Arjuna menjemput keluarga Zalina di bandara internasional Changi Singapura dengan gembira. Ia merasa kedatangan keluarga istrinya tentu akan membawa semangat tersendiri bagi Zalina dan juga Elena tentunya. Terlebih saat ia melihat Dody berjalan di samping Aruga. Ia langsung menghampiri dan mencium punggung tangan ibu mertua dan kakak iparnya Arasy, juga memeluk Aruga dan Dody dengan hangat.
"Selamat datang, Bu. Bagaimana di perjalanan tadi?" sapa Arjuna pada Khanza.
"Pegal- pegal, nak. Ibu kan sudah tidak muda lagi, jadi gampang sekali lelah."
"Ibu mau mampir ke tempat refleksi terlebih dahulu?" tanya Arjuna.
"Tidak usah, Jun. Ibu ingin berbaring saja di hotel nanti, kau sudah memesan hotelnya, kan?" tanya Khanza pada Aruga.
"Saya yang memesan hotelnya, Bu. Kemarin, Mas Ruga ingin reservasi di hotel lain, tapi agak jauh dari tempat tinggal kami. Jadi, saya carikan yang dekat," jawab Arjuna.
Arasy langsung memicingkan mata pada Arjuna.
"Jangan bilang kau memesan kamar di hotel yang mahal ya, Jun," kata Arasy.
"Mbak ini, yang mahal pun tidak masalah. Untuk keluarga kok, yang penting kalian nyaman dan bisa menikmati liburan dengan tenang," jawab Arjuna.
"Kami tidak sekadar liburan, Jun. Tapi ingin menjenguk Elena juga," kata Aruga.
"Pekerjaan Mas bagaimana? Memang Mas sengaja cuti?" tanya Arjuna.
"Nanti aku ceritakan."
"Kita ke hotel saja dulu ya, Mas. Supaya kalian bisa menaruh barang-barang. Baru kita mampir ke rumah," kata Arjuna.
Saat berhenti di lobby Mandarin Oriental, Singapore Arasy langsung menepuk dahinya. Bagaimana tidak, jika hotel itu adalah salah satu hotel bintang lima di Singapura dan pastinya harga satu kamar permalam tidaklah murah.
"Hotel yang biasa saja kan tidak masalah, Jun. Kenapa harus di sini?" bisik Arasy pada Arjuna.
"Sekali-sekali, Mbak," jawab Arjuna.
**
Khanza menatap Elena dengan penuh haru. Saat mereka datang Elena baru saja tertidur, sehingga mereka tidak mau mengganggu Elena.
"Bagaimana kondisi Elena sekarang, Lin?" tanya Khanza.
"Dia jauh lebih baik sekarang, Bu. Tapi, tetap sering menangis dan juga sekarang dia lebih tertutup, Bu."
"Kasihan anak itu. Ibu sama sekali tidak menyangka Damian seperti itu," kata Khanza.
"Anak itu sudah sakit jiwa, Bu," kata Aruga.
Arjuna menghela napas panjang.
"Damian tidak belajar dari kesalahan. Seharusnya,dia belajar untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalani rumah tangga. Padahal Liemey adalah seorang istri yang baik. Dia mau menerima Damian apa adanya. Bahkan dia berusaha merawat anak-anak dengan baik."
"Istri yang baik ia sia-siakan, istri seperti Miranda yang hanya akan membawanya ke dalam kehancuran ia pertahankan mati-matian," kata Arasy.
"Maka biarkan saja dia hancur kalau begitu, Mbak. Dia mungkin harus merasakan bagaimana rasanya jika dia kehilangan segalanya yang telah ia perjuangkan selama ini."
"Dominic sempat bertemu dengan Opa dan Omanya. Mereka juga melarang untuk Dom dan adik-adiknya menemui Damian lagi,"kata Khanza.
Zalina mengembuskan napas panjang.
"Aku rasa, Elena juga tidak akan mau menemui ayahnya lagi."
"Aku saja tidak mau menemuinya lagi, Mami," sahut Calista.
**
Elena merasa bahagia saat melihat Calista membuka pintu kamarnya. Lebih girang lagi saat melihat Khanza dan Ratu juga ikut serta.
"Aku pikir hanya Om Aruga dan Tante Arasy saja yang datang ternyata Oma dan kau juga."
"Jadi, maksudmu ak tidak boleh ikut, begitu?" protes Calista berusaha untuk tidak melirik ke arah perut Elena yang makin membuncit itu.
"Kau ini, jangan gampang merajuk," kata Elena.
"Apa bedanya denganmu? Kau juga begitu, selalu saja merajuk dan ngambek," jawab Calista.
"Hei, apa kalian tidak bisa untuk tidak bertengkar setiap bertemu? Sudah sejak dulu kalian begini. Sejak kita kecil, apa kalian tidak bosan?" tanya Ratu sebal.
"Tidak."
"Tidak."
Ratu hanya bisa menepuk dahinya mendengar jawaban kedua saudara kembar itu kompak.
"Kau dan Raja juga sama, kan? Kalian bertengkar sepanjang hari seperti balita."
"Itu karena lelaki menyebalkan, Cal. Raja itu sepanjang hari hanya memainkan game, dan begosip tentang wanita cantik di kampus. Dan, apa kau tidak tau pembicaraan lelaki itu kadang menyebalkan," kata Ratu.
"Memiliki saudara perempuan juga terkadang menyebalkan, Ratu. Tidak seperti kelihatannya," kata Elena.
"Ah, ya tapi kau harus mengakui jika kau jauh denganku, kau merasakan rindu, kan?"
Elena hanya tertawa kecil.
"Iya, aku rindu bertengkar denganmu untuk urusan kecil, Cal. Tapi, sampai hari ini aku tidak berani memegang ponsel," kata Elena.
"Baik, sekarang ceritakan kepadaku, apa yang mengganggumu."
"Boleh aku pinjam ponselmu?" tanya Elena.
Calista langsung memberikan ponsel miliknya pada Elena. Gadis itu pun langsung memperlihatkan beberapa hal yang mengganggu pikirannya di media sosial miliknya. Melihat apa yang ditunjukkan oleh Elena membuat Calista naik darah.
"Aku akan membereskan ini nanti saat tiba di Jakarta," kata Calista geram.
"Kau mau apa?"
"Kau tidak usah tau. Yang jelas, aku akan menyelesaikan semuanya. Dan, ingat tidak perlu kau gubris perkataan orang-orang yang tidak punya otak dan perasaan itu. Kau bukan wanita murahan apa lagi wanita penggoda seperti apa yang mereka katakan. Hei, dengarkan aku Kak, kau ini harus bisa lebih berani menghadapi semua yang terjadi di depanmu. Sampai kapan kau akan bersembunyi dan merasa kotor?"
"Karena memang seperti itu yang terjadi Cal. Aku ini kotor dan tidak memiliki hal lain untuk aku banggakan," kata Elena.
"Kau ini memang benar-benar keras kepala, El."
"Lalu aku harus seperti apa?!"
"Bangkit dan keluar dari kelemahan dirimu!"
Bukan hanya Ratu yang terkejut melihat pertengkaran antara Elena dan Calista. Tapi, Zalina dan Arasy yang sedang minum teh terkejut mendengar suara teriakan dari kamar Elena. Merekapun segera bergegas menuju kamar Elena. Dan saat tiba pintu kamar sudah terbuka, mereka melihat Elena duduk dengan tegang sementara Grace berusaha menenangkan Elena dan Calista berdiri tepat di hadapan Elena dengan mata tajam siap menelan saudara kembarnya itu bulat-bulat.
"Cal, apa-apaan ini?" tanya Zalina.
"Aku hanya berusaha untuk membuatnya sadar, Mami. Aku ingin dia tau bagaimana kehidupan itu harusnya dijalani. Bukan seperti ini. Tapi, dengan semangat dan kebahagiaan. Hanya karena anak yang saat ini ada dalam perutnya dia menjadi seperti ini? Untuk apa? Dia sekarang ini sedang menyiksa diri sendiri dengan sikapnya yang seperti ini. Apa kau tidak kasian pada Papi dan Mami? Mami dan Papi rela membawamu pergi dari Indonesia supaya kau bisa semangat kembali, Kak. Bukan seperti ini. Hidup segan mati tak mau!" seru Calista.
"Calista! Mami tidak pernah mengajarkan dirimu untuk bicara seperti itu," tukas Zalina tajam.
"Aku tau, Mami. Tapi, dia tidak akan berubah jika dari dalam dirinya tidak ada kesadaran."