webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Alasannya Selama Ini

Ricky sedang asik menonton acara di TV saat seorang gadis berambut kecokelatan datang menghampiri. Ia langsung duduk di tepi sofa. Tangannya mengambil remote yang tergeletak di atas meja secepat kilat dan langsung mengganti saluran.

"Woy, gue duluan yang nonton!" sahut Ricky.

"Siapa duluan, dia dapat!" balasnya sambil menjulurkan lidah.

"Tapi gue duluan yang pegang remot!" Ricky berusaha merebut remote itu, namun ia menjauhkannya.

"Apaan sih, gue duluan yang dapat ini!"

Hampir saja terjadi perkelahian antara mereka, Lily muncul dari ruangan lain.

"Alisa, kamu tuh sudah besar. Ngalah dong sama adeknya!" tegur Lily.

"Kasih remote itu atau uang mingguanmu papa potong," ancam Leo. Mereka berdua kebetulan sedang lewat.

"Ja-jangan uang jajan, Pa!" seru gadis yang bernama Alisa itu. "Nih, ambil tuh." Tiba-tiba ia melempar remote itu dan tepat mengenai kening Ricky. "Eh maaf, maaf."

Ricky mendecih sebal sambil mengambil remote itu untuk mengganti saluran.

"Kalian berdua jangan berantem terus. Papa Mama mau pergi keluar dulu."

"Ok!" seru gadis itu.

Tak lama kedua orang tua mereka keluar dan datanglah Aurel. Ia mengendap-endap menuju sofa dan berencana untuk mengagetkan kedua adiknya itu.

"Dor!" Tapi tidak ada yang kaget sama sekali, justru mereka memasang wajah kesal pada Aurel. "Kalian berantem terus, sih!" gerutu Aurel. Ia duduk di antara mereka. "Kenapa?"

"Kalis yang mulai!" seru Ricky.

"Eh, bontot. Jangan manggil gue Kalis! Emangnya gue adonan!" balas Alisa.

"Sialan lo manggil gue bontot!"

"Emang lo bontot! Kenapa? Mau berantem lagi? Ayo!" Alisa sudah menggulung lengan bajunya dengan mata melotot.

"Heh Lisa, mentang-mentang kamu sudah sabuk hitam, jangan seenaknya gitu dong," tegur Aurel. "Lawanmu harus setimpal. Kalau Kiki juga ikut bela diri sepertimu, baru boleh berantem."

"Iih kakak bela Kiki terus! Mentang-mentang dia bontot!"

"Aku gak belain siapa-siapa." Aurel menoleh ke kanannya, ke arah Ricky yang masih meledeki Lisa. "Kamu juga, Ki. Sudah tau Lisa orangnya gimana. Masih aja diladenin. Nanti nangis lagi."

"Tau tuh, dasar cengeng! Udah 16 tahun masih nangis juga"

"Lisa!" Aurel menatapnya dengan kedua alis bertaut dalam. Perkataannya sungguh keterlaluan. "Kamu sendiri sudah 21 tahun masih aja jahilin Kiki. Harusnya kamu yang selama ini ngalah! Sebutan kakak buat apa kalau gak dipakai semestinya?"

Alisa tertawa renyah. "Yah elah dibawa serius banget, sih. Aku kan cuman bercanda, Kak. Habisnya bosan," ucapnya seraya menautkan tangan di belakang kepala.

"Bosan? Jadi kamu punya banyak waktu luang, eh?" kata Aurel. "Proposal skripsimu apa kabar? Katanya kamu mau lulus tahun ini biar bisa ngalahin aku."

"Lagi malas ah," balasnya. Ia beranjak dari sofa sambil meregangkan tangan. "Mending baca komik aja."

"Jangan lupa skripsimu, Lisa! Kalau perlu bantuan bilang aku aja. Jangan lupa sering konsul sama dosen pembimbing!"

"Iya, kakakku yang penuh perhatian," cibirnya. Ia menghampiri Ricky yang masih tampak kesal itu dengan pandangan fokus ke TV. Tiba-tiba saja Lisa mengacak-acak rambutnya.

"Ganggu hidup orang terus!"

"Ah elah, Ki. Gue janji deh gak bakal gangguin hidup lo selamanya," kata Alisa. "Bye-bye, adikku yang cengeng."

***

"Ricky." Sebuah guncangan kecil di pundaknya membuat ia terbangun. "Makan dulu, sayang. Kamu tidur kelamaan, nanti masuk angin loh."

"Mama?" Ricky memejamkan mata kembali setelah melihat siapa yang membangunkannya. Tubuhnya benar-benar terasa berat untuk bangun.

"Ayo bangun." Lily menarik tangan Ricky untuk bangun ke duduk. "Nih, minum dulu." Ia menyodorkan segelas air mineral, dan Ricky pun langsung meminumnya.

"Aku bisa makan sendiri," kata Ricky saat melihat sendok berisi bubur sudah ada di depan wajahnya. Setelah ia membenarkan posisi duduknya untuk bersandar di sandaran tempat tidur, ia pun menerima semangkuk bubur ayam yang masih hangat itu.

"Kamu dapat ini dari mana?" Lily mengambil album merah yang keluar dari bawah bantal saat Ricky menggeser bantal itu.

"Hmm," Ricky berpikir sejenak sambil melahap bubur, "Dari kotak di bawah tempat tidur Kak Aurel," jawabnya.

"Ooh jadi dari dulu dia menyimpan itu di sana," gumamnya. Ia membuka album itu.

Ingatan Ricky perlahan pulih kembali. "Ma, bayi di dalam album itu siapa?"

"Baru mau Mama ceritakan," kata Lily. "Mama sudah tidak tahan lagi mau cerita ini ke kamu, tapi Aurelnya kebangetan. Dia terus merahasiakan ini dari kamu."

"Kenapa?"

Lily memandang Ricky sekilas. "Mama tidak tahu. Sampai saat ini Mama tidak tahu jalan pikir Aurel seperti apa. Selagi dia masih berbakti pada orang tua dan tidak buat masalah, Mama tidak mempermasalahkan alasannya itu." Ia mengeluarkan sebuah foto dari dalam album dan ia tunjukkan pada Ricky.

"Apa selama ini, anak perempuan itu yang Kak Aurel sembunyikan dariku?" terkanya sambil menunjuk foto anak perempuan berambut kecokelatan yang sedang tersenyum riang sambil memeluk bonekanya.

"Iya. Kamu bisa tebak ini siapa?"

Ricky berpikir sekilas. "Anak kedua Mama dari mantan suami Mama?"

"BUKAN!!" bentak Lily. "Kenapa kamu malah mikir kayak gitu?"

"Hehe... kan cuman menebak." Ricky terkekeh. "Jadi, dia siapa?"

Lily membalikkan foto itu dan terlihat tulisan yang sedikit memudar di belakangnya. "Ini foto terakhir kakak keduamu."

"Alisa Syifa Shidqia?" Ia membaca tulisan itu. "Foto terakhir? Memangnya dia di mana sekarang?"

"Tidur dengan tenang di TPU kecamatan sebelah," jawabnya lirih. Ricky terdiam dan tidak tahu harus berekspresi apa. Nafsu makannya tiba-tiba saja menurun. "Rambutnya cokelat ikal mengikuti ayah Mama. Kalau dia masih hidup, mungkin saat ini umurnya 21 tahun. Lisa beda lima tahun dari Aurel," jelasnya. "Dia cantik, kan?

Ricky memandangi mata bulat dan pipi tembam menggemaskan, serta senyum riang yang menunjukkan sebelah lesung pipi di kanan. "Sangat cantik," jawabnya. "Apa yang terjadi padanya?"

Lily menghembuskan napas panjang. "Dia lah yang membuat Aurel seperti ini."

"Maksudnya?"

"Lisa meninggal saat usianya 5 tahun karena jatuh dari tangga," Lily mulai bercerita, "Aurel merasa sangat bersalah. Aurel merasa dia lah yang harus di salahkan. Mama ingat sekali, saat itu Mama ada di dalam kamar dan Aurel ada di dapur. Kronologi yang Mama tahu, Aurel tidak sengaja menjatuhkan es krimnya di anak tangga paling atas. Ia langsung menuju dapur untuk mencari kain lap. Saat itu masih ada TV kecil di dapur, Aurel tidak langsung mengelap es krimnya itu, tapi ia malah nonton acara kartun di sana."

"Lisa ingin ke kamarnya di lantai dua setelah ia puas bermain di ruang keluarga. Aurel tidak menyadari Lisa akan naik tangga, dan Lisa sendiri juga tidak tahu ada es krim di anak tangga. Mungkin karena warnanya yang nyaru atau apa. Jadi, akhirnya Lisa terjatuh dari lantai atas ke bawah. Ia meninggal saat di perjalanan menuju rumah sakit karena cedera parah di kepalanya dan lehernya patah." Lily menutup ceritanya dengan hembusan napas penuh keputusasaan.

"Dan Kak Aurel tidak bisa memaafkan dirinya sendiri gara-gara kejadian itu," tambah Ricky.

"Iya. Mama tidak tahu apakah sampai saat ini ia bisa memaafkan dirinya itu atau tidak," Lily menghela napas, "kalau Mama lihat dari perlakuannya yang berlebihan padamu itu, sepertinya dia masih belum bisa memaafkan dirinya dan masih merasa bersalah."

Ricky tertunduk dan memikirkan sesuatu.

"Karena itu dia mengidap Thantophobia."

"Thantophobia?"

"Takut akan kehilangan orang yang ia sayang. Dia tidak ingin kehilangan orang kesayangannya untuk ketiga kalinya. Dia tidak ingin kehilanganmu."

Ricky termenung sejenak. Tindakan over protektif yang ditunjukkan Aurel memiliki alasannya tersendiri, dan Apakah sampai separah itu hingga disebut sebagai phobia? Mungkin Ricky hanya bisa bertanya-tanya tanpa tahu jawaban pastinya.

"Aneh. Dia tidak ingin kehilangan aku, berarti gak apa-apa buat dia kalau kehilangan kedua orang tua?" tanya Ricky.

"Kalau Aurel tidak sayang Mama dan Papanya, tidak mungkin dia ngasih dua per tiga penghasilannya buat Mama dan Papa. Kalau Aurel ingin kehilangan Mama dan Papanya, tidak mungkin ia memberikan seluruh penghasilannya untuk operasi usus buntu Papamu saat itu." Lily terlihat emosi.

"Bercanda, Ma." Ricky tersenyum tanpa dosa.

"Iih kamu ini. Lagi serius juga!"

"Aku tidak tahu Kak Lisa sampai Mama menceritakan dia. Apa selama ini juga Mama, Papa, dan Kak Aurel gak ziarah ke makamnya?"

"Kami ziarah bergantian dan di saat kamu tidak ada di rumah. Kecuali 7 tahun kemarin waktu Mama dan Aurel ada di Australia."

Ricky sedikit meremas selimut. "Kenapa kalian semua tidak menceritakan ini dari dulu?"

"Ini kemauan Aurel, sayang."

"Bahkan Papa juga memenuhi kemauan Aurel?"

Lily menggeleng. "Aku tidak tahu. Mungkin Papa mengira kalau kamu sudah tahu."

"Keterlaluan."

"Mungkin Aurel punya maksud tertentu. Tapi setidaknya, Mama sudah ceritakan ini ke kamu, kan."

Ricky menghela napas dan dihembuskan perlahan untuk meredakan emosinya. "Ma, kalau kehilangan aku yang ketiga dan kehilangan Lisa yang pertama, keduanya itu siapa?" heran Ricky.

"Saat itu dia--"

"Kamu gak perlu tahu siapa yang kedua!"

Tiba-tiba saja Aurel masuk ke dalam kamar yang sedaritadi pintunya sedikit terbuka itu. Ricky dan Mamanya tersentak dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"Siapa yang kedua, Ma?" Ricky tidak memedulikannya.

"Yang kedua itu--"

"Dibilang jangan!" Aurel melempar bantal kecil di atas karpet ke arah Ricky. Alhasil, bubur yang ditangkupnya itu tumpah mengotori piamanya.

"Aurel!" bentak Lily.

"Kak--" Ucapan Ricky terhenti seketika saat melihat Aurel berlinang air mata. Emosinya meredam begitu saja.

"Gue gak mau tau. Siapapun gak boleh kasih tau Kiki tentang dia!" Sedangkan emosi Aurel meningkat drastis. "Lo udah masuk seenaknya ke kamar gue dan ngambil itu tanpa izin. Lo pikir gue bakal biarinin lo gitu aja buka-buka kotak pribadi gue?!" Aurel mendekat ke arah Ricky dan mengambil foto itu paksa. Ia juga mengambil album keluarga itu.

"Aurel! Sejak kapan kamu manggil Lo-Gue di depan Mama?!" bentak Lily.

"Aku gak bermaksud ngomong ke Mama, tapi ke Kiki!" timpal Aurel dengan tatapan sinis ke laki-laki itu. "Udah cukup Mama ceritain Lisa ke Kiki. Jangan ditambah dia juga. Aku... Aku gak mau..." Ia mulai terisak-isak.

Lily menghembuskan napas panjang. "Aurel sayang, ikut Mama sebentar." Ia menarik tangan anak sulungnya itu keluar kamar. "Ricky, Mama panggil Bi Suli buat bersihin, ya," ucapnya sebelum ia menutup pintu.

Ricky masih terdiam dengan mata sedikit terbelalak. Ini benar-benar pertama kalinya ia melihat Aurel semurka itu.

"A-aw panas!" Buru-buru Ricky keluar dari selimutnya dan berdiri sambil menepis bubur yang masih menempel di piyamanya. Bubur yang ternyata masih hangat itu pun tidak sempat ia rasakan ketika mendengar ungkapan Aurel yang penuh emosi tadi.

Tidak lama kemudian, datanglah Bi Suli. "Wah, kenapa, Mas?"

"Perkelahian kecil," jawabnya santai.

"Mas Kiki sama Mbak Aurel berantem? Gak biasanya sampai berantakan gini." Bi Suli menghampiri tempat tidur Ricky dan mulai membereskannya.

"Gak tau, tuh. Tiba-tiba aja dia ngamuk. PMS kali." Ricky mengedikkan bahu dan keluar kamar sambil membawa beberapa pakaian ganti.

Saat diluar kamar, tidak ada siapa-siapa di lorong tempatnya berdiri. Ia berpikir kalau Aurel dan Lily berbicara di suatu tempat, namun ia tidak terlalu mempedulikannya. Yang ia pedulikan saat ini adalah keadaan Aurel yang sepertinya tidak begitu baik saat ia mengambil barang privasinya dari dalam kamarnya.

Tapi mengapa Aurel harus merahasiakan itu dari adiknya?

Ricky akan bertanya lebih lanjut langsung ke orangnya saat ia berada di situasi dan kondisi yang tepat. Tapi setidaknya, ia mulai sedikit paham mengapa Aurel terlalu over protektif padanya. Itu karena Aurel tidak ingin kehilangan adik kesayangannya lagi.

Tapi setidaknya, masih mending Aurel bersikap terlalu protektif pada Ricky ketika umurnya masih balita atau dibawah sepuluh tahun. Kalau sudah diatas itu, untuk apa?

Yang ada malah malu-maluin di depan umum!

Walau Ricky mengerti, ia masih cukup terganggu dengan sikap Aurel yang sepertinya sulit untuk dihilangkan itu.

"Alisa ya...," gumam Ricky. "Rambutnya cokelat, anak kedua yang sebenarnya, kalau hidup umurnya sudah 21 tahun karena beda 2 tahun dari Kak Aurel." Ricky berpikir keras. Ia merasa pernah bertemu dengannya. "Alisa, Lisa.... Kalis?"

Cklek!

Tiba-tiba saja pintu di belakangnya tertutup dan cukup membuat Ricky tersentak. "Dasar Bi Suli," gurutnya. Ia yakin Bi Suli lah yang menutup pintu itu dari belakang.

Tidak ingin berlama-lama di sana, ia pun langsung turun menuju kamar mandi. Ia tidak ingin berusaha mengingatnya lagi, dan membiarkan mimpi yang pernah ia alami itu memudar begitu saja.