webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Meminta Maaf 4

Di ruang keluarga, terlihat ada seorang gadis yang sedang melihat sebuah video di handycam-nya. Entah ini sudah yang keberapa kalinya ia mengulang video itu dengan ekspresi wajah yang hampir tak berubah sama sekali. Yaitu, ekspresi gundah penuh dengan tekanan. Saat ia hendak memutar ulang video itu lagi, tiba-tiba saja ponsel di sebelahnya berdering. Ia sedikit tersenyum saat melihat nama yang tertera.

"Hallo, ada apa Jane?"

"Jangan galau terus, Aurel," kata orang yang menelponnya itu.

"Aku gak galau," timpal Aurel.

"Lalu, kamu ngepain lihat video mesramu dengan adikmu itu terus?"

Aurel segera memutar tubuhnya, melihat ke belakang sofa karena merasa orang yang menelpon sudah ada di belakangnya. "Jane? Sejak kapan kamu di sini?" kaget Aurel saat melihat seorang gadis tinggi semampai sudah berdiri di belakangnya.

"Sudah dari tadi. Kamunya saja terlalu galau sampai gak sadar aku di sini," timpal gadis blasteran itu sambil melangkahi sandaran sofa menggunakan kaki jenjangnya, lalu ikut duduk bersamanya.

"Gak galau, cuman lihat saja," kata Aurel, ngeles, sambil menutup handycam-nya

"Bohong," sambar Jane. "Ricky belum minta maaf?"

Aurel hanya menggeleng sebagai jawaban. Jane mengerang sambil menggaruk rambut pendeknya yang tak gatal. Tampaknya ia mulai gemas dengan sikap Aurel pada adiknya itu.

"Ya kamu tagih lah maafnya dan jelasin ke dia kalau kamu gak salah. Dia harus belajar bertanggung jawab. Jangan dimanja terus!" tegurnya.

"Tapi dia terlalu menggemaskan untuk tidak dimanja, Jane," keluh Aurel.

"Aku melihatnya pertama kali saat dia tiba-tiba melabrakmu di kamar waktu itu. Dia sudah hampir setinggimu. Kamu sadar kan kalau dia sudah 15 tahun?" kata Jane memastikan.

"Ya sadar. Tapi dia belum 30 tahun,"

Jane hanya mendesah melihat kelakuan teman sekampusnya yang tidak bisa hilang itu. "Hei, kamu ingat janjimu yang mau mengajakku ke butikmu itu, kan?" tagihnya, sekaligus untuk mengubah topik.

"Oh iya," Aurel beranjak dari kursinya dang mengambil kunci mobilnya di atas meja. "Ayo!"

Setelah itu mereka pun keluar rumah setelah mendapat izin dari mama tercintanya Aurel.

***

Sudah Ricky tandakan, kalau alunan melodi musik mozart yang berbunyi setiap pukul 15.30, akan menjadi bel favorit sepanjang masa putih abu-abunya. Setelah guru bahasa Indonesia keluar dari kelas, Ricky segera mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke sopir pribadi keluarganya seperti biasa.

Ada Eza, Caca dan Wina yang mengajak Ricky untuk acara makan-makan. Namun, ia menolak dengan alasan urusan penting di rumah. Walau Yoga juga ikut sekali pun, Ricky tetap menolak dan lebih mementingkan untuk segera minta maaf pada Aurel dari pada ia merasa tidak tenang seharian seperti tadi.

Dengan ekspresi kecewa, mereka pun keluar kelas, kecuali Yoga yang tampak bangga melihat Ricky akan meminta maaf pada Aurel.

"Rick, kalau udah baikan, gue minta nomor kakak lu ya," kata Yoga sebelum ia menyusul mereka.

"Nggak bakal gua kasih!" balas Ricky. Saat itu pula ia mendapat pesan masuk dari Pak Udin yang berkata,

"Maaf Mas, baru bilang sekarang. Saya lagi sakit,"

Itu pesan paling panjang sekaligus paling tidak mengenakkan yang Ricky dapat dari Pak Udin selama ini. Mau tak mau, ia pun harus pulang dengan angkutan umum, walau ia belum tahu rute menuju rumahnya setelah ia membalas pesan itu dengan kalimat, "Semoga cepat sembuh, Pak."

Kalau dikira-kira sepertinya bisa, batin Ricky saat ia melihat dua angkutan umum yang berbeda arah berhenti tepat di depan sekolahnya sebagai penyebab kemacetan jalan.

Ricky memasuki mobil berwarna biru tersebut yang mengarah ke kirinya tanpa menyeberang jalan, dan ia menjadi penumpang terakhir yang membuat mobil itu melanjutkan perjalanannya.

Sudah cukup lama Ricky tidak merasakan kepengapan dan kesumpekan mobil angkutan umum saat penuh itu. Terakhir, ia naik bersama Aurel yang masih SMA saat ia masih duduk di bangku SD sebelum Mama mereka mengangkat Pak Udin menjadi sopir pribadi.

(Waktu itu, Kak Aurel masih SMA dan aku masih SD. Letaknya juga gak jauh dari sekolah Kak Aurel dulu,) setelah Ricky bernostalgia sedikit, ia mulai merasa curiga, (tapi kenapa sampai sejauh ini aku gak ketemu SD nya?!) Ricky baru teringat kalau setiap pulang saat itu, ia tidak menemukan sekolah lain lagi. Itu tanda kalau SD nya menjadi patokan awal menuju rumah.

Cepat-cepat Ricky merogoh saku seragamnya dan ia hanya menemukan uang seribu rupiah saja. Dalam keadaan mulai panik, ia segera mengedepankan tasnya untuk mengambil uang di dalamnya. Paniknya semakin menjadi-jadi saat ia ingat kalau tas yang ia pakai sekarang berbeda dengan tas ketika ia menjalani MOS kemarin, di mana ia menyimpan uang sisaannya di dalam tas itu.

Pikirannya buntu. Ia tidak tahu harus melakukan apalagi selain merutuki keteledorannya itu. Ia merasa hampir putus asa dan rasanya ingin melompat keluar dari jendela angkot saja, saat melihat tidak ada seorang pun yang ia kenal di sekitarnya. Semuanya orang dewasa dan tampak sudah pada bekerja.

Sampai kedua mata cokelatnya berhenti di depannya. Lebih tepatnya ke arah satu-satunya gadis yang berseragam sekolah yang sama dengannya yang duduk di seberangnya. Gadis itu tampak sedang mengamati tindakannya barusan.

Beberapa saat mereka saling memandang, dan Ricky membuang wajah duluan karena terlalu gugup untuk meminjam uang pada siswi yang belum dikenalnya itu.

"Gak ada uang, ya?"

Sontak, pertanyaan yang diajukan pada Ricky itu membuatnya menoleh ke arahnya kembali. "Ehm... ada uang sih, ta-tapi kurang aja." Ia tidak tahu harus bicara apa lagi. Ia bersyukur kalau gadis dikuncir satu itu peka dengan keadaannya saat ini.

"Ya sama saja gak ada uang dong, Rick," timpal gadis itu sambil tertawa renyah. "Ini, aku ada uang lebih." Ia segera mengintip sakunya dan mengambil uang di dalamnya.

"Kamu tahu namaku?" kaget Ricky. "Oh iya, pasti dari Kak Aurel saat itu."

"Nggak juga. Kita kan teman sekelas," kata gadis itu sambil menjulurkan uang lima ribu rupiah ke arah Ricky. "Jangan-jangan lu belum kenal aku lagi?" curiganya sambil menarik kembali uangnya itu.

Dengan senyum penyesalan, Ricky hanya bisa menggeleng sebagai jawaban.

"Ya ampun Ricky. Padahal aku duduk tepat di sebelahmu loh," erangnya. "Oke, kenalin, gue Talita Arsyila. Panggil saja Lita," ucapnya sambil menjulurkan tangannya. "Ricky Alfian, kan? Sudah tau." Namun, ia menarik tangannya kembali saat Ricky akan membalas julurannya itu.

Tiba-tiba saja Ricky tertawa seklias dan membuat Lita heran. "Kalau mau panggil aku-kamu ya aku-kamu. Gak usah campur-campur sama lu-gue," kata Ricky. "Jadi agak aneh kalau dicampur," tambahnya dengan kening berkerut.

Lita tampak malu mendengarnya. "Ya gue—eh maksudnya aku, gak biasa ngomong gue-lu ke orang yang baru kenal. Tapi lu nya panggil lu-gue, jadi ya gue ngikutin kamu deh,"

Ricky tidak bisa berhenti tersenyum saat mendengar kalimat aneh dari gadis yang terlihat gugup itu. "Ya udah, aku-kamu aja," Ricky mengalah walau sebenarnya agak risih menggunakan aku-kamu dengan lawan jenisnya yang tidak ada hubungan darah sama sekali itu, "Jadi bisa pinjemin aku duit gak, Lit?"

"Oh iya, jadi. Emang mau turun di mana?" kata Lita sambil menyerahkan uang lima ribu pada Ricky yang langsung diterimanya.

"Gue salah naik—" ucapan Ricky terhenti saat merasa ada yang aneh dengan kalimatnya. "Maksudnya, aku salah naik angkot."

Hal itu sontak membuat Lita tertawa sekilas. "Susah, kan? Kalau disuruh keluar dari zona nyaman," katanya.

"Ya, begitulah," Ricky pun ikut tertawa sekilas. "Duluan ya, Lit," pamitnya sambil mengetuk langit-langit mobil.

"Iya, hati-hati."

"Makasih gocengnya, Lita. Besok langsung diganti kok, tenang aja," kata Ricky sebelum ia turun dari angkutan umum yang sudah berhenti itu.

"Iya," balas Lita sambil tersenyum.

***

"Hallo, Ricky, kamu di mana? Sudah ditunggu di parkiran sekolah,"

Tepat saat Ricky menerima kembalian dari sopir angkutan umum, ia mendapat panggilan dari Aurel yang langsung diangkatnya.

"Aku di...," Ricky melihat sekitarnya untuk memberitahu posisi ia saat ini, "Depan kantor imigran," ucapnya saat ia melihat sebuah gedung di belakangnya itu.

"Ngepain kamu di sana?!"

"Ceritanya panjang."

"Ya sudah. Kamu diam di sana dulu ya. Jangan ke mana-mana lagi. Kalau ada orang gak dikenal ajak ngomong kamu, jangan diladenin. Kalau ada yang nanya jalan, bilang aja gak tau. Kalau ada orang yang kamu rasa dia memperhatikanmu terus, cari kantor polisi terdekat. Kalau ada yang minta nomor hp, jangan dikasih. Kalau ada SMS Mama minta pulsa, jangan percaya, soalnya Mama kita gak pernah minta pulsa ke anaknya. Kalau ada yang ngasih kamu permen, jangan terima. Kalau ada yang ajak kamu jalan, jangan mau!!"

Ricky hanya berekspresi datar saat mendengar peringatan panjang kali lebar yang menurutnya untuk anak kecil itu. "Iya, Ibuku sayang," cibir Ricky. Ia heran, mengapa kakaknya benar-benar bisa lebih khawatir dari pada ibu kandungnya sendiri.

"Bagus," balas Aurel. "Oh ya, nanti teman aku yang jemput kamu ya. Dia naik mobil aku. Namanya Jane, pakai baju kemeja kotak-kotak biru dengan dalaman kaos putih dan celana jeans sobek-sobek. Rambutnya pendek--"

"Muka bule Eropa, bukan?" sela Ricky sambil melihat seseorang yang baru saja keluar dari mobil beetle putih.

"Iya, bule. Tapi bukan dari Eropa. Dia dari Australia," kata Aurel. "Memang kamu sudah ketemu sama dia? Padahal aku belum kasih tahu posisimu loh."

"Are you Ricky?" tunjuk gadis bertubuh jenjang itu.

Ricky hanya mengangguk untuk menjawabnya. "Dia sudah ada di depanku sekarang," Ia merespon Aurel. "Kak, dia mau ngomong."

Jane menerima ponsel yang ia pinta itu sambil menarik tangan Ricky menuju mobil yang terparkir tepat di bawah tiang bersimbol larangan parkir itu.

"You really worried about your brother, aren't you?" kata Jane dengan emosi tertahan. Ia masuk ke dalam mobil dan memberi sinyal pada Ricky untuk masuk ke dalam mobil juga. "Yeah, I can tracked him by your car because you put an GPS on him. I don't know where but, hold on." Jane menjauhkan ponsel itu dari telinganya dan memandang Ricky. "Can I see your bag?"

"Sure," balas Ricky sambil memberikan tasnya pada gadis berpenampilan tomboi itu.

Jane terlihat sibuk mencari sesuatu di dalam tas hitam itu sampai ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak kecil dari dalamnya. "Do you know what is this?" kata Jane pada Ricky, "a GPS, dude! Your sister is really crazy about you!" Belum sempat Ricky menjawab, ia sudah menyelanya dengan emosi menggebu. "Ok, Aurel. I've found it. See you." Tanpa menunggu respon dari Aurel, Jane langsung menutup telepon secara sepihak dan memberikan ponsel itu kembali pada Ricky sambil melajukan mobilnya.

Selama di perjalanan, Ricky hanya bisa terdiam sambil memperhatikan benda kecil yang disebut GPS itu. Ia benar-benar tidak sadar kalau ada benda itu di dalam tasnya.

"Can you speak English?" Jane memecah keheningan.

"A little," balas Ricky.

Jane mengangguk. "Baiklah, kita ngomong pakai Bahasa saja," katanya.

Kedua alis Ricky terangkat sambil memandangnya. Ia tidak menyangka kalau gadis bule di sebelahnya itu lancar berbahasa Indonesia. "Mau ngomong apa?"

"Kenalkan, aku Jane Eddward. Lahir di Canberra, Australia, dan menetap di Indonesia hampir 15 tahun karena pekerjaan orang tuaku di sini dan satu kuliah dengan Aurel di Sydney," kata Jane dengan mata terfokus ke depan.

(Wah sudah 15 tahun di Indonesia. Pantas saja ucapannya fasih sekali,) kagum Ricky dalam hati.

"Apa kamu sudah minta maaf dengan Aurel?"

Ricky menghela napas dan dihembuskan cepat. Ini sudah ke sekian kalinya ia mendengar pertanyaan itu dari orang yang belum ia kenal secara mendalam. Tapi hal itu membuatnya ingin cepat-cepat meminta maaf pada Aurel. "Belum. Tapi nanti aku minta maaf,"

"Baguslah kalau begitu." Jane mengambil napas untuk memulai apa yang akan ia utarakan, "Asal kamu tahu, kemarin, Aurel menangis setelah kamu membentaknya. Banyak yang sudah dia korbankan untuk menemanimu seharian."

"Really?" Namun Ricky tampak tidak percaya dengannya.

"Aku sahabatnya Aurel selama di kampus dan selalu mendengar keluh kesahnya." Jane menunjuk dirinya sendiri. "Ok, aku jabarkan satu per satu apa yang sudah ia lakukan hanya untukmu selama ini. Dan aku yakin pandanganmu pada Aurel akan berubah setelah mendengarnya."