webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Lakukan Yang Terbaik!

Minggu pagi ini, Leo mengajak satu keluarganya untuk lari pagi dengan rute yang ia pilih. Matahari yang semakin menanjak naik dan suhu yang kian meningkat, membuat Aurel mudah sekali letih dan sering sekali berhenti untuk minum.

"Lemah banget," cibir Ricky, walau ia sendiri juga merasa sangat letih.

Aurel mengambil napas sejenak. "Biasanya aku gak kayak gini. Papa nih, rutenya kejauhan!" gerutu Aurel.

"Salah satu prinsip Papa, harus ada peningkatan," balasnya sebelum ia meneguk minuman isotonik. Lily hanya terdiam untuk mengatur napasnya kembali, ia sama letihnya dengan Aurel. "Kalau kita sudah sampai kecamatan sebelah, baru kita balik lagi!" Leo terlihat semangat sekali.

"Kok jauh banget sih, Pa!" Lily angkat suara.

"Kecamatan sebelah?" Aurel berpikir sejenak. "Ok!" Semangatnya tiba-tiba saja berkobar karena terpikirkan sesuatu. "Kalau Kiki gak bisa ngejar aku," Aurel menunjukkan sebuah ponsel yang ia ambil diam-diam dari saku celana training adiknya, "Aku buka semua isi folder dan chat kamu!" Aurel langsung berlari meninggalkan mereka.

"Jangan!" Ricky pun langsung bergegas mengejarnya. Ia tidak sadar kalau tangan gesit Aurel dapat mengambilnya. Sumber privasi Ricky ada di ponselnya dan tidak boleh diketahui oleh siapapun, apalagi kakaknya.

"Wah, ternyata tidak dikunci." Sambil berlari, sesekali Aurel melihat layar ponsel itu. Ia ingin melihatnya, namun ia harus fokus pada jalan yang ia lewati karena cukup banyak mobil dan motor yang lewat. Tidak lama kemudian, ia sampai di tujuan. Ia memasuki tempat itu dan terus berlari.

"Pemakaman?" Ricky terheran mengapa Aurel masuk ke dalam pemakaman.

Aurel cukup berhati-hati saat melewati beberapa makam, dan ia berhenti di sebuah makam yang letaknya tepat di bawah pohon bunga kamboja. "Ini." Aurel menyerahkan ponsel itu pada Ricky yang baru saja sampai. "Aku belum lihat apapun. Kalau mau aman, makanya dikunci."

"Iya," jawabnya setengah hati. Ricky mengambil napas sejenak sambil membaca tulisan di atas nisan batu itu.

"Kamu sudah tahu ini makam siapa, kan?" Aurel menyodorkan sebuah kantung plastik hitam pada Ricky. "Jadi, kita bersihin yuk!"

Ricky menerima kantung itu dalam diam. Ia tidak tahu ingin berkata apa lagi. Ini pertama kalinya ia mengunjungi makam kakak keduanya yang sudah tiada. Ia mulai memunguti daun-daun kering di sekitar makam yang sudah ditumbuhi banyak rumput. Matanya sulit beralih dari batu nisan itu.

"Lisa pasti senang karena dikunjungi sama adiknya. Dia juga pasti kesal karena aku menyembunyikan ini darimu," Aurel tertawa sekilas sambil mencabuti rumput liar di makam itu, "Ya, tapi mau bagaimana lagi? Aku cukup bodoh saat itu. Aku kira, semua akan beres dengan menyembunyikan semuanya. Tapi ternyata nggak. Jadi, maaf lagi ya." Merasa tidak mendapat respon, Aurel pun mengangkat kepalanya dan melihat Ricky. "Kiki? Kamu nangis?!"

Ricky terhentak dari lamunannya. Ia langsung berdiri dan berbalik badan, memunggungi Aurel untuk menghapus air matanya yang keluar dengan sendirinya. Tepat saat ia cukup lama memandangi nisan itu, ia dapat mengingat sebagian besar mimpi aneh yang pernah ia alami saat ia sakit.

Bye-bye, adikku yang cengeng.

Ia bahkan mengingat kata-kata yang diucapkan Lisa dalam mimpinya itu. Ia tidak menyangka kalau gadis asing yang ada dalam mimpinya itu adalah perwujudan kakaknya saat ia dewasa kelak. Walau hanya lewat mimpi, itu sudah cukup.

"Kamu kenapa, Ki?" Aurel tampak cemas.

"Nggak kenapa-kenapa." Ricky sedikit menjauh dari Aurel yang hendak menghampirinya. "Tadi ada tanah masuk ke mata."

"Mau kakak tiupin mata kamu gak?"

"Nggak usah. Sekarang udah hilang." Ricky melihat nisan itu sesaat. "Kak, kenapa cuman nama kakak aja yang berasal dari nama latin ubur-ubur?"

Aurel mendengus sebal. "Itu gara-gara Papa."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kan, kalau Papa itu ingin jadi dokter hewan, tapi gak kesampaian? Keinginan dokter hewan itu diwarisi almarhum kakek kita dari Papa yang juga mau jadi dokter hewan. Jadi gitu, anak pertama jadi korban 'keisengan' Papa. Beruntung banget kamu dan Lisa yang dinamain sama Mama," cerita Aurel. "Kayaknya Papa sekalian balas dendam deh."

"Balas dendam kenapa?"

"Kamu tahu nama panjang Papa?"

"Tahu. Namanya Panthera Leo."

"Nah, kamu tahu artinya?" Ricky menggeleng. "Panthera Leo itu nama latin dari singa."

"Ooh, pantas saja kalau marah mirip singa," komentar Ricky.

"Aurelia Aurita, ubur-ubur bulan. Iih masa manusia dinamain hewan, sih?" kesalnya.

"Jadi selama ini kakak gak terima dengan nama yang udah dikasih?" kaget Ricky. "Itu, kan, nama dari orang tua juga. Mungkin ada maksud tertentu." Kalau boleh jujur, Ricky baru tahu jika selama ini Aurel tidak menyukai nama itu.

"Iya, aku tahu. Sebenarnya aku terima-terima aja, cuman heran sama pemikiran Papa dan Kakek saat itu. Gara-garanya, aku jadi bahan tertawaan saat di Australia." Aurel tertunduk sedih.

Ricky tertegun. Ini benar-benar pertama kalinya Aurel mengungkapkan kesedihan padanya. Setelah kejadian kemarin, saat Ricky tahu tentang apa yang disembunyikan, Aurel menjadi sedikit terbuka padanya.

"Jangan dimasukin dalam hati. Menurutku, nama kakak bagus, kok. Ubur-ubur bulan. Waktu aku cari di internet, ubur-ubur itu sangat cantik. Gerakannya tenang dan gemulai." Ricky mencoba menyemangati. Ini bukan saatnya untuk bilang 'kenapa baru sekarang ceritanya, Kak?!'

Aurel tersenyum miris mendengarnya.

Akhirnya kedua orangtua mereka dapat menyusul. Naluri seorang ibu telah mengantarnya ke dalam pemakaman itu.

"Nah, kayak gini dong dari kemarin-kemarin," kata Lily. "Kasihan, kan, Lisa gak dikunjungi sama Ricky selama ini."

"Hah? Maksudnya apa?" bingung Leo. "Memangnya Ricky gak tau?"

"Gak tau pa!" jawab Ricky. "Selama ini Kak Aurel nyembunyiin semuanya dari aku," tuduhnya. Seakan Ricky ingin melihat Aurel mendapat hukuman langsung

"Aurel." Mata Leo menjadi tajam pada Aurel, sedangkan Aurel sendiri hanya tertawa miris. "Kamu tahu kan, gak boleh ada rahasia-rahasiaan yang menyangkut dengan keluarga."

"I-iya tahu. Tapi, kan... aku ada alasannya, Pa."

Papa menghembuskan napas panjang. Ia menyodorkan dua botol minuman isotonik pada dua anaknya. "Minum nih."

"Lah? Kakak gak dihukum, pa?" protes Ricky.

"Anggap saja kakakmu itu lagi beruntung. Lagian juga, gak baik marah-marah setelah olahraga."

"Betul, tuh!" Aurel tertawa sambil menerima botol minum itu. Setelahnya, Aurel dan Leo berbincang akrab seperti biasa seputar penemuan hewan terbaru atau konspirasi Bekasi disebut planet, atau hal absurd lainnya.

"Curang," dengus Ricky.

"Ya sudah. Biarin aja." Lily menenangkannya. "Nanti kalau ada waktu luang, kamu ke sini bacain surat Yasin, ya."

Ricky mengangguk. "Iya. Mungkin Jumat nanti sepulang sekolah."

Leo menerima panggilan dari seseorang. Dengan wajah terkejut, ia pun langsung mengangkatnya. Beberapa saat ia menjawab panggilan dari seseorang yang sepertinya penting itu.

"Ma! Aku lupa direktur perusahaan mau ke rumah!" seru Leo setelah panggilannya terputus.

"Kapan? Sekarang?"

"Iya!"

"Duh, Papa gimana, sih?" Lily juga tampak panik. "Kalian berdua, kalau sudah selesai beres-beresnya, langsung pulang, ya."

"Kalau kalian berdua tidak pulang sampai jam 2 siang nanti, Papa kasih hukuman," ancam Leo. "Ayo Ma!" Ia langsung menggenggam tangan Lily dan membawanya berlari secepat kilat keluar pemakaman.

Ricky tersenyum sekilas, lalu ia kembali memungut dedaunan kering yang tinggal sedikit.

"I'll try my best!!"

Seruan penuh semangat Aurel membuat perhatian Ricky beralih padanya. "Hmm?"

Aurel memandang Ricky dengan tatapan berkobar. Bisa dikatakan, ia sangat semangat entah karena apa. "Aku akan menjadi kakak yang lebih lebih lebih baik lagi!"

Beberapa saat Ricky terdiam untuk mencerna maksud dari kalimat Aurel. "Hah?!" Ia terlihat suram saat membayangkan Aurel menjadi sangat agresif padanya.

"Bukan bukan bukan." Aurel menggeleng cepat. "Ini bukan seperti yang kamu bayangin. Aku akan berusaha menjadi sosok kakak yang tidak terlalu protektif lagi."

Ricky menghembuskan napas lega dan bersyukur dalam hati. "Jadi maksudnya kakak gak akan ikut campur urusanku, manja-manjain aku, dan nganggap aku anak kecil lagi, kan?"

"Iya!" Aurel mengangguk semangat. "Sekarang aku menganggapmu pria dewasa yang sudah bisa melakukan segalanya sendiri!"

Ricky bisa merasakan sebuah rantai baru saja terlepas dari lehernya. Saat ini ia benar-benar merasa bebas. Akhirnya setelah penantian yang panjang. Rasanya ia ingin menangis haru, tapi rasa malu menghalanginya.

"Berarti aku boleh punya--" Ricky langsung menutup mulutnya sebelum satu kata terakhir keluar.

"Hanya karena aku gak nganggap kamu pria dewasa, bukan berarti aku ngizinin kamu punya majalah dewasa, ok? Kalau ketahuan, bakal aku kasih tahu Papa," ancam Aurel dengan senyum misteriusnya.

Ricky hanya tertawa renyah mendengarnya. Hampir aja keceplosan, batinnya. Ricky masih belum siap untuk mengatakan pada kakaknya kalau ia ingin sekali punya pacar. Setelah mendengar cerita dari Jane, Ricky tahu kalau Aurel pasti tidak membolehkannya punya pacar dengan alasan 'tidak ingin merasakan hal yang sama'. Jika Ricky keceplosan tadi, mungkin saja Aurel malah mengekangnya lagi.

(Elbrian ya... Aku jadi penasaran seperti apa wujud laki-laki brengsek yang sudah menyakiti kakak tersayangku.)

***

"Kamu gak mau sapa mereka?"

"Nggak ah, nanti aja. Ayo pulang, kak."

"Ngomong-ngomong itu makam siapa? Aku baru tahu ada kerabat Aurel yang dimakamkan di sini," gumam laki-laki berkacamata itu.

"Aku gak tahu dan gak peduli. Ayo langsung pulang aja, nanti ketauan. Aku lagi malas ketemu teman!" gerutu perempuan yang dikuncir satu itu.

"Teman apa teman?" godanya.

"Kak Arsya!"

Ia tertawa sekilas dan tidak memedulikan adiknya. Kakinya melangkah mendekati sepasang kakak beradik yang sedang membersihkan sebuah makam.

"Assalamu'alaikum."

Mendengar ada yang memberinya salam, Aurel langsung berdiri dan berbalik badan. "Wa'alaikumsallam Arsya, Lita. Wah kebetulan sekali kita ketemu di sini," balasnya ramah, disusul dengan Ricky.

"Hai, Lit," sapa Ricky dengan sumringah.

"Ha-hai." Lita sedikit gugup membalasnya.

"Kalau boleh tahu, ini makam siapa?" tanya Arsya.

"Ini makam adik pertamaku, kakak kedua Kiki, namanya Lisa. Dia meninggal karena kecelakaan," jawab Aurel.

"Innalillahi, aku baru tahu. Maaf."

"Nggak apa-apa. Kalian sendiri habis dari mana?"

"Makam ibu. Lain kali, kalau kalian mau, kita bisa saling bertukar doa, ok?"

Aurel sempat tertegun saat tahu kalau mereka sudah tidak memiliki ibu. "Ok." Ia menunjukkan ibu jari dan senyum manisnya.

Mendadak, pikiran Arsya menjadi buntu. Ia tidak tahu ingin mengangkat topik apa setelah melihat senyum manis Aurel.

"Maaf kak Aurel, kami harus pamit." Lita angkat bicara saat suasana menjadi agak canggung.

"Oh iya. Hati-hati."

"Jangan lupa nanti malam, ya, Lit," kata Ricky

"Iya," jawab Lita sambil tersenyum sekilas. Ia langsung menyeret Arsya untuk pergi dari tempat itu sebelum ia sempat mengucapkan salam perpisahan.

"Kakak belum sempat minta nomor teleponnya, Lita!"

"Bodo amat! Lain kali aja!"

Aurel segera memandang Ricky penasaran setelah kepergian mereka berdua. "Nanti malam kalian mau ngepain?"

"Kepengen tau banget," jawabnya. "Katanya kakak janji gak mau ikut campur urusanku lagi."

"Aku gak janji. Aku hanya berusaha." Aurel mengelak. "Kalau kamu gak mau kasih tau, ya gak apa-apa." Aurel mengedikkan bahu.

"Lagian fokus banget ngobrol sama Kak Arsya, sampai gak denger aku ngobrol sama Lita."

Aurel mendesah, dan melihat ke bawah. "Ini kayaknya sudah bersih. Ayo kita pulang." Ricky hanya tertawa sekilas melihat ekspresi Aurel yang mudah ditebak itu.

"Tadi aku cuman minta pembahasan soal kimia dari Lita. Nanti malam katanya mau dikirim," kata Ricky yang tidak tahan melihat wajah masam Aurel.

"Ooh kukira apa hehe." Aurel terkekeh dan wajahnya kembali riang.

Setelah Aurel dan Ricky membeli es kelapa di jalan bata pemakaman, Ricky melihat seseorang yang cukup familiar sedang berjalan ke arahnya.

"Hai Ricky!!"

"Hai Caca,"

"Dih, Caca doang yang disapa," gerutu Wina.

Ricky baru tersadar ada dua orang lagi yang perlu ia sapa. "Hai Wina, Ika."

(Cewek-cewek lagi) Aurel tampak tak terima dengan gadis-gadis yang mendapat senyuman dari Ricky itu.

"Lu baru sembuh juga, langsung minum es. Bagi dong." Caca merebut es kelapa Ricky tanpa permisi.

"Main serobot aja, mbak" celoteh Ricky.

(Indirect kiss?!) Rasanya Aurel ingin berkata kasar pada gadis yang langsung menghisap minuman itu tanpa membalik sedotannya terlebih dahulu.

"Gue haus, bang. Ikhlas gak, nih?"

"Ikhlas kok ikhlas." Ricky menghisap minumannya lagi.

"Bagi dong, Rick." Wina sendiri juga meminumnya tanpa membalik sedotan terlebih dahulu. Begitu juga Ika.

(Sebenarnya, berapa banyak cewek yang suka sama Ricky?!) jerit Aurel. (Apa jangan-jangan malah Ricky yang suka sama mereka?)

Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya mereka berempat pergi. Ricky mengenal tiga perempuan itu karena mereka memang teman sekelas. Ia menyadari keberadaan seorang laki-laki yang berada di samping mereka, namun ia tidak mengenalnya. Caca sendiri juga tidak mengenalkan laki-laki yang sedang merokok itu padanya.

(Tahan Aurel, Tahan. Kamu pasti bisa. Biarkan adikmu ini berteman dengan siapa saja. Lagian emangnya itu beneran mereka suka Ricky? Jangan ngaco deh Aurel!)

"Kak?" Ricky merasakan aura gelap yang keluar dari tubuh Aurel.

(Berteman. Tapi jangan sampai keluar batas. Aurel, kamu harus menjaganya!) Ada sedikit perdebatan di pikirannya.

Ricky mendesah. Ia sudah menduganya kalau Aurel tidak akan membebaskannya semudah itu.

Sebesar apapun Aurel berusaha, akan sulit baginya untuk membiarkan Ricky bergaul dengan teman-temannya dan melepasnya pergi ke suatu tempat begitu saja tanpa meminta izin. Ini karena Aurel masih sayang padanya, rasa sayang yang begitu besar seperti seorang ibu yang sayang pada anaknya.

Aurel tidak ingin membuat kesalahan yang sama.