan tidak sadarkan diri. Berlumur darah, di pergelangan tangannya. Di sampingnya ada bekas pecahan beling yang sudah bermandi cairan merah pekat. Luka itu tertuju tepat di urat nadinya.

Tia panik, kemudian menangis. Dia teriak sekencang mungkin meminta pertolongan. Walaupun dia tahu, tidak mungkin ada yang mendengarnya. Tia dan Nia hanya tinggal berdua. Ayahnya pergi untuk selamanya di usia 38 tahun, masih muda, bukan? Setidaknya tidak terlalu tua. Mereka pun tidak memiliki sanak saudara yang dekat dengan tempat tinggalnya, saat ini. Tetangganya? Jangan tanyakan itu, rumah mereka sangatlah jauh dari rumah permukiman warga. Bagaimana tidak? Depan. Belakang. Samping kanan. Samping kiri. Penuh dengan sawah. Tempat petani mencari sesuap nasi. Sangat menyedihkan memang tinggal di desa terpencil. Jauh dengan tempat keramaian. Tempat ibadah, rumah sakit, mall, kafe, bar dan tempat penting lainnya.

Tia memutuskan pergi meminta pertolongan. Entah di mana dia harus memintanya. Dia berjalan sempoyongan di bawah pekat malam. Malam ini tak ada bintang maupun bulan. Semuanya menghilang. Entah kemana. Bahu perempuan tua itu berguncang hebat, mungkin ini efek dari kepanikannya. Saking paniknya, dia pergi menggunakan baju piamanya, tanpa harus dia ganti terlebih dahulu. Dia juga tidak mengenakan alas kaki. Perempan itu berteriak di tengah kepekatan gelapnya malam.

Angin berhembus kencang. Sangat kencang. Rambutnya yang terurai itu tertepa angin, membuatnya berantakan. Tubuhnya yang keriput itu menggigil.

'Tolong… tolong… tolong…' perempuan itu terus berlari tak tentu arah. Suara jangkrik di pekarangan sawah seakan menemaninya di kesunyian malam. Tia berlari sudah berpuluh-puluh kilo meter. Namun, belum ada tanda-tanda kehidupan di sini. Sepi. Sunyi.

Tia menarik nafas panjang, kemudian ia keluarkan kembali perlahan.

'Tolong…!!!'

'Tolong aku, tolong…!!!'

Beruntung. Dia menemukan salah seorang penjaga ronda malam, yang sedang berjaga. Tia mendekati penjaga ronda malam itu, dia menangis tak karuan di depan lelaki itu. Lelaki itu diam. Lelaki mengernyitkan dahi, seseolah dia tak mengerti maksud dari tangisan perempuan tua di depannya, saat ini. Malam ini. Keduanya saling bertatapan. Berdiam diri untuk beberapa menit kemudian. Akhirnya, penjaga ronda itu membuka pembicaraannya dengan Tia,

'Apa yang telah kau lakukan di malam yang pekat ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga tak hentinya kau menangis? Katakanlah. Mungkin aku bisa sedikit membantumu' kata penjaga malam itu.

'Tolong, tolong anak saya. Dia baru saja mencoba memutuskan urat nadinya dengan sebuah pecahan beling. Aku, aku tak tahu harus berbuat apa? Tolong aku, panggilah dokter untuk segera memeriksa anakku. Ku mohon, secepatnya, nak.' jelas Tia.

'Baik, lah. Sekarang anakmu di mana? Bagaimana keadaannya?' tanyanya lagi.

'Dia masih di rumahku, aku terpaksa meninggalkannya sendirian. Untuk meminta pertolongan. Keadaannya sebelum ku pergi baik-baik saja. Nadinya masih berdetak, namun sangat pelan. Yang penting bagiku, masih ada kehidupan di raganya.'

Setelah menjelaskan apa yang telah terjadi. Lelaki itu berlari meninggalkan tempat itu, bermaksud mencari rumah sakit terdekat. Sementara itu, Tia pun pergi juga meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Dan kembali ke rumah. Bahkan, ia tak merasakan bahwa telapak kakinya telah terkena pecahan beling, di jalan. Itu karena ia lupa mengenakan alas kaki.

Di dalam hatinya merepal doa pada sang Kuasa. 'Semoga Nia mampu bertahan. Setidaknya untuk 1 atau 2 jam kemudian. Sesampainya ambulan.'

Ia berjalan pincang-pincang. Menyeret kaki kanannya yang tak lagi kuat untuk berjalan. Dia merayap di aspal itu. Dia tertatih. Merintih. Ia baru merasakan sakit di telapak kakinya setelah lukanya mulai robek parah. Setidaknya saat itu juga ia telah sampai rumah. Jejak telapak kaki penuh darah itu menuju lantai dua, kamar Nia. Sedangkan Nia? Jangan kau tanyakan lagi, ketidak sadarannya saat itu mamanya merasa bersalah. Berdosa. Dan sama sekali tak berguna sebagai seorang mama. Tia mungkin tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Apabila nyawa anaknya tak tertolong. Gadis tua itu mengangkat kepala anaknya dan kemudian ia letakkan di pahanya. Dalam pelukannya. Hangat. Nyaman

Di udara terdengar samar-samar suara ambulance yang berada di pekarangan rumah. Perempuan itu tersenyum. Para perawat langsung masuk ke rumah mungil, tetapi bertingkat. Suasana sekitar hening. Perawat membopong tubuh jangkungnya dan kemudian diletakkan di atas tandu besi. Untungnya, Nia tidak terlalu berat. Badannya sangatlah kurus. Berat badannya berkisar 38 sampai dengan 40-an. Saking kurusnya, membuat tulang di kedua pipinya menonjol. Tubuhnya yang tinggi berkisar 172 cm, layaknya model. Kakinya yang jenjang. Matanya yang sipit. Kulitnya yang putih kekuningan. Wajahnya putih pucat. Seperti mayat hidup.

Sementara itu, Tia hanya mengikutinya dari belakang. Sebelum akhirnya ia pergi membawa handphone Nia yang tergeletak di lantai. Bermaksud mencari tahu masalah ini, Tia sedikit menekan-nekan tombol di handphone itu, tangannya bergetar hebat. Ia tidak tahu bagaimana cara menggunakan handphone yang ada di tangannya. Ia hanya menekan sebisanya. Tak sengaja ia telah membuka pesan masuk yang telah Nia baca, tadi. Sebelum ia ingin membunuh dirinya sendiri.

'Nia, ini gue Galang. Nia lo yang sabar ya. Andi dapet kecelakaan. Pagi tadi. Dia sempet di rawat sebentar. Tapi nyawanya gak ketolong, Ni…' belum sempat membaca seluruh pesan dari Galamg, temen dekatnya, Andi. Perempuan itu menitikan air mata.

'Kringgg… Kringgg'

Handphone Nia berdering, 'mungkin dari salah seorang temannya..' pikirnya pendek.

Perempaun tua itu mengernyitkan dahi, lalu meminta pertolongan kepada salah satu perawat wanita di dekatnya untuk memberi tahu bagaimana cara mengangkat telepon tesebut.

Teleponnya terhubung.

'Hallo, Nia?' sapa seorang lelaki di seberang sana.

'Hm, hallo. Ini saya Tia, mamanya Nia' belum sempat Rico menjawab, Tia kembali bertanya. Masih sama, dengan nada tinggi, panik, histeris. Seolah-olah ia ingin memberi tahu bahwa sesuatu yang telah terjadi.

'Sebenarnya ada apa yang telah terjadi?' tambah Tia.

'Oke, oke. Tante tolong tenang.

Kenapa tante yang menganggkat teleponnya, mengapa bukan Nia? Oh ya, tante. Tolong bilangin Nia, bales dong BBM dari aku'

'Nak, Rico. Nia hampir saja membunuh dirinya sendiri, nak, Rico' kata Tia

'Apa?' kedua mata Rico seketika membelalak kaget.

'Iya. Sekarang tante lagi nunggu Nia di rumah sakit terdekat'

Sebenarnya ada apa nak, Rico? Mengapa dari tadi Nia mengobrak-abrik kamarnya. Lalu tante temukan ia sudah tergeletak tak berdaya di lantai dengan bersimbah darah tepat di nadinya?' selidik Tia, pada Rico.

'Atagfirullah. Benarkah itu, tan?

'Iya. Nak, Rico'

'Andi tan, sekarang dia sudah gak ada…' Potong Rico.

'Ada apa, nak' ulang Tia

'Andi mengalami kecelakaan tadi pagi. Pukul 07.00 saat ingin berangkat kerja. Awalnya, nayawa Andi sempat tertolong untuk beberapa jam. Namun, takdir berkata lain. Andi tertidur lelap dalam mimpi panjangnya.'

Mereka berdua sama-sama menangis tak tahu harus berbuat apa.

Malam itu. Penuh dengan tangis, jerit, teriak dan emosi.