webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Teenager
Zu wenig Bewertungen
155 Chs

Aku Penasaran

"Baik teman-teman. Kakak ingin mengenalkan teman kakak yang juga bantu kakak di sini. Perkenalkan, ini Jane Eddward. Dia akan melatih kalian di bidang modeling." Aurel mengangkat tangan ke arah temannya yang berwajah bule itu ke anak-anak bimbingannya. "Untuk kalian yang tertarik tentang model, bisa berlatih sekarang sama dia. Kalau tentang desain pakaian, ayo ikut kakak ke ruangan latihan." Aurel berdiri dan beberapa teman yang tertarik ke bidang itu juga ikut berdiri, mengikuti Aurel dari belakang.

"Asyik! diajar sama bule cantik!" girang Yoga.

"Lu bisa bahasa Inggris, gak? Nanti lu sok-sok an bikin malu gue lagi," balas Caca.

"Saya cukup bisa bahasa Indonesia, kok. Jangan khawatir," sambar Jane sambil tersenyum. Caca dan Yoga terhentak saat tiba-tiba saja wanita dengan kemeja kotak-kotak dan dalaman kaos putih itu sudah ada di hadapan dan tersenyum pada mereka. "Oke, sekarang kita mulai dari apa yang kalian pelajari terakhir, ya!"

"Baik!"

Jane memerlukan teman cukup luas untuk pengenalan awal pada model dan memberi mereka sedikit demonstrasi cara jalan model. Sementara Aurel hanya perlu tempat yang terdapat meja dan kursi untuk anggota yang tertarik pada merancang pakaian. Ia dapat meminjam salah satu kelas untuk kegiatan fashion. Aurel sedang mengamati anak-anak didiknya yang sedang berusaha mengembangkan desain rancangan yang ia buat. Ia mengamati dengan jeli karya dari enam anak didiknya itu. Dari keenam karya, hanya satu karya yang menurutnya masih jauh dari kata cukup.

"Talita, Kamu hanya menambah pita saja?" kata Aurel.

"Menurutku itu sudah cukup," jawab Lita.

"Kalau menambah pita saja sih, anak umur lima tahun juga bisa."

Komentar itu cukup membuat Lita tersinggung. Ia tertunduk malu. "Ma-maaf. Aku belum ada pengalaman lebih sebelumnya."

"Oh pantas. Banyak berlatih lagi, ya." Aurel mengatakannya dengan ekspresi datar. "Baik, kita ke model pakaian selanjutnya. Untuk kali ini, kalian hanya perlu menambahkan apa pun yang menurut kalian kurang. Baru di pertemuan berikutnya, kita mulai dari menggambar rancangan dasar."

Lita mencoba berusaha untuk lebih baik lagi pada gambar selanjutnya. Ia memaksa otak kanannya untuk bekerja lebih keras supaya bisa menghasilkan gambar yang diinginkan Aurel. Namun apa daya, Aurel masih menganggap hasil karyanya itu kurang dari yang lain. Karya teman-temannya itu memang bagus, setidaknya punyanya sendiri juga tak kalah bagus dari mereka. Tapi kenapa Aurel bersikap manis pada yang lain, sedangkan pada Lita tidak? Hal itu membuat mental Lita menjadi goyah dan ia mulai enggan mengikuti ekskul itu lagi.

"Wah, tidak terasa dua jam telah berlalu. Kita sudahi ini dulu ya, besok lusa kita mulai membuat gambar rancangan dasar pakaian ya."

Setelah aktivitas ekskul itu selesai, Lita menuju kantin untuk membeli minuman sambil mengetik pesan ke kakaknya untuk minta dijemput. Saat ia berjalan menyusuri koridor setelah ia mendapatkan minuman es jeruknya, ia melihat Caca, Ricky, dan Yoga sedang berjalan bersama di depannya dan membelakanginya. Terlihat Caca sedang menggandeng tangan Ricky dan tampak dekat sekali.

Lalu tak lama kemudian, datang Aurel. Dari jarak yang tidak terlalu jauh itu, Lita bisa melihat tatapan sinis Aurel pada gandengan tangan Caca. Aurel langsung menarik tangan Ricky dan mengatakan sesuatu pedanya setelah ia melambai pamit pada Caca dan Yoga. Terlihat kalau Caca tidak memedulikan tatapan sinis itu, atau mungkin ia tidak melihatnya?

"Ooh, begitu." Dalam hal ini Lita bisa menduga-duga sesuatu. Ia harus berusaha tidak akrab dengan Ricky kalau ia masih ingin berada di ekskul itu. Setelah itu, Lita terus melangkah dan duduk di ujung koridor untuk menunggu kakaknya.

***

Aurel sedang melanjutkan rancangan gaun pengantin untuk kliennya saat terdengar ketukan pintu kamarnya. Ternyata yang mengetuk pintu itu adalah adiknya. Ricky benar-benar terpukau dengan hasil rancangan kakaknya itu.

"Whoa... Ini buat pernihakan Kakak nanti?"

"Iya, buat pernikahan kakak sama kamu," balas Aurel sambil mengedipkan sebelah mata.

"Aku serius, Kak." Ricky menatapnya datar.

"Ini buat klien kakak." Aurel masih memasang senyumnya. "Kamu ngepain ke sini?"

"Ini Kak, ada soal Fisika yang nggak aku ngerti." Ricky menunjukkan buku tulisnya pada Aurel.

Aurel menerima buku tulis itu dan membacanya. "Ooh gerak melingkar ya. Ini kamu tinggal masukan rumusnya saja. Jangan lupa diubah satuannya."

"Gitu saja?"

"Iya. Fisika gampang kok." Aurel menunjukkan senyumnya, namun di mata Ricky, senyum itu malah terkesan meremehkannya.

"Oke, makasih Kak."

Saat Ricky membuka pintu dan hendak keluar, tiba-tiba Aurel memanggilnya lagi. "Kiki, sebenarnya kamu itu suka Caca apa Lita?"

"Allahu Akbar, Kak! masih aja dibahas," erang Ricky, "udah ah. Aku mau belajar lagi. Besok ulangan Fisika, nih!"

"Eh, aku ada soal Fisika buat besok, lho."

"Mau dong!"

"Kasih tahu dulu, kamu suka Caca apa Lita?"

Mimik wajah Ricky yang awalnya gembira, berubah drastis menjadi datar. "Kalau begini, mendingan gak usah. Lagian juga," Ricky melihat layar ponselnya sejenak sebelum ia tunjukkan layar ponsel itu ke Aurel, "Aku juga dapat bocoran soal dari kelas sebelah." Ia menjulurkan lidah pada Aurel sebelum ia menutup pintu itu.

Dengan perlakuan Ricky yang terus seperti itu ketika ditanya siapa yang ia suka, membuat rasa penasaran Aurel semakin tinggi dan bahkan sudah melewati batas wajar. Pasalnya, ia bisa melihat sikap Ricky yang baik dan belum pernah ia lihat sebelumnya pada dua teman perempuan di kelasnya, yaitu Caca dan Lita, dan ia yakin kalau mereka berdua menyukai adiknya itu. Kalau saja Ricky menjawab ia tidak menyukai keduanya dan menganggap mereka sebagai teman biasa, itu justru membuat Aurel bernapas lega. Kalau pun, Ricky menjawab ia menyukai salah satu diantarnya, itu cukup membuat Aurel khawatir dan ia pasti mengawasi terus perempuan yang disukai Ricky itu.

Akan tetapi, Ricky tidak menjawab keduanya. Ricky tidak menjawab ia suka atau tidak. Hal itu membuat Aurel penasaran dan tidak mengerti dengan maksudnya itu. Sampai-sampai ia mengira kalau Ricky sedang merencanakan sesuatu padanya. Atau mungkin merencanakan sesuatu pada teman-teman perempuannya itu.

"Apa jangan-jangan, Kiki malah mau memainkan perasaan mereka berdua sekaligus memanfaatkannya?!" kaget Aurel. Ia berdiri dan hendak meminta penjelasan Ricky. "Eh tapi... sepertinya nggak mungkin juga deh," Aurel terduduk di kasurnya, "Setahuku, Kiki itu waktu SMP malah cenderung tertutup dan tidak punya teman perempuan sama sekali. Kalau tiba-tiba saat SMA dia berubah jadi playboy di sekolah... kayaknya nggak mungkin deh."

Lagi-lagi Aurel termenung memikirkannya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur dan menelepon sahabatnya untuk menceritakan keluh kesahnya. "Hallo, Jane, apa kamu lagi sibuk? Aku ingin cerita sedikit."

Akhirnya Aurel meninggalkan pekerjanya itu dan asyik mengobrol dengan Jane. Di kala sedang dilanda badmood, ia tidak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Besok pagi, saat Aurel sampai di depan gerbang sekolah untuk mengantar Ricky, ia melihat adiknya itu bertemu dengan Lita. Ricky terlihat menyapanya dan Lita pun juga membalasnya, namun ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Ricky di belakang. Setelah melihat kejadian itu, ia pun memutuskan untuk menghubungi seseorang.

Ponsel di sakunya bergetar saat Andi sedang fokus membaca ulang buku catatan fisikanya. Tertera nama Blue Jellyfish owner di layarnya. "Hallo, apa pesananku sudah siap?" kata Andi setelah ia mengangkatnya.

("Jaket itu ya? Sudah kok, sudah,") jawab Aurel. "Oh ya, Andi, aku ingin minta bantuan."

"Hmm? Bantuan apa, Kak?" Andi sebagai salah satu pelanggan butik Aurel, tentunya sudah mengenal Aurel dan bisa dikatakan cukup dekat.

"Coba seharian ini, tolong perhatikan Kiki terus. Sama siapa aja dia ngobrolnya, dia ngepain aja, makanan yang dia makan waktu istirahat apa, terus—"

"Tunggu dulu. Maksudnya, aku jadi stalker Ricky?"

"Iya. Terus poin penting yang harus diperhatikan adalah, bagaimana reaksi Lita pada Ricky saat ini."

"Aku gak mau," jawabnya to the point.

"Nanti aku kasih diskon 70% buat kamu deh."

Tanpa pikir panjang, Andi langsung menerimanya. "Aku perhatikan reaksi Lita aja, ya"

"Sama Caca juga. Terus makanan istirahat—"

Andi langsung memutusnya sepihak, di saat itu pula Ricky baru datang dan duduk di sebelahnya. Aurel yang Andi kenal memang agak bawel, apalagi kalau sudah berhubungan dengan adiknya.

***

Dengan harap-harap cemas, Aurel menunggu kiriman pesan dari Andi. Saat ini pukul empat sore, Aurel baru saja sampai di rumah dari butiknya. Ricky pun juga terlihat asyik bermain permainan di suatu game konsol di ruang keluarga, otomatis, Andi juga sudah selesai memata-matai dan tinggal memberikan laporannya pada Aurel.

Benar saja, tak lama kemudian, ia menerima pesan masuk dari Andi, yang berisi:

"Setelah ulangan Fisika, Ricky mengobrol sama Lita, tapi Lita gak terlalu peduliin. Awalnya Ricky kecewa dan penasaran padanya, tapi Lita bilang dia baik-baik saja. Lalu datang Caca dan komplotannya, tarik Ricky ke kantin seperti biasa. Di kantin, Caca kelihatan menempel terus sama Ricky dan Ricky sendiri kelihatan biasa aja. Di kelas, Ricky dan Lita gak ngobrol sama sekali sampai pulang."

Setelah membacanya, Aurel langsung membalas:

"Wah, makasih ya. Besok aku antar jaket kamu ke sekolah. Potongan harga 70%, duitnya udah ada ya. Tadi kamu ketauan gak?"

Setelah menunggu sepuluh menit, baru dibalas:

"Ok. Nggak ketahuan."

Aurel membalasnya kembali:

"Siip. Nanti aku minta bantuan kamu lagi ya."

Setelah itu, Aurel tidak mendapat balasan lagi. Ia baru bisa menyimpulkan kalau ternyata Lita lebih peka dari yang ia kira.

"Hmm... sepertinya aku terlalu jahat pada Lita," gumam Aurel.

"Ooh gitu, pantes aja Lita agak aneh seharian ini." Tanpa Aurel sadari, Ricky sudah ada di belakangnya.

Aurel langsung berbalik badan dengan wajah sedikit pucat. "E-eh? Kok kamu tiba-tiba bisa di sini sih?"

"Aku abis dari dapur ambil es teh," Ricky mengangkat gelas yang ditangkupnya, "jadi, kakak berbuat jahat apa aja ke Lita?" tanyanya santai.

"E-enggak kok. Kakak gak ngepain-ngepain."

"Hmm? Terus 'Aku terlalu jahat pada Lita' itu maksudnya apa?"

"I-itu... a-aku cuman...," Aurel benar-benar kehabisan kata-kata. "Terus kenapa kamu malah bela dia? Berarti kamu suka sama Lita, ya?" Ia mencoba membalikkan keadaan.

Ricky menghela napas. "Memangnya membela yang benar itu salah? Kan, kakak sendiri yang bilang kalau kita harus membela yang benar dan tidak boleh berburuk sangka pada orang lain." Lalu Ricky melangkah melewati Aurel dengan tatapan bosan. "Kakak yang bilang malah kakak yang ngelakuin. Aneh."

Aurel bisa merasakan ada yang menusuk dadanya. Ucapan itu terasa menusuknya, apalagi jika ini berasal dari adiknya sendiri. Kedua lututnya melemas dan ia langsung berlutut.

"Kenapa aku bisa sebodoh ini?"