webnovel

Munculnya Teman Lama

"Tahu nggak, normalnya tuh yang semangat mengurusi hal-hal seperti ini adalah Calon Pengantin Wanita."

Satria tampak sedang duduk santai di gazebonya yang menghadap kolam renang sambil melihat semua pamflet tentang lokasi eksotis, gedung-gedung mewah resepsi, dan katering tersebar di meja. Semua persiapan untuk acara tunangan dan pernikahan. Aku langsung pergi ke rumah Satria setelah check out dari hotel pagi itu bersama dengan Mina karena dia menyuruhku datang.

Aku sangat suka dengan kebun belakang Satria yang bergaya Bali. Ditanami dengan banyak tanaman hijau tropis yang besar diantaranya pakis dan bambu kuning, lantai dan dinding dari batu dan elemen-elemen lainnya yang dominan dengan nuansa kayu natural.

"Masalahnya CPW lain tidak baru saja disiram cat untuk mengingatkannya bahwa dia punya adik yang terkenal akan tindakannya mencoreng nama baik negara di dunia internasional." Balasku sambil duduk di sebelahnya.

"Ya ampun Sayang, cuma gara-gara satu orang gila saja mood kamu jadi rusak begini. Bagaimana kamu menghadapi para hater nanti kalau sudah punya 5 juta pengikut?" dia merangkul pundakku sambil mengecup pipiku lembut.

"Hah? Memang pengikutku sudah sebanyak itu ya?" aku melihat ke arah Mina.

"Sekarang sudah 1 juta lebih, sih." Jawab Mina sambil mengecek layar ponselnya, "Naik banyak setelah acara kemarin sukses."

"Mantap. Silakan duduk lho Mina, jangan malu-malu." Ujar Satria menunjuk satu kursi santai kosong di sebelahnya.

"Nggak perlu, terima kasih. Saya sudah manggil taksi kok," tolak Mina, "saya duluan ya Mbak." Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung berbalik badan meninggalkan kami berdua.

Aku dan Satria melihat Mina yang berjalan ke dalam bangunan utama menuju gerbang depan, kemudian kita saling melihat satu sama lain.

"Kalian pernah pacaran, ya?" ujarku tiba-tiba yang membuatnya kaget.

"Dih, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan babe."

"Gila, Mina sepertinya anti sekali denganmu. Kalian tuh tidak pernah berada di satu ruangan yang sama lebih dari 5 menit."

Salah seorang asisten berjalan mendatangi kami membawa baki dengan dua gelas minuman segar yang membuat kami diam sejenak. Setelah dia pergi baru aku melanjutkan bicaraku.

"Ayolah, mengaku saja. Aku sih tidak akan kesal kalau kamu dulu pacaran sama Mina. Aku tuh mengidolakan dia lho! Sudah rajin, sopan, bahkan kemarin dia langsung pasang badan buatku ketika menghadapi serangan wanita cat itu. She's my hero!"

"Wajarlah dia melindungi Bu Bos, kan dia kerja sama kamu."

"Tapi dulunya kan dia sekretaris kamu! Masa sih tidak ada fling fling sama sekali?"

"Sekretaris pacaran sama owner atau CEO tuh cuma ada di film atau novel. Kalau aku mendingan pacaran sama penulis yang memberikan kontribusi paling besar untuk perusahaan, yaitu si Nyonya Besar di sampingku ini!" Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Yah, aku memang sudah cukup pegal membawa reputasi perusahaanmu seorang diri di punggungku dengan tulisan-tulisanku yang hebat." ujarku sambil tersenyum geli dan berpura-pura memijit punggungku sendiri.

"Nah, akhirnya Tuan Puteri tersenyum. Aku sudah takut kamu bakal ngambek seharian, padahal aku sengaja tidak bekerja hari ini karena kangen."

"Aaaww, terima kasih sayaaang…"

"Mina memang cantik, tapi terkadang aku takut sama dia. Terlalu serius orangnya, terlalu pendiam juga. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan."

Aku mendekat ke arahnya sambil tersenyum, "Kamu takut sama Mina, tapi nggak takut sama aku? Kakak dari seorang pembantai gila terkenal! Bagaimana kalau ini adalah penyakit genetik dan teryata aku sama gilanya?"

"Kalau kamu merasa gila mendingan coba bikin novel thriller psikologi yang punya plot twist seperti Gone Girl karena sepertinya orang kita sudah mulai bosan dengan cerita romantis. Pasti akan menjadi national best seller mu yang kedua!"

Aku memutar bola mataku, kenapa lelaki ini selalu punya jawaban pintar untuk apapun.

Aku bertemu Satria setelah aku baru saja lulus kuliah kira-kira 4 tahun yang lalu, waktu aku sedang mencari kerja. Sebenarnya aku bisa saja mendapatkan kerja melalui koneksi pamanku, namun aku merasa tidak enak karena mereka sudah banyak membantu kami.

Kuliah di bidang jurnalistik membuatku gemar menulis. Semasa kuliah aku bekerja di perusahaan media digital sebagai penulis lepas kolom topik gaya hidup dan dunia hiburan internasional. Sebenarnya aku lebih berminat ke dunia politik dan current affair, tapi karena masih duduk di bangku kuliah aku tidak bisa sepenuhnya fokus ke dua bidang itu. Aku berniat untuk melamar secara penuh waktu di perusahaan tersebut setelah lulus, namun tiba-tiba saja perusahaan penerbit milik Satria meneleponku dan menyuruhku untuk datang melakukan wawancara.

"Kamu berbakat, lho." Puji lelaki yang lebih tua dua tahun dariku yang saat itu ikut mewawancaraiku di ruangan rapat yang besar bersama para pimpinan perusahaannya, "cara menulismu itu sangat bagus, bahkan aku yang tadinya tidak berminat dengan dunia hiburan bisa membaca tulisanmu seolah-olah seperti cerita film!"

Tadinya aku sama sekali tidak mengerti mengapa perusahaan penerbit ini yang terkenal dengan menerbitkan cerita fiksi memanggilku untuk wawancara, namun sepertinya aku mengerti sekarang.

"Kamu harus mencoba menulis novel! Semua orang pasti akan suka dengan gaya tulisanmu!" ujar Satria lagi yang langsung diikuti oleh suara mendukung dari orang-orang disekitarnya.

Aku hampir menolak karena perusahaan tempatku bekerja paruh waktu sekarang sudah akan menerimaku bekerja disana dan memastikan bahwa aku bisa fokus ke tema tulisan yang kusukai, namun aku berubah pikiran ketika melihat gaji yang ditawarkan oleh Satria ternyata jauh lebih besar dari gaji yang akan kudapat disana.

Hampir tidak punya pengalaman menulis fiksi, aku langsung mengadakan riset tentang topik fiksi apa yang digemari oleh mayoritas pembaca yang ternyata adalah cerita cerita romansa dan horor. Dua hal yang paling kubenci karena: Pacar terakhirku menghilang dan meninggalkanku begitu saja dan aku mengalami horor yang jauh lebih menakutkan dari kejadian mistik apapun selama beberapa tahun terakhir.

Aku benar-benar kerepotan mencari referensi dari kedua kategori tersebut dan parahnya lagi aku tidak suka membaca novel jenis itu, dan dari situlah aku diperkenalkan dengan Mina. Wanita lulusan jurusan sastra Inggris yang tadinya bekerja sebagai sekretaris di perusahaan trading milik Satria dipindahkan ke perusahaan penerbit tempatku kerja untuk membantuku menulis atau sekedar mencari jenis cerita romantis atau horor apa yang sedang populer di kalangan masyarakat saat itu. Aku beruntung bisa kenal dengannya, dia juga menjadi editorku yang mengecek ejaan dan memperingatkan bila ada plot yang tidak masuk akal. Mina juga membantuku merangkum semua novel populer dalam dan luar negeri yang mempunyai tema serupa agar ceritanya bisa dijadikan contoh, sehingga novelku selalu laku keras—walaupun tidak sampai best seller seperti bukuku yang terbaru ini tentunya.

Dua tahun aku bekerja di perusahaan itu aku berpacaran dengan Satria dan dia mengangkatku sebagai senior editor di perusahaan penerbitnya sambil tetap berkontribusi sebagai penulis.

Ketika menjabat inilah aku mempunyai ide gila membuat buku tentang peristiwa penembakan itu. Aku tahu tidak akan ada satu orangpun yang terpikir akan hal ini. Orang-orang pasti penasaran tentang kisah di balik layar apalagi ditulis oleh keluarga sang pembantai itu sendiri. Tentu saja seluruh keluargaku menolak, namun setelah aku berjanji akan membuat Surya lebih humanis dan tentu kutambahkan sedikit fiksi dan bumbu yang akan membuat pembaca sedikit bersimpati kepada kami, mereka akhirnya luluh juga. Aku juga mengajak salah satu orang keuanganku menjabarkan perkiraan keuntungan yang akan kudapat bila buku ini sukses, dan aku berjanji akan memberikan sebagian kepada paman dan bibiku sebagai balas budi karena telah mengurusku tanpa pamrih selama masa yang sulit dulu. Mentari memang sudah sepenuhnya dinafkahi olehku semenjak aku bekerja, namun dia bersikeras untuk tinggal dengan Bi Tiara dan Oom Bimo.

Benar sekali dugaanku! Buku itu sangat populer di kalangan orang baik yang mendukung ataupun yang menentang, sehingga melambungkan namaku sebagai salah satu penulis tersukses di negeri ini.

Sesuai janji aku memberikan sebagian penghasilan dari buku itu kepada Bibi Tiara yang sudah membantu kami tanpa pamrih. Jumlahnya yang sangat luar biasa membuatnya tidak bisa menolak, bahkan Oom Bimo juga berterima kasih padaku.

"Kamu sudah ngobrol lagi sama Raj?" tanya Satria. Raj adalah nama produser film terkenal yang terus menghubungiku. Sudah banyak produser yang sudah menawariku untuk membuat adaptasi film, tapi aku belum bisa memutuskan karena seluruh keluarga besarku tidak akan setuju. Untuk buku saja persetujuannya butuh berminggu-minggu, apalagi film yang pasti plotnya akan dilebih-lebihkan.

"Belum, tunggu terdakwa utamanya mati barangkali." Ujarku enteng.

"Hush!"

"Apa hush hush, biarkan sajalah dia mati! Bahkan aku sempat heran juga dia hanya dapat seumur hidup, berapa nyawa sudah dia hilangkan?"

Satria tidak menjawab, aku tahu dia kehabisan kata-kata. Surya adalah topik sensitif bahkan bagi dia yang kini diam seribu bahasa selama beberapa menit. Tiba-tiba saja aku merasa inilah saatnya aku mengetahui perasaan dia yang sebenarnya terhadapku. Jujur saja, dia tidak memberitahuku tentang ayahnya yang menjadi korban sampai setahun kami berpacaran dan ini membuatku cukup meragukan ketululusan perasaannya. Aku sempat meminta putus, tapi dia bersikeras tidak menaruh dendam apapun dan benar benar jatuh cinta kepadaku. Kegigihannya dalam mempertahankan hubungan ini cukup meyakinkanku melanjutkan hubungan, namun insiden cat kemarin malam kembali terbayang di pikiranku, bagaimana kalau dia ternyata meyimpan dendam dan mencoba mencelakakanku?

"Kamu benar-benar cinta padaku, Sayang?" tanyaku akhirnya.

Dia tampak lebih kaget dari sebelumnya, "Maksudnya?"

"Wanita kemarin itu cukup membuatku sadar juga, 1 dekade sudah lewat namun dia masih menyimpan rasa marah padaku." Aku diam sebentar memikirkan kata-kata berikutnya, "aku jadi ingin tahu, apakah kamu pernah merasa dendam padaku sebagai kakak dari orang yang menewaskan Ayahmu?"

"Nggaklah, apa-apaan sih?" ujarnya kesal.

Aku sadar telah melewati batas, namun kini aku malah jadi ketakutan sendiri. Aku jadi teringat kenapa dia bersikeras bulan madu ke daerah terpencil, bagaimana kalau dia merencanakan sesuatu padaku dan seolah-olah dibuat seperti kecelakaan? Apa aku harus membatalkan pernikahanku? Apakah aku harus lari dari sini sekarang?

Satria menghela nafas panjang, ini yang selalu dia lakukan kalau sedang menahan amarahnya kalau aku mulai membuatnya kesal, namun ekspresinya melembut ketika melihat wajahku yang ketakutan.

"Dengar ya, Cahayaku yang cantik…" ujarnya, "kalau aku dendam padamu, ngapain aku repot-repot mengadakan acara pertunangan dan semacamnya ini? Aku bahkan sering memajangmu di sosial mediaku! Itu saja sudah cukup bagi pihak berwajib manjadi motif apabila sesuatu terjadi denganmu dan aku otomatis akan menjadi tersangka utama."

Aku diam saja.

"Jujur ya, aku sempat benci kepada orangtuamu dan ingin sekali mereka mendapat ganjarannya," lanjutnya. "tapi setelah menenangkan diri, berpikir secara rasional, dan melihat bagaimana seluruh negara menghujat kalian, rasa dendamku berubah menjadi kasihan. Apalagi waktu itu kamu yang masih muda dan tidak punya tanggung jawab apapun terhadap adikmu."

Setelah menghabiskan minumannya dia kembali bicara, "Lagian kamu jangan GR berpikir si ibu tu menyiram cat gara-gara masih dendam sama kamu. Siapa tahu dia hanya minta bagian dari buku kamu yang laku jutaan kopi itu."

"Oke, oke aku yang salah… aku cuma sedang kesal saja gara-gara kemarin. Terima kasih karena sudah jujur padaku."

Tiba-tiba Satria tersenyum misterius, "Sebenarnya aku tidak sepenuhnya jujur, Sayang."

Satria berputar berbaring menghadapku, memegang dahu dan mengangkat wajahku ke arah wajahnya sampai dekat sekali kukira dia akan menciumku.

"Aku pernah bilang kalau pertama kali berjumpa denganmu adalah waktu kamu datang ke kantor untuk wawancara pertama kali, bukan?" dia melepaskan pegangannya dari daguku namun wajahnya tetap dekat.

"Ya, terus kenapa?" aku mundur sedikit untuk menjaga jarak.

"Itu bohong. Aku pertama kali melihatmu adalah ketika wajahmu tanpa henti-hentinya mondar-mandir di layar televisiku ketika insiden itu terjadi. Dari situlah aku jatuh cinta padamu, ketika melihat wajahmu yang sedih menahan tangis terlihat cantik sekali!"

"Hah?"

"Lalu pertemuan kita selanjutnya adalah ketika pemakaman Oom Ian. Aku kembali melihatmu menangis, rasanya ingin sekali aku memeluk dan menghiburmu, tapi tentu saja waktunya tidak tepat saat itu karena kita bahkan belum berkenalan. Akhirnya aku bertekad aku akan menikahi wanita ini entah bagaimanapun caranya!"

Aku terdiam sesaat, "Oh? Jadi kamu terus mengawasiku sampai lulus kuliah dan langsung menjadwalkan wawancara itu?"

"Ini bagian anehnya, beberapa bulan setelah pemakaman aku sempat aku lupa denganmu. Bertahun-tahun kemudian baru ketika pimpinan editor memuji-muji betapa bagusnya gaya penulisanmu dan membujukku merekrutmu aku langsung merasa bahwa takdirku memang bersamamu." katanya, "kamu tahu aku tidak akan mengejarmu kalau kamu tidak punya bakat dan hanya modal tampang saja, bukan?"

Kali ini dia baru mengecupku dengan lembut. Lelaki ini gila, pikirku. Tapi dalam hatiku lega, setidaknya dia tidak bermaksud jahat padaku. Seketika itu pula rasa takutku hilang dan berganti menjadi semacam perasaan yang aneh namun menyenangkan.

"Oh ya," tambahnya, "ibu dan keluarga lainnya akan datang nanti malam untuk mau merayakan suksesnya tur bukumu. Kamu menginap, ya."

Aku mengangguk dengan manis.

Ibu Satria yang bernama Mira sekrang memang tinggal terpisah dengan Satria di rumah yang tak kalah mewahnya meski berada di kompleks yang sama bersama dengan segudang asisten dan kedua orangtuanya yang sudah pensiun. Dia awalnya tinggal bersama Satria, namun memutuskan untuk pindah setelah kami berdua bertunangan karena dia tahu rumah yang sekarang akan dipersiapkan untukku setelah kami menikah.

Kadang aku berpikir betapa beruntungnya karena calon mertuaku adalah seorang wanita kaya raya namun baik hati dan pengertian, bahkan dengan mudah memberikan restunya untukku menjadi istri anak satu-satunya.

Keluarga besarnya yang terdiri dari Kakek, Nenek, para paman, bibi, dan para sepupu dengan cukup mengejutkan juga bisa menerimaku dengan tangan terbuka tanpa adanya mulut usil sama sekali, meski terkadang aku suka merasa mata mereka mengawasi tiap gerak-gerikku.

Aku tidak bisa menyalahkan mereka juga sih, aku juga harus bersyukur karena sudah diterima apa adanya tanpa ada yang mengungkit-ungkit adik lelakiku itu.

Satria mengantarkanku ke apartemenku sebelum berangkat ke kantornya sendiri keesokan paginya, "Sudah kubilang ke Mina kamu tidak masuk kantor hari ini karena mau beristirahat," Katanya setelah menurunkanku di depan lobi, "nanti malam kujemput untuk makan."

"Thanks, selamat bekerja Sayang." Balasku. Dia melambaikan tangan sebelum menutup kaca mobilnya dan pergi meninggalkan halaman apartemenku.

Perasaanku luar biasa bahagia pagi itu karena acara syukuran kemarin berjalan dengan sangat menyenangkan. Semua menu makanan dipesan dari restoran favoritku, Ibu Mira membawakanku tas mewah seharga mobil yang sudah kuincar sejak beberapa lama, beberapa sepupu Satria yang sebaya juga bergantian memamerkan aku di sosial media mereka masing-masing yang membuatku sedikit bangga dan terharu.

Rodaku kembali berada di atas, aku tidak akan lagi membiarkan gangguan sekecil apapun merebut kejayaan dan jernih payahku. Hari ini aku akan beristirahat seharian untuk mengisi energi dan besok aku akan mulai bekerja lagi.

Baru saja beberapa langkah aku masuk ke dalam lobi, tiba-tiba ponselku berdering, aku mengecek layarku. Rupanya yang menelepon adalah sepupuku yang kini sudah menjadi bagian dari pasukan polisi, Timo.

"Halllooooo…" sapaku sok manja.

"Woi, lagi dimana? Kita berdua mau kesana sekarang!"

"Apaan sih? Aku ada di apartemen. Kita siapa?"

"Ada Amanda, nih. Oke tunggu di lobi ya, kira-kira 15 menit."

"Manda? Ya ampuuun… sudah lama banget kita tidak bertemu! Oke kutunggu ya!" ujarku antusias.

Kedatangan mendadak ini jelas mengganggu jadwal istirahatku, namun aku cukup senang menerima mereka karena aku ingin sekali membagi cerita kebahagiaanku. Timo dan Amanda memang sekarang berpacaran dan akulah yang memperkenalkan keduanya ketika mereka hadir di acara pertunanganku beberapa tahun yang lalu. Amanda sama sepertiku adalah lulusan jurusan jurnalistik yang kini bekerja menjadi pembaca berita berbahasa Inggris di situs berita internasional yang tadinya berkantor di negara tetangga namun sebulan terakhir ini dia sudah permanen berada di Ibukota.

Kurang dari 15 menit, kedua orang itu muncul di depan lobi menggunakan taksi dan langsung saja aku dan Amanda melepas rindu di area duduk berteriak senang seperti anak kecil. Amanda memberiku selamat atas kesuksesan tur bukuku dan memberikan sebuah kantong kertas berisi kue dan roti kesukaanku.

Kulihat Timo membawa banyak sekali tas tas besar yang sepertinya berisi dokumen dan Amanda menenteng laptopnya, "Oh, wow… kalian merencanakan pernikahan?" tanyaku sambil tersenyum nakal.

"Aya, kita harus naik ke kamarmu karena ada suatu yang harus kami tunjukkan." Timo mengacuhkan pertanyaanku sambil agak menggiringku berjalan ke arah elevator dan kami bertiga pun masuk ke dalam satu yang kosong.

"Ada apa, sih?" tanyaku ingin tahu sambil memencet tombol lantai kamarku.

"Nanti saja di dalam kamar, jangan sampai ada orang luar yang tahu." Timo menempelkan jari di bibirnya.

"Sumpah, ini membuatku penasaran. Semua tas ini, dokumen ini, ada hubungannya dengan kepentinganku apa tidak?"

"Sangat." Jawab Timo.

Setelah berada di dalam kamarku, tanpa basa basi mereka berdua langsung menyulap meja ruang televisiku menjadi meja kerja dengan menyimpan laptop dan membongkar tas berisi dokumen-dokumen terbut.

"Mau minum apa?" tawarku.

"Kopi!" jawab mereka berdua hampir bersamaan. Aku baru sadar ternyata wajah mereka berdua tampak lusuh dan lelah, seperti orang yang baru saja pulang dari bekerja lembur di depan layar komputer mereka semalaman. Pakaian kerja mereka juga agak berbau asap rokok.

"Kalian sudah mandi belum, sih?" tanyaku sambil menyiapkan kopi di coffee maker, "sumpah, ini baru bapak-bapak yang baru saja merokok."

"Cahaya, fokus." Ujar Timo yang akhirnya selesai membeberkan semua fail berkas yang sudah dibuka dan ditandai di atas mejaku, "dan berikan kopiku."

Aku datang sambil memberikan mereka masing-masing secangkir kopi sambil melihat sekeliling ruang tengahku yang sudah berubah menjadi tempat folder kertas berserakan.

"Oke, apakah aku boleh tahu apa yang sebenarnya kalian sedang lakukan?" tanyaku.

Amanda yang tadi masih tampak mencari-cari colokan listrik untuk mengisi daya laptopnya, akhirnya duduk dengan santai di sofa setelah mencolokkan kabelnya, "Ya ampun, aku sudah terlalu lelah untuk bekomunikasi. Kamu saja deh yang bicara, Momo." Ujarnya. Timo memandangnya sebal, seolah-olah Amanda telah mengorbankannya kepadaku.

"Silakan berbicara, Pak Polisi." Ujarku.

Timo memandangku sejenak dan menyeruput kopinya, menarik nafas panjang dan akhirnya berkata sesuatu yang akan membuatku terkejut setengah mati.

"Oke. Aya, dengar. Sudah seminggu lebih kami memeriksa semua data dan laporan yang ada disini dengan seksama." Ujarnya, "dan kemungkinan kami telah menemukan bukti baru bahwa pelaku utama insiden penembakan 10 tahun yang lalu bukanlah Surya dan dia juga kemungkinan dijebak."