webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Alasannya Selama Ini 2

"Keliatannya lu sehat-sehat aja."

Mendengar ada yang berbicara di belakang sofa, Ricky langsung menghentikan sementara game konsol yang sedang dimainkannya. Tubuhnya setengah memutar ke belakang. "Eh ada Andi. Tumben," ucapnya seramah mungkin. "Gue kemarin emang sakit, ya."

Andi menyerahkan selembar kertas padanya. "Surat cinta dari Ibu Kimia."

"Surat cinta?" heran Ricky sambil mengambil kertas itu. "Ini soal. Bukan surat cinta."

"Kerjain. Senin nanti dikumpul," ucapnya datar sambil berbalik badan.

"Cepet banget langsung pulang. Gak mau main dulu, Di?" tawarnya. Sabtu pagi ini Ricky merasa bosan karena bermain sendiri. Untung saja Jumat kemarin adalah hari libur, karena hari itu Ricky juga masih kurang enak badan.

"Gue usah basa-basi." Andi terus melangkah menuju pintu keluar.

"Siapa yang basa-basi?" timpal Ricky, tapi tetap tak digubris. Walau begitu, ia tetap melanjutkan ucapannya. "Makasih, Di, udah mau direpotin."

Andi berhenti dan menoleh ke arah Ricky sebelum menghilang di balik dinding yang mengarah ke pintu keluar. "Kalau lu gak masuk lagi, gue gak mau nganterin." Setelah itu dia benar-benar keluar tanpa menunggu respons Ricky.

Ia mengedikkan bahu dan kembali bermain. Tidak lama berselang, terdengar suara lagi yang mengganggu konsentrasinya bermain.

"Kiki, aku mau jalan-jalan ke mal bareng teman-temanku. Kamu mau ikut gak?" tanya Aurel yang baru saja turun dari lantai dua.

"Nggk," balasnya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV.

"Ooh ya sudah. Kamu mau titip sesuatu?"

"Nggak, kak. Makasih," tolaknya halus.

"Ok." Saat Aurel menuju rak sepatu untuk mengambil sepatu katsnya, ia teringat sesuatu dan kembali ke ruang keluarga. "Kiki, kamu sendiri di sini gak apa-apa kan? Papa sama Mama lagi ada urusan di luar, Bi Suli jenguk keponakannya di rumah sakit, Pak Udin jam 4 sore nanti baru bisa ke sini."

"Don't worry."

"Jaga rumah ya. Kalau kamu mau keluar, kasih tau kakak. Jangan lupa kunci rumah."

"Iya. Hati-hati di jalan."

Aurel tersenyum sekilas. "Iya, bye-bye."

Seperti yang dilihat, hubungan mereka tampak membaik lagi setelah kejadian itu. Lebih tepatnya, hubungan mereka sudah kembali membaik sejak kemarin, walau mereka berdua belum saling memaafkan karena perkelahian dua hari yang lalu.

Ricky tidak mengerti dengan Aurel, jadi ia cuek saja perubahan sikapnya itu. Ia tidak ingin minta maaf pada Aurel karena ia masih kesal dengan Aurel yang menyimpan rahasia keluarganya itu. Memangnya Ricky bukan bagian dari keluarga? Perlukah tes DNA untuk membuktikan kebenarannya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

Tulisan kata 'YOU LOSE' muncul di layar TV. Ia kalah dari game peperangan itu karena perasaannya yang saat ini sedang tidak karuan. Ia melempar joystick ke sofa sebelahnya untuk melampiaskan emosi. Lalu ia menutup seluruh wajahnya dengan bantal sofa di sebelahnya. Bantal empuk itu menjadi pelampiasan emosinya yang tidak terbendung lagi. Emosi dan mental yang mudah goyah, yang bisa meneteskan air mata.

***

"You guys, wait here."

"Kay."

Seorang gadis berambut pendek turun dari mobil dan masuk ke dalam pekarangan rumah berlantai dua itu. Ia menekan bel rumah, dan beberapa saat kemudian lubang kecil yang menempel di pintu itu terbuka.

"Hey!" sapanya saat ia melihat ada mata yang mengawasi dari balik lubang itu.

"Jane? Gak ikut Kak Aurel ke mal?" heran Ricky sambil membuka pintu.

"Aurel sudah jalan?" katanya tidak percaya. "Padahal aku mau ngajak dia ke mal," keluh Jane.

"Tapi dia sudah pergi. Gak ada urusan lagi kan? Bye." Ricky menutup pintu, namun langsung dicegah oleh Jane.

"Kamu... habis nangis, ya?" Jane menatap mata Ricky lekat-lekat.

"Nggak... tadi habis ngupas bawang." Ricky berusaha untuk menutup pintu tapi tidak bisa.

"Sudah akui saja. Kamu lagi stress atau gimana? Ikut kakak jalan-jalan ke mal yuk." Jane yang tiba-tiba saja bersikap manis seperti itu cukup membuat Ricky geli melihatnya.

"Gak ada orang di rumah."

"Kan bisa di kunci." Ricky terdiam dan mencari alasan. "Udah ayo ikut aja." Jane menarik tangannya paksa untuk keluar. "Ada teman kamu juga kok."

"Iya, iya. Sebentar. Ganti baju dulu!"

"Ok." Jane pun melepasnya, dan Ricky langsung menuju kamar.

Jane melangkah masuk ke dalam rumah setelah melepas sendal gunungnya. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu. Setelah itu ia tunjukan hasil ketikannya ke kamera CCTV yang terpasang di sudut ruang tamu.

"Jane ngepain?"

Ia langsung mengantungi ponselnya. "Nothing."

Jawaban singkat itu tidak membuat Ricky curiga padanya. Kemudian, setelah Ricky mengunci pintu dan gerbang, ia menghampiri mobil minibus hitam. Ia menemukan sosok familier ketika ia baru masuk ke dalam mobil tersebut.

"Andi? Lu kok--"

"Gue diculik Rick!" sahutnya.

"Andi itu tetanggaku." Jane langsung melajukan mobilnya saat Andi hendak membuka pintu mobil. "Sekarang kamu ada teman, Di. Jangan nekat deh."

"Dari awal gue gak mau ikut, ok!"

"Shut up!" teriak seseorang yang duduk di sebelah Jane.

"What's your problem?!"

"BE QUITE!!"

Terjadi keheningan mendadak setelah Jane memperingati mereka berdua.

"Well, that's better." Jane mencoba membangun suasana baru. "Maaf sudah memaksamu ikut kami, Andi. Aku mau minta kejelasan darimu saja."

Setelah emosinya cukup tenang, Andi baru bisa menjawabnya. "Kejelasan apa?" tanya Andi sambil membersihkan lensa kacamatanya. Suaranya masih terdengar ketus.

"Aku pernah membuka ponsel Aurel. Di sana ada pesan panjang darimu dan aku membacanya. Itu sebuah laporan, kan?"

"Laporan apa?"

Sesekali Jane melihat ekspresi Andi. "Hmm... apa Aurel yang menyuruhmu mata-matai Ricky, atau karena kemauan sendiri?"

"Apa?" Merasa namanya disebut, Ricky menghentikan permainan yang dari tadi ia mainkan di ponselnya.

"Itu Rick, kemarin Andi--"

"Kemauan Kak Aurel!" sela Andi cepat. "Gue gak ada hubungannya di sini. Cuman melakukan tugas dari yang sudah diberikan."

"Bawa-bawa kakak gue juga? Maksudnya apa, nih?"

"Kamu dikasih apa sama Aurel sampai-sampai kamu mau ngelakuin tugas yang memalukan itu, Di? Asal kamu tahu, aku sadar keberadaanmu itu loh." Jane tersenyum jahil. "Terutama saat pensi."

"Salah orang kali." Andi berkelit.

"Maksudnya apa, sih? Gue gak mau kalau ada rahasiaan-rahasiaan lagi" ucap Ricky sinis.

"Make it fast, Jane," sambar orang yang duduk di sebelah Jane. Sampai saat ini Ricky tidak tahu siapa orang itu, bahkan juga tidak tahu ia itu perempuan atau laki-laki. Penampilannya menegaskan kalau ia laki-laki, namun suaranya melengking seperti perempuan.

"Ok, aku jelaskan saja. Jarang banget kan malu-maluin tetangga kita." Jane tertawa sekilas.

Andi menyandarkan punggungnya sambil mengumpat. Ia benar-benar tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi padanya jika Jane membongkarnya.

Jane pun mulai bercerita dan Ricky memasang telinga.

"Aurel mengirim Andi untuk memata-mataimu selama di sekolah. Yang aku lihat dari pesan laporan di ponsel Aurel, Andi sudah mengikutimu selama tiga hari di hari yang berbeda. Aku tahu maksud Aurel itu apa. Itu karena Aurel benar-benar ingin tahu kegiatanmu selama di sekolah seperti apa dan temanmu siapa saja."

"Tunggu." Ricky memandang Andi tidak percaya. "Lu ngintilin gue?" Tiga kata itu ia tekankan.

Andi langsung memalingkan wajah. "Lu-lumayan kalau dikasih diskon dari dia." Ia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Dasar cowok diskonan!"

"Shut up, Maria!" bentak Jane. Gadis yang bernama Maria itu berusaha menahan tawanya.

Andi sudah tidak tahan di sana. "Gue mau turun di sini."

"Tapi kita belum sampai," balas Jane.

"Emangnya gue gak tau? Lu dari tadi cuman muterin bundaran komplek aja!" seru Andi. Bahkan Ricky tidak sadar kalau mobil Jane selama ini jalan memutar. "Gue tau ini perumahan dekat rumah gue. Rumah gue tiga rumah dari blok itu, jadi turunin gue di sini aja."

"Ok. Kalau itu maumu." Jane pun menghentikan mobilnya. Andi langsung keluar dari mobil dan membanting pintunya saat ditutup untuk melampiaskan emosi.

"Hahaha... dia kesal sekali!" Maria masih tertawa melihatnya.

"Nah, sekarang kita ke mal." Jane melajukan mobilnya sambil tersenyum puas.

"Kejam," komentar Ricky.

"Hal yang pernah dia lakukan itu lebih kejam daripada ini, Rick," kata Jane. "Aku gak nyangka kalau dia akan semalu ini waktu pekerjaan gelapnya terbongkar."

Ricky tidak ikut tertawa. Ia justru sedikit kecewa dengan Andi karena mau saja mengikuti Aurel.

"Sebenarnya, Andi itu terpaksa melakukannya." Perkataan Jane menyadarkan Ricky dari lamunannya. "Dari awal dia memang tidak mau. Namun Aurel terus memaksanya sampai dia memberikan diskon besar untuk pakaian yang mahal di butiknya. Sekedar info, Andi itu pelanggan yang Aurel suka. Aku tidak tahu maksud sukanya ini apa, tapi yang jelas bukan suka dalam artian cinta."

"Sudah ada tiga pakaian mahal yang Aurel diskon besar-besaran untuk Andi. Kalau terus-terusan, Aurel bisa rugi besar. Untung saja aku menemukan pesan itu di ponselnya."

Ricky menggeleng pelan. Benar-benar tidak menyangka kalau Aurel akan melakukan itu hanya untuk dia. "Tanthophobia."

"Ternyata kamu sudah tahu phobia Aurel."

"Kamis kemarin Mama ceritain tentang masa kecil Kak Aurel."

"Apa semuanya?"

"Aku tidak tahu. Kak Aurel tiba-tiba aja datang dan marah-marah."

"Hmm, baiklah. Akan aku ceritakan semuanya."

"Tunggu dulu. Ini gak apa-apa?"

"Gak apa-apa. Aku tau sebenarnya Aurel melarangku. Bukan bermaksud mengkhianati dia, tapi aku gak mau seperti ini terus, kasihan kamunya karena sikap Aurel itu. Kasihan Aurelnya juga karena terus-terusan memasang topeng saat di depanmu"

"Hmm... ya sudah ceritakan semuanya setelah Kak Aurel kehilangan Kak Lisa."

Jane mengambil posisi duduk yang nyaman untuk bercerita sambil fokus menyetir "Setahun kemudian, saat Aurel genap 10 tahun, Ricky lahir. Kata Mamanya, Aurel tidak menginginkan kehadiranmu sebagai laki-laki. Dia mau adik perempuan, bukan laki-laki."

"Kau bohong, kan?" Ricky terbelalak pada pernyataan itu.

"Kalau tidak percaya, tanya saja. Aku mengingat apa yang pernah Mrs. Lily ceritakan saat di Sydney." balasnya. "Waktu kamu bayi, Aurel memperlakukanmu tidak layak. Entah apa yang terjadi, Aurel pernah melukai kedua lengan atasmu waktu bermur 3 tahun, tapi setidaknya masih bisa disembuhkan."

"Melukai seperti apa?" tanya Ricky memastikan.

"Seingatku, melukai seperti dipelintir atau dipukul atau apapun sampai menimbulkan luka dalam," jawabnya. "Aku dengar kamu berhenti karate karena cidera di kedua lenganmu itu?"

Kepala Ricky bersandar di kaca mobil dan pandangannya kosong. "Iya." Suaranya terdengar lirih. "Cidera yang timbul karena kecelakaan di masa lalu."

Jane mendesah. "Apa mau dilanjutkan?" Ia tidak tega jika melihat Ricky seperti itu kalau terus dilanjutkan.

"Lanjutkan saja."

"Saat umurmu 5 tahun, kamu hampir saja jatuh dari tangga. Ingat kejadian itu?"

"Aku nggak terlalu ingat."

"Katanya, pembantu rumah sebelum Bi Sul melihat ada yang mendorong kamu dari belakang. Aurel yang saat itu sedang naik tangga, langsung menangkap kamu dan membiarkan tubuhnya menjadi bantalanmu. Untungnya waktu itu ada pembantu rumah itu untuk menangkap kalian."

"Setelah kejadian itu, Aurel terasadar. Benar-benar tersadar dan mengingat kejadian saat Lisa terjatuh dari tangga yang sama dengan umur yang sama. Aurel tidak ingin kejadian itu terulang dan kehilangan adik lagi. Jadi, dia mulai berusaha menjagamu sepenuh hati dan semaksimal mungkin untuk menghilangkan masa lalu itu," Jane meminum air dinginnya, "dia juga sudah menerima kenyataanmu yang terlahir sebagai laki-laki."

"Tapi yang aku lihat, semakin ke sini, Kak Aurel semakin nyebelin karena terlalu ikut campur," sambung Ricky.

"Iya, aku tahu. Semakin besar thantophobianya, semakin kuat firasatnya padamu. Itu karena semakin remaja, semakin rawan. Apalagi kalau di Jakarta. Itu alasan kenapa dia over proyektif seperti itu," kata Jane.

"Ya emang rawan. Tapi seenggaknya aku bisa jaga diri. Ditambah Papa yang tegas banget kalau ngasih hukuman, kecil kemungkinannya aku ikut pergaulan bebas, narkoba dan segala macamnya."

"Aurel sendiri juga tahu itu, tapi kita gak tahu apa yang selanjutnya terjadi nanti."

Ricky menghembuskan napas panjang. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan pikirkan.

"Aurel pernah dikhianati," kata Jane tiba-tiba. "Oleh mantan pacarnya."

"Apa?!" Ricky semakin terbelalak. "Di-dia pernah punya pacar? Kapan? Siapa?"

"Wow, kamu terlihat antusias sekali, ya." Jane menghentikan laju mobilnya ketika lampu merah menyala. Ia memutar tubuhnya ke belakang untuk melihat Ricky. "Setelah aku menceritakan semua ini, aku tidak bisa membantu lagi. Buktikan pada Aurel kalau kamu akan baik-baik saja selama SMA nanti."

"Caranya?"

"Nanti kamu juga tahu."

***

Setelah berpamitan dan berterima kasih pada teman-temannya karena sudah mengajak ia berkeliling mal untuk sedikit menenangkan pikiran, ia langsung membuka gerbang rumah. Namun, tidak bisa.

"Kiki pergi ke mana? Kenapa dia gak izin dulu?" gerutunya sambil mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tasnya.

Gadis itu melepas ikatan rambutnya dan tergerailah rambut hitam panjangnya yang indah. Ia menuju ruang monitor CCTV untuk melihat apa yang telah terjadi empat jam yang lalu. Terlihat ada sedikit argumen antara Ricky dan Jane di ruang tamu, sampai Ricky masuk ke dalam kamarnya untuk menyalin pakaian. Setelah itu, Jane menunjukkan sesuatu di layar ponselnya.

'I'll tell your lovely brother all the truth .'

"Why am I soo stupid?" gerutunya. Lalu terdengar suara pintu depan yang terbuka. Ruangan itu tidak jauh dari pintu depan. Ia segera mengecek siapa yang membuka pintu. "Kiki..."

Ricky mendongak sekilas untuk melihat siapa yang sudah memanggilnya. "Kakak sudah pulang? Cepat juga." Ia kembali melepas sepatunya sebelum ia letakkan di rak sepatu.

Aurel terdiam. Ia tidak tahu ingin bicara apa padanya. Ini tidak seperti Aurel yang biasanya saat melihat Ricky. Ia merasa canggung, malu, dan bersalah karena sudah merahasiakan semuanya.

"Kenapa, kak? Sakit? Kalau sakit tidur sana." Ricky tidak terlihat ketus sama sekali, malah sebaliknya. Aurel menunduk dan pandangannya kemana-mana. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Oh iya, ini. Aku sudah pelindung HP. Semoga suka." Ricky menyodorkan sebuah pelindung HP dengan warna gradasi ungu dan merah muda yang terlihat manis. Ditambah tulisan 'Love Sister' dengan gambar animasi chibi perempuan berambut hitam panjang yang menggemaskan.

Aurel sedikit terbelalak melihatnya. Ekspresinya penuh tanya karena melihat Ricky bersikap seperti biasa seakan tidak tahu apa-apa. "Ma-makasih." Aurel menerimanya. Ia memperhatikan pelindung HP yang masih dalam kotaknya itu. "Lucu. Beli di mana?"

"Di mal. Itu aku yang costumize. Berarti hutangku sudah lunas, ya. Semoga suka." Ricky tersenyum sekilas dan melangkah melewati Aurel.

"Kiki," panggil Aurel, "Se-sebenarnya kamu sudah tahu a-apa belum?" Akhirnya ia bisa memberanikan diri.

Ricky berhenti tanpa berbalik badan. "Aku sudah tahu semuanya dari Jane. " Ia menghela napas. "Jane tahu kesalahannya itu, jadi dia siap dibenci oleh kakak. Katanya, dia tidak tahan lagi oleh sikap kakak yang sok kuat itu saat di depan aku." Kemudian ia berbalik badan untuk melihat ekspresi Aurel. "Kalau sudah siap buat ngungkapin, langsung ke kamarku saja, ok?"

Aurel tertegun, dan entah mengapa matanya mulai terasa panas. Tapi di saat bersamaan, ia juga merasakan sebuah kelegaan dalam dada. Setelah ia meletakkan kotak pelindung HP, ia setengah berlari ke Ricky dan langsung memeluknya. Ia menangis sejadi-jadinya karena merasa bersalah sekaligus bersyukur punya adik yang baik seperti dia. "Maafin kakak!"

Ricky tertawa sekilas. "Kakak memang harus minta maaf."

"Maaf karena dulu pernah membencimu, Ki. Saat itu aku masih tidak terima dengan kepergian Lisa karena kesalahanku."

"Cup cup, jangan nangis. Jangan nyalahin diri sendiri." Ricky berusaha untuk menenangkannya sambil mengelus-elus punggung Aurel.

"Aku kira... semua laki-laki tidak memiliki hati lembut seperti perempuan," gumam Aurel.

Tatapan Ricky lirih setelah mendengar kakaknya berucap seperti itu.

Sejak Aurel dikhianati oleh Elbrian ia menjadi trauma pada kebanyakan laki-laki dan menganggap mereka semua sama saja, berhati busuk dan tidak tulus.

Kalimat Jane tersebut sempat terngiang di benaknya. Ricky menggenggam kedua pundak Aurel dan sedikit mendorongnya untuk memberi jarak. "Jadi, kakak kira aku perempuan karena punya hati lembut, gitu?" Ekspresinya tidak suka, tanda tersinggung. Walau pikirannya tidaklah seperti itu.

"Nggak." Aurel tertawa sekilas sambil menyeka air matanya. "Aku senang. Kamu itu baik dan gak tegaan pada kakaknya sendiri. Menggemaskan juga, terus--"

"Baik dan gak tegaan? Ooh jadi selama ini kakak anggap aku jahat?"

"Iihh nggak juga!"

"Nggak juga?"

"Kamu ih," Aurel sedikit kesal sambil mencubit pipi Ricky sampai membuatnya mengaduh. "Kalau mau balas, kejar kakak!" Tiba-tiba saja Aurel berlari menaiki tangga.

"Woyy!" Percuma saja. Aurel sudah jauh. Ia menghembuskan napas panjang sambil tersenyum dan berharap ada sedikit perubahan dari Aurel setelah ia tahu semuanya.

Ricky melangkah menuju ruang tamu untuk mengambil kotak pelindung HP. Sebuah angin yang tiba-tiba saja berhembus menerpa wajahnya, membuat ia melihat ke arah pintu. Matanya menangkap sosok gadis berambut cokelat yang dikuncir kuda tersenyum ke arahnya, sebelum akhirnya ia berbalik badan dan berjalan keluar menembus pintu. Ia langsung mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan. Namun, di hadapannya itu benar-benar tidak ada siapa-siapa. Mungkinkah itu, Lisa?

"Kak Lisa...?"