webnovel

part 1

dunia ini sangat licik, penuh dengan kebohongan di setiap tempat. Mengapa telah ku terima semua kenyataan sepahit ini?

Pahit seperti obat. Keras seperti batu. Dan, menyakitkan seperti seseorang yang telah membunuh dirinya sendiri.

Jalan di dunia ini penuh terjal. Berkelok-kelok. Dan, tak pasti.

Mengapa tak kau tunjukkan semua kebenaran? Dan, mewujudkan semua kebohongan? Apakah makna hidup sesungguhnya seperti ini?

Tuhan, semua ini menyedihkan. Seperti yang telah ku alami. Hari ini.

Kini, semua hanya ilusi, yang takkan pernah menjadi nyata. Bila ku dalam mimpi. Tolong, cepat bangunkanlah aku dari mimpi buruk ini. Apabila tidak, entah harus bagaimana lagi aku melalui hari-hari ini.

Ku harap, saatku membuka mata esok hari. Kau berada di sampingku. Memelukku. Dan, mengatakan semua ini hanya sebuah… mimpi'

Malam itu. Nia terlihat murung. Entah berapa kali dia membuang-buang tisue bekas air matanya yang mengalir sangat deras. Di kedua bola matanya yang sipit itu. Air mata itu menetes hingga ke ujung hidungnya yang mancung. Kamarnya saat itu sangatlah berantakan. Pecahan beling. Tumpukan buku-buku yang semula tersusun rapi, kini bagaikan sebuah penampungan sampah. Sangat berantakan. Terbengkalai.

Setelah menulis buku hariannya, Nia masih termenung. Diam mematung sepi. Matanya menatap dengan tatapan kosong. Tak tentu arahnya. Sesekali dia berteriak histeris, di susul dengan tangisan yang menggelega jiwa. Entah apa yang dia alami malam itu.

Setelah dia menerima telepon dari seseorang lelaki di seberang sana. Entah siapa. Suasana di kamarnya berubah sangat cepat. Lebih cepat dari sebuah petir yang menyambar ke langit yang ke tujuh. Mulai dari pecahan vas bunga. Di susul lagi pecahan vas foto dirinya dengan lelaki itu.

Ya, namanya Andi. Dia adalah seorang lelaki muda yang tampan dan berwibawa. Dia pun seorang lelaki setia, yang tak akan pernah lupa dengan sebuah janjinya. Baginya, itu adalah sebuah kewajiban, yang harus di penuhi. Arti Andi bagi Nia adalah sebagai seorang kekasih, karena rasa cintanya. Juga pula sebagai abangnya, karena kebetulan, Nia tidak memiliki seorang kakak laki-laki. Andi bahkan selalu melindunginya. Menggingatkan di saat Nia salah, dan menghibur di kala Nia bersedih. Sama persis seperti tugas abang atau kakak laki-laki. Yang selalu melindungi adiknya.

Hentakan suara teriaknya membuat Tia terbangun dari kembang-kembang malam. Bermaksud mencari tahu suara apa yang telah membuat gaduh seisi rumah malam itu. Perempuan paruh baya itu melangkah berat. Tergopoh-gopoh. Kedua belah matanya melihat seisi ruangan samar-samar.

'Plaaakk, plaaakk, plaaakk'

'Haaaaaaahhhh'

Suara di udara itu yang terbawa angin, terdengar lagi. Kali ini suaranya sangat jelas terdengar di telinga perempuan tua itu. Suaranya terdengar lebih kencang dari sebuah petir di kala hujan. Seketika perempuan paruh baya itu kaget. Matanya terbuka lebar-lebar. Suara jeritan perempuan itu berasal dari lantai dua. Tepat di kamarnya Nia, putri satu-satunya.

Apa yang telah terjadi? Apa itu jeritan suara itu Nia, anakku? Ada apa ini? tanyanya dalam hati.

Tia melangkah secepat mungkin, menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu jati. Sangat modis sekali. Mencerminkan hidup yang modern. Raut wajahnya panik. Seluruh tubuhnya berguncang hebat. Nafasnya terengah-engah. Perempuan itu seperti mayat. Sangat pucat, saking pucatnya garis hitam di bawah kelopak matanya, tampak hitam pekat.

Sesampainya di depan kamar Nia. Perempuan tua itu langsung bergegas menuju pintu kamarnya, lalu kemudian dia membukanya hati-hati. Perempuan paruh baya itu terdiam. Memantung sepi. Sudah kesekian kalinya dia menyaksikan hal ini. Kenyataan pahit, seperti obat. Itu sebabnya mengapa Tia sangat enggan dengan kata itu 'O-B-A-T' empat huruf yang terdapat dalam kalimat itu. Hanya empat. Tidak lebih. Dan, tidak kurang. Namun, menurutnya obat adalah sebuah kenyataan pahit yang datang, kemudian berlalu seperti angin. Tia pun tak pernah menyukai espresso, karena espresso sama halnya dengan obat. Sama-sama pahit. Tidak akan pernah manis. Tidak akan pernah. Entah apa alasannya. Aku tak tahu, hanya dirinya yang mengetahui itu. Untuk kesekian kalinya dia harus menelan kenyataan pahit. Menelan obat ataupun espresso.

Apa yang dia lihat kini, sama halnya dengan menelan obat, atau espresso. Tia menelan kenyataan pahit lagi, dengan nafas berat Tia membuka matanya lekat-lekat. Apakah yang dia lihat ini nyata, atau tidak. Tia menggucak-ngucak matanya otomatis, kemudian perempuan itu mencubit dirinya sendiri. Dia merasakan sakit. Ternyata dia tak lagi sedang bermimpi. Ini nyata. Masih dalam dunia nyata.

Suasana kamar Nia sangat kacau. Berantakan. Terbengkalai. Seperti baru saja terjadi perang. Atau sebuah serangan bom dari penjajah. Yang membumi hanguskan suasana. Sementara Nia? Perempuan 20 tahun itu masih menyembunyikan tubuh jangkungnya di balik selimut tebal yang berwana pink muda. Warna kesukannya. Dan sekaligus warna kesukaan mamanya. Memang tak terlihat jelas kalau dia saat ini sedang menangis. Tetapi Tia mengetahuinya, suara segukkan tangisnya terdengar jelas. Sangat jelas di telinga, Tia.

Tia mencoba mendekati Nia yang tengah gundah gulana. Jantungnya berdegup kencang, sangat kencang. Raut wajahnya sangat panik. Sesekali perempuan tua itu menyentuh bahu putrinya dengan lembut, lalu berbisik lirih.

'Kau tidak apa-apa, nak?' kata perempuan tua yang berada di sampingnya malam itu.

'Kau tidak apa-apa, nak?' ulangnya lagi.

Lontaran katanya saat itu tak di balas sekata pun. Dia diam. Tia pun diam. Dia menangis, Tia pun ikut menangis. Mulut kecilnya terlem lekat. Sehingga dia tak dapat mengatakan sekata pun.

Tiga puluh tiga menit berlalu. Mereka saling terdiam, namun Nia tetap dengan segukkan tangisnya. Kemudian dia beranjak meninggalkan anaknya sendairian, sehabis dirinya mengambil buku harian Nia yang tergeletak di lantai, tadi. Suasana masih histeris hingga pukul 00.00 malam.

Tia membuka lembar demi lembar buku harian itu.

Bagian ke-1

Yogyakarta 1 Januari 2010. 00.01 A.M

Untuk pertama kalinya. Aku menulis ini, ungkapan hatiku untuknya. Hanya untuknya. No other in my love.

Aku senang karena penantianku telah terganti. Ya, benar. Penantian panjang yang sangat menjenuhkan. Bagiku, mungkin tidak bagi dirinya. Aku tak pernah tahu bagaimana kau tumbuhkan rasa ini padaku, dan mungkin tidak padanya.

Namanya Andi, dia telah berhasil mencuri hatiku. Lalu, dia permainkanku layaknya boneka. Ia tarik, lalu ia lepas sesuka hatinya. Tapi aku tak bisa memungkirinya bahwa dia lah belahan jiwaku. Aku senang, karena pada akhirnya, cinta mempertemukan kita. Di sebuah kenyataan. Dunia nyata.

Bagiku, kau begitu indah. 'CINTA DI BAWAH TEDUHAN PAYUNG' itu yang selalu ku ingat, Ndi. Sampai kapanpun. Aku akan menunggu sampai kau resmi menjadi milikku selamanya. Bahkan sampai seribu hari lagi, aku siap. Untuk mewujudkan janji kita berdua di bawah teduhan payung itu. Kala i. buku.

Karena, aku akan tetap milikmu.

Today, tomorrow, and a thousand more…

'Nia Panca Tunggal love Andi Santoso Waluyo'

Tia membaca buku harian Nia secara seksama. Ekspresi wajahnya tak tentu. Kadang dia tertawa terbahak-terbahak. Bersedih, lalu senyum-senyum tak karuan. Buku harian Nia menghipnotis Tia seolah-olah masuk ke duniannya. Buku setebal itu mampu Nia lahap hingga akhir cerita.

'Yogyakarta. Sabtu, 26 Oktober 2013. 21.21 P.M

Bagian ke-980

… dunia ini sangat licik, penuh dengan kebohongan di setiap tempat. Mengapa telahku terima semua kenyataan sepahit ini?

Pahit seperti obat. Keras seperti batu. Dan, menyakitkan seperti seseorang yang telah membunuh dirinya sendiri.

Jalan di dunia ini penuh terjal. Berkelok-kelok. Dan, tak pasti.

Mengapa tak kau tunjukkan semua kebenaran? Dan, mewujudkan semua kebohongan? Apakah makna hidup sesungguhnya seperti ini?

Tuhan, semua ini menyedihkan. Seperti yang telahku alami. Hari ini.

Kini, semua hanya ilusi, yang takkan pernah menjadi nyata. Bila ku dalam mimpi. Tolong, cepat bangunkanlah aku dari mimpi buruk ini. Apabila tidak, entah harus bagaimana lagi aku melalui hari-hari ini.

Ku harap, saat ku membuka mata esok hari. Kau berada di sampingku. Memelukku. Dan, mengatakan semua ini hanya sebuah… mimpi'