webnovel

A-ru-ni-ka

seunflouwy · Teenager
Zu wenig Bewertungen
1 Chs

Satu

"Sial!"

Gadis bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Jemarinya meremat pelan sisi tasnya. Di rapatkannya jaket hitam dengan lambang himpunan yang membalut tubuhnya. Udara semakin dingin, dan langit semakin gelap. Beberapa tetes air mulai jatuh membasahi tubuhnya, membuat si gadis mau tidak mau makin merutuki harinya.

Sial! Harusnya tadi ia mengiyakan saja ajakan dari Karina untuk pulang bersama. Andai saja ia tidak memikirkan hal-hal seperti 'menjadi obat nyamuk diantara Evan dan Karina', mungkin ia sudah tiba di rumahnya saat ini. Bergelung dibawah selimut sembari mendengarkan lagu favoritnya melalui ponsel.

Salahkan saja Presiden Mahasiswa fakultasnya. Gadis dengan kulit kecoklatan itu benar-benar kesal karena ulah presiden mahasiswanya tersebut. Karena celotehan tidak pentingnya saat rapat koordinasi tadi, membuatnya tertahan 2 jam dari jadwal awalnya. Orang itu benar-benar sengaja mengulur waktu dengan memberikan pertanyaan dan saran yang menurutnya belum, bukan—tidak diperlukan untuk situasi departemennya saat ini. Ia sampai membatalkan rapat departemen himpunan mahasiswa program studi nya, demi mendengar celotehan presiden mahasiswa fakultasnya.

Jangan lupakan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang menjurus pada ranah pribadinya. Astaga! pertanyaan-pertanyaan itu terdengar seperti genderang perang yang sengaja ditabuh tepat di telinganya. Andaikata tidak menahan emosinya tadi, ia pastikan wajah presiden mahasiswanya sudah tidak berbentuk sore ini.

"Apa itu? Rapat dadakan katanya?" rutuknya. "Bahkan yang hadir hanya si bodoh itu dan aku. Dimana rapat koordinasi dadakannya? sial!"

Gadis itu berlari kecil ke arah halte angkutan kampus yang paling dekat dengannya. Sesekali kedua telapak tangannya bersentuhan, menggosoknya, agar hawa hangat dapat sedikit mengusir dingin yang mulai menusuk tulangnya. Sedikit menyesali kecerobohannya pagi ini. Harusnya ia membawa payung dan memakai jaket yang lebih tebal dan hangat dari pada jaket himpunan mahasiswanya.

Gadis itu mengetuk-ngetukkan kakinya pada kubangan air di dekatnya. Sesekali kepalanya menengadah, berharap langit mau berbaik hati menghentikan tangisnya untuk sementara. Hari sudah mulai malam, dan tubuhnya terasa sangat lelah setelah kegiatan hari ini. Ia hanya ingin pulang.

Sebenarnya tadi sempat terbesit di kepalanya untuk menghubungi salah satu teman kosnya. Meminta untuk si teman kos datang menjemput tentu saja. Namun, lagi-lagi kesialan menghampirinya. Ia lupa mengisi daya ponselnya! Mau tidak mau ia harus menunggu hingga langit berhenti menangis untuk bisa berlari ke kos nya.

Crasshh!!!

Gadis itu merasa sangat sial hari ini. Setelah ponselnya yang mati, dan tidak bisa digunakan untuk menghubungi teman kosnya, apalagi sekarang? Seseorang bodoh yang membawa mobilnya melaju kencang dalam keadaan jalan yang becek seperti itu? Baju gadis itu, yang sudah agak basah, makin basah karena terciprat kubangan air. Baiklah siapapun oknum dibalik kemudi mobil itu harus bersyukur. Gadis bersurai cokelat tua itu mati-matian menahan dirinya untuk tidak meneriaki si pengemudi mobil sialan yang membuat pakaiannya kotor.

"Run!" Gadis itu menoleh, mendapati sebuah mobil hitam telah berhenti di depannya. Mata gadis itu menyipit kala seseorang menurunkan kaca mobil. Menampilkan wajah seseorang yang sejak tadi dirutuki oleh si gadis karena menjadi penyebab kesialannya hari ini dan seseorang yang menyembul di dalamnya membuatnya makin naik darah. Seorang pria dengan tampilan super klimisnya tengah tersenyum menyebalkan dihadapannya.

"Oh, astaga! Aku tidak menyangka jika orang yang tadi kecipratan itu adalah dirimu, Run." Ucap pemuda itu dengan sebuah senyum tipis di bibirnya. Gadis yang dipanggil Run itu mengepalkan tangannya erat agar tidak mencakar si pemilik mobil di hadapannya ini. "Sebagai permintaan maaf. Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?" tawarnya. "Bukankah ini sebuah kehormatan jika aku menawarkanmu untuk kuantar pulang. Kau tahu sendiri jika aku bukan tipe orang yang baik hati. Mau kuantar pulang tidak?" tawarnya dengan nada menyebalkan.

Gadis yang dipanggil 'run' tadi tidak menjawab. Berpura-pura mengambil ponsel dan menggunakan headset. Memberi tanda seolah tidak mau diganggu.

Si pemuda tadi hanya terkekeh pelan melihat penolakan dari gadis di hadapannya. Rupanya masih sama seperti beberapa waktu belakangan. Gadis itu selalu menolaknya.

"Tidak usah berpura-pura mengabaikanku begitu, Run." Kata si pemuda santai. "Aku tahu ponselmu mati." Sambungnya sembari merogoh ponsel. Tangannya dengan lincah mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya. "Lihat? Tidak ada dering ponselmu, saat aku mencoba menelfonmu, Arunika."

Arunika memutar bola matanya malas. Pria dihadapannya ini benar-benar mengganggu. Apa satu hari ini masih belum cukup memuaskan untuknya dalam mengganggu Arunika?

"Bukankah seharusnya kau mengerti maksudku, Alder?" Arunika berkata dengan sebuah senyuman dingin tersungging di bibirnya. "Kurasa aku sudah cukup jelas menjawab tawaranmu."

Alder mengendikkan bahunya. Ia mengambil sesuatu dari tempat duduk di belakangnya, kemudian keluar dari mobilnya. Sebuah payung biru muda dengan motif bunga matahari di sekitarnya, membuat Arunika semakin tidak nyaman melihatnya.

"Kau juga tentu tahu kan, Arunika?" katanya. "Kalau aku seseorang yang sangat keras kepala." sambungnya.

Arunika tersenyum seadanya. "Lalu kau pikir aku peduli?" balasnya. "aku yakin kau tidak akan lupa bagaimana acuhnya diriku pada orang yang kuanggap tidak penting."

Kali ini pemuda bernama Alder itu mulai sedikit kesal. Tangannya yang ia gunakan untuk membawa payung, meremat gagang payung erat-erat. Berusaha menahan diri untuk tidak emosi berhadapan dengan gadis yang lebih keras kepala di hadapannya.

"Ayolah! Biarkan aku mengantarmu pulang, Run."

Arunika menghela nafas pelan. Ia menatap Alder dari ekor matanya tak suka. Orang dihadapannya ini masih belum berubah sejak dulu. Dan berkonfrontasi dengan Alder benar-benar menguras emosinya.

"Terimakasih atas kehormatan yang kau tawarkan itu" Jawab Arunika setelah beberapa saat. "Tapi aku lebih memilih untuk menunggu disini hingga hujan selesai, dari pada harus semobil dengan anda tuan Alder yang terhormat." Arunika berusaha untuk tetap terdengar santai saat mengucapkan kalimatnya. Ia mengulas senyum dibibirnya.

Tentu saja, Senyum kebencian.

"Kau yakin?" Sesuatu masuk ke kepala Alder. Sebuah seringaian terukir jelas di bibirnya. Satu dari sekian banyak hal yang dibenci Arunika karena membuatnya merasa tak nyaman. "Seingatku, kau paling benci dengan segala hal yang berhubungan dengan hujan dan gelap, bukan?" tanyanya. "Aku baru ingat ucapan pak ade mengenai pemadaman listrik hari ini. Apalagi ditambah hujan deras seperti ini. Kau tentu tahu akan bagaimana gelapnya gedung fakultas dan sekitarnya nanti, bukan?"

Bodoh! lagi-lagi ia ceroboh dan melupakan itu. Alder yang melihat keyakinan gadis di hadapannya goyah menyeringai makin lebar. Ia yakin, Arunika akan mau ia antar pulang hari ini.

Dan sialnya, otaknya sedang tidak bisa diajak bekerja sama saat ini. Bukannya memikirkan cara agar bisa terlepas dari trik licik Alder agar bisa mengantarnya, yang ia pikirkan mala cerita-cerita seram dari beberapa adik tingkatnya saat pulang malam-malam sendirian. Hei, begini-begini Arunika juga takut!

"Katanya, Karina sempat diganggu saat pulang sendiri di belokan itu, kan? Kau yakin akan pulang sendiri?" Serangan terakhir dari Alder. Ia yakin gadis penakut dengan harga diri tinggi ini menghambur padanya. Alder yakin bisa mengantar Arunika pulang setelah ini.

Mata gadis itu bergetar saat mengikuti arah telunjuk Alder. Kepalanya tertunduk. Tangannya mengepal erat. Alder yakin ia menang kali ini. Haha! Sudah ia katakan! Ia tidak akan berhenti sampai gadis ini bertekuk padanya. Namun, ia juga sedikit merasa bersalah tentunya. Ia benar-benar seorang yany licik karena menggunakan kelemahan Arunika sebagai alasannya.

" Oh, aku minta maaf, Run. Seharusnya aku tidak bilang begitu, kan?" ucapnya datar. "Aku baru ingat kau sangat membenci saat seseorang mulai bercerita hal-hal menyeramkan seperti itu."

Arunika sejujurnya akan dengan senang hati berkata jika nada bicara Alder adalah hal yang paling ia benci saat ini, melebihi rasa bencinya pada cerita-cerita seram. Nada bicara Alder terdengar seperti Alder yang dengan sengaja mengajaknya untuk berperang.

"Yah, kau tentu tau, Alder. Kau tidak seharusnya mengatakan hal tersebut. Aku sangat membenci hal mistis." Kata Arunika dengan tegas. Ditatapnya tajam kedua manik elang milik pemuda berpipi tirus dihadapannya. "Sama halnya dengan aku membencimu, tuan Alder."

Arunika merapatkan jaketnya. Digenggamnya erat sisi tasnya. Keputusannya sudah bulat. Ia terjang saja hujan ini. Toh, hujannya perlahan sedikit mereda.

"Ah, aku lupa memberi tahumu sesuatu, Alder." Arunika menghentikan langkahnya dan menatap Alder yang tampak menahan kesal. "Entah ponselku mati atau tidak, saat kau menelfon tidak akan pernah ada deringnya. kau tahu kenapa? Karena aku sudah memblokir kontakmu sejak dulu."

**

Langit sudah sepenuhnya gelap. Dan seperti kata Alder, hari ini diadakan pemadaman. Suasana fakultasnya benar-benar gelap. Tidak ada pencahayaan dari lampu-lampu koridor fakultasnya. Hanya lampu-lampu jalanan yang temaram menjadi sumber cahaya disana.

Arunika menguatkan dirinya untuk melawan rasa takut. Berulang kali mensugesti dirinya jika yang ia takutkan itu tidak nyata. Mengabaikan suara-suara aneh saat ia memutuskan untuk menerobos hujan.

'Ya tuhan, apa disini benar-benar tidak ada sumber penerangan lain?'

Arunika ingin menangis saja rasanya. Kenapa ja lan yang harus ia lalui sepanjang ini? Rasanya koridor dan belokan fakultas tidak sejauh dan sepanjang ini saat ia lewatindi siang hari.

Kalian tau? Arunika benar-benar merasa takut! Belum lagi karena sedari tadi ia merasa ada seseorang yang mengawasi gerak-geriknya.

Bagaimana jika 'orang' itu berniat jahat padanya? atau ingin menculiknya? atau melakukan hal buruk terhadapnya? atau....

TAP!

Tubuh Arunika membeku saat mendengar suara langkah kaki dibelakangnya. Ia ingin menangis keras sekarang. Seingatnya tidak ada siapa-siapa disini. Lalu siapa orang yang ada dibelakangnya? Arunika tidak peduli apapun.IA-HARUS-KELUAR-DARI-FAKULTAS-INI-SECEPATNYA. Karena demi apapun itu, Arunika mendengar langkah kaki itu makin jelas dan berjalan mendekat kearahnya.

'Mamaaa.... Arunika takuuuttt..'

Grep!

Arunika tidak mau mati muda sekarang. Masih ada tanggungan yang harus ia tanggung. Jika ia mati sekirang, siapa yang akan mengurus kucing-kucingnya nanti? Nalesha dan Narasimha, kakak kembarnya, tidak akan mau repot-repot mengotori tangannya untuk merawat kucing-kucingnya.

Tubuh Arunika menegang sempurna. Siapapun tolong Arunika. Tadi ia mendengar ada suara langkah dibelakangnya, sekarang seseorang tengah menyentuh pundaknya. Tubuhnya lemas, dan lututnya bergetar hebat. Apakah malam ini benar-benar hari terakhirnya hidup sebagai manusia di bumi? Arunika merasa sangat takut sampai tidak kuasa untuk melangkahkan kakinya lagi.

"Kina?"

Arunika memberanikan diri untuk menoleh saat mendengar sebuah suara memanggil nama kecilnya. Kejadian setelahnya adalah adegan dimana Arunika yang jatuh dan terduduk lemas dibawah guyuran hujan. Bening matanya mulai turun dengan derasnya saat mendapati sosok yang tengah berdiri dengan cengiran khasnya yang konyol dan menyebalkan.

"A--Are you okay?" Tanyanya. Terselip nada khawatir dari nada bicaranya.

Arunika menghela napas pelan untuk meredakan ketakutannya. Jantungnya berpacu sangat kencang saking takutnya. Benar-benar! ia memukuli dada bidang milik seseorang dihadapannya ini. Menarik sosok itu kuat untuk tenggelam dalam ceruk lehernya. Membiarkan dirinya menangis di pelukan seseorang yang sudah ia nobatkan sebagai musuhnya. Orang yang paling ia benci.

Arunika mendengar kekehan samar dari mulut orang itu. Membuatnya kesal setengah hidup!

"Iam sorry, Kina." Katanya pelan. "aku tidak tahu kamu akan setakut ini." lanjutnya

Arunika tidak peduli. Ia membiarkan air matanya membasahi ceruk leher pemuda dihadapannya. Sebagian hatinya merasa lega karena sosok dihadapannya ini adalah manusia. Bukan sesuatu yang ia takutkan akan muncul. Sebagian lagi merasa jengkel karena sosok dihadapannya ini sekali lagi mendapatkan ketakutannya.

"Hei, aku minta maaf, okay? Jangan menangis lagi, Kina." Alder berusaha menenangkan Arunika dengan memberikan sebuah elusan di punggung Haechan saat memeluknya. "Aku tidak bermaksud untuk menakutimu."katanya lagi. "Aku tidak tahu, jika kau akan setakut ini. Aku..."

"Alderen." potong Arunika. Ia memberanikan diri menatap manik mata Alder dengan mata merahnya setelah menangis. "AKU BENAR-BENAR MEMBENCIMU!!!"

Dan Arunika tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelahnya.

Arunika pingsan!