webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Berawal Dari Sini…

"Kalau kamu mau sampai malam ya gak apa-apa. Tapi kalau pulang, langsung telepon kakak, ya. Jangan jauh-jauh dari lingkungan sekolah. Kalau ada orang tidak dikenal menyapamu, jangan dibalas. Kalau ada yang ngasih es krim—"

"Iya, iya, aku tau. Gak usah lebay, aku bukan anak kecil lagi!" Ricky mendengus sebal sambil menepis tangan Aurel dari kepalanya.

"Bagus. Arsya, aku bisa minta tolong ke kamu buat sekalian jaga Ricky gak?"

Belum sempat Arsya menjawab, Ricky sudah menimpalinya penuh emosi. "Apaan sih, Kak Aurel. Aku bilang kan aku bisa jaga diri."

"Ehm... sebenarnya aku juga gak bisa sampai malam. Aku harus kasih beberapa foto dan hasil wawancara ini ke bos." Arsya berkata demikian. Lalu ia memandang Lita dan Ricky bergantian. "Aku cuman bisa menemani kalian sampa jam 4 sore. Untuk seterusnya, kalian harus saling jaga diri, ya."

"Ok!" balas Ricky sambil mengacungkan ibu jarinya. Ia tidak memedulikan tatapan Aurel yang sulit untuk diartikan yang ditujukan pada adiknya itu.

"Ehh... aku pulang bareng kakak aja deh," kata Lita tiba-tiba.

"Yah, kenapa, Lit? Di sini aja, temani gue."

"Hmm... tapi—"

"Iya, di sini aja!" seru Aurel. "Kasihan Kiki, dia gak punya teman selain kamu."

"Kak Aurel ngomong apaan deh?"

Merasa ada dorongan dari sana-sini untuk membuatnya berlama-lama di sekolahnya itu, membuat Lita akhirnya setuju untuk mengikuti acara pentas seni sekolah sampai malam.

"Ok, Ricky, setelah Arsya pergi, kamu jagain Lita, ya." Aurel memberinya pesan.

"Siap!" Bisa terlihat semringah lebar di wajahnya. Ia tidak menyangka bisa merasa sebebas ini setelah Aurel mengizinkannya sampai malam tanpa gangguan darinya.

Setelah itu, Aurel pun pergi meninggalkan mereka dengan perasaan campur aduk. Ia tidak mengerti keadaannya saat ini setelah ia menyuruh Ricky untuk menjaga Lita sampai malam nanti.

Bersikap dewasa, Aurel! Jangan mengekangnya terus, dia sudah remaja dan bisa menentukan jalannya sendiri!

***

Seorang gadis dengan penampilannya yang bisa dikatakan cukup 'wah'—celana jeans pensil, tanktop ketat berwarna putih yang dibalut dengan jaket denim yang juga menunjukkan lekuk tubuhnya—sedang membayar tiket masuk pensi untuk kedua kalinya. Di belakangnya, ada gadis dengan tampilan yang tidak jauh berbeda dengan di depannya—jaket denim dan celana pendek selutut—sedang menyiapkan uang untuk membayar tiket.

"Caca!"

Seruan itu membuatnya menoleh ke kanan. Ada Yoga, Eza, dan Wina menghampirinya.

"Lu lama banget, sih, Ca!" gerutu Wina saat Caca sudah bisa masuk pensi.

"Jauh Na," balas Caca. "Eh iya, kenalin, ini sepupu gue, Cika"

Mereka pun bersalaman dengan gadis yang bernama Cika itu untuk saling memperkenalkan diri. Kemudian mereka pun berjalan ke suatu tempat.

"Cika malu-malu gitu ya, orangnya," komentar Yoga saat melihat Cika yang dari tadi diam saja.

"Masih mending. Daripada lu, malu-maluin," balas Caca, yang ditanggapi tawa pelan dari Yoga. "Ricky mana?"

"Gak tau deh. Kita udah muter-muter gak ketemu dia," jawab Wina.

"Di kantin kali," sambar Eza.

"Emang kantin buka?" Caca mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Gak tau. Coba aja cek."

Kemudian, mereka pun pergi ke kantin. Ternyata memang benar, Ricky sedang duduk di sana bersama seseorang.

"Ca, liat deh." Wina menarik ujung jaket denim Caca.

Setelah dipastikan dandanannya tidak luntur, ia kembali memasukkan cermin kecilnya ke dalam tas dan melihat apa yang Wina lihat. Sebuah amarah terpendam mulai dirasakan Caca ketika melihat Ricky sedang asik mengobrol dengan Lita. Berduaan.

Tanpa aba-aba, Caca langsung menghampiri mereka. Wina tidak sempat menahannya.

"Hai Ricky, Hai Lita!" sapa Caca ramah.

"Hai," balas Ricky dan Lita hampir bersamaan.

"Kalian berduaan aja?" tanya Caca sambil duduk di sebelah Ricky dan sedikit menjaga jarak.

"Tadi ada Nia. Dia baru aja balik," jawab Ricky.

"Kok gak ketemu, ya?"

"Dia keluar kantin lewat sana." Lita menunjuk ke arah berlawanan dari arah Caca datang. "Caca sendiri?"

Caca menunjuk Cika, Yoga, Eza, dan, Wina yang baru datang. "Kenalin, ini sepupu gue, Cika." Mereka pun bersalaman dan saling mengenalkan diri. Terjadi sedikit basa-basi—seperti dari mana dan datang sama siapa—antara Cika dan Lita untuk menghilangkan atmosfer yang terasa berat di sekitarnya.

"Rick, ke rumah hantu, yuk," ajak Caca.

"Udah tutup, Ca," kata Yoga enggan.

"Oh iya, ya." Caca mengangguk pelan. "Pada gak pesan makan? Gue laper lagi masa."

"Gue udah makan tadi sama Lita," kata Ricky. "Kalian kalau mau pesan, pesan aja."

"Ya udah, pesan yuk, Ca," ajak Wina sambil berdiri. "Untung kantin masih ada yang buka."

"Mager ah," keluh Caca. Semangatnya tiba-tiba menurun drastis. "Pesanin gue sama Cika dong. Soto biasa."

"Yee mager mulu." Wina menarik tangan Yoga. "Temenin gue yuk, Ga." Belum sempat Yoga menjawab, ia sudah menariknya. Tanpa disuruh, Eza juga berdiri untuk memesan makanan.

Beberapa saat, terjadi sedikit kecanggungan di sana sampai Caca berinisiatif membuat topik. "Lu di sini sampai malam, Rick?"

"Iya. Guess star nya malam, kan?" tanya Ricky memastikan.

"Biasanya, sih, iya."

Lita benar-benar merasa tidak nyaman ada di sana. Wajahnya terus menunduk melihat layar ponselnya. Ia tidak melakukan apa-apa pada ponselnya itu kecuali menggeser-geser menu utama. Melihat Caca yang terus mengobrol sama Ricky membuat Lita merasa tidak berguna di sana. Di tambah Cika yang tampaknya bosan padanya karena mungkin kesan pertamanya yang agak kurang, membuat Lita semakin overthinking. Ia pun berencana untuk pergi ke suatu tempat saat Wina, Yoga, dan Eza datang.

"Lita mau ke mana? Di sini aja," kata Caca saat melihat Lita berdiri.

"Aku... aku mau ketemu seseorang sebentar."

"Jangan jauh-jauh ya, Lit. Nanti balik ke sini, aku gak ada pulsa buat telepon." Perkataan Ricky cukup membuat Caca tertegun.

"Iya." Setelah itu, Lita pun keluar dari kantin.

Beberapa saat Caca terdiam dengan ekspresi yang susah diartikan. Ia ingin bertanya, tapi ia takut merasa sakit jika ia mendengar jawabannya. Kalau didiamkan saja, ia menjadi penasaran dan mungkin saja membuatnya tidak bisa tidur.

"Rick, lu sama Lita pacaran, ya?" Setelah menimang-nimang, akhirnya Caca memutuskan untuk bertanya.

"Eh? Beneran?" kaget Yoga.

"Nggak," jawab Ricky santai.

"Terus, kenapa lu panggilnya aku-kamu sama dia?"

"Lita nyamannya seperti itu, ya sudah aku ikuti saja."

"Terus kenapa lu protektif banget sama dia?" tanya Caca lagi. Dalam hati, ia bernapas lega mendengarnya.

"Kak Aurel minta gue jagain dia."

"Kenapa?"

Cecaran Caca membuat Ricky menarik perhatiannya dari layar ponsel ke gadis itu untuk menandangnya heran. "Susah dijelaskan." Ricky memperhatikan penampilan Caca yang menurutnya berbeda dari sebelumnya itu. "Ca, lu cantikan," komentarnya, yang sekaligus untuk mengganti topik.

Beberapa saat terjadi keheningan di sana mendengar komentar Ricky yang tiba-tiba dan terdengar datar itu. Dan akhirnya Caca menjerit histeris kegirangan. "Kyaa!! Baru Ricky aja loh yang puji gue seharian ini!!"

"Yah si Ricky ngepain puji dia, sih?" keluh Eza. "Nanti kumat lagi dia."

"Kenapa? Gue cuman komentar, kok," kata Ricky dengan tampang polosnya.

"Ca, sadar Ca!" Wina menghampiri Caca dan menggerak-gerakkan tubuh Caca yang tidak berhenti tersenyum itu.

"Obatnya masih ada gak, Win?" tanya Yoga.

"Udah habis, Ga!" panik Wina.

"E-emang kenapa? Caca kena penyakit apa?" kali ini Ricky juga ikutan panik.

"Lo sih Rick. Lain kali jangan puji-puji Caca lagi. Dia gampang kesurupan kalau ada yang puji dia! Apalagi kalau lu yang puji, Rick!" seru Yoga.

"Beneran? Ya udah gue gak—"

"YOGA!!!" histeris Caca sambil menatapnya tajam. Yoga pun terdiam untuk menahan tawa.

"Eh obatnya udah datang!" Eza menunjuk seorang ibu-ibu yang sedang membawa pesanan Caca dan Cika.

"Obatnya soto?" heran Ricky.

Ia membagikan dua mangkuk soto dan dua piring nasi pada Caca dan Cika.

"Astaga, lu polos banget, Rick!" Eza tertawa lepas, disusul dengan Yoga, Wina, dan Cika.

Caca juga ikut tertawa walau sekilas. "Rick, lu gak boleh jauh-jauh dari kita kalau gak mau dikibuli sama orang-orang yang bikin lu malu," kata Caca sambil menepuk pundak Ricky.

Beberapa saat Ricky terdiam dan memikirkan sesuatu. Sampai ia benar-benar baru menyadari kalau ia sedang dikerjai. "Ooh... kalian bercanda, ya?"

Yoga menyeka air matanya yang hampir keluar gara-gara terlalu puas tertawa. "Baru pertama kali gue liat ada cowok yang polosnya kelewat batas kayak lo!" Yoga menepuk-nepuk punggung Ricky.

"Eh sakit Ga!" Ricky ikut tertawa melihat mereka tertawa.

"Rick, gue kasih tau satu hal." Akhirnya Wina bisa menahan tawanya. "Dungu sama polos itu gak beda jauh."

Walau Ricky agak kesal dengan satu hal yang baru ia tahu itu, ia tidak terlalu memedulikannya. Setelah menunggu tiga tahun lamanya, akhirnya ia bisa tertawa bersama orang-orang yang ia anggap sebagai temannya. Ia sangat menginginkan masa-masa seperti ini. Berada dalam satu lingkaran pertemanan yang menganggapnya ada tanpa ada nistan memanfaatkan dirinya untuk kepentingan pribadi. Ricky hanya berharap kalau berawal dari sini, pertemanannya bersama Caca, Yoga, Wina, dan Eza ini dapat bertahan lama sampai ia lulus atau—kalau bisa—sampai mereka dewasa.